Bab 9

2042 Words
Kepala bersurai pirang milik Brian Taylor sudah beberapa kali terlihat menggeleng. Terhitung sejak dia menjejakkan kaki ke sekolahnya pagi ini. Brian tidak habis pikir, untuk apa sekolahnya ikut-ikutan memasang spanduk selamat datang? Sudah cukup di sepanjang jalan dia melihat spanduk-spanduk yang menurutnya sangat konyol itu, jangan di sekolah juga. "Apa kepalamu tidak sakit terus kau gelengkan seperti itu?" tanya Stephanie dengan sepasang alis berkerut. Jujur saja, dia pusing melihat Brian yang sebentar-sebentar menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawab Brian. "Aku hanya menggeleng pelan, bukan menggeleng kuat." "Kalau kau menggeleng kuat mungkin kepalamu akan lepas." Shane tertawa setelah berkata seperti itu. "Sayangnya aku tidak akan melakukannya," sahut Brian. Tawa Shane berhenti, mata hazelnya memicing menatap Brian. "Aku tidak menyuruhmu untuk seperti itu," ucapnya sedikit kesal. Brian tidak mengacuhkannya. Dia justru tersenyum, menyandarkan punggung ke belakang dengan kedua tangan di meja. "Aku mengira sekolah kita tidak akan memasang spanduk seperti tempat-tempat lainnya di kota...." Stephanie mengangguk. "Kau bercanda?" potong gadis itu. "Tidak mungkin sekolah tidak melakukannya. Guru-guru di sekolah kita juga sama saja dengan para penduduk kota yang lain." "Sama-sama penjilat maksudmu?" tanya Shane berbisik. Tidak mungkin dia mengatakan semuanya dengan suara lantang seperti biasa. Sekolah tempat yang rawan, apalagi yang mereka bicarakan adalah guru-guru mereka. "Seperti itulah!" sahut Stephanie enteng. "Aku tidak mengerti apa yang mereka pikirkan, termasuk semua penduduk kota. Dan dari semuanya, keluarga Angelica yang paling gila. Spanduk mereka yang paling besar di seluruh kota. Kau bahkan bisa melihatnya dari rumah nona Elizabeth." "Dari atas bukit lebih jelas," ucap Shane. "Benarkah?" tanya Stephanie. Mata birunya sedikit melebar. Shane mengangguk. "Kau yakin?" Sekarang Brian yang bertanya. Dia merasa tidak yakin dengan perkataan Shane. Benarkah spanduk keluarga Brown sangat jelas kalau dilihat dari atas bukit? Shane mengangguk lagi. "Sangat-sangat yakin!" sahut Shane mantap. "Aku sendiri yang melihatnya. Aku ke atas bukit kemarin sore, dan tak sengaja melihatnya. Tulisan-tulisan itu tampak lebih jelas dari sana." Brian berdecak kagum. Bukan pada spanduk milik keluarga Brown yang besar tetapi pada kegigihan keluarga itu untuk menyenangkan nona Elizabeth. Padahal belum tentu juga spanduk itu dilihat oleh nona Elizabeth. "Mereka keren!" celetuk Brian. Stephanie dan Shane menoleh bersamaan. Mereka menatap Brian dengan tatapan yang sama, tidak percaya. "Kenapa?" tanya Brian bingung. "Aku tidak mengatakan kalau spanduk mereka keren, karena jujur saja aku belum melihatnya secara langsung dan jelas. Aku memuji kegigihan usaha mereka menyenangkan nona Elizabeth." Stephanie memutar bola mata. "Kau sungguh konyol, Bri!" sentaknya kesal. "Apa yang kau lakukan tidak berguna." Brian mengangkat bahu. "Aku hanya menghargai kreativitas mereka," ucapnya. Shane tertawa mendengarnya. "Kreativitas tak yang tak terbatas," sambungnya. Tawa menghambur dari mulut Stephanie. "Itu baru keren!" ucapnya di sela tawa sambil mengacungkan ibu jari kanannya. Brian tidak ikut tertawa, dia hanya tersenyum. Brian masih memikirkan tentang spanduk-spanduk konyol yang dipasang hampir di setiap toko dan rumah. Mungkin tidak masalah kalau di kota mereka sedang ada perayaan, spanduk-spanduk itu tidak mengganggu. Namun tidak ada perayaan atau karnaval sama sekali. Yang membuat Brian semakin heran adalah orang-orang itu yang mau membuang uang mereka untuk sesuatu yang tidak perlu. Toh nona Elizabeth tidak mungkin mengeceknya, beliau juga belum tentu melihat spanduk-spanduk itu. "Aku beruntung karena ibuku tidak melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh ibu Angelica." Shane bergidik. Rasanya sangat ngeri membayangkan di depan rumahnya terpasang benda yang dianggapnya konyol. "Bisa-bisa aku langsung pingsan karena hal itu." Stephanie kembali tertawa. Kali ini diikuti oleh Brian. Membayangkan Shane pingsan di depan rumahnya sepulang sekolah saat melihat ibunya memasang spanduk merupakan hal yang lucu baginya. Brian ingin tahu apakah Shane tetap setampan sekarang saat dia pingsan. "Astaga, kalian pikir ini lucu?" tanya Shane dengan mata melebar. Stephanie mengangguk. "Sangat lucu!" jawabnya. Shane memutar bola mata kesal. Kalau soal membullynya Stephanie akan dengan senang hati melakukannya. Dia sangat suka melihat dirinya menderita. Sementara Brian akan menertawakannya paling depan. "Benar bukan, Bri?" Stephanie menoleh pada Brian yang memegangi perutnya. Brian juga mengangguk. "Kalau ada yang menertawakanku, kau pasti yang utama!" Shane bersungut. "Kalian memang sahabat yang paling hebat!" sindirnya. Sesungguhnya Shane tidak sedang menyindir. Dia mengatakan yang sesungguhnya soal sahabat yang paling hebat. Brian dan Stephanie adalah yang terbaik. Mereka tidak memilih dalam berteman, tidak seperti yang lain. Sebagaimana sifat orang kaya yang hanya akan berteman kepada sesama mereka, Brian dan Stephanie tidak seperti itu. Mereka mau berdua mau berteman dengan siapa saja asalkan orang itu juga tidak memilih dalam berteman, juga tidak sombong. Mereka juga selalu berada di sisinya setiap dia berada dalam kesulitan. "Kau lucu makanya aku tertawa," sahut Brian setelah tawanya reda. "Membayangkan kau pingsan di depan rumahmu hanya karena sebuah spanduk adalah hal yang sangat menggelikan." Brian kembali tertawa kecil. Shane memutar bola mata. Namun dalam hati mengiakan perkataan Brian. Sangat tidak elit kalau dia pingsan hanya karena sebuah spanduk konyol. Astaga! Ternyata dia memang menggelikan dan payah. Shane kembali bergidik. "Aku akan pergi ke bukit sore ini," ucap Stephanie. "Aku ingin membuktikan perkataan Shane." "Pergi saja dan lihat!" Shane kembali bersemangat. "Tulisan-tulisan menggelikan itu lebih jelas terlihat di sana." Brian lagi-lagi menggelengkan kepala pelan. Dari semua hal menggelikan tentang spanduk konyol yang sekarang bertebaran di hampir setiap penjuru kota, spanduk milik keluarga Brown adalah yang paling-paling. Dia memang sudah melihat spanduk raksasa itu, dari rumahnya juga kelihatan meski tidak terlalu tampak. Jarak antara rumahnya dan Angelica lumayan jauh, sehingga tulisan-tulisan di spanduk itu tidak terlalu jelas terlihat. Yang dekat dengan rumah Angelica adalah rumah Stephanie, rumah mereka berseberangan. Pasti Stephanie sangat terganggu dengan hal itu. "Steph, rumahmu kan berseberangan dengan rumah Angelica, apa kau tidak terganggu dengan hal-hal konyol itu?" tanya Brian menyelidik, alisnya berkerut menatap Stephanie. "Kalau yang kau maksud adalah tentang spanduk itu, terus terang aku terganggu," akunya Stephanie jujur. "Tapi aku tidak pernah melihat ke arah sana, daripada aku tiba-tiba muntah dan pingsan." Sekarang giliran Shane yang tertawa terbahak. "Aku turut menyesal, Steph," ucapnya di sela tawa. Meskipun samb tertawa tapi Shane sungguh-sungguh mengatakan hal itu. Dia tidak bisa membayangkan kalau menjadi Stephanie yang setiap hari harus menyaksikan hal-hal konyol yang dilakukan Angelica dan kedua orang tuanya. Pasti itu berat bagi sahabatnya yang tidak menyukai kekonyolan. Stephanie mengangkat bahu. "Terima kasih, Shane," sahutnya. "Tapi aku sudah terbiasa jadi aku tidak akan heran. Hanya saja aku tidak pernah melihat apa pun yang mereka lakukan. Maksudku aku tidak memandang ke arah rumah mereka, masih ada pemandangan yang lebih indah untuk dilihat." Brian dan Shane mengangguk setuju. Kota mereka sangat indah, setiap sudutnya memiliki daya tarik tersendiri. Hanya satu titik saja yang mengganggu keindahan itu, rumah keluarga Brown. *** Di sekolah mana pun, kantin tidak pernah sepi saat istirahat. Begitu juga di sekolah mereka. Kantin selalu dipadati para siswa yang ingin makan siang. Brian, Stephanie dan Shane beruntung karena mereka memiliki tempat duduk khusus, tidak ada seorang pun yang berani duduk di meja mereka. Para siswa tidak ingin terkena semprotan Stephanie yang terkenal bermulut pedas. Termasuk Angelica. Lagipula Angelica dan kedua sahabatnya sudah memiliki meja khusus untuk mereka sendiri. Begitu juga dengan geng yang lain, mereka sudah memiliki meja masing-masing. "Aku kira Angelica tidak akan masuk hari ini," celetuk Shane melirik meja yang diduduki Angelica dan teman-temannya. "Kukira dia malu dan akan menyembunyikan diri setelah peristiwa semalam." "Are you kidding me?" tanya Stephanie memutar bola mata. "Dia tidak akan melakukannya. Bukankah yang dulu-dulu juga seperti itu?" Shane mengangguk. "Angelica itu muka tembok, Shane. Rasa malunya sudah hilang!" sambung Stephanie berapi-api. Namun Stephanie mengatakan semua itu dengan suara kecil, dia mencondongkan tubuhnya ke depan agar kedua sahabatnya lebih bisa mendengarkan suaranya. Kantin sedang ramai, dia tidak ingin ada telinga lain ysng mendengar apa yang dikatakannya. Shane kembali mengangguk. Sementara Brian tidak menanggapi. Brian lebih memilih menikmati makan siangnya. Ayam goreng di kantin sekolahnya sangat enak, rasanya tidak kalah dengan ayam goreng di restoran terbaik di kota ini. Dia sangat menyukainya. Lagipula dia sudah lapar. Energi yang dihasilkan dari semangkuk sereal yang mengisi perutnya tadi pagi sudah terkuras habis. Dia harus mengisinya ulang dan hanya menjadi pendengar yang baik bagi kedua sahabatnya yang sedang bergosip. Sementara itu di meja Angelica juga terjadi hal yang sama. Angelica dan kedua sahabatnya juga sedang bergosip. Hanya saja yang menjadi pembicaraan mereka bukanlah Shane atau Stephanie ataupun yang lainnya. Angelica sudah melupakan apa yang terjadi padanya kemarin. Mereka sedang membicarakan spanduk yang terpasang di depan rumah Angelica, spanduk terbesar di kota mereka. Sejak di kelas tadi, Angelica selalu membanggakan spanduk itu, karena tidak ada seorang pun yang memasang spanduk sebesar milik keluarganya. "Aku dan ibuku juga membantu pemasangan spanduk dua hari yang lalu itu." Angelica selalu antusias dalam hal menyombongkan diri. Padahal dia ingin bercerita perihal spanduk itu kemarin, tetapi Shane dan Madison mempermalukannya dan membuatnya lupa. Tadi pagi dia sudah kembali mengingatnya. Dia harus berterima kasih kepada ibunya yang sudah mengingatkan dengan bercerita kalau semua teman-teman ibunya memuji spanduk mereka. "Kami mengarahkan para pekerja dalam pemasangan yang benar." Angelica menjilat bibir kemudian meneruskan perkataannya. Dia perlu meralat kata-katanya barusan, dia tidak ingin kedua sahabatnya salah arti. "Maksudku peletakan spanduk yang pas." Megan dan Zara mengangguk, mereka paham sekarang. Tidak mungkin juga bukan Angelica ikut bekerja? Angelica tidak akan pernah mau melakukannya, dia tidak bisa. Yang bisa dikerjakan Angelica selain menyombongkan diri hanyalah memerintah. "Spanduk di rumahmu itu sangat keren, Angelica!" puji Zara dengan mata berbinar. Dia sangat terkesan dengan spanduk keluarga Brown yang sangat besar. Keluarganya juga memasang spanduk tapi tidak sebesar itu. Mereka hanya memasang spanduk kecil saja. Kata ibunya spanduk itu sudah cukup. Mereka tidak memerlukan spanduk besar yang hanya akan menutupi rumah mereka saja. Megan pun demikian. Orang tuanya juga hanya memasang sebuah spanduk dengan ukuran normal. Tulisan di atas spanduk juga terkesan biasa-biasa saja. Maksudnya tidak terlalu memuji, hanya kata-kata pujian yang biasa dilontarkan saja. Tidak berlebihan seperti milik keluarga Brown. Jujur saja, Megan sedikit risih melihat spanduk itu. Kata-kata yang tertulis di spanduk terlihat menggelikan baginya. Terlalu mengada-ada. Kurang elegan untuk sebuah keluarga seterpandang keluarga Brown. Terkesan norak. Namun Megan tetap memuji spanduk Angelica, meskipun itu dilakukannya setengah hati. Dia bukannya itu, tetapi dia hanya mengatakan kenyataan dan perasaan yang dirasakannya. "Zara benar, Angelica. Spandukmu memang keren." Megan mengangguk. "Hanya keren?" tanya Angelica dengan kening berkerut. Dia tidak terima kalau spanduknya hanya dikatakan keren. Spanduknya yang terkeren dan paling mengagumkan di seluruh penjuru kota. Tidak ada rumah ataupun pertokoan yang memasang spanduk sebesar milik keluarganya. Megan mengembuskan napas pelan, dia tidak ingin Angelica tahu dia melakukan itu. Dia bosan meladeni Angelica, terkadang dia diperlakukan seperti pelayan. Angelica yang selalu menginginkan menjadi yang semua yang ter di kota mereka sangat suka menetintah. Angelica juga akan marah kalau keinginannya tidak dipenuhi. Selalu seperti itu. Kesal? Tentu saja! Sekarang dia juga kesal. Dia tidak ingin mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya, tapi dia harus melakukannya bila di depan Angelica. Rasanya sangat sulit memuji hal yang dianggapnya kampungan dan menggelikan. Astaga, itu sangat konyol! "Maksudku sangat keren." Megan meralat perkataannya. Senyum lebar terkembang di bibir Angelica. Ini yang disukainya. Semua orang memuji dan mengatakan kalau dia dan semua yang dimilikinya adalah yang terbaik di kota mereka. "Tentu saja!" sahut Angelica. "ibuku yang mengatur semuanya." Senyum bangga tak lepas dari wajah cantik Angelica. "Termasuk dengan tulisan-tulisan ... keren di spanduk itu?" tanya Megan. Sesungguhnya tadi dia ingin mengatakan tulisan-tulisan konyol, beruntung dia tidak keceplosan. Megan mengembuskan napas lega. Megan bukannya ingin menjadi teman yang menusuk dari belakang ataupun pengkhianat bagi Angelica. Seandainya bisa dia ingin berteman dengan yang lain saja, hanya saja tidak ada yang mau berteman dengannya sepertinya. Cap sebagai sahabat dan pesuruh Angelica sudah melekat pada dirinya, membuatnya muak dan merasa terkucilkan. Tidak ada yang mau berteman dengan teman Angelica. Mereka sudah dicap sana seperti Angelica, pembual dan sombong. Padahal sebenarnya dia tidak seperti itu. Well, mungkin awalnya memang seperti itu. Namun seiring berjalannya waktu dia semakin dewasa. Semakin dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang salah dan mana yang benar. Sungguh Megan ingin terlepas dari embel-embel Angelica yang selaku mengikutinya. Dia tidak ingin terus menyandang gelar itu sepanjang hidupnya. Sangat menggelikan. Lalu dia harus berteman dengan siapa? Haruskah dengan Madison yang berbeda kelas dengannya? Atau dengan Stephanie yang meskipun cuek tetapi mereka berada di satu kelas yang sama. Megan menghela napas kasar. Dia bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD