2. Cerita Waktu Itu

1718 Words
Lima tahun yang lalu. Sebuah mobil terparkir cantik di parkiran sekolah, dua sisi pintu depan mobil terbuka hampir bersamaan, seorang cowok keluar dari bagian pengemudi dan seorang cewek keluar dari bagian penumpang. "Vel, kamu yakin udah baikan?" Velyn, cewek itu menyeka keningnya yang berkeringat. "Aman, udah tenang aja," ujarnya mengibaskan tangannya pelan. "Rio!" Velyn dan Valerio sama-sama menoleh ke arah sumber suara, seorang cowok dengan headband berlari kecil ke arah mereka. "Kenapa lo?" "Lo liat bestie lo disana, masih pagi udah adu jotos aja tuh orang!" seru si cowok menunjuk ke arah belakangnya. Valerio merangkul bahu Velyn sembari memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. "Terus? Hubungannya sama gue? Biarin ajalah, mungkin dia mau olahraga pagi." "Hah? Gila lo, anak orang babak belur disana!" Valerio berdecak pelan. "Dilerai bisa, 'kan? Kenapa harus gue? Panggil satpam, selesai," ujarnya ringan, sengaja tak mengusik perkelahian temannya karena sudah diberi aba-aba kalau ia tak boleh ikut campur. "Samperin dulu lah, Val," ucap Velyn yang diangguki kuat oleh si cowok. "Bener tuh, yang bisa lerai ya cuma lo lah, tuh orang kan bringas banget!" Valerio tak menanggapi, ia melangkah menjauh membawa Velyn masuk ke lobby sekolah. Namun, ternyata Velyn menahan langkahnya. Ia mendongak menatap Valerio dengan sebelah alis terangkat. "Abian udah bilang aku gak boleh ikut campur, Sayang," ujar Valerio gemas. "Dia sama mereka punya masalah, jadi biar diselesaiin berdua, kita gak usah ikut campur." "Tapi ntar mereka--" "Sst!" Valerio meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. "Udah, biarin aja, sekarang kita masuk dulu. Inget kamu masih sakit, gak usah peduliin yang lain." Velyn mengangguk pasrah, susah untuk membantah Valerio kalau cowok itu sudah memaksa. Valerio dan Velyn tidak dalam satu kelas yang sama. Malah kelas mereka berada di gedung yang berbeda, ini dikarenakan jurusan mereka yang juga berbeda. Saat mereka menaiki undakan anak tangga, mereka dengan sangat kebetulan berpapasan dengan seorang cowok yang memiliki andil besar membuat hubungan Velyn dan Valerio berada di ambang kehancuran waktu itu. Velyn menarik bagian bawah kemeja putih Valerio ketika Valerio dengan terang-terangan menatap tajam si cowok yang sama sekali tidak melihat ke arah mereka. "Udah, kejadiannya udah lama, aku juga yang salah," tukas Velyn melirik si cowok sebentar. Valerio menunduk menatap Velyn intens. "Jangan sampai keulang, aku gak mau kamu kayak gitu lagi," perintahnya yang sebenarnya merujuk ke 'meminta'. "Iya-iya." Di ujung koridor, tepat didepan kelas Velyn berada, berdiri dua cewek yang menatap sinis ke arah Velyn. Mereka berbisik .... "Ada Valerio," kata yang berambut ikal. "Tunggu sampai Valerio pergi, gampang kan," sahut satunya lagi sambil melihat kuku-kukunya yang penuh kuteks. Dari jauh, Valerio dan Velyn sudah menyadari dua perempuan yang menjadi biang permasalahan waktu itu. Jujur saja, Valerio ingin sekali membentak atau melakukan sesuatu agar mereka tidak lagi mengganggu Velyn, hanya saja Velyn menahannya, membuatnya mengubur hasratnya itu. "Inget, kamu gak boleh terprovokasi, mereka cuma mau yang terburuk dari hubungan kita, kamu paham kan?" Valerio berbisik ketika mereka sudah sampai didepan kelas Velyn. "Iya, Val," jawab Velyn, ia tahu kekhawatiran Valerio kalau hal itu terjadi lagi, ia paham dan ia akan berusaha mengabaikannya. "Yauda aku duluan, ya," pamit Valerio dan mengusap rambut Velyn sebelum melangkah pergi dari sana. Velyn tahu kelemahannya. Entah kenapa ia mudah di provokasi oleh orang lain, seperti ada rasa di remehkan dan tidak ingin kalah. Rasa itu juga yang menjadi alasan jika ia sedang berdiri di tepi jurang. Kadang, Velyn sudah menyemangati dirinya sendiri. Namun, tak cukup karena pada akhirnya ia terjerumus dan menyesal. Hanya beberapa orang yang tahu akan kelemahannya dan cukup mengejutkan ketika dua cewek tadi tahu tentang hal ini lalu menjadikan s*****a utama untuk menyerangnya. Valerio pernah bilang, apapun kelemahan Velyn, kalau memang berniat untuk mengabaikan dan melupakan, ia pasti bisa. Hanya saja, tak semudah itu, Velyn harus berperang dengan egonya dalam waktu yang lama. Velyn merasa pusing kembali menyerang kepalanya. Mulut dan tenggorokannya terasa tak enak seperti ingin muntah. Mungkin ini karena kemarin ketika ia sakit, Valerio membawakannya makanan-makanan manis seperti yang ia minta. Velyn bangkit, ia akan ke kamar mandi. Namun, di koridor, ia di hadang dua perempuan tadi yang masih bersikeras memprovokasinya untuk yang kedua kalinya. "Mau apa? Gue gak bakal ladeni ucapan kalian, jadi minggir!" "Eh kita gak mau provokasi lo kok, cuma mau minta maaf." Berawal dari kata 'minta maaf', provokasi yang kedua mulai diluncurkan oleh mereka. Keuntungan pertama yang mereka dapat, ialah bersenang-senang. Kedua, sebagai pengagum Valerio, mereka tentu tidak suka cowok itu berpacaran dengan siapapun, termasuk Velyn. Sementara Velyn, kelemahan selalu memakan dirinya sendiri, ia berakhir di tempat yang sama lagi seperti waktu itu. Memang tidak ada hal begitu besar yang terjadi, hanya saja jika seseorang berbicara jika Velyn sudah selingkuh, maka ia benar. Sampai suatu ketika, seperti de javu alias kejadiannya terasa terulang. Valerio memergokinya lagi, ia merasa menyesal lagi, dan begitu terus. "Apa tadi, Vel?" Valerio berdiri didepan Velyn menatap pacarnya yang tertunduk. "Maaf," lirih Velyn. "Aku gak perlu maaf, Vel, aku cuma mau kamu berubah aja," ujar Valerio yang tidak dijawab Velyn. "Pantes akhir-akhir ini kamu berubah lagi, ternyata kejadian lagi, kan." "Berarti kamu nuduh--" "Tapi bener kan? Kamu selingkuh lagi, kan?" Valerio menyela. "Kamu pikir selingkuh itu keren, Vel? Kamu pikir setelah ini, kamu akan menang dari dua cewek itu? Kenapa memangnya kalau kamu ngerendah aja, gak papa kok kalau kamu gak ikutin omongan mereka." Ya, benar sekali. Velyn tak suka diremehkan, tak suka kalah, jikabia mampu, ia akan membuktikannya. Sayangnya seperti yang sudah-sudah, hal itu akan berdampak buruk pada sesuatu hal yang lain. "Kamu gak serius kan sama hubungan ini?" Valerio ingin mengakhirinya, dia lelah. Velyn diam sebentar sebelum membuka suara, "Tapi ini kelemahan aku, Val. Ini tuh susah buat di kontrol," ujarnya yang meminta pengertian. "Sesusah apa? Dan kamu gak bisa kontrol? Sesusah apapun kalau kamu mau pertahankan sesuatu, pasti bakal kamu lakuin, kan? Yang jadi masalah adalah kamu yang gak mau pertahanin, Vel," ujar Valerio masih dengan nada dan gestur tubuh yang tenang. "Seharusnya makin dewasa, kamu makin bisa kurangi ego, Vel." Valerio ingin sekali marah pada Velyn. Namun, ia tak bisa. Jadi ia hanya berbicara pelan, dan menurut Velyn, itu lebih menyakitkan. "Iya, aku childish," ujar Velyn. "Enggak, kamu gak childish. cuma kamu perlu melewati banyak hal supaya bisa lebih dewasa," ucap Valerio yang entah kenapa langsung tertancap di benak Velyn. "Yauda aku kan udah minta maaf." Velyn sedikit menaikkan nada bicaranya. "Kalau kamu jadi aku, kesalahan pertama aja mungkin kamu bakalam minta putus," gumam Valerio, ia menunduk sebentar sebelum menatap lurus ke mata Velyn. "Kayaknya hubungan kita sampai sini dulu, Vel. Nanti ketika kamu udah paham semuanya, mungkin kita bakal balikan." Velyn mengerjap pelan, seketika merasa dadanya tertimpa sesuatu yang berat, ia tak menyangka Valerio akan mengucapkan hal itu. "Val ...." Valerio tampak membuang wajahnya, enggan melihat ke arah Velyn. "Duluan ya," ujarnya berbalik pergi meninggalkan Velyn yang masih tak menyangka dengan apa yang barusan terjadi. Waktu demi waktu berlalu sampai Valerio dan Velyn lulus SMA. Tak ada satupun dari mereka yang mau membuka pembicaraan. Mama dan Papa Velyn yang terutama menyadari jika ada sesuatu yang terjadi pada hubungan Valerio dan Velyn. Karena biasanya, Valerio tak pernah absen satu haripun untuk bertemu dengan Velyn kecuali kalau mereka sedang bertengkar. Namun, kali ini terlalu lama hingga mama dan papa Velyn bertanya apa yang terjadi. Velyn kemudian menceritakan semuanya, semuanya tanpa kurang satupun. "Boleh Mama jujur, sayang?" Mama mengelus bahu Velyn. "Memang kamu yang salah, itu sama sekali gak dibenarkan dalam sebuah hubungan, itu namanya kamu nyakitin Valerio, Vel." "Iya, aku sadar kok, Ma," aku Velyn. "Aku juga udah mutusin, aku harus kuliah di luar negeri." Mama tampak tak setuju, begitupun papa. Namun, Velyn cepat-cepat menambahkan. "Aku harus lewatin banyak hal supaya lebih dewasa, Ma." Velyn masih ingat jelas kata demi kata yang keluar dari mulut Valerio malam itu. "Selama ini, aku hidup dibawah naungan Papa sama Mama, aku jadi kurang mandiri, jadi ... plis ijinin ya Ma, Pa," sambungnya menatap dengan mata memohon ke kedua orang tuanya. "Eng--" "Kamu yakin?" "Papa!" Mama berseru tidak terima, bagaimana bisa mereka melepas satu-satunya anak mereka yang sangat berharga diluar sana sendirian?! Kejahatan ada dimana-mana dan Mamanya jelas tak mau terjadi suatu yang buruk kepada Velyn. "Ma, gak papa, selama Velyn yakin dan memang udah niat, semuanya bakal baik-baik aja," ujar Papa. "Kita juga gak boleh memaksa kehendak Velyn, ini keputusan dia dan kita harus dukung." "Tapi, Pa... pokoknya Mama gak setuju!" Mama menatap Velyn. "Kamu kuliah disini aja, gak usah jauh-jauh, kalau kamu mau mandiri, yauda tinggal ngontrak aja dimana, terserah kamu." "Beda cerita dong, Ma, disini kan udah biasa." Velyn masih memohon, tangannya bertangkup. "Plis, Ma, demi kebaikan anak Mama juga." Papa mengangguk setuju. Dua lawan satu jelas yang terlemah yang akan mengalah, begitupun mama, dengan amat sangat berat hati akhirnya mengijinkan Velyn untuk kuliah di luar negeri. Velyn menghela nafas, ia berdiri dengan koper-koper yang sudah rapi dihadapannya, ia merasa petualangannya akan dimulai dimana saat ia disana, semua ia kerjakan dengan kedua tangan dan kakinya, tak ada orang yang bisa disuruh lagi. Velyn mengambil ponselnya, membuka sebuah akun media sosial miliknya, sengaja mencari username Valerio dan ketemu, tak ada update apapun, tanggal foto terakhir yang diunggah Valerio adalah tanggal dimana mereka putus, bahkan foto itu masih ada sangkut pautnya dengan dirinya. Anehnya, Valerio tak menghapus unggahannya yang masih ada wajah Velyn disana, atau mungkin ia sudah tak memakai akunnya itu lagi? Entahlah, Velyn tidak tahu. Semenjak hari kelulusan, Velyn tak pernah sekalipun bertemu dengan Valerio. Entah bagaimana kabar cowok itu, atau bahkan ia sudah mempunyai pacar baru. Memikirkan itu membuat Velyn merasa ada yang sakit di dadanya. "Lucu banget ya," gumam Velyn tersenyum kecil dengan tangan menekan tombol di sisi kanan ponselnya, ia memang sengaja mematikan ponselnya dan meninggalkannya di kamarnya. Lucu? Iya, perasaan Velyn lucu. Dulu, ketika Valerio menumpahkan seluruh kasih sayang dan perhatian yang ia punya ke Velyn, Velyn menanggapinya biasa saja, ia tahu Valerio serius padanya. Tapi entah kenapa ia tidak begitu. Lalu sekarang? Jujur, Velyn merindukan perhatian dari Valerio. Dulu, Valerio sering memberikan perhatian sekecil apapun, yang bahkan membuat Velyn sebal. Namun, perhatian kecil yang diremehkan itu mempunyai kekuatan membunuh untuk saat ini. Velyn berkaca, kedua tangannya menumpu pada meja, dia ingin pergi, namun setengah hatinya merasa belum siap. Sesaat kemudian, ia menghela nafas dalam, menatap cermin dan menganggukkan kepalanya. "Gue bisa," gumamnya lalu berdiri tergak, matanya meliri ke arah jendela yang terbuka, memperlihatkan jalanan padat Jakarta. "Sampai jumpa, Val." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD