Brian berjalan kaki mengitari pusat kota Grandville. Suasana sore yang cerah membuat banyak penduduk yang keluar sore ini. Sepasang alis pirang pemuda berkerut melihat beberapa spanduk yang terpajang di beberapa rumah warga dan pertokoan. Kedua sudut bibirnya terangkat membaca tulisan-tulisan yang ada di spanduk, sangat menggelikan menurutnya. Para penduduk yang memasang spanduk di depan rumah mereka ataupun di pertokoan seolah ingin mencari muka terhadap Nona Elizabeth Bryant. Seharusnya kalau mereka memang ingin menyambut kedatangan keponakan Nona Bryant, mereka tidak perlu melakukan hal berlebihan seperti itu. Cukup menulis ucapan selamat datang saja pada sebuah kartu uncapan. Atau kalau pun mereka ingin menuliskannya di spanduk, mereka seharusnya mencari kata-kata yang lebih baik. Kalau kata-katanya seperti yang terpajang di spanduk mereka, jatuhnya norak dan kampungan. Walaupun mereka tinggal di kota kecil tetapi pikiran mereka haruslah besar.
Begitulah pandangan anak muda. Sangat berbeda dengan para orang tua yang selalu berpikir kalau apa yang mereka lakukan benar, padahal sebenarnya mereka salah. Seandainya para orang tua itu mau mendengarkan pendapat anak muda seperti dirinya, tentu kota akan lebih indah dan tidak akan ada lagi pemandangan yang kurang mengenakkan seperti yang dilihatnya sore ini.
Brian melanjutkan langkah. Ia memang sudah terbiasa berjalan-jalan saat sore. Tanpa mobil ataupun kendaraan lainnya. Ia hanya berjalan kaki, lebih sehat. Bukan hanya untuknya tetapi juga untuk lingkungan. Bisa dibilang kegiatan berjalan kaki di sore hari adalah salah satu kebiasaan Brian sejak kecil. Orang tuanya memang penduduk asli kota kecil ini, bukan pendatang seperti Nona Elizabeth Bryant. Kata mereka, dulu kota mereka sangat gersang tapi setelah kedatangan Nona Bryant keadaan kota berubah. Nona Bryant membuka beberapa pabrik dan toko, sehingga banyak para penduduk yang semula ingin pindah ke kota besar mengurungkan niat mereka.
Konon keluarga Bryant juga berasal dari kota Grandville. Nenek moyang mereka maksudnya. Namun entah generasi keberapa keluarga mereka pindah ke kota besar. Tidak ada anggota yang kembali ke Grandville. Rumah besar mereka pun hanya dijaga oleh sebuah keluarga, salah satunya keluarga Brown. Oleh sebab itu keluarga Brown dekat dengan Nona Elizabeth Bryant. Kedekatan yang dimanfaatkan oleh Angelica Brown dan ibunya, Clarissa Brown, untuk menaikkan popularitas mereka.
Sungguh sesuatu yang sangat tidak penting untuk dilakukan. Di kota kecil seperti Grandville ini, yang semua penduduknya sudah saling mengenal dan akrab seperti sebuah keluarga besar, popularitas tidak diperlukan. Namun sepertinya tidak seperti itu yang ada di pikiran keluarga Brown. Brian menghentikan langkah pada sebuah cafe bertema outdoor di taman kota. Ia akan menghabiskan sorenya di cafe ini. Sepulang sekolah tadi dia sudah berjanji dengan teman-temannya untuk bertemu di cafe ini seperti biasanya.
Di kota mereka hanya ada tiga buah cafe, salah satunya adalah cafe ini. Tiga buah cafe itu memiliki tema yang berbeda-beda. Tema outdoor diusung oleh cafe yang dimasukinya sekarang ini. Seluruh cafe berada di luar ruangan. Hanya bar dan dapur saja yang berada di dalam ruangan. Benar-benar tempat yang sangat nyaman. Kafe kedua mengusung tema indoor seperti kebanyakan kafe pada umumnya. Yang ketiga bertema alam. Seluruh dekorasi berwarna hijau dan terlihat segar. Sangat memanjakan mata bagi yang sangat suka bertualang di alam lepas.
Ketiga kafe memiliki penggemar masing-masing. Namun yang paling populer dari ketiganya adalah kafe dengan tema outdoor ini. Banyak anak muda yang mengunjungi kafe, apalagi saat sore-sore seperti ini. Para anak ramai memenuhi kafe. Brian harus menengok ke kanan dan ke kiri, memeriksa setiap meja untuk mengenali kedua sahabatnya.
Brian menemukan mereka di ujung sana. Sangat menyebalkan! Brian heran kenapa kedua sahabatnya itu memilih meja paling pinggir? Kata mereka sih meja itu strategis, tapi strategis dari mana? Kafe ini tak berdinding, mereka bisa melihat dan terlihat dari arah mana saja. Dengan langkah malas pemuda berusia tujuh belas tahun itu menghampiri meja kedua temannya.
"Kau terlambat lagi," komentar Steph. "Kami hampir saja pulang."
Brian tak menyahut, pemuda itu hanya mengangkat bahu saja. Menarik kursi kosong dan duduk di sana.
"Kau jalan kaki lagi?" tanya Shane.
Lagi-lagi Brian hanya mengangguk. Terlalu malas untuk berbicara.
"Dari rumahmu?" Kali ini Shane bertanya dengan mata melebar. Jarak antara rumah Brian dan pusat kota tidak bisa dibilang dekat, dan Brian berjalan kaki dari rumahnya menuju ke tempat ini. Benar-benar gila!
Sekali lagi Brian mengangguk, kali ini disertai jawaban. "Iya, aku makas untuk berkendara.lagipula jalan kski sehat, bukan?"
"Orang lain mungkin akan sehat, tetapi tidak dengan dirimu!" seru Stephanie. Gadis berambut cokelat itu tertawa kecil. "Lihatlah, kau tidak berkeringat setetes pun!"
Brian meneliti dirinya beberapa saat dan dia membenarkan apa yang dikatakan Stephanie. Tidak ada setetes pun keringat di pelipisnya. Begitu pun dengan bajunya, tetap kering seperti biasa.
"Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak berkeringat." Brian menggeleng pelan. "Tetapi aku sehat!"
"Aku tidak mengatakan kalau kau sedang sakit," sahut Stephanie sambil memutar bola mata cokelat terangnya. "Aku tadi hanya mengatakan kalau berjalan kaki akan menyehatkan orang lain tetapi tidak dengan dirimu. Itu saja."
Brian menatap Stephanie dengan mata menyipit. Hal seperti ini yang kurang Brian sukai dari sahabat perempuannya ini. Stephanie terlalu jujur dan bermulut pedas.
Stephani mengembuskan napas melalui mulut dengan keras. "Baiklah, maafkan aku," ucapnya melihat tatapan Brian. "Anggap saja aku sedang bercanda meskipun sebenarnya aku serius."
"Astaga, Steph!" seru Shane cukup keras. Mereka berada di cafe outdoor yang sangat ramai. Tidak apa-apa kalau mereka berbicara sedikit keras. "Bisakah kau berbicara tidak berbelit-belit seperti itu?" tanyanya. "Sungguh, kau mbuatku bingung." Shane mengangkat kedua tangannya setinggi telinga kemudian menggeleng.
Mata Stephanie melebar kesal. "Aku tidak berbelit-belit, Shane. Aku hanya mencoba untuk mengatakan yang sebenarnya."
Brian menyunggingkan senyum. Dasar Stephanie polos, tidak sadar kalau apa yang dikatakannya menyinggung perasaan orang lain.
Sementara Shane memutar bola mata kesal. "Terserah kau sajalah, aku tidak peduli!" Shane mendengus. Pemuda itu membuang muka, mengalihkan tatapan ke arah jalan raya di depan sana.
Stephanie mengangkat bahu, kemudian berbisik pada Brian. "Ada apa dengan Shane?" tanyanya lirih.
"Mana aku tahu," jawab Brian. Pemuda itu juga mengangkat bahu. "Kenapa tidak kau tanyakan saja padanya?" usulnya.
"Aku tidak membuka lowongan untuk bertanya!" sahut Shane cepat. "Aku sedang kesal. Juga deg-degan."
Stephanie tersenyum lebar. "Kutebak! Kau pasti sedang harap-harap cemas menunggu esok kan?" tanyanya sok tahu. "Jujur, aku juga begitu. Aku penasaran apakah Angelica membawa bukti foto yang kau minta."
Shane mengangguk. "Aku juga sangat penasaran dengan hal itu," sahutnya. "Aku sudah tidak sabar lagi untuk mempermalukannya."
"Well, dengan meminta bukti berupa foto itu kau sudah separuh jalan mempermalukannya," ucap Brian. "Memang diperlukan waktu hanya beberapa detik untuk merekayasa sebuah foto, tetapi semulus apa pun foto rekayasa pasti ada kelemahannya. Di foto pasti akan nampak terlihat."
Shane mengangguk. "Benar apa yang dikatakan Brian!" seru Shane semangat. "Angelica tidak akan membawa foto apa pun ke sekolah kecuali dirinya."
Brian mengangguk. "Lalu, apa lagi yang kau takuti?" tanyanya.
Shane menggeleng. "Aku tidak takut, kawan. Hanya saja akan sangat menggelikan kalau tiba-tiba dia membawa foto yang seperti katamu tadi adalah foto hasil rekayasa."
"Kalau begitu dia curang," komentar Stephanie.
"Apa kau bercanda?" tanya Shane tertawa keras. "Bukankah dia memang selalu seperti itu?"
Brian hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. Stephanie seperti.tidak mengenal Angelica saja, padahal sejak kecil mereka berteman. Hanya karena sifat Angelica banyak yang bertolak belakang dengan mereka sehingga pelan-pelan mereka menjauhi gadis itu. Salah satu dari sifat Angelica yang tidak disukainya adalah gadis itu yang sangat suka berbohong hanya untuk mendapatkan perhatian. Seperti yang dilakukannya tadi siang di sekolah. Sejak kapan Angelica mengenal keponakan Nona Elizabeth kalau yang tinggal di Kota New York itu kalau keponakan Nona Elizabeth tidak pernah ke kota mereka ini sebelumnya, dan setahu mereka Angelica juga tidak pernah keluar dari kota mereka. Orang-orang, apalagi para penggemar gadis itu mungkin akan menganggap semua kata-kata itu adalah benar. Namun bagi mereka yang sudah sangat mengenal Angelica tentu tidak akan memercayai perkataan Angelica semudah itu.
Angelica sendiri sepertinya tidak pernah kapok untuk berbohong. Sudah beberapa kali ketahuan kalau dia berdusta tetapi Angelica selalu berkilah dengan alasan yang sangat tidak masuk akal bagi mereka. Akan tetapi sekali lagi dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh penggemarnya.
"Steph, rumahmu kan berdekatan dengan rumah Angelica."
Stephanie mengangguk. "Iya," jawabnya. "Kenapa?"
Shane tersenyum geli sebelum menanyakan hal yang membuatnya penasaran. "Apakah kau pernah melihat Angelica dan keluarganya pergi berlibur?" tanyanya. "Maksudku bersama Nona Bryant."
Tawa cukup keras kembali menghambur dari mulut Stephanie. Gadis itu melempari Shane dengan bola-bola kecil yang terbuat dari tisu, dia membuatnya tadi. Iseng.
"Hei!" protes Shane kesal. Pemuda itu melindungi wajah tampannya dengan kedua tangan yang disilangkan di depan wajah dari serangan bola-bola tisu Stephanie.
"Kau memang pantas mendapatkan hujan bola-bola tisu, Shane!" Stephanie terus tertawa sambil terus melempari Shane. "Karena pertanyaanmu itu sangat tidak lucu!"
"Iya, pertanyaan Shane memang sangat tidak lucu, tetapi tetap saja kau tertawa." Brian memutar bola mata. "Dasar aneh!"
Stephanie menghentikan aksinya. Sekarang gadis itu menatap Brian lekat dengan mata melebar. "Astaga, Brian, kau benar!" pekiknya tidak percaya. "Aku menertawakan pertanyaan tidak lucu Shane. Astaga, bodohnya aku!"
Shane mendengus kesal. Seharusnya kau memikirkannya, Bodoh!" maki pemuda itu kesal. "Jangan langsung melempariku!"
Stephanie meringis. "Maafkan aku, Shane," pintanya manis.
Shane membuang muka. Sementara Brian hanya memutar bola mata bosan.
"After all, kau menanyakan sebuah pertanyaan yang kau sudah tahu jawabannya," sambung Stephani kesal. Gadis itu menyandarkan punggung ke belakang, tangannya bersedekap. "Semua orang di Grandville sudah tahu kalau Angelica dan keluarganya sering berlibur. Terkadang hanya keluarga mereka terkadang bersama dengan Nona Elizabeth."
Shane memutar bola mata kesal. "Aku sudah tahu itu!" sentaknya.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih bertanya?" balas Stephanie tak kalah kesal.
Shane mengerang, pemuda itu mengacak rambut hitamnya frustasi. Brian yang melihatbya hanya bisa menggelengkan kepala. Shane aneh. Stephanie benar, untuk apa Shane bertanya kalau dia sendiri sudah tahu jawabannya. Brian rasa itu adalah hal paling bodoh yang pernah dilakukan seseorang. Atau mungkin Shane ingin mengajukan pertanyaan yang lain, hanya saja dia salah menyampaikan. Brian menghela napas. Pemuda itu menyesap s**u kocok pesanannya sebelum berbicara. Dia perlu meluruskan kesalahpahaman ini.
"Mungkin yang ingin kau tanyakan adalah apakah Angelica pernah ke luar kota Grandville," ucap Brian. "Benar begitu bukan, Shane?" Brian menatap sahabatnya yang tampak kikuk dan kesal. Brian tertawa kecil melihat wajah tampan itu menekuk.
Shane mengangguk lemah. Memang dia ingin bertanya seperti itu tadi, hanya saja dia salah kata.
"Kalau yang seperti itu tidak perlu bertanya padaku," sahut Stephanie. "Brian juga sudah tahu jawabannya. Benar bukan, Bri?" Stephanie menatap Brian.
Pemuda itu mengangguk. Memang benar apa yang dikatakan Stephanie. Memang tidak banyak yang tahu kaiau Angelica dan keluarganya tidak pernah meninggalkan kota Grandville, untuk berlibur sekalipun. Mereka biasanya pergi ke tempat-tempat wisata yang ada di Grandville. Tuan Brown tidak pernah membiarkan anak dan istrinya keluar dari Grandville. Kata pria berambut cokelat keemasan itu, selain Grandville, kota-kota lain tidak ada yang aman. Apalagi kota besar seperti Kota New York, sehingga dia tidak pernah memperbolehkan keluarganya pergi berlibur keluar kota. Meskipun Nona Elizabeth yang mengajaknya, Tuan Brown tetap menolak.
"Seperti yang kau dan penduduk Grandville ketahui, Tuan Brown tidak pernah mengizinkan keluarganya keluar kota," ucap Brian. "Dan itu benar. Angelica dan keluarganya tidak pernah pergi keluar kota. Tentu saja karena alasan tak masuk akal ayahnya."
"Berarti Angelica tidak pernah pergi dan menginap di rumah keluarga Bryant yang berada di Kota New York. Aku benar kan?" tanya Shane semangat. Pemuda itu menatap Brian dan Stephanie bergantian.
Kedua orang yang ditatap itu mengangguk bersamaan.
"Jadi dugaanku memang benar, bahwa Angelica berbohong soal menginap itu," ucap Shane berapi-api. "Juga tentang perkenalannya dengan gadis itu. Maksudku gadis dari kota besar itu."
Lagi, Brian dan Stephanie mengangguk pada saat bersamaan.
Shane tampak sumringah. Mata hijaunya berbinar. Sekali lagi dirinya akan bisa membongkar kebohongan Angelica dan mematahkan kesombongan gadis itu. Yeah, walaupun tidak akan membuat Angelica sadar akan sifat menyebalkannya, tapi setidaknya dia bisa menguliti kepopuleran gadis itu. Itu pun kalau benar Angelica populer.
"Terima kasih, Teman-teman," ucap Shane tersenyum lega. "Kalian memang yang terbaik."
Brian dan Stephanie kembali bergerak bersamaan. Kedua orang itu memutar bola mata mereka bosan. Menurut mereka sedikit berlebihan. Tidak ada yang istimewa dari apa yang mereka katakan. Mereka hanya mengatakan hal yang memang benar-benar terjadi. Fakta kalau keluarga Brown tidak pernah menginjakkan kaki di luar kota Grandville sudah menjadi rahasia umum, mereka hanya mempertegas saja.
Brian tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. Shane ada-ada saja, pikirnya.