AKU, DANUDARU ABISATYA

1000 Words
Dua minggu lalu… Danu merasakan gairahnya hilang saat sang ayah “memanggilnya” untuk kembali ke Tanah Air. Beban besar menantinya. Apa yang ia lakukan di London selama ini sudah membuatnya cukup sukses di atas kakinya sendiri. Kekayaan keluarganya tidak ia butuhkan. Tapi, rasa sayang pada sang ayah jadi kekuatannya untuk kembali. Sesibuk apapun, Danu selalu mengingat kalau sang ayah selalu meluangkan waktu untuknya. Ia yang hidup tanpa ibu dari sejak kecil, tidak pernah kekurangan kasih sayang. Ya, ayahnya Gunawan Abisatya tidak hanya memberinya contoh kesuksesan karier dan usaha, tapi juga dalam berkeluarga. Ayahnya tersayang sekaligus juga sahabatnya, tidak pernah menikah lagi sepeninggal ibunya. Suatu hari Danu ingat pernah bertanya, “Ayah, kenapa tidak menikah lagi?” Tatapan hangatnya seakan tersenyum dan menjawab dengan lembut, “Buat apa? Ayah ingin mendedikasikan hati ayah sekarang hanya kamu Danudaru Abisatya, adikmu Daradiani Abisatya dan Grup Abisatya Besari. Terlalu banyak berbagi hanya akan membuat ayah kehilangan fokus hidup.” Meski jarak memisahkan mereka, hampir setiap hari video call ataupun sekedar pesan singkat tidak pernah lepas. Sampai satu hari, pesannya tidak juga dibalas sang ayah, bahkan telepon pun tidak diangkat. Tidak pernah sampai berjam-jam mereka tidak saling berbalas komunikasi. Danu coba menghubungi Dara, tapi juga tidak bisa. Rasa khawatir membuncah didadanya. Semua orang ia hubungi, dari asisten ayahnya, sampai kepala rumah tangga, semua seperti kompak tidak menjawabnya. Ia langsung memesan tiket pulang ke tanah air, sore itu. Satu koper kecil jadi teman perjalanannya. Dalam perjalanan ke bandara, ponselnya berbunyi. Akhirnya Dara menghubunginya. “Ka Danu.. Ayah tadi tidak sadarkan diri. Kakak harus pulang. Aku tidak bisa sendiri,” Dara terus menangis. “Jet pribadi sudah tunggu di bandara,” Dara terus meratap. Jantung Danu berdegup kencang, pantas rasanya tidak enak seharian ini, “Ka Danu sudah di bandara, naik penerbangan komersial. Jangan menarik perhatian banyak orang dalam kondisi seperti ini. Tolong info untuk batalkan jet. Kaka landing besok jam 3 sore waktu Indonesia. Jangan menarik perhatian ok? Bilang Om Aji untuk jemput satu mobil tanpa pengawalan berlebihan,” Danu menginstruksikan Dara. “Iya.. Ayah di Rumah Sakit Besari,” Dara masih terus terisak. “Kabari kondisinya lewat pesan, sekecil apapun, kamu paham Dara?” Danu merasa ingin memeluk adiknya dan memintanya untuk kuat, tapi apa daya, ia tidak berada di sana. Pesawatpun boarding, Tanah Air yang tadinya tidak lagi menarik baginya. Kini membuatnya tak sabar untuk kembali menjejakkan kaki di negara asalnya itu. Ya, ini bentuk panggilan ayahnya agar ia kembali. Gunawan Abisatya yang gagah perkasa, kini sedang dalam kondisi sakit. Hal itu tidak mungkin diketahui publik. Pensiun jadi jalan untuk melindungi usahanya, Grup Abisatya Besari. Bagaimanapun nasib jutaan karyawan bergantung padanya. Saham perusahaan harus selamat. Di pesawat, Danu mengingat ucapan ayahnya beberapa hari sebelumnya, “Danu, ayah ingin memeluk cucu sebelum ayah tidak ada di dunia ini. Lahirkan penerus Abisatya, kamu tidak bisa selamanya seperti ini. Ayah sudah tua.” “Jangan beban ini jadi milik adikmu. Dara, dia berbeda darimu, tidak akan sekuat kamu. Ayah berharap banyak darimu. Siapapun itu, ayah akan mendukungmu. Ayah sudah mendidikmu dengan baik dan cukup tahu kalau kamu memiliki pertimbangan baik dalam segala hal, termasuk perempuan,” Tak lama ayahnya menutup telepon karena ada panggilan rapat. Danu termenung. Ia ingin membahagiakan ayahnya. Selama ini ia belum menikah, bukan karena tidak mau, tapi karena memang belum menemukan seseorang yang mampu membuatnya tergerak. Mencari pasangan hidup? Bagaimana mungkin dalam waktu singkat ia bisa menemukannya? Apalagi, selama ini, hidupnya sudah cukup jenuh dengan perempuan-perempuan barat yang terbilang berani. Gaya hidupnya bebas, sudah tidak lagi ada batasan. Itu bukan dunianya, sekalipun ia hidup di negara barat yang bisa dibilang tidak lagi memegang aturan ketat dalam berhubungan. Danu merasa, adat timur begitu melekat didirinya dan batasan itu ada. Sampai suatu hari, sahabatnya, Mary, seorang gadis cantik kelahiran Birmingham menatapnya kaget, sekaget itu sampai membelalakkan matanya, “No s*x? Are you sure?” Danu hanya tertawa, “Why?” “You’re 37 right? No s*x for 37 years? Unbelievable!” Mary tidak berhenti bertanya. “Have you seen woman naked? Ever?” “I’m not that innocent. Of course I saw woman naked. Kiss? I do kiss and touch. I think its common. It’s just s*x. No s*x before married, does that fact shock you?” Danu merasa lucu memperhatikan kekagetan sahabatnya itu. “The fact is shocking enough cause it’s rare. God, Danu, I mean you’re handsome, more than enough. And your body, so perfect. Even I was tempted at first. You know, I want to touch your muscles and everything,” Mary tak hentinya terkaget-kaget. Danu pun tak henti tertawa melihat ekspresi Mary. *** Pesawatpun mendarat. Danu bergerak cepat, karena hanya membawa koper kabin, semua mudah baginya saat melewati imigrasi dan tidak perlu mengantri bagasi. Dari kejauhan, Danu melihat Om Aji, orang kepercayaan ayahnya tersenyum menatapnya dengan bahagia. “Akhirnya kamu pulang Danu, om kangen. Ayahmu pasti bahagia,” Om Aji merangkulnya. Danu yang merasa senang melihat wajah Om Aji, kembali merenung sedih mengingat ayahnya. “Langsung ke rumah sakit om,” Danu memasuki mobil. Om Aji tidak banyak bicara, langsung meminta supir mengantarkannya ke rumah sakit. *** “Ka Danu..” Dara langsung memeluknya. Danu pun langsung memeluk adik semata wayangnya itu. Air mata bercucuran di pipinya, matanya sembab dan bengkak. “Kamu istirahat, kaka jaga ayah sekarang,” Danu mengusap punggung adiknya. “Ka, itu hasil dokter di meja. Ayah sakit, tapi tidak bilang. Aku merasa bodoh, ada di dekat ayah tapi tidak menyadarinya,” Dara terus menunduk dan menangis. Danu membaca hasil diagnosa itu, kanker pankreas stadium 3. Oh, jantungnya serasa berhenti berdetak. Lalu melihat sang ayah yang berbaring lemah. Ayah, apapun agar ayah bisa sembuh. Bagaimanapun, harus kuat untuk bisa melihat Abisatya junior lahir. Tekad untuk bisa membuat ayahnya sehat dan bahagia membuncah di diri Danu. Danu berbisik di telinganya, “Ayah, aku akan memperkenalkan calon istriku. Bukankah ayah ingin melihat lahirnya cucu di masa tua ayah? Semangat selalu. Danu dan Dara sayang ayah.” Semangat, seperti ayah menyemangati aku dan Dara saat ibu tidak ada. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD