Dengan sigap Bian memapah tubuh Dirga dan mendudukkannya di atas sofa. Wajah Dirga yang pucat membuat laki laki berusia tiga puluh satu tahun itu semakin panik.
"Minum dulu, Tuan." Menyodorkan satu botol air mineral yang baru saja dia ambil dari atas meja kerja sang empunya.
Setelah Dirga meneguk separoh air minum itu, Bian langsung menghubungi seorang dokter untuk memeriksakan kondisi sang Tuan muda yang sangat memprihatinkan itu.
"Argh... Kenapa sakit sekali," rintih Dirga memukuli kepalanya.
"Aku sudah meminta Dokter Candra untuk datang ke sini, Tuan muda. Bersabarlah sebentar. Dan tolong hentikan pukulanmu itu." Sebagai sekretaris sekaligus asisten pribadi Dirga. Tentu saja perhatian Bian pada Dirga tak bisa di ragukan lagi.
Laki laki yang bekerja hampir empat tahun bersama Dirga pun sudah menganggap sang Tuan muda seperti adiknya sendiri. Apa pun yang terjadi padi Dirga, Bian akan selalu pasang badan dan tak pernah meninggalkan Dirga dalam keadaan apa pun.
Di usianya yang sangat matang, belum terlintas di pikirannya untuk mengakhiri masa lajangnya. Jangankan menikah, memiliki waktu untuk mencari pasangan saja dia tak sempat. Dan lebih memilih mengabdikan dirinya untuk laki laki berusia dua puluh enam tahun yang kini sedang meringis kesakitan itu.
"Aku sudah tidak tahan, tolong ambilkan aku obat pereda rasa nyeri," pintanya pada Bian.
Bian menggeleng samar. "Tuan, obat seperti itu tidak di sarankan oleh dokter untuk di konsumsi dalam jangka panjang. Semalam sudah memakan lima butir secara berkala. Dan tidak ada perubahannya. Jadi-"
"Aku bilang minta obatnya. Kepalaku rasanya ingin pecah," teriaknya tertahan.
Dengan berat hati, Bian mengeluarkan satu botol kecil dari dalam sakunya. Obat yang dia beli di apotik beberapa hari yang lalu saat Dirga mengalami hal yang serupa dengan saat ini.
Tak menunggu, Dirga langsung merampas botol obat itu dari tangan Bian. Lalu mengeluarkan satu isi di dalamnya dan langsung menelannya.
Tak sampai tiga puluh menit menunggu, dokter laki laki yang sebelumnya di hubungi oleh Bian pun sudah tiba dan berada di dalam ruangan.
"Sudah berapa lama seperti ini?" tanya Dokter Candra seraya memeriksa Dirga.
"Tiga hari yang lalu, saat lembur malam hari, tiba tiba kepalaku sakit. Sakitnya berbeda, seperti ingin pecah kepalaku," keluh Dirga pada sang dokter.
Setelah bertanya tanya mendetail, dokter itu terlihat mengeluarkan botol kecil berisi cairan dan jarum suntik dari dalam tas kerjanya. Lalu menyuntikkannya pada Dirga.
"Sementara ini, mungkin rasa sakit di kepala anda akan reda. Tapi, kusarankan agar anda segera memeriksakannya di rumah sakit jika sakitnya kembali menyerang," kata Dokter Candra yang merupakan dokter pribadi keluarga Dirga.
Dirga mengangguk patuh. "Baiklah. Terima kasih, Dok."
Setelah kepergian Dokter Candra, Dirga terlihat tertidur pulas efek obat yang di suntikkan beberapa menit yang lalu. Seperti biasa, Bian mengambil alih semua pekerjaan sang Tuan muda yang akhir akhir ini terlihat kacau.
***
Sore ini, Violetta sudah berada di kediaman orang tuanya. Menurutnya, rumah yang selalu menjadi tempat ternyamannya itu mengalami banyak perubahan. Mulai dari perabotan, sofa, tata letak beberapa barang hingga yang paling mencolok adalah perubahan warna dinding.
Padahal, sudah satu jam Violetta berada di sana, namun matanya masih saja berkeliaran menjelajah satu persatu sudut ruangan yang kini di sulap begitu indah dengan nuansa minimalis modern.
"Kapan Papa dan Mama mengganti semua furniture ini dengan gaya minimalis?" tanyanya tanpa melepaskan pandangannya sedikit pun. "Itu juga, letaknya banyak yabg berubah." Menunjuk ke arah guci besar yang tidak berada di tempat sebelumnya.
Tidak terkejut lagi, Damian dan Noni sudah menduga jika putrinya akan bertanya mengenai perubahan rumahnya. Padahal, semuanya telah berubah sejak empat tahun yang lalu, dan sebagian besarnya pilihan itu di dasari oleh keinginan Violetta sendiri.
"Sayang, ini semua kamu yang mengaturnya. Kamu lupa?" tanya Damian seraya merangkul putri tercintanya itu.
"Aku?" Violetta mengerutkan dahinya, menoleh ke arah Damian dengan ekspresi bingung sekaligus kaget.
"Iya... Pertama kali kamu mendesain sebuah ruangan untuk tugas kuliah kamu empat tahun yang lalu."
"Dan ini juga yang mengantarkan kesuksesan kamu sebagai arsitek muda," sambung Noni.
Lagi lagi Violetta terkejut. Bahkan kali ini matanya terbelalak. "Aku? Seorang arsitek muda?" tanyanya lagi.
Kedua orang tua Violetta mengangguk, membenarkan semua pertanyaan putrinya. "Iya, sejak kecil kamu suka menggambar sesuatu yang bersifat bangunan. Kamu nggak ingat? Heum?" Damian membelai kepala Violetta dengan lembut. Kasih sayangnya sebagai seorang ayah begitu besar untuk anak anaknya.
"Aku sama sekali nggak ingat." Violetta menggelengkan kepalanya.
"Nggak apa apa, Nak. Mama dan Papa akan membantu kamu untuk mengingat kembali masa lalu kamu yang sangat indah," kata Noni mengelus lengan Violetta.
Ketiganya baru saja akan pergi ke ruang keluarga kembali, namun suara seseorang yang setengah berteriak membuat ketiganya mengurungkan niat dan berbalik badan ke asal suara untuk melihat langsung siapa sang pemilik suara tersebut.
"Letta..." panggil seorang perempuan yang setengah berlari dari balik pintu utama yang terbuka.
Jika kedua orang tua Violetta tersenyum menyambut kehadiran Ayesha, maka tidak dengan Violetta. Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu justru mengerutkan dahinya dan merasa terintimidasi setelah mendapat pelukan erat dari Ayesha.
"Ya Tuhan... Aku rindu banget..." kata Ayesha terdengar lirih di balik pelukannya. "Kamu ingat aku kan?" tanyanya seraya melepaskan diri dari tubuh Violetta.
Untuk pertama kalinya, Violetta di pertemukan dengan perempuan yang konon katanya memiliki hubungan persahabatan yang sudah seperti saudara kembar, sangking dekatnya.
Violetta juga melihat iris berwarna coklat itu berkaca kaca setelah dia menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku nggak kenal kamu," katanya kemudian.
Luruh sudah air mata yang sejak tadi coba di pertahankan oleh Ayesha. Dia menggenggam kedua tangan Violetta seraya tersenyum lirih. "Nggak apa apa. Aku akan ada menemani kamu untuk mengingat semuanya." Lalu memeluk tubuh Violetta.
Tak menyangka, kepergiannya selama lima bulan ke luar negeri ternyata mendapat sambutan tidak baik dari sahabatnya. Bahkan, Ayesha nyaris kehilangan satu satunya sahabat terbaiknya yang ada di muka bumi ini. Baginya, tak ada persahabatan yang lebih indah selain hubungannya dengan Violetta. Teman sejak kecil yang sudah saling mengetahui busuk dan wanginya sifat masing masing.
Beberapa detik kemudian, Ayesha segera menyeka kasar air matanya. Dia buru buru menoleh kebelakang untuk mencari koper miliknya yang di bawa oleh sang kakak tercinta.
"Mas, bantuin dong bukain kopernya," pintanya pada Gilang yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.
"Untuk apa?" tanya Gilang menaikkan sudut alisnya. Sebelumnya, Gilang juga melakukan aksi protes dengan ulah adiknya yang akan membawa masuk koper besar berwarna merah muda itu. Tapi, seperti biasa, dirinya akan selalu kalah jika berdebat dengan perempuan satu itu.
"Aiis... Buka aja sih, Mas," seloroh Ayesha mengibaskan tangannya.
"Kamu nginap di sini, Sha?" tanya Noni yang penasaran melihat koper besar milik Ayesha.
"Emm... Kalau Om dan Tante izinin," sahut Ayesha sopan.
"Syukurlah kalau memang begitu. Om dan Tante juga sudah lama nggak ngobrol sama kamu."
Ayesha menganggukkan kepalanya. Lalu dia berjongkok setelah koper miliknya berhasil di buka oleh Gilang.
"Nah, aku punya ini untuk my bestie." Ayesha menyodorkan sesuatu pada Violetta.
Dahi Violetta berkerut, lalu bertanya, "Ini?"