BAB TUJUH

2856 Words
Clyde terus memacu kudanya agar berlari cepat karena malam semakin larut dan udara pun terasa begitu dingin hingga menusuk ke tulang. Kondisi gadis di belakangnya yang tidak dia ketahui namanya menjadi alasan Clyde merasa sangat khawatir sekarang. Walau bagaimana pun dia berpikir gadis itu jadi terluka parah demi menyelamatkannya dari tiga perompak yang nyaris merampoknya. Clyde serius saat dia mengatakan akan membalas budi pada si gadis misterius.  Selama perjalanan itu tak ada yang bersuara, baik Clyde maupun Ivy sama-sama tak berbicara barang sepatah kata pun. Clyde sedang melamun sekarang, memikirkan kemana dirinya harus pergi setelah mengantarkan gadis itu ke padepokan tempat tinggalnya. Bisa dikatakan Clyde begitu gegabah karena meninggalkan istana tanpa tahu kemana tujuannya pergi. Walau ada beberapa tempat peristirahatan milik kerajaan berupa kastil dan mansion mewah di daerah lain, tak mungkin Clyde bisa pergi ke sana karena sama saja pelariannya dari istana akan berakhir sia-sia jika dia mendatangi salah satu dari tempat itu. Alasan Clyde kabur dari istana tentunya karena dia tak mau keberadaannya diketahui oleh pihak kerajaan terutama ayahnya.  Semua ini bisa terjadi bukan tanpa alasan. Clyde memutuskan lari dari istana karena dia tidak mau dijodohkan dengan Putri Lilian yang merupakan keponakan Ratu Nataya, ibu tiri Clyde sekaligus istri kesayangan sang raja yang tidak lain merupakan ayah Clyde.  Sebagai putra mahkota, tentunya Clyde tahu menikah tanpa cinta merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Dia harus menerima perjodohan demi kepentingan kerajaan tapi tetap saja menikahi Lilian bukan sesuatu yang ada di dalam kamus hidupnya. Clyde sama sekali tidak menyukai gadis manja yang glamour itu. Memang wajahnya cantik dan dia cukup anggun, tapi Lilian jelas bukan tipe wanita idaman Clyde. Bicara soal wanita idaman, Clyde jadi teringat pada wanita misterius di belakangnya yang sungguh luar biasa. Meski wanita dan sedang terluka parah, dia bisa memukul mundur ketiga perompak itu. Saat Ivy terlibat pertarungan, diam-diam Clyde memperhatikan dan dia begitu terpukau dengan kehebatan bela diri serta ilmu berpedang Ivy, membuat Clyde sekarang begitu ingin mengetahui nama si gadis yang begitu angkuh karena tak mau berkenalan dengannya saat Clyde mengenalkan diri.  “Huh, andai dia tahu siapa aku. Aku yakin dia akan bertekuk lutut di bawah kakiku,” gumam Clyde, tentu saja hanya di dalam hati karena tak mungkin dia berani mengatakannya secara langsung.  Clyde yang sedang melamun karena membayangkan kembali pertarungan Ivy dengan ketiga perompak, tersentak kaget saat merasakan sesuatu yang keras menabrak punggungnya, Clyde menerka itu pasti kepala si gadis yang duduk di belakangnya.  “Nona, kau baik-baik saja, kan? Padepokannya masih jauh tidak?” tanya Clyde.  Namun dia tak mendapat respon apa pun dari Ivy, Clyde mengernyitkan dahi, bingung karena si gadis tak merespon pertanyaannya.  “Nona, anda baik-baik saja, kan?” Pria itu pun kembali bertanya.  Kembali untuk kedua kalinya dia tak mendapat respon apa pun dari Ivy. Karena mulai mengkhawatirkan kondisi si gadis, Clyde pun menghentikan laju kuda.  “Nona, Nona. Kau kenapa?”  Ketiga kalinya tak mendapatkan respon, Clyde yakin sesuatu yang buruk telah menimpa gadis asing yang tak dia ketahui namanya itu. Dia pun menoleh ke belakang dan benar saja dia mendapati kedua mata Ivy terpejam sempurna, entah gadis itu tertidur atau kehilangan kesadaran, yang pasti Clyde mulai khawatir.  Clyde menahan tubuh Ivy yang terkulai lemas sehingga jatuh menimpanya, beruntung dia menghentikan laju kuda jika tidak maka Ivy pasti akan terjatuh karena gadis itu rupanya bukan sedang tidur, melainkan tak sadarkan diri karena terlalu banyak kehilangan darah akibat luka di pinggangnya.  “Ck, apa yang harus aku lakukan? Mana aku sedang berada di tempat sepi seperti ini.” Clyde menggerutu sembari menggulirkan mata mencari tempat yang bisa dia gunakan untuk beristirahat.  Sejauh mata memandang, Clyde tak menemukan apa pun selain jalanan sepi dengan banyak pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan, dia bergidik ngeri, seumur hidupnya baru sekarang berada di tempat yang mencekam seperti ini di malam hari karena biasanya tentu saja dia sedang tidur nyaman di kasurnya yang empuk di dalam istana di jam-jam malam seperti ini.  “Aku lanjutkan saja perjalanannya. Siapa tahu di depan ada rumah.”  Clyde sudah mengambil keputusan, sambil menahan tubuh Ivy agar tak terjatuh dari punggung kuda dengan satu tangan, Clyde melompat turun. Dia lalu kembali naik namun dalam posisi bertukar tempat duduk. Kini dia duduk di belakang, memacu kuda agar kembali berlari sembari memeluk Ivy yang duduk terkulai di depan.  “Bertahanlah, Nona. Aku akan menolongmu,” kata Clyde, mengajak Ivy berbicara padahal tahu gadis itu tak mungkin mendengar apalagi meresponnya.  Clyde terus memacu kuda sambil menggulirkan mata menatap sekeliling, cukup lama kuda itu berlari hingga membawa Clyde dan Ivy melewati sebuah gubuk di pinggir jalan yang sepertinya tak berpenghuni.  “Aku istirahat di gubuk itu saja.”  Clyde pun menghentikan laju kuda tepat di depan gubuk yang sepi dan terlihat atapnya mulai b****k. Mungkin jika turun hujan, atap itu tak akan mampu melindungi dari air hujan. Beruntung malam itu cuacanya sedang cerah sehingga beristirahat sejenak di gubuk itu merupakan keputusan yang tepat menurut Clyde.  Pria itu turun dari kuda lalu menggendong Ivy dengan memanggulnya di bahu seolah gadis itu sebuah karung beras.  “Adududuuduh, berat sekali gadis ini.”  Clyde berlari karena sadar dia tak akan sanggup bertahan membawa Ivy jika hanya berjalan biasa. Dia pun membaringkan Ivy dengan perlahan di lantai begitu masuk ke dalam gubuk.  Menggunakan punggung tangannya, Clyde menyeka keringat di pelipisnya yang bermunculan hanya karena memanggul gadis asing yang tak sadarkan diri itu.  “Sekarang aku harus bagaimana?”  Clyde kebingungan karena dia tak pernah terjebak dalam situasi seperti ini sebelumnya. Namun, melihat kondisi Ivy yang bercucuran keringat, dia tahu gadis itu tidak baik-baik saja. Untuk memastikan hal tersebut, Clyde pun memeriksa suhu tubuh Ivy dengan meletakan punggung tangannya di kening gadis itu. Seketika Clyde terbelalak, bisa dia rasakan betapa panas suhu tubuh Ivy.  “Sial, dia demam. Ini pasti efek dari luka di pinggangnya.”  Clyde semakin panik, tapi dia ingat ada obat di dalam tas yang sudah disiapkan ajudan tak bergunanya sebelum dia melarikan diri. Clyde sendiri yang meminta pada Bundy untuk menyiapkan obat-obatan yang biasa digunakan anggota keluarga kerajaan jika terluka atau sedang sakit sebagai bentuk antisipasi semisal selama pelariannya dia akan membutuhkan obat-obatan itu. Siapa sangka obat-obatan yang dia bawa kini bisa berguna untuk menyelamatkan nyawa penolongnya. Ya, bagi Clyde, Ivy merupakan gadis penyelamatnya yang jasa-jasanya karena sudah menyelamatkan dirinya dari ketiga perompak, tak akan pernah dia lupakan dan suatu hari akan dia balas. Untuk pertolongannya ini tak bisa disamakan dengan balas budi karena bagi Clyde tindakannya ini tidak lain sebagai bentuk tanggungjawab karena Ivy bisa terluka parah akibat bertarung dengan ketiga perompak.  “Ah, ketemu. Ini dia obatnya,” ucap Clyde sembari memasang raut sumringah karena setelah mencari di dalam tas kain, akhirnya dia menemukan obat penurun demam yang dia butuhkan.  Obat itu berbentuk pil berukuran cukup besar. Yang jadi pertanyaannya, bagaimana Ivy bisa meminum obat itu di saat dia sedang tak sadarkan diri?  Clyde berdecak, “Isssshhh, bagaimana caranya gadis ini bisa meminum obatnya? Dia sedang pingsan sedangkan ukuran obat ini lumayan besar.”  Clyde menelisik pil dalam genggaman tangannya, dilihat dari sudut mana pun Ivy tak mungkin sanggup meminumnya dalam kondisi tak sadarkan diri seperti ini.  “Oh, iya. Kalau ada air ceritanya akan berbeda. Air bisa membantu obat ini masuk ke tenggorokannya.”  Clyde kembali memasang senyum sumringah karena merasa dia menemukan jalan keluar. Dia pun mengambil tas kain miliknya yang tergeletak di lantai, berharap bisa menemukan air di dalam, nyatanya yang didapatkan Clyde adalah harapannya yang kandas. Tak ada air di dalam tas itu.  “Dasar ajudan tidak berguna. Dia membawakanku makanan, obat-obatan, pakaian dan uang. Tapi air … setetes pun dia tidak menyiapkan air untukku. Bagaimana ceritanya jika aku haus? Jika kembali ke istana pasti aku hukum ajudan payah itu,” gerutu Clyde, jika dipikir-pikir alasan dia selalu menyebut ajudannya tak berguna karena memang seperti itu kenyataannya. Bundy nama sang ajudan, memang merupakan orang yang terlalu sering membuat Clyde kecewa dengan berbagai kesalahan yang dilakukan pria bertubuh gemuk dan gempal itu. Satu hal yang membuatnya heran kenapa ayahnya justru memilih pria seperti itu yang menjadi ajudannya. Ya, walau sering dikecewakan, Clyde tak memungkiri di dalam istana ajudannya itu yang paling dekat dengannya karena selalu menemaninya kemana pun dia pergi.  “Ck, bagaimana cara meminumkan obat ini, air saja tidak ada?”  Tiada henti Clyde berdecak jengkel. Dia menggulirkan mata ke sekeliling gubuk yang dia singgahi, berharap menemukan air di sana. Clyde pun bangkit berdiri, bukan hanya di dalam gubuk yang dia periksa tapi di luar dan sekeliling gubuk pun ikut dia periksa berharap dia bisa menemukan kamar mandi atau sumur berisi air pun tak mengapa. Sayang seribu sayang, yang ditemukan Clyde lagi-lagi harapannya yang kandas. Tak ada sumber air di sana. Jangankan sumur bahkan kamar mandi yang terletak di luar gubuk pun ternyata sudah tak ada air lagi. Sepertinya gubuk itu memang sudah sangat lama ditinggalkan penghuninya.  Tak mendapatkan air setetes pun, Clyde kembali masuk ke dalam gubuk. Dia melihat kondisi Ivy yang semakin mengkhawatirkan karena tubuh gadis itu pun mulai menggigil seolah kedinginan padahal suhu tubuhnya panas. Dia sedang demam tinggi.  “Hanya ada satu cara untuk menyelamatkannya.”  Kini satu cara gila terngiang-ngiang di dalam kepala Clyde. Ya, tak ada cara lain. Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan gadis penolongnya. Lagi pula dia menyadari harus secepatnya melakukan tindakan dengan memasukan obat itu ke dalam tubuh Ivy jika ingin menyelamatkannya.  Demi bisa menyelamatkan Ivy, Clyde pun tak peduli lagi dengan tindakan nekatnya ini. Dia memasukan pil berukuran besar itu ke dalam mulutnya, meringis saat merasakan pahit yang begitu pekat di dalam mulut, Clyde tetap memaksakan diri mengunyahnya hingga pil itu pun hancur menjadi serbuk.  Sempat merasa ragu, Clyde akhirnya memberanikan diri mendekatkan wajah pada wajah Ivy yang masih tak sadarkan diri. Kedua mata gadis itu masih terpejam erat dan tubuhnya pun masih menggigil dengan hebat. Sedangkan hawa panas pada tubuhnya bahkan bisa dirasakan oleh Clyde saat berada dalam jarak sedekat ini dengat wajah Ivy.  Clyde memegang wajah Ivy dengan salah satu telapak tangannya, lalu menekan kedua pipi sehingga mulut Ivy kini mengerucut dan terbuka. Saat itulah Clyde memanfaatkan celah pada mulut Ivy yang terbuka dengan menempelkan bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk memindahkan serbuk obat di dalam mulutnya agar berpindah ke dalam mulut Ivy. Serbuk obat itu bercampur dengan air liur Clyde sehinga hanya perlu menengadahkan kepala Ivy maka obat itu pun sukses mengalir ke tenggorokan Ivy.  Clyde mengembuskan napas lega, meski tindakannya terkesan nekat dan menjijikan tapi hanya itu cara yang terpikirkan olehnya bisa menyelamatkan Ivy.  “Dia pasti selamat. Hanya perlu menunggu obatnya bereaksi,” kata Clyde sembari menyeka bibirnya yang basah dengan punggung tangan. Tiba-tiba saja gerakan punggung tangannya yang sedang menyeka bibirnya yang basah pun terhenti ketika Clyde baru saja menyadari sesuatu.  “T-Tunggu. Berarti barusan itu aku berciuman dengan gadis ini.” Clyde membekap mulut dengan telapak tangannya sendiri, baru sadar bahwa tindakannya untuk menyelamatkan Ivy barusan bisa dikatakan merupakan sebuah ciuman.  “Hah, padahal itu ciuman pertamaku. Kenapa aku harus melakukannya dengan gadis ini?”  Tatapan Clyde kini tertuju pada wajah Ivy yang masih berkeringat dan memejamkan mata. Seulas senyum tiba-tiba terulas di bibir Clyde yang cukup tebal. “Tapi dia cantik juga. Tidak apa-apa, tidak rugi juga ciuman pertamaku dilakukan dengannya. Toh, wajahnya cantik, tidak buruk rupa.”  Clyde pun tertawa, kini tak mau ambil pusing lagi dengan ciuman pertamanya yang dilakukan dengan seorang gadis asing yang bahkan belum dia ketahui namanya.  Clyde berniat menjauh pada awalnya, tapi saat sekali lagi menatap Ivy yang terbaring lemah di lantai, dia menyadari pakaian yang dikenakan gadis itu basah kuyup oleh keringat.  “Dia bisa masuk angin kalau tidur mengenakan pakaian basah seperti ini,” gumam Clyde, lagi-lagi menyadari kondisi si gadis berada dalam bahaya jika dia tak membantunya.  “Bajunya harus diganti. Oh, iya. Di tasku kan banyak pakaian.”  Dengan gesit, Clyde mengeluarkan semua pakaian yang disiapkan Bundy di dalam tas untuk pakaian gantinya. Memilah-milah pakaian mana yang sekiranya bisa dikenakan Ivy karena tentu saja ukuran pakaiannya pasti akan kebesaran jika dipakai di tubuh Ivy. Pilihan Clyde pun jatuh pada sebuah kemeja berwarna putih.  “Aku pakaikan kemeja ini saja. Walau kebesaran tapi masih layak dipakai seorang gadis.”  Clyde menganggukan kepala karena yakin pilihannya sudah benar. Saat dia hendak memakaikan kemeja itu di tubuh Ivy, Clyde tertegun ketika menyadari sesuatu.  “Tunggu, tunggu. Berarti aku harus melepaskan pakaian basahnya ini dulu kan sekarang?”  Clyde meneguk ludah, membayangkan dirinya harus melepas pakaian seorang gadis, jelas seumur hidupnya dia tak pernah terjebak dalam situasi seperti itu. Hei, Clyde itu seorang putra mahkota yang sejak anak-anak sudah diajarkan tatakrama dan sopan santun di dalam istana. Lagi pula terlalu sibuk mempelajari peraturan, undang-undang kerajaan serta struktur pemerintahan membuat Clyde tak memiliki waktu untuk berdekatan dengan gadis mana pun karena itu pengalamannya dengan seorang gadis begitu minim bahkan bisa dikatakan nol besar. Jadi sangat wajar jika pria itu kini panik bukan main.  “Bagaimana ini? Masa aku harus melepaskan pakaiannya? Nanti aku lihat tubuh telanjangnya kalau begitu.”  Clyde menggeleng-gelengkan kepala, sangat yakin dia tak akan sanggup melihat tubuh seorang wanita tanpa tertutupi sehelai benang pun.  Awalnya, Clyde berniat mengurungkan niat baiknya untuk memakaikan kemeja pada tubuh Ivy karena dia tak memiliki nyali untuk melepaskan pakaian gadis itu yang basah kuyup. Namun, melihat tubuh Ivy kembali menggigil, dia pun tak tega membiarkan gadis itu semalaman ini tidur di lantai dengan mengenakan pakaian basah kuyup oleh keringat.  Clyde menggaruk kepalanya yang tak gatal sebagai bentuk ekspresi pria itu sedang kebingungan sekaligus merasa tak memiliki pilihan selain membantu Ivy karena dia tak tega.  “Aku harus mengganti pakaiannya. Bisa-bisa kondisinya semakin parah kalau dia kedinginan.”  Menghela napas panjang berulang kali, akhirnya Clyde pun nekat melepaskan satu demi satu pakaian yang melekat di tubuh Ivy sehingga kini hanya menyisakan bra dan celana dalamnya saja.  Clyde meneguk ludah dengan kedua bola mata yang tak bisa berpaling sedikit pun dari kulit mulus Ivy yang kini terpampang di depan matanya. Selain itu, dua gundukan yang menonjol dari balik bra sukses membuat sesuatu yang tak pernah dia rasakan pada tubuhnya, untuk pertama kalinya dia rasakan sebagai seorang pria normal.  Tangan kanan Clyde tiba-tiba terulur, ada gelenyar aneh di dalam hatinya untuk menyentuh dua gundukan yang tampak menggoda dan membuat hasratnya naik ke permukaan. Di detik dirinya nyaris mendaratkan tangan kanan di p******a Ivy yang menyembul menggoda …  “Dingin.”  Clyde terkesiap begitu suara pelan Ivy meluncur dari mulutnya yang terlihat pucat. Seketika Clyde gelagapan karena berpikir Ivy sudah kembali sadar dan dirinya tertangkap basah nyaris melakukan tindakan tak senonoh pada gadis itu.  “J-Jangan salah paham. Aku hanya ingin menolongmu. Pakaianmu basah jadi aku pikir harus menggantinya. Aku tidak punya niat buruk. Kau jangan salah paham ya. Aku tidak …”  “Dingin.”  Suara Ivy kembali terdengar, Clyde pun menghentikan ocehannya dan baru sadar bahwa Ivy hanya sedang mengigau. Detik itu juga Clyde mengembuskan napas lega, “Ternyata hanya mengigau,” gumamnya, lega bukan main.  Kendati demikian Clyde harus bersyukur karena berkat Ivy yang mengigau, dia berhasil tersadar kembali dari dirinya yang nyaris dikendalikan hasrat bajingannya sebagai seorang pria normal. Kini dia bisa lebih tenang dan dengan gerakan cepat memakaikan kemeja ke tubuh Ivy. Bra dan celana dalam gadis itu meski basah kuyup oleh keringat, dia biarkan tetap melekat di tubuh si gadis karena dia tak memiliki nyali sampai pada tahap melucuti semua pakaian seorang gadis yang sedang tak sadarkan diri.  Clyde pikir tugasnya sudah selesai. Dia sudah memberikan obat serta sudah memakaikan pakaian baru pada Ivy. Gadis itu pasti baik-baik saja sekarang. Akan tetapi …  “Dingin.”  Gadis itu kembali mengigau, tubuhnya pun terlihat kembali menggigil. Clyde terdiam melihatnya. “Kenapa masih kedinginan padahal aku sudah memakaikan kemeja kering di tubuhnya? Bajunya yang basah juga sudah aku lepas.”  Tak tega melihat tubuh Ivy yang semakin menggigil hebat karena kedinginan, Clyde sadar lagi-lagi dia harus melakukan sesuatu.  “Andai saja di sini ada penghangat ruangan atau tempat perapian. Apa yang harus aku lakukan untuk menghangatkan tubuhnya?”  Clyde menggulirkan mata menatap sekeliling untuk mencari benda apa pun yang bisa memberikan kehangatan untuk tubuh Ivy. Selimut pun tak mengapa karena benda itu pasti bisa membuat Ivy merasa hangat. Sayangnya nihil, Clyde menemukan di dalam gubuk kosong, tak ada benda apa pun yang bisa dia gunakan. Kini yang tersisa hanya dirinya seorang.  Untuk kesekian kalinya dia menatap wajah Ivy yang terlihat pucat mungkin karena obat belum sepenuhnya bereaksi. Tubuhnya yang masih menggigil serta mulutnya yang terus mengigau membuat Clyde benar-benar merasa iba sehingga tak memiliki pilihan selain melakukan tindakan nekat untuk ketiga kalinya.  “Maaf ya. Tapi aku melakukan ini tulus karena aku ingin menghangatkan tubuhmu saja agar tidak kedinginan.”  Setelah bicara demikian seolah Ivy bisa mendengarnya, Clyde pun membaringkan tubuh di samping Ivy. Dia menarik tubuh Ivy agar merapat padanya lalu membenamkan tubuh mungil yang tiada henti menggigil kedinginan itu di dalam dekapan hangatnya. Clyde mengembuskan napas lega dikala perlahan tapi pasti tubuh Ivy akhirnya berhenti menggigil. Sepertinya usahanya ini membuahkan hasil yang memuaskan, dia berhasil membuat Ivy merasa hangat.  “Aku juga mulai mengantuk. Aku tidur saja.”  Clyde memejamkan mata, tak sulit baginya untuk jatuh tertidur tanpa memikirkan konsekuensi apa yang akan dia hadapi jika besok pagi Ivy terbangun dan mendapati mereka tidur dalam posisi berpelukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD