Kok Bisa?

1145 Words
Fariz memasuki kediaman keluarga Gendala dengan santai, dari kejauhan sih tampaknya situasi masih tentram, tapi tidak setelah ia menginjakkan kaki di pintu rumah yang terbuka lebar. Gendang telinganya harus tercemar oleh teriakan nyonya besar rumah ini. "Jaetaaaaaa!! Udah dibangunin dari tadi terus sekarang nyalahin mama karena telat!?" Dan setelah itu diikuti oleh suara ribut tidak jelas yang datangnya entah dari mana. "Ya tuhan! Kalau keluar pakai bajunya dulu!!" dan kali ini sudah jelas dari wanita paling jutek di rumah ini. Fariz menahan kakinya tetap di pintu masuk mendengarkan kericuhan di rumah yang ia sambangi ini, dan sekarang ia bisa melihat pria yang dari tadi menjadi dalang keributan berjalan kearahnya dengan telanjang d**a. "Mau ngapain nih? Bukannya kamu bilang ada kuliah?" tanya Fariz pada Jaeta yang mengambil sesuatu di atas meja ruang tamu sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. "Iya nih telat, mana Camilla Cabello belum di panasin lagi, kak bantuin dong," "Yaudah sini mana?" Dan Jaeta berlari ke kamarnya dan keluar lagi sambil melempar kunci motor miliknya, "tolong panasin pacar aku ya kak, makasih," dan ia hilang lagi entah kemana. Sungguh manusia ajaib. Fariz tertawa sambil berjalan keluar membantu Jaeta memanaskan 'pacar'nya itu. Panggil saja Camilla Cabello.., motor kesayangan Jaeta yang selalu menemaninya kelayapan kemanapun itu. Setelah mengeluarkan dari garasi dan memanaskannya, Fariz kembali berjalan masuk dan kebetulan bertemu Juan yang juga akan masuk setelah tampak dari arah luar. "Pagi om!" sapa Fariz mendekat sambil berjalan beriringan. "Udah disini aja? Nggak ke kantor?" "Iya, tapi ada urusan dulu, sekalian barengan Talya aja, searah sama rumah sakit," terang Fariz dan mereka kini sudah masuk ke dalam rumah. "Dengar-dengar kamu baru aja naik jabatan ya?" Fariz tertawa kecil, "kebetulan iya nih om," mereka duduk di ruang tamu yang mana Talya juga disana sedang memakai sepatu. "Mantap tuh, nggak kayak Kak Talya yang masih magang aja," cerocos Jaeta ikut nimbrung juga akan memakai sepatunya dengan kecepatan yang luat biasa. "Jangan ikut ngomong kalau ngerjain tugas kuliah aja belum bener, kamu pikir jadi dokter itu gampang?" balas Talya kesal seraya menginjak kaki Jaeta dengan wedges yang ia kenakan. "Lah iya mana ada dokter garang kek begini??" ledek Jaeta berdiri menyandang tasnya, "makasih ya kak udah manasin, semuanya aku pergi dulu," ia menyambar kunci motor diatas meja dan menghilang diiringi bunyi motor, kecepatan yang patut dibanggakan. "Bantuin kerja di tempat om aja, om pasti bakalan senang," tawar Juan pada Fariz yang juga sudah ikut berdiri karena bersiap pergi juga dengan Talya. "Hahahah, tungguin aku sah jadi menantu om aja dulu," balas Fariz yang membuat Talya membelalak sedangkan Juan tertawa. "Menantu papa? Siapa yang mau nikah sama kamu?" sanggah Talya dengan ganasnya. "Emang harus sama kamu?" "Lah terus? Sama Jaeta?" "Boleh juga, biar ikutan hits kayak Jaeta," kelakar Fariz yang membuat Talya menggeleng tak percaya. "Nggak malu apa ngomong depan papa?" Talya mengingatkan. Juan hanya tertawa mendengar pertikaian dua orang muda dihadapannya, "yaudah kalian hati-hati, papa juga mau pergi," "Aku pergi dulu pa," pamit Talya mencium tangan papanya, "maa!!! aku berangkat yaaa!!!" dan disusul teriakan untuk pamit pada mamanya. "Iyaaaaa!!!" dan itu balasan samar-samar dari arah belakang. "Permisi om..," *** "Aku pulaaaannnngggg!" suara keras itu memecahkan keheningan rumah. Dan dengan gaya serampangannya seorang gadis melemparkan sepatunya asal ke rak sepatu, ia berjalan ke depan televisi melemparkan tasnya di sofa lalu masih dengan seragam sekolahnya mencari channel televisi yang bagus, jarinya terus bergerak di atas remote. Dan ia mulai menikmati siaran kartun yang tayang siang ini sambil membuka minuman dingin yang sempat ia beli diperjalanan pulang. "Hum..., jadi gini kelakuan anak gadis papi kalau pulang sekolah," ujar seorang pria yang ternyata sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Lea. "Woah!? Astaga papi, aku kaget banget sumpah," gadis berambut sepunggung itu mengusap dadanya. "Sepatunya di lempar sembarangan di rak-rak, tasnya dimana, seragamnya nggak diganti, duduknya juga berantakan banget," tutur Tama duduk diatas sofa sambil meletakkan tas Lea dengan posisi yang lebih baik. Gadis yang duduk diatas karpet hanya cengengesan, "tumben banget papi di rumah siang-siang begini, mami mana?" "Iya, papi lagi malas ke kantor aja. Mami kamu lagi keluar beli bahan dapur katanya," Dahi Lea mengerut heran mendengar jawaban papinya itu, "malas? Langka banget nih papi ngomong gitu, kalau mami yang ngomong mah bakalan biasa aja, papi sakit ya?" Tama tertawa, "nggak kok, bagaimanapun papi kan juga manusia, masuk gih sana ganti baju dulu, anak gadis nggak boleh serampangan begini," Tama menyerahkan tas berwarna abu-abu milik Lea agar membawanya masuk ke dalam kamar. "Oke papikuuuuuu," Dan tak lama setelah itu Lea keluar dengan celana pendek dan baju kaos putih, rambutnya di ikat sambil memainkan ponselnya. Ia duduk diatas sofa sambil bersandar di samping papinya, namun matanya masih fokus pada ponsel ditangan. "Udah makan?" "Nanti deh, belum lapar," jawab Lea pendek. "Hari ini pulangnya cepat ya, Lio mana? Kok belum pulang?" tanya Tama heran belum melihat anak sulungnya. Lea melempar ponselnya diatas meja karena tak berniat menjauh dari papinya yang menjadi senderannya, "tadi katanya mau mampir ke tempat kang cendol," "Mau beli cendol?" "Biasalah pi, dia kan suka banget nemenin kang cendol, kang batagor, kang bakso, kang sate biar nantinya pulang dapat gratisan," terang Lea mengenai tingkah kembarannya itu yang bisa dibilang luar biasa aneh. "Eh? Seriusan? Kamu kenapa nggak ikutan?" "Ya kali pi aku ngikut nyusahin akang-akang yang jualan, cukup Lio aja deh," Tama tertawa sambil mengusap puncak kepala putrinya, "besok-besok bilangin Lio, kasihan akang-akangya..," "Susah pi, susah ngomong sama manusia alien macam Lio," "Mulutnya, gimanapun dia abang kamu, mana kembaran lagi," "Ya syukur deh isi kepala aku nggak kembar juga ama dia pi," dan Lea tertawa diikuti Tama yang gemas melihat anaknya sendiri. "Pi.., kok papi bisa sampai sama mami sih?" Lea membuka pembicaraan baru sambil sedikit mendongak untuk melihat wajah papinya. "Eh? Kok nanya nya tiba-tiba?" lirik Tama pada Lea yang masih saja menyender di lengannya. "Ya penasaran aja, aku denger papi itu dulunya suka sama tante Jeni, bukan sama mami," Tama terkejut mendengar Lea, "tahu darimana?" "Um..., rahasia dong, yang jelas sumbernya cukup terpercaya. Emang bener ya pi?" Lea bangkit sambil menaikkan kakinya keatas sofa untuk duduk bersila, menghadapkan tubuhnya pada Tama seutuhnya. "Udah ah, ceritanya udah lama banget," elak Tama enggan. "Duh papi cerita dong, lagian cuma cerita ke aku aja kok," mohon Lea karena ia begitu penasaran dengan kisah papi dan maminya. "Siapa yang bisa jamin kalau mulut kamu yang bawel itu nggak nyebarin ke orang lain?" "Lah si papi prasangka buruk ama anak sendiri, nggak baik loh, nanti tambah ganteng," sungut Lea sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang membuat Tama gemas sendiri, kalau sudah seperti ini dia mirip sekali dengan maminya, Karin. "Iya deh, papi nggak mau tambah ganteng," "Nah itu bagus, kasihan Lio keliatan tambah jelek kalau papi makin ganteng. Yaudah cerita dong, kok bisa papi nikah sama mami," Tama menggaruk tengkuknya bingung, "duh, gimana ceritanya ya? Susah juga kalau di ceritain," "Santai aja, anggap aja papi lagi presentase didepan pemegang saham, aku harus tahu nih selaku anak yang baik,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD