Setuju Untuk Menikah

1049 Words
"Tidak, Pa. Aku akan menikahinya." Daffa menunjuk Eksas. "Daffa!" sentak Papa Ali dengan rahang menegang bahkan wajahnya ikut memerah karena menahan emosi. Eksas jelas menolak, dia tidak ingin membuat hidup Daffa tambah kacau. Apalagi Papa Daffa sangat tidak setuju. Eksas memang tidak punya rencana, tapi dia akan mencari cara agar tidak jadi menikah dengan p****************g itu. Eksas menggeleng agar Daffa mengurungkan niatnya untuk menikah. Tapi sayangnya Daffa sudah membuat keputusan yang tidak bisa dibantah meskipun Papanya marah besar. "Tolong, Ma. Aku ingin menikahinya." Daffa meminta tolong kepada Mama Asma. Bagaimanapun, Mama Asma selalu berada dipihaknya. "Pikirkan lagi. Menikah bukanlah hal yang mudah. Kalian juga masih muda." Mama Asma tidak ingin sang anak memiliki tanggung jawab yang tidak bisa ia jalankan. Apalagi hal yang ada dalam hidup Daffa hanyalah bersenang-senang semata. "Tapi Ma, aku sudah merusak hidupnya." Daffa mengatakan apa yang sebenarnya tidak terjadi. Tentu saja Eksas tidak menerima hal tersebut. "Apa yang kamu katakan?" ujar Eksas dengan wajah penuh kepanikan. Apalagi orang-orang melihat mereka dengan tatapan merendahkan. Daffa tidak membantahnya. "Apa kamu melakukannya?" tanya Mama dengan wajah serius. Daffa tidak berani menatap sang Mama. Dia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain. "Daffa... Tatap mama." Daffa tidak bisa lari. Dia menatap sang Mama dengan perasaan takut. Jelas saja Daffa takut kalau Mama Asma mengetahui kebohongannya. "Apa kamu melakukannya?" "Iya, Ma. Aku melakukannya." "Bohong, Tante. Kami tidak melakukannya." Eksas membantah. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Daffa. "Mas... turuti saja kemauannya." Mama membujuk Papa Ali. "Tidak bisa!" Papa Ali masih memegang teguh keputusannya. Dia tidak ingin anak sulungnya untuk menikah muda. "Apa kamu ingin Daffa menghilang lagi, Mas?" Mama Asma tidak ingin kejadian ini terulang lagi. Sangat menakutkan saat tahu anaknya tidak bisa dihubungi. Mungkin jika terjadi lagi, Mama Asma bisa jantungan saat itu juga. "Kalau aku tidak bisa, kalau sampai Daffa menghilang lagi maka kamu tidak hanya kehilangan anak kita tapi aku juga." "Mama bicara apa sih?" Daffa tidak suka apa yang dikatakan oleh sang Mama. "Kamu diam dulu." Mama Asma menyuruh Daffa untuk tidak ikut campur dalam pembicaraan dia dan sang suami. "Mas tau sendiri, Daffa itu keras kepala. Apa yang dia inginkan harus didapatkan. Kalau tidak, maka dia bisa melakukan hal-hal gila." Apa yang dikatakan Mamanya tidak salah. Tapi entah kenapa Daffa merasa malu. Mungkin karena perkataan Mamanya tidak hanya didengar oleh Daffa tapi juga oleh Eksas. "Tapi dia masih masih muda, Asma." "Aku tau. Jika Daffa tidak bisa mengurus Eksas, maka kita yang akan mengurusnya. Ini juga karena kesalahan kita yang tidak bisa mendidik Daffa dengan baik." Perkataan Mama Asma tidak bisa dibantah oleh Papa Ali sama sekali. Memang salah mereka, kalau saja terbuka lebih awal tentang ibu kandung Daffa maka tidak akan sampai sejauh ini. "Daffa..." "Iya, Pa." Daffa menjawab dengan nada pelan karena dia masih takut dengan kemarahan sang Papa. "Apa kamu yakin untuk menikah?" Daffa mengangguk. "Menikah bukanlah hal mudah. Kamu akan jadi suami dan perempuan ini akan menjadi istri kamu." "Aku bukan anak kecil lagi, Pa." Daffa begitu meyakinkan. Tapi bagi Papa Ali tidak begitu. Jika Daffa sudah dewasa, maka dia tidak akan kabur sampai sejauh ini. Setelah perbincangan cukup lama. Akhirnya Papa luluh dan mengikuti keinginan Daffa untuk menikah. Setelah menikah, kedua orang tua Daffa akan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Eksas. Mana mungkin mereka membiarkan begitu saja apalagi Daffa tidak punya pekerjaan dan tahu minta uang saja. Papa Ali mendatangi Ketua desa dan paman Eksas. "Berhubung anak saya sudah melakukan kesalahan, maka dia akan menikahi keponakan Bapak." Mata Paman Eksas langsung membelalak. "Tidak bisa!" tolak Paman Eksas. "Bayar denda saja," lanjutnya lagi dengan nafas yang tidak beraturan. "Maaf, Pak. Tapi keputusan ada pada keponakan Bapak bukan pada Bapak." "Saya walinya, saya yang memutuskan. Keponakan saya akan menikah dengan pilihan saya bukan anak Bapak." "Bagaimana ini, Pak?" Papa Ali meminta pendapat ketua desa. Dia dan keluarganya sudah membuat keputusan, tapi wali Eksas tidak menerima sama sekali. "Pak Aron coba pikirkan dengan tenang. Bukankah Lebih baik keponakan Bapak menikah dengan laki-laki yang dia pilih dibanding pilihan Bapak?" "Tidak bisa! Saya bilang tidak ya tidak!" Paman Eksas mengatakan dengan wajah memerah. Bahkan kedua tangannya mengepal. "Siapa laki-laki pilihan Bapak? Apakah lebih baik dari anak saya?" tanya Papa Ali. Dia mulai curiga dengan sikap paman Eksas. Seperti orang panik jika Eksas menikah dengan orang lain. "Te-tentu saja. Dia jauh lebih baik dari anak kurang ajar Bapak." "Oh ya, suruh dia kesini." "Mana bisa begitu. Apa Bapak kira semua orang punya waktu luang?" "Pak Winto tidak akan sibuk. Dia sedang ada dirumah istri ketiganya," ujar seorang warga. "Tunggu, siapa Pak Winto?" Papa Ali ingin mendengar lebih jelas lagi. "Laki-laki yang dipilih oleh Pak Aron untuk keponakannya." Semua menganga saking tidak percayanya. Istri ketiga, berarti laki-laki pilihan Paman Eksas adalah seorang laki-laki hidung belang. "Keponakan Pak Aron akan jadi istri ke berapa?" "Diam! Anda tidak perlu ikut campur dalam keluarga saya." Pak Aron marah besar. "Lebih baik kita tanya kepada Eksas sendiri, dia juga sudah berusia lebih dari sembilan belas tahun." Ketua Desa berusaha menengahi. "Saya setuju." Warga yang ikut dalam musyawarah dadakan juga setuju. "Jika Eksas ingin menikah dengan anak Pak Ali, maka mereka akan menikah. Tapi jika tidak, maka harus membayar denda yang sudah ditentukan." Ketua desa memanggil Eksas. Sebelum itu, Daffa harap-harap cemas dan berbisik agar Eksas memikirkan dengan baik. Jangan sampai Eksas merusak hidupnya sendiri. Setidaknya jika menikah dengan Daffa, Eksas tidak perlu menikah dengan p****************g. Eksas mendekat ke arah ketua desa. "Semua keputusan ada pada kamu. Tidak ada siapapun yang akan menghalanginya. Bapak yang akan menjaminnya." Jantung Eksas berdetak dengan cepat. Dia menatap Paman dan bibinya sejenak. Tentu saja wajah mereka terlihat marah dan berusaha mengintimidasi Eksas agar mengikuti kemauan Paman dan bibinya itu. "Apa kamu ingin menikah dengan anak Pak Ali atau membayar denda?" tanya ketua desa. Eksas menarik nafas dalam-dalam. Dia masih bingung. Semua orang menunggu jawaban dari Eksas. Eksas menjawab dengan mata terpejam. "Saya akan menikah dengan Daffa, Pak." Sebagian warga setuju dengan keputusan Eksas. Apalagi saat mereka tahu fakta bahwa paman dan Bibi Eksas ingin menikahinya dengan p****************g. Daffa bernafas lega. Dia seperti baru saja masuk ke dalam jurang yang penuh kegelapan dan hal-hal menakutkan. Paman dan Bibi Eksas tidak menerima keputusan itu. Mereka ingin memaksa Eksas untuk pulang. Tapi para warga menghentikan itu. Mereka malu sendiri apalagi begitu banyak warga disana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD