Ternyata, Kania pulang lebih awal demi menemui salah satu temannya Aldo yang selalu membuat kekacauan beserta keluarganya, dan Kania tau kalau Bima tidak menyukai sosok itu, membuat Kania segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali dari luar negara.
Dia meminta Bima untuk menjemputnya di bandara, tentu saja suaminya dengan senang hati melakukannya. Kebahagiaan Bima tidak bisa ditahan, seperti sekarang dia tengah menunggu sosok yang keluar dari gerbang pemeriksaan.
“Mas Bima,” pekik Kania merentangkan tangannya.
Seketika dia masuk ke dalam dekapan pria yang sangat dia cintai itu, mereka berdua tertawa membiarkan rasa rindu membuncah dan menguap ke udara.
“Kangen kamu,” ucap Bima.
“Maaf, Mas. ini project yang aku tunggu-tunggu sejak lama.”
“Iya gak papa, Mas seneng akhirnya satu per satu mimpi kamu terwujud.”
Inilah yang Kania suka dari suaminya, dia rela melakukan apapun untuknya. “Makasih, Mas. kita langsung pulang?”
“Nanti aja, kita makan malam di luar yuk.”
“Tapi Aldo sama Ratih kan di rumah.” Kania melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih melingkar di leher sang suami, dengan tangan Bima yang menggenggam pinggang ramping istrinya sendiri.
“Terus?” Alisnya terangkat.
“Gimana kalau Aldo tau kalau Ratih itu istri kamu yang lain?”
“Nggak lah, gila aja. Bocah itu udah Mas kasih tau biar jadi pembantu.”
“Mas tega ih.”
“Demi kamu juga kan.”
Ya, Kania tidak bisa membantah. Dia juga enggan Ibu Gandari; Mertuanya, mengetahui hal ini dan menjadi murka. Kania malas menghadapi wanita kolot yang selalu menuntutnya untuk memberikan cucu.
“Atau kita bisa tidur di hotel.”
“Mas genit ih,” ucap Kania yang melingkarkan tangannya pada sang suami. berjalan bergandengan keluar dari bandara dan memasuki mobil ferarri biru yang menjadi pilihan Bima saat ini.
Rasa cinta Bima pada Kania begitu besar, sampai rela melakukan apapun asalkan tidak ditinggalkan cinta pertamanya itu. Sebagai bukti, salah satu tangan Bima kini tengah menggenggam Kania sambil sesekali menciumnya.
“Gimana kamu sama Ratih? Ngalamin peningkatan?”
“Jangan bahas dia kenapa.”
“Ih, Mas, kan dia yang akan ngandung anak kita.”
“Kamu ngomong gitu seolah kamu gak cinta sama aku, malah nyuruh aku sama wanita lain. Mana kamu gak ada cemburu cemburunya,” ucap Bima mengeluarkan keluh kesahnya yang selama ini dia pendam. Jujur saja, saat Kania terus memintanya menemani istri kedua, seolah Kania tidak mempermasalahkannya. Tidak cemburu? Bukankah artinya tidak cinta?
“Bukan gitu, Mas. Tapikan nanti dia yang akan mengandung anak kita. Kata dokter, kalau dia stress, anaknya gak jadi jadi. Jadi kerjasama dong, Mas.”
“Emang kamu gak cemburu kalau aku berduaan mulu sama dia?”
“Ngapain cemburu, aku tau kamu sayangnya sama aku doang.”
“Kalau misalnya aku tiba tiba beralih suka sama dia?”
Pertanyaan yang membuat Kania diam, dia menoleh pada Bima dengan bibir mengerucut. “Emang iya?”
“Nggak dong, Sayang.”
“Jangan, kamu Cuma punya aku doang,” ucap Kania membalas genggaman tangan suaminya. “Nanti kalau dia udah hamil, kita pindahin aja. Kalau nanti kita mau anak kedua, nanti minta lagi sama dia.”
Sejenak, Bima terdiam mendengar rencana sang istri. Seolah Ratih menjadi sosok yang paling dimanfaatkan. Dan saat itu, Kania memahami apa yang ada di dalam pikiran suaminya. Sehingga dia berkata, “Jangan memikirkan hal yang tidak tidak, Mas. kita kasih dia semua yang dia mau, membangun rumah untuk keluarganya, memberikan biaya untuk adik adiknya sampai sarjana. Itu imbang ‘kan?”
“Ya, aku paham, Sayang.”
****
“Hahahaha, iya, aku sedang bersama suamiku saat ini. tolong ubah lagi jadwalku, supaya aku bisa menghabiskan waktu lebih lama bersama suamiku. Ada tamu juga yang belum aku temui,” ucap Kania yang sedang sibuk berbicara di telpon.
Sementara itu, Bima sedang berada di kamar hotel; menatap sang istri yang sedang sibuk bicara dengan managernya. Jujur saja, Bima merasa kesal karena Kania masih saja mengangkat panggilan terkait pekerjaannya. Pikirannya sempat mengingat kebersamaan dengan Ratih, dimana perempuan itu lebih sering menurut padanya. Ah, kini Bima punya perbandingan yang besar antara istri pertama dan keduanya.
“Sudah?” tanya Bima saat Kania kembali ke dalam kamar.
“Maaf, Mas,” ucapnya sambil mengerucutkan bibir. “Aku tadi harus cancel semua jadwal biar bisa berduaan sama Mas.”
Bima menghembuskan napasnya kasar. Dia merentangkan tangannya meminta sang istri ikut berbaring di sampingnya dan memeluknya. Kania tentu saja langsung melakukan itu, tinggal bersama dengan suaminya cukup lama membuat Kania tau apa yang selalu dia inginkan.
“Kita butuh liburan,” ucap Bima.
“Berdua, Mas?”
“Iya, berdua. Kapan kamu bisa?”
“Bulan depan gimana?” tanya Kania. “Biar aku beresin jadwal aku dari sekarang.”
“Mau ke luar negara, Cuma berdua.”
“Iya, Cuma kita berdua,” ucap Kania memberikan kecupan di pipi sang kekasih. Dia mengusap d**a bidang Bima yang sangat dia rindukan itu. Memikirkan apa saja yang dilakukan Bima bersama dengan Ratih. Jujur saja dia merasa cemburu, tapi ketidakmauan atas hamil ini lebih besar. “Mas…”
“Hmmm?” Bima menggeser posisi mereka sehingga berhadapan, dimana Bima bisa mengelus dengan leluasa pipi sang istri yang sangat dia rindukan, sesekali dia mendekat dan mencium bibir ranum milik Kania. “Kenapa? mas kangen sama kamu.”
“Aku mau nanya dulu, Mas….”
“Nanya apa?”
“Kamu sama Ratih.”
Sontak Bima memundurkan kepalanya, dia menaikan alisnya dan menatap Kania bingung. “Kenapa?”
“Kamu sama dia gak pernah lakuin hal hal aneh, kayak cudling berdua gitu? Cuma main di atas ranjang doang ‘kan? Abis itu ditinggalin?”
“Nah…, akhirnya kamu cemburu.”
“Mas ih,” rengek Kania tidak suka, dia mengadah menatap sang suami. “Mas…”
“Enggak, aku gak lebih sama dia.”
“Gak ada ciuman? Mesra-mesraan berduaan gitu?”
“Nggak,” jawab Bima singkat.
Kania khawatir, apalagi Ratih masih muda. “Enakan mana aku sama Ratih?”
“Jelas kamu lah, Ratih jauh di bawah.”
Mendengar itu, Kania senang luar biasa, dia segera membalas ciuman Bima. Melupakan kalau dia belum mengabari siapapun selain Bima kalau dirinya sudah ada di Indonesia. Mereka berdua sibuk saling mengecap, menumpahkan kerinduan satu sama lainnya.
“Mau makan dulu gak?” tanya Kania melepaskan ciuman mereka.
“Nanti aja, jalan jalan malem. Aku mau nasi goreng.”
“Eh? Sejak kapan kamu suka nasi goreng?” tanya Kania bingung.
Yang membuat Bima segera menarik tengkuk sang istri untuk menyatukan bibir mereka lagi.
****
“Aku tidak peduli kamu itu simpanan Bima atau istri keduanya, aku hanya berharap kamu sadar dan segera lari dari dua manusia egois itu.”
Begitu ucapan Aldo yang membuatnya terngiang-ngiang di kepala. Ratih tidak ingin berada dalam keadaan seperti ini, tapi dia harus membantu ayahnya dan adik adiknya supaya hidup mereka lebih baik. Toh dia merasa tidak dirugikan untuk sejauh ini.
“Bi?” ratih mendekati Bibi Endah yang sedang memasak. “Tuan Bima belum pulang?”
“Bilangnya gak akan pulang.”
“Oh lembur? Tumben, biasnaya suka lembur di rumah.”
“Hmm…, Bibi curiga Nyonya Kania udah pulang sih, kayaknya mereka lagi berduaan di luar.”
Sampai seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumah ikut masuk ke dalam percakapan. “Emang iya, Kania hari ini pulang. Jadi, mereka berduaan di luar.”
“Tuan sudah pulang, mau dibuatkan makan malam?” tanya Bibi Endah mencoba mengalihkan perhatian, dia tau betul kalau Aldo tertarik pada Ratih yang bertubuh mungil.
“Nggak, Bi. Suruh Ratih bikini wedang aja, terus bawa ke belakang. Saya mau nyari angina.”
“Baik, Tuan,” jawab Ratih menghela napasnya, dia sedikit risih dengan keberadaan Aldo. Pria itu seringakali mengintimidasi, menatapnya seolah ingin melahapnya saat itu juga.
“Kamu bilang Tuan Aldo udah tau ‘kan?”
“Iya, Bi.”
“Kayaknya dia suka sama kamu.”
“Mana ada suka sama wanita bekas kayak aku,” ucap Ratih sembari membuat wedang yang diinginkan Aldo. “Dia bikin aku takut.”
“Hati hati aja sih, jangan banyak bergaul sama dia, apalagi kalau ada Tuan Bima. Kasih itu, terus ke sini lagi.”
“Iya, Bi.” Ratih bergegas membawa nampan itu ke halaman belakang, dimana dia melihat Aldo di bersantai di dekat kolam renang sambil merokok. Ratih segera menghampiri. “Ini wedangnya, Tuan.”
“Terima kasih, dudukah sebentar.”
“Saya harus menyetrika.”
“Hanya sebentar, aku tidak akan macam-macam,” ucapnya yang dituruti oleh Ratih.
Perempuan itu sedikit waspada, kaku dan juga khawatir. “Kenapa, Tuan?”
“Umm…, tolong telpon Kania dan bilang padanya kalau Aldo akan menetap lebih lama di sini.”
“Kenapa Tuan tidak menelpon sendiri?”
“Ponselku jatuh, aku belum membeli yang baru,” ucap pria itu dengan mata tajamnya. “Kamu akan melakukannya ‘kan?”
“I.. iya, Tuan.”
“Kalau begitu lakukan di sini, sekarang.”
Hal yang membuat Ratih merogoh ponselnya, mencari nama Kania dan menelponnya. Dia tidak mengangkatnya, tapi tatapan Aldo tetap sama, seolah menyuruhnya untuk kembali mengulangi.
Sampai akhirnya…. “Halo…..? akh….. Ratih ada apa? Apa ada hal penting? Ouhh… shhhh….”
Seketika Ratih menegang, dia tau betul suara apa itu. “Tidak, kak. Maaf mengganggu,” ucapnya dengan wajahnya yang memerah.
Ratih hendak kabur, namun Aldo menahan tangannya.
“Lepas, Tuan.”
“Lihatkan? Bima bukan milikmu. Jadi tolong tau diri, supaya kamu tidak sakit hati.”