Lily bergerak gelisah, ia berusaha membuka matanya yang masih terasa berat. Kepalanya sedikit sakit namun masih bisa ia tahan. Perlahan ia bisa menetralkan pandangannya, mengumpulkan nyawa setelah tidur dengan tidak nyenyak. Tapi setidaknya ia masih sempat beristirahat dan tidak mengalami mimpi buruk lagi.
Saat ia mengalihkan pandangan, ia mendapati Axel tengah duduk tertunduk dengan mata terpejam, kedua tangannya begitu erat menggenggam tangan milik Lily. Ada perasaan bersalah saat melihat bagaimana kondisi Axel, pasti pria itu tidur dalam keadaan sangat tidak nyaman.
“Kasian banget, gue enak tidur di tempat nyaman sedangkan dia malah tidur dengan posisi duduk. Pasti pinggangnya sakit dan lehernya pegal.” Lily membatin.
Lily melihat jam dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. Ia tidak berniat membangunkan Axel tapi juga bingung melepaskan genggaman erat pria itu. Lily menatap Axel dengan lekat, entah kenapa setiap melihat Axel dengan intensitas lama membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan tidak suka tapi seperti memaksa otaknya untuk mengingat sesuatu yang tidak ia tahu.
“Kenapa polos banget kalau lagi tidur? Nyebelin sih tapi kalau kayak gini jadi gemes,” pikir Lily.
Axel menggeliat, ia merasa sakit pada pinggangnya dan pada akhirnya pria itu terbangun. Yang pertama dilakukan adalah melihat Lily yang ternyata tengah menatap dirinya dengan mata indah milik gadis itu.
“Pasti nggak nyaman tidur seperti itu?” tanya Lily pelan. “Sakit pinggang ya?”
Ditanya seperti itu membuat Axel menggerakkan sedikit badannya dan benar saja, pinggangnya sedikit ngilu.
“Nggak kok, aman-aman saja,” jawabnya bohong. “Lo udah bangun dari tadi?”
Lily mengangguk. “Mungkin sudah lima belas menit yang lalu.”
“Oh iya?” Axel menoleh jam yang ada di dinding kamar Lily. “Sudah setengah enam rupanya.”
“Axel,” panggil Lily pelan.
“Iya?”
“Bisa lepasin tangan gue?”
Otomatis pandangan Axel teralihkan ke tangan miliknya dan benar saja ia tidak menyadari kalau kedua tangannya menggenggam tangan gadis itu.
“Sory, gue lupa.”
Lily tersenyum tipis, lalu bangun dari posisi tidur. “Nggak apa-apa kok, gue yang harusnya berterima kasih karena sudah lo jagain gue semalaman.”
“Jangan bahas soal itu, lo itu adik gue ya wajar kalau nolongin lo kalau ada kesulitan.” Jawab Axel. “Sekarang gimana keadaannya? Udah membaik kan?”
“Gue kan nggak sakit, jadi ya baik-baik aja,” sahut Lily datar.
“Tapi semalam lo tidur gelisah, apa mimpi buruk lagi?”
Lily mengingat mimpi apa yang terjadi selama ia tidur. Ia hanya mengingat kalau kenangan masa lalu itu muncul dan cukup membuatnya tidak nyaman.
“Nggak kok, gue nggak mimpi apa-apa lagi setelah bangun semalam.”
Axel mengangguk paham. “Lo mau cerita soal kemarin? Apa ada yang sengaja ngejebak elo di toilet?”
Ditanya demikian membuat jantung Lily berdetak kencang. Ia terpaksa mengingat hal yang cukup membuatnya ketakutan.
“Kenapa diam, Ly? Nggak mau cerita atau gue cari tahu sendiri siapa yang sengaja kunci lo di kamar mandi? Gue bisa buat perhitungan sama orang itu.”
“Bukan begitu!” sahut Lily cepat.
Alis Axel tertaut melihat bagaimana reaksi gadis di hadapannya. “Maksud kamu apa?”
“Nggak ada yang jebak gue kok. Sebelum pulang ada temen telpon ngingetin kalau gue pinjem carger ponselnya. Karena dia masih di basement, akhirnya gue kejar ke sana dan ninggalin barang di ruang locker. Gue nggak enak udah minjem tapi lupa buat balikin. Setelah selesai, gue kebelet dan pakai toilet di sana yang memang jarang digunakan. Nggak tau kenapa pintunya nggak bisa dibuka dan gue teriak-teriak nggak ada yang dengar. Terus lampunya tiba-tiba mati. Mungkin ada penghuni di sana yang sengaja matiin lampu.” Jelas Lily dengan gugup, bahkan ia tidak berani memandang mata pria di hadapannya.
Axel memicingkan mata, ada yang ganjil dari penjelasan Lily. “Ly, jangan bohong. Mana mungkin itu kelakuan setan. Kamu punya musuh di tempat kerja?” tanya Axel dengan tatapan menyelidik.
Lily menggeleng cepat, “Nggak kok, siapa juga yang punya musuh. Intinya gue mau pakai toilet itu dan tiba-tiba pintunya nggak bisa dibuka. Mungkin memang rusak, karena gue nutup terlalu kenceng jadi ya gue nggak bisa keluar.”
“Oke baiklah, kalau memang itu penjelasan elo, gue nggak akan maksa. Yang penting adalah, sekarang kondisi elo baik-baik aja kan?”
Gadis itu mengangguk. “Gue baik-baik saja, maaf kalau bikin lo khawatir.”
Axel mengusap pucuk kepala Lily dengan lembut, senyum tenang terlihat di wajahnya. “Lain kali jangan bikin panik lagi.”
Lily merinding dengan sentuhan lembut dari tangan pria yang sering membuatnya kesal. “Maaf nggak ada maksud begitu.”
“Iya gue tahu kok. Untung Papa sama Mama nggak tahu.”
“Beneran Papa Leo sama Mama nggak tahu?”
“Iya, dan gue juga udah minta satpam di kantor lo buat nggak bikin kejadian ini heboh. Gue tahu pasti lo berharap kejadian ini nggak ada yang tahu kan?”
Lily langsung menyambar tubuh Axel, “Makasih banyak ya, lo tahu banget kalau gue nggak mau kejadian kemarin jadi konsumsi orang apalagi jangan sampai Papa dan Mama tahu.”
Lagi-lagi tubuh Axel menegang saat kontak fisik terjadi antara dirinya dan Lily. Pria itu dengan cepat mengurai pelukannya. “Jadi lain kali jangan bilang gue ini nyebelin. Gini-gini gue punya hati malaikat yang selalu ada saat lo butuh. Eh bukan, saat keluarga gue butuh jadi jangan geer kalau gue bantu lo,” ucap Axel dengan jemawa.
Untuk kali ini Lily tidak membantah apa yang sudah diucapkan oleh Axel. Biar saja pria itu menyombongkan diri karena ia merasa berutang budi kepada Axel.
“Tapi tunggu dulu,” ucap Lily dengan raut wajah sedikit tegang.
Kening Axel mengkerut dengan reaksi Lily. “Kenapa?”
“Kenapa lo bisa tahu gue di kunci di kamar mandi?” tanya Lily menuntut penjelasan.
Axel mengusap tengkuknya, ia lupa kalau harus menjelaskan semuanya kepada Lily. “Kalau gue cerita, kira-kira lo marah nggak? Atau malah nggak percaya?”
“Cerita aja, jangan berbelit-belit,” tuntut Lily. “Lo jemput gue?”
Raut wajah Axel mendadak serius, ia bahkan membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. “Sejak lo tinggal di sini, gue dan Papa sepakat buat suruh orang ngikutin elo kemana aja. Bukan hanya lo tapi Jasmine juga kok.”
“Hah?”
“Jangan ‘hah’ dulu, gue belum selesai cerita.”
“Iya maaf,” jawab Lily pelan.
“Persaingan bisnis bikin gue sama Papa banyak punya musuh. Bukan hanya sekarang bahkan waktu gue masih SMP, pernah mengalami hal buruk yaitu penculikan yang dilakukan oleh rival bisnis Papa. Selain itu selalu ada hal-hal ganjil yang terjadi di sekitar gue dan itu membuat Papa takut. Beberapa kejadian itu akhirnya Papa mulai melakukan pengawasan ketat terhadap gue. Awalnya risih karena kemana-mana diikuti oleh bodyguard tapi akhirnya gue paham kalau tujuan Papa adalah baik dan karena sayang sama gue.”
Lily bergidig ngeri mendengar kisah hidup Axel, ternyata pria ini tidak hanya mengalami hidup yang mulus tapi hal mengerikan juga. Padahal ia berpikir kalau hidup Axel sangat tenang dan bergelimang kemewahan hingga ia tidak pernah mengalami hal menyakitkan.
“Jadi diam-diam gue minta Toni buat ngikutin dan ngawasin lo kemana pun. Dia nungguin lo kerja dan lapor ke gue kalau lo sudah pulang. Nah kemarin dia curiga karena elo nggak keluar-keluar dari gedung bahkan mobil Mang Soni juga masih ada. Dari sana dia curiga dan menghubungi gue. Dan jadilah gue datang ke tempat kerja lo buat nyari dimana elo berada.” Jelas Axel.
Penjelasan Axel membuat Lily diam, tidak tahu apa yang harus ia katakan. Sejak awal ia sudah berburuk sangka dengan sikap Axel yang berlebihan mengenai dirinya. Melarangnya untuk menaiki kendaraan umum, bahkan harus mendukung keinginan Leo agar ia pergi dengan supir dan kali ini ia tahu kalau ada seseorang yang dikirim untuk selalu menjaganya tanpa ia tahu. Luar biasa sekali perhatian ayah dan anak ini tapi ia juga merasa cemas karena sudah masuk ke dalam bagian keluarga Wardana.
“Jangan cemas, gue tau lo takut kenapa-kenapa karena jadi anaknya Leo Wardana. Iya kan?”
Lily mengangguk pelen, ternyata Axel tahu isi kepalanya. “Mana pernah terlintas dipikiran gue kalau akan mengalami hal seperti ini, pergi selalu diantar supir dengan mobil mewah, diam-diam ada bodyguard yang ngawasin dan sekarang tahu kenyataan kalau pancapaian elo dan Papa Leo berdampak pada ketidaksukaan beberapa pihak.”
Axel tersenyum miring. “Hal seperti ini biasa di dunia bisnis, Ly. Beruntung lo bisa hidup tenang tanpa takut kalau tiba-tiba ada orang yang menodongkan pisau atau senjata api ke arah lo.”
“Lo pernah mengalami itu?”
Pria tu mengangguk. “Beberapa kali bahkan sampai sekarang gue nggak pernah pergi ke klub malam karena di sana sangat sulit melihat pergerakan orang yang berniat buruk.”
“Sebegitunya?”
“Tapi nggak usah dipikir terlalu berlebihan. Gue sudah biasa kok, jadi dibawa santai.”
“Hah? Dibawa santai?” Seru Lily. “Ini menyangkut nyawa malah dibawa santai?”
Axel mendekatkan wajahnya ke wajah Lily. “Gue udah bosan hidup dalam ketakutan, dan karena seseorang gue semakin kuat dan berdamai dengan keadaan. Gue yakin masih banyak hidupnya yang lebih miris dari gue.”
Tidak tahan terlalu lama dalam keadaan dekat, Lily mendorong tubuh Axel pelan. “Iya gue paham maksud lo.”
“Bagus, jadi lo nggak usah khawatir lagi. Jangan merasa tidak nyaman setelah tahu kalau ada Toni di sekitar lo. Ini demi kebaikan bersama. Oh iya lain kali gue kenalin lo sama Toni, dia baik kok.”
Lily mengangguk. “Ya sudah, ini sudah pagi dan gue mau mandi.”
“Lo mandi emang mau kemana?” tanya Axel penasaran.
“Mau kerja, emang mau apa lagi?”
“Lo kerja? Nggak mau istirahat dulu?”
Lily tersenyum geli, bagaimana pria ini begitu mudah memintanya untuk beristirahat sedangkan aturan tempatnya bekerja sangat sulit untuk hal itu. “Gue nggak sakit dan gue baik-baik saja.”
“Tapi semalam lo pingsan dan kata dokter lo harus istirahat.”
“Gue pingsan karena takut gelap, sekarang udah nggak apa-apa kok.”
Tahu bagaimana keras kepala adiknya membuat Axel memilih menyerah untuk berdebat. Tapi ada perasaan lega karena Lily sudah kembali ceria seperti biasanya.
“Ya sudah kalau itu yang elo mau. Gue juga mau mandi, lo nggak tahu aja dari kemarin gue nggak mandi.”
“Jorok banget,” sindir Lily pelan, dalam hatinya ia ingin tertawa tapi malu.
Axel beranjak dari duduknya. “Ini semua karena lo, minta gue buat nemenin. Dan lo lupa kalau semalam meluk gue dan nggak masalah kalau gue belum mandi.”
“Mungkin semalam gue nggak sadar makanya ngomong gitu,” gadis itu berkilah.
“Nggak sadar tapi meluknya dua kali,” cibir Axel sambil tersenyum mengejek ke arah Lily.
“Dua kali?”
“Iya tadi malam dan beberapa menit yang lalu,” jelas pria itu dengan santainya.
“Axel!” seru Lily sebal kemudian melempar bantal ke arah Axel dan ia yakin kiri wajahnya dalam keadaan memerah.
Axel hanya tertawa lalu meninggalkan kamar Lily tanpa peduli dengan kekesalan gadis itu karena ia berhasil menggodanya.
“Syukurlah lo udah balik seperti sedia kala,” gumam Axel.
Di dalam kamar Lily masih dalam posisi yang sama, belum beranjak dari tempat tidur. “Perhatian juga, meski pun terkadang kita seperti musuh.”
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*
------------
Maaf agak telat dari jadwal yaitu jam 2 karena mendadak ada hal urgent yang harus aku selesaikan.
Happy reading :)