“Oh jadi yang nyuruh Mas Keenan bantu aku pindahan, Om Leo?” Lily mengangguk paham dengan cerita Keenan.
“Iya, karena beliau khawatir sama kamu.”
“Saya jadi ngerasa nggak enak,” gumam Lily pelan.
“Ly, kalau boleh aku kasih saran, sebaiknya jangan panggil Pak Leo dengan sebutan Om. Beliau pasti sedih kamu panggil dengan sebutan seperti itu.”
“Tapi Om Leo nggak ngelarang kok.”
“Bapak memang seperti itu sifatnya. Terlalu baik kadang sampai tidak enak kalau mau kasih tahu orang lain.” Keenan menoleh ke arah samping, “Tapi saya tahu kamu belum terbiasa, tapi kalau mau belajar kamu pasti bisa kok.”
“Iya Mas, nanti saya coba,” Lily tersenyum kepada Keenan. “Oh iya Mas, saya boleh nanya sesuatu?”
“Boleh, mau tanya apa?”
“Mas Keenan ini sebenarnya karyawan bagian apa? Soalnya waktu itu saya lihat dekat dengan si manusia menyebalkan itu.”
“Si manusia menyebalkan?” tanya Keenan bingung.
Lily meringis, “Eh maksudnya Axel.”
Keenan tergelak mendengar Lily memberi panggilan ‘Manusia menyebalkan' untuk Axel, “Kayaknya kalian benar-benar jadi musuh ya sampai punya nama panggilan sendiri. Padahal baru juga kenal.”
“Maksud Mas Keenan?” Lily seperti mendengar sesuatu yang ganjal dari ucapan Keenan.
“Nggak apa-apa. Lupakan saja.” Keenan tidak ingin membuat perang antara Lily dan Axel. “Oh iya soal pertanyaan kamu tadi, sebenarnya saya adalah asisten pribadi dari Axel.”
Lily terbelalak, ia menoleh ke arah samping, “Maksudnya sekretarisnya dia?”
“Bukan, kalau sekretaris beda lagi namanya Andin”
“Wah keren banget punya asisten pribadi terus sekretaris beda lagi,” gumam Lily.
Keenan tersenyum kecil. “Hal seperti ini biasa bagi orang yang punya pekerjaan padat. Apalagi seorang Axel Wardana. Sekretaris saja tidak cukup karena mengurus pekerjaan Axel. Belum lagi jadwal keluar kota dan meeting yang kadang membuat Axel istirahat saja tidak sempat.”
“Jadi Mas Keenan yang lebih sering nemenin Axel ke luar kota ya?”
“Iya begitulah, biasanya sekretaris lebih sering standbay di kantor dan hendled pekerjaan kalau Axel sedang ke luar kota.” jelas Keenan.
“Oh...” Lily mengangguk paham.
“Mungkin nanti kamu juga akan jarang melihat dia di rumah.”
“Baguslah,” jawab Lily singkat.
Lagi-lagi Lily membuat Keenan tersenyum geli, “Sepertinya kamu memang nggak suka dengan Axel.”
“Nggak juga kok.”
“Jangan terlalu kesal, takutnya malah jadi sayang,” goda Keenan.
“Mas Keenan, ih. Mana mungkin saya sayang sama cowok macam Axel. Lagi pula Mas lupa kalau kami ini saudara.”
“Tapi hanya saudara tiri.”
“Mas…”
“Saya cuma bercanda, Lily.”
Tidak lama mobil yang membawa Lily dan Keenan sampai di pekarangan rumah keluarga Wardana yang sangat luas. Mobil yang berjejer rapi tidak bisa di sebut mobil sembarangan. Lily bisa menebak ini pasti mobil seleranya Axel, siapa lagi.
“Mas, Makasih banyak ya udah repot bantuin saya,” ucap Lily sambil melepas seatbelt-nya.
“Sama-sama, kan ini perintah Papa kamu.”
“Kalau bukan perintah Om Leo, Mas Keenan pasti udah nolak ya. Kan ini di luar jam kerja.”
“Kalau saya bisa, pasti saya lakukan.”
“Wah emang Axel beruntung punya karyawan seperti Mas Keenan.”
“Saya yang beruntung bisa kerja di perusahaan keluarga Wardana, Ly”
“Oh iya, Mas Kee mau masuk dulu nggak?”
“Boleh. Saya juga mau ketemu Axel, ada yang mau saya omongin sama dia.”
“Ya udah, ayo masuk dulu.”
Akhirnya keduanya turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah. Terlihat sepi karena Jasmine sedang pergi dan Axel entah ada di mana.
“Mas, tunggu sebentar ya saya buatin minum dulu. Mas mau minum apa?”
“Apa saja terserah kamu,” jawab Keenan sambil mendaratkan tubuhnya di sofa ruang tamu.
“Saya buatin minuman dingin aja ya.”
Keenan mengangguk. Lily meninggalkan pria itu untuk pergi ke dapur. Mbok Nanik juga tidak terlihat di dapur, entah ke mana penghuni rumah ini.
Tidak lama, Lily kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi segelas orange jus lengkap dengan cake sebagai pendamping.
“Silakan di minum, Mas,” ucap Lily.
“Thank ya, Ly”
“Sama-sama. Mas Kee udah hubungin Axel? Saya nggak tahu apa dia di rumah atau nggak.”
“Udah saya telpon tapi ponselnya nggak aktif. Tapi saya yakin dia di rumah soalnya mobil milik Axel ada di garase. Jangan-jangan dia tidur,” Keenan melirik Lily yang berdiri di hadapannya, “Lily, saya boleh minta tolong buat panggilin Axel di kamar?”
Lily terkejut dengan permintaan Keenan, “Kenapa nggak Mas Kee aja yang panggil ke kamarnya. Kalau saya yang panggil, bisa-bisa dia marah.”
“Saya nggak enak harus naik ke lantai dua. Selama ini batasan saya cuma sampai lantai satu.”
Sebenarnya Lily tidak mau membantu Keenan, tapi kalau ingat bantuan yang di berikan oleh pria ini, rasanya tidak pantas untuk menolak.
Lily mendesah pasrah, “Iya deh Mas. Biar saya yang panggil Axel.”
Keenan tersenyum lebar, “Makasih ya Lily cantik.”
“Iya Mas, doain ya semoga tanduknya cowok menyebalkan itu nggak keluar kalau saya yang panggil.”
Keenan tergelak, “Kamu kan sehari-hari bertemu banyak orang, jadi harusnya udah terbiasa dong menghadapi berbagai karakter orang. Masa sama Axel kamu sebegitu takutnya.”
“Kalau nasabah nggak sampai pakai acara mengancam, Mas. Nah cowok ini baru kenal udah main ngancam, siapa yang nggak ngeri coba. Udah ah, tunggu ya Mas saya naik dulu.”
Lily berlalu dari hadapan Keenan. Ia naik menuju lantai dua dengan membawa koper besar miliknya. Setelah sampai, ia masuk ke dalam kamarnya terlebih dahulu untuk meletakkan koper miliknya. Setelah selesai, Lily menuju kamar milik Axel yang bersebelahan dengannya.
Lily sudah berdiri di depan pintu kamar Axel. Ia ragu untuk mengetuk pintu kamar pria itu. Tapi jika tidak ia lakukan, Lily sudah bersedia membantu Keenan. Maka dengan ragu, akhirnya ia mengetuk pintu yang ada di hadapannya.
Tokk..Tokk..Tokk.
Lama menunggu, tapi tidak ada jawaban. Lily kembali mengetuk namun tidak kunjung ada tanggapan dari Axel.
“Axel kemana sih? Apa lagi tidur ya?” pikir Lily.
Perlahan ia membuka pintu kamar Axel dengan hati-hati, kepalanya menyebul dari balik pintu untuk melihat situasi di dalam kamar kakak tirinya.
“Kosong, mana sih orangnya” Lily melangkahkan kakinya masuk. Ia takjub melihat kamar Axel yang sangat luas, bahkan lebih luas dari kamar miliknya.
“Gila, ini kamar apa lapangan sepak bola” gumam Lily heran. Ia berjalan menuju meja nakas yang terdapat sebuah figura kecil. Lily mengambil figura itu dan melihat seorang wanita sedang menggendong bocah laki-laki yang sedang tersenyum. Lily bisa menebak, ini adalah foto Axel waktu berumur sekitar lima tahun, dan wanita ini pasti mamanya Axel.
“Lucu banget, senyumnya juga manis. Tapi gedenya amit-amit deh. Sekarang jangankan senyum, muka datarnya udah nggak bisa ditawar lagi,” gumam Lily.
Ia meletakkan kembali benda itu di posisi semula. Pandangannya tertuju pada dua pintu yang ada di kamar itu, tentunya selain pintu masuk kamarnya.
“Oke, sepertinya yang satu pintu kamar mandi dan yang satu gue nggak bisa nebak itu pintu apa.” Lily mendekatkan diri pada pintu yang diyakini sebagai kamar mandi Axel. Ia mendekatkan telinganya ke arah pintu untuk mencari tahu apakah di dalam sana ada aktivitas atau tidak. Bisa saja Axel sedang mandi maka dari itu tidak tahu jika Lily memanggilnya.
Krrekkk!
Tubuh Lily kaku saat mendengar suara pintu terbuka, wajahnya pucat dengan mata sengaja terpejam.
“Tamat sudah riwayat lo, Ly,” pikirnya.
Axel berdiri di depan Lily dengan hanya mengenakan handuk pada bagian bawah tubuhnya. Ia menatap heran dengan kehadiran Lily di kamarnya. Tidak sengaja, senyum geli muncul di wajah Axel namun tidak lama berganti dengan seringai yang menyeramkan.
“Mau sampai kapan elo diam di sini?” tanya Axel dengan nada dingin.
Lily segera menjauhkan dirinya dari Axel. Ia tertunduk malu karena tertangkap basah masuk ke dalam kamar pria itu tanpa izin. Selain itu, keadaan Axel yang topless membuatnya malu.
Axel melangkah mendekati Lily dan sejalan dengan itu Lily juga ikut melangkah mundur. Sayang, langkahnya habis karena sudah berada di sisi tempat tidur milik Axel. Sungguh posisi yang teramat tidak menguntungkan bagi Lily.
Lily masih dengan posisi tertunduk, “Maaf gue masuk nggak bilang. Tapi tadi udah ketuk pintu dan lo nggak ada jawab. Jadi gue masuk aja buat mastiin,” jelas Lily cepat, berharap pria itu memberinya ampun.
Axel berdiri tepat di depan Lily, tangannya terangkat mengapit dagu Lily agar memandangnya, “Lo ada perlu apa sampai harus masuk ke kamar gue?”
Lily menatap wajah Axel dengan malu, begitu dekat sampai ia bisa melihat dengan jelas lukisan wajah yang begitu sempurna di depan matanya. Sesaat Lily benar-benar terhipnotis dengan tatapan dari Axel ditambah aroma tubuh maskulin yang begitu segar karena pria ini baru saja selesai mandi.
“Ada Mas Keenan di bawah nungguin lo,” jawab Lily terbata-bata. Bahkan ia tidak bisa menepis tangan yang masih setia mengapit dagu milik Lily.
Axel diam, tidak menanggapi ucapan Lily. Ia sedang menikmati pemandangan indah di depannya. Mata yang begitu memikat hatinya, sangat teduh dan tenang. Entah sejak kapan mata ini begitu membuat Axel gilá.
Tiba-tiba Axel melepaskan tangannya dari dagu Lily dan mundur beberapa langkah dari hadapan adik tirinya.
Lily terkejut dengan perubahan sikap Axel, namun juga lega karena pria itu melepaskannya.
“Sekali lagi maaf karena gue masuk tanpa izin. Gue keluar dulu dan ingat ada Mas Keenan di ruang tamu lagi nunggu.” Lily langsung mengambil langkah menuju pintu untuk keluar dari kamar Axel. Namun pria itu dengan cepat mencegah kepergian Lily.
Tangan Axel menyambar tangan Lily hingga membuat gadis itu membalikkan tubuhnya, “Tunggu..”
“Kenapa?” tanya Lily terkejut.
Perlahan Axel mendekatkan tubuhnya ke Lily. Lily tidak menolak dan cenderung pasrah, padahal ini bukan kebiasaannya. Bagaimana bisa seorang Axel yang baru ia kenal bisa membuatnya seperti ini.
“Kali ini gue akan lepasin lo, tapi lain kali kalau lo berani masuk ke kamar gue tanpa izin jangan harap lo bisa keluar dari sini dengan keadaan selamat,” ucap Axel dengan nada mengancam. Seperti biasa senyum mengerikan dan dingin ia tunjukkan pada Lily.
Lily mendorong tubuh Axel, “Dasar sínting,” balas Lily kesal. Ia segera keluar dari kamar Axel sebelum hal buruk terjadi padanya. Menutup pintu dengan sangat keras karena kesal dengan pria itu.
“Sepertinya dengan adanya lo di sini, hidup gue nggak akan abu-abu lagi Ly,” gumam Axel begitu Lily menghilang dari balik pintu kamarnya.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*