5-Tidak Dapat Menahan Diri

1233 Words
Keesokan harinya… "Vanya... kenapa kamu terus memandangi jam tanganmu, Nak?" Tanya Bima yang mendapati Vanya sudah beberapa kali melirik jam tangannya. Vanya menoleh dan menjadi bingung menjawab sang Ayah, "Itu ayah... Hmm... Itu yah.” Melihat sikap Vanya yang seperti itu membuat Utari ingin kembali menggoda putrinya. "Vanya lagi menunggu Vick...." "Ibuu!" Teriak Vanya manja yang tidak membiarkan Ibunya menyelesaikan kalimatnya. Lagi-lagi Utari tertawa, sejak kemarin Utari terus-terusan menggoda anak gadisnya. Melihat tingkah istri dan putrinya, Bima terlihat kebingungan. Dia yang baru saja dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat inap, jadi tidak mengetahui kisah asmara putrinya ini. "Nanti aku ceritakan ketika kamu sudah baikan," ucap Utari seraya membelai rambut suaminya. Tak berselang lama seorang perawat masuk ke dalam kamar mereka. Vanya mengenali perawat wanita itu, perawat yang kemarin menyampaikan pesan kepada dirinya. "Nona Vanya, seseorang sedang menunggu anda di lobi Rumah Sakit," ucap perawat itu kepada Vanya. Vanya tidak dapat menutupi senyuman yang terlukis di wajahnya, dia sangat senang saat mendengarnya. Namun kali ini dia menahan diri, dia tidak mau lagi terlihat memalukan seperti kemarin, apalagi saat ini ayahnya juga berada disini. "Terima kasih suster," jawab Vanya sambil tersenyum. Perawat tersebut pun keluar setelah menyampaikan pesan. Vanya menoleh kepada kedua orang tuanya, dengan wajah menggemaskan dia berkata. "Ayah, Ibu, aku..." Utari tersenyum, "Pergilah, Nak, biar Ibu yang menjaga ayahmu." Ucapnya memberikan izin kepada putrinya yang sudah terlihat gelisah. "Terima kasih Ibu," sahut Vanya yang lalu bergegas mengecup kening ayah dan ibunya, setelah itu dia meninggalkan ruangan tempat ayah dan Ibunya berada. "Istriku, ada apa dengan anak kita?" Bima semakin heran dengan sikap anaknya, bagi Bima Purnomo ini juga permata kali dia melihat Vanya bertingkah menggemaskan seperti itu. Karena Vanya sudah meninggalkan ruangan, Utari akhirnya bercerita mengenai pemuda yang bernama Vicky kepada suaminya dan kejadian lucu lainnya ketika suaminya itu tidak sadarkan diri. Bima terlihat beberapa kali tertawa lepas mendengar cerita dari istrinya. ***** Vanya sudah sampai di lobi rumah sakit, dia melihat orang-orang yang berada di lobi itu, namun dia tidak menemukan sosok pemuda yang telah membuatnya gelisah sepanjang hari. "Nona Vanya, Tuan Muda menunggu anda di mobil," sapa seorang pria dari arah belakang Vanya. Vanya menoleh ke belakang dan tersenyum, “Terima kasih Pak Barry,” ucapnya lalu mohon pamit kepada Barry. Vanya kemudian melangkah menuju pelataran parkir Rumah Sakit Cipta. Dan menghampiri mobil yang kemarin mengantarnya ke Rumah Sakit Cipta. Sedangkan Vicky yang sudah melihat Vanya berjalan mendekatinya, segera membuka pintu mobil dan turun untuk bertemu Vanya yang kini sudah berada di depannya. "Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Vicky memulai pembicaraan seraya menutup pintu mobil. "Dia sudah siuman, kondisinya pun sudah semakin membaik, saat ini ayahku sudah dipindahkan ke ruang rawat inap," jawabVanya dengan menatap wajah Vicky. Vicky mengangguk dan tersenyum, "Hmm, syukurlah kalau begitu." Pria itu lalu mulai berjalan yang diikuti Vanya di sampingnya, tidak jauh dari parkiran mobil terdapat sebuah taman kecil yang biasa digunakan keluarga pasien untuk beristirahat. Mereka berdua lalu melangkah menuju bangku taman. "Maaf Vanya, aku mungkin tidak akan sempat untuk bertemu kedua orang tuamu," ucap Vicky begitu mereka berdua duduk. "Tidak apa-apa," balas Vanya sambil tersenyum. "Bagaimana dengan urusanmu, apa sudah selesai?" sambung Vanya. Vicky menoleh ke arah Vanya dan berkata, "Iya, setelah ini kami berencana kembali ke Jakarta," jawabnya. Mendengar hal itu membuat Vanya tidak dapat menutupi kesedihannya. Rasanya dia belum siap untuk berpisah secepat ini dengan Vicky. Wajah Vanya yang seperti ini membuatnya benar-benar terpesona, "Hmm, mempesona..." batinnya. "Vanya...," panggilVicky lalu meraih tangan Vanya, memegangnya dengan lembut. Vanya yang sedang melamun, cukup terkejut dan menoleh ke arah Vicky, “Ya? Ada apa – Euhm…” wanita cantik itu tidak lagi melanjutkan pertanyaan. Dia terkejut saat bibir Vicky sudah menyentuh bibirnya. Vanya terdiam dan membelalak, jantung berdegup begitu cepat. Tetapi sesaat Vicky membuka mulutnya dan memperdalam ciumannya. Vanya menutup mata, menikmati setiap lumatan lembut yang di berikan Vicky. Tangannya naik menggenggam lengan Vicky. Sedangkan tangan Vicky sudah memegang lembut pipi Vanya. “Euhm…” suara ciuman dan decapan terdengar begitu memabukkan. Vanya yang tidak pernah berciuman sama sekali hanya diam dan mengikuti apa yang di lakukan Vicky. Vanya dapat merasakan bibir Vicky yang begitu lembut terus menyesap bibirnya, kepala mereka bergantian kiri dan kanan, Vicky benar-benar begitu mendominasi. Sekitar dua menit mereka berciuman tiada henti, hingga Vicky melepaskan ciuman itu dengan begitu perlahan, dan suara desahan kecil dari Vanya terdengar, “Ah…” Vanya yang tersadar akan hal itu menjadi malu, wajahnya benar-benar merona merah. Kenapa sampai ada suara memalukan seperti itu keluar darinya. Wanita cantik itu menoleh, tidak ingin melihat wajah Vicky. Vicky tersenyum melihatVanya dengan wajah tersipu. Vicky sendiri sebenarnya sudah siap jika Vanya akan menamparnya seperti Eddy. Beruntungnya Vanya tidak menampar wajahnya saat ini. Entah kenapa dia tidak bisa menahan diri saat melihat Vanya. Bibirnya yang ranum terlihat begitu cantik dan sangat menggoda. Sehingga dirinya sendiri ikut kehilangan akal berani menciumi wanita yang baru bertemu dua kali ini. "Kamu sangat cantik, Vanya" ucap Vicky pelan. Ucapan Vicky berhasil membuat Vanya kembali merona. "Terima kasih," balas Vanya yang masih enggan melihat ke arah Vicky. "Ahh... sangat menggemaskan..." gumam Vicky dalam hati memuji wanita cantik di depannya ini. Vicky menarik napas dalam dan tersenyum, pria itu meraih tangan Vanya. “Ayo, kita berdua sudah cukup lama kita berada di sini. Aku tidak ingin membuat Ayah dan Ibumu khawatir.” Ucap Vicky dan berdiri. Vanya mengangguk dan ikut berdiri, mengikuti langkah kaki Vicky. Mereka berjalan beriringan dengan tangan saling berpegangan. "Vanya?" Vicky memanggil nama wanita cantik yang ada di sisinya saat mereka sudah berada di depan pintu rumah sakit. "Iya?" jawab Vanya dengan singkat. “Kita sudah tiba,” ucap Vicky lembut sambil meunjuk ke arah pintu rumah sakit. “Ah iya,” Mereka berdua pun saling berhadapan, Vicky lalu mengusap lembut puncak kepala Vanya dan berkata. "Vanya... Happy Birthday." Deg!! "Te... terima kasih Vicky," jawabnya dengan rasa campur aduk. Malam ini, dirinya merasa benar-benar bahagia. Dari arah parkiran, terlihat Barry berjalan menghampiri Vanya dan Vicky. "Nona Vanya, ini jaket anda," ucap Barry seraya menyerahkan jaket yang berada di tangannya kepada Vanya. "Terima kasih Pak Barry," balas Vanya, lembut. Setelah menyerahkan jaket tersebut, Barry langsung kembali menuju parkiran mobil. Sedangkan Vanya sendiri masih belum berani menatap wajah Vicky. Dia masih merasa gugup dan malu karena kejadian di taman tadi. Kepalanya terus melihat ke arah bawah atau ke arah lain selain wajah Vicky. "Vanya, apa kamu marah padaku?" Vanya seketika mendongak melihat Vicky, "Tidak Vicky! Aku...." Vanya bingung harus berkata apa. "Jadi, apa kamu tidak suka dengan ciuman yang aku berikan padamu?" Vicky kembali bertanya kepada Vanya dengan rasa penasaran, dia tidak ingin meninggalkan kesan yang tidak baik kepada wanita cantik ini. "Tentu saja aku menyukainya," sahut Vanya cepat. "Ahh...." Seketika Vanya langsung membekap mulutnya, "Dasar... mulut bodoh!" batin Vanya mengumpat kecerobohannya. Vicky tersenyum mendengar jawaban spontan dari Vanya dan kembali mengusap lembut puncak kepala Vanya. Dia merasa lega dan bahagia. Kemudian dia menunduk, mendekatkan wajahnya lalu berbisik, “Aku juga sangat menyukainya.” Blush! Wajah Vanya terasa memanas dan menjadi salah tingkah. "Kalau begitu aku mohon pamit, sampaikan salamku kepada kedua orang tuamu," ucap Vicky lalu berbalik menuju pelataran parkir. "Vicky, tunggu!" Vanya menarik lengan jas yang dikenakan Vicky membuat langkah pria itu terhenti dan kembali melihat ke arah Vanya, “Ya?” sahutnya. "Terima kasih untuk semuanya," sambung Vanya dengan senyuman manisnya. "Sama-sama Cantik," balas Vicky sambil mengelus pipi Vanya lembut. Kemudian pria itu benar-benar melangkah pergi meninggalkan Vanya yang masih menatap punggungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD