"Aku biasanya makan di atap." Marwa menegaskan situasinya.
Setiap hari, Aleta selalu makan di atap sendirian. Atap gedung itu memang luas, tapi sebagian besar terdapat area merokok dan beberapa mesin penunjang gedung. Tidak sekalipun Aleta melihat Marwa di sana.
Aleta berkata dengan sedih, "Trus ini gimana? Gara-gara aku, makan siang kamu jatuh berantakan."
"Nggak apa-apa, Al. Aku udah makan tadi sebagian," kata Marwa menenangkan.
'Bohong lagi,' Aleta membatin.
Siapa pun yang melihatnya, pasti tahu bahwa bekal makan itu masih utuh karena masih dalam porsi besar, telur dadarnya juga masih bulat.
"Gini aja, aku bakal ganti ini semua. Tapi kamu temenin aku makan di kantin," ajak Aleta.
"Tunggu dulu."
Aleta melihat tangan Marwa yang menahan lengannya. Wanita itu tampak gugup.
"Kamu yakin mau ngajak aku?"
Aleta tertawa kering. "Ya, aku tau aku nggak punya uang, bahkan masih punya utang di mana-mana juga, tapi setidaknya untuk ganti makanan kamu seporsi, aku masih sanggup."
"Bukan itu maksudku ..."
"Hm?"
Kemudian, Marwa justru tidak menjawab apa pun lagi, nampak ragu-ragu dan gelisah. Aleta tidak tahu apa masalahnya, tapi sepertinya Marwa punya beban pikiran yang tidak bisa dia bagi. Dan Aleta juga tidak ingin memaksanya bercerita.
"Sebenernya aku belum pernah makan di kantin kantor. Jadi anggap aja kamu nemenin aku hari ini."
Kepala Marwa langsung mendongak. "Biasanya kamu makan di mana?"
Aleta tidak mungkin menjawab bahwa dia biasa makan roti di atap, karena itu bisa membongkar kebohongan Marwa, jadi dia menjawab, "Aku makan di ruangan."
"Oh."
"Aku biasanya bawa bekal roti, tapi hari ini aku lupa," bohongnya.
Melihat Marwa masih terdiam di posisinya, Aleta segera menarik tangannya.
"Ayo, tunggu apa lagi? Bekas makanan ini nanti biar kita panggil cleaning service untuk bersihin."
Keduanya menatap nasi yang berceceran dengan perasaan berat. Marwa masih enggan mengatakan apa pun, Aleta jadi merasa semakin bersalah.
"Marwa, aku minta maaf. Aku bener-bener nggak sengaja bikin kamu kaget."
Marwa mengembuskan napas pasrah. "Oke deh, kalau kamu maksa."
Keduanya keluar dari toilet dan menuju ke kantin di lantai satu. Kebetulan di dalam lift sedang tidak ada orang selain mereka berdua.
"Tapi, aku bener-bener nggak masalah kalau kamu nggak ganti makanan itu." Marwa berkata tak enak hati, apalagi setelah Aleta bilang dia punya banyak utang.
"Kita masih kerja sampe sore, perut nggak boleh kosong."
Marwa tidak berkata apa pun lagi. Diam-diam Aleta melirik wajah Marwa dari samping dan berpikir harus membahas masalah yang sebelumnya atau tidak.
"Kenapa?"
Kesiap, Aleta langsung memalingkan wajah. "Itu ... apa tadi kamu denger semua yang aku omongin di toilet?"
"Soal Pak Danu?" tembak Marwa dengan tenang.
"Jadi kamu denger semua?" Aleta panik dan malu. "Marwa, please. Please banget jangan kasih tau ke siapa-siapa soal ini ya. Aku nggak bermaksud apa-apa. Itu karena Pak Danu cuma ... cuma ...."
Cuma apa? Aleta juga bingung.
Tapi Marwa hanya bisa menebak, "Kamu dan Pak Danu saling kenal?"
Ekspresi Aleta segera berubah. Dia tersenyum kecut. Marwa mengamati ekspresi ini dan menyemangatinya. "Apa pun masalah kamu sama Pak Danu, aku yakin dia nggak maksud jahat sama kamu, Al."
"Kenapa kamu bisa bilang gitu?"
"Bukannya kamu juga tau jawabannya? Pak Danu biasanya baik ke semua orang, tapi cuma ke kamu aja sikapnya berubah. Semua orang kantor juga tau ini."
Sial!
Ternyata baru beberapa hari dia menjadi karyawan di sini, dia sudah menjadi ladang gosip terpanas?
Tapi apa yang dikatakan Marwa memang benar. Dia tersenyum simpul. "Yeah, Danu emang orang baik kok."
Marwa menoleh ke arah Aleta dan tersenyum. "Asal kamu nggak ngebantah, pasti lama-lama dia juga capek marah terus."
Capek gimana?
Aleta merasa Danu kelebihan energi setiap kali Aleta muncul di hadapannya. Ketika Aleta melawan ocehannya, dia bahkan lebih keras lagi seolah-olah dia baterai yang terisi penuh. Dia dengan tega mengeluarkan kata-kata kejam dengan maksud menyakiti Aleta. Cuih! Sayang sekali, Aleta sudah kebal luar dalam.
Di dalam hatinya, Aleta juga ingin ini cepat berakhir dan Danu memberinya kesempatan untuk minta maaf.
Aleta menghela napas panjang.
Akhirnya mereka tiba di lantai satu dan bersamaan melewati lorong lift lain sebelum berbelok ke kanan. Mereka tiba di sebuah pintu ganda, yang bertuliskan 'Kantin Karyawan'. Ini adalah pengalaman pertama Aleta ke sini. Diam-diam dia menghitung uang di dompet.
Marwa menyadari kekhawatiran Aleta dan segera berkata, "Kita makan di Kantin Melati aja, di sana lebih murah."
Setelah Aleta masuk pintu ganda barusan ternyata ada lorong lagi, di kanannya adalah jalan menuju toilet pegawai dan mushola, sebelah kiri adalah area rokok. Sedangkan kantin ada di depan mata, dan itu ada di dua pintu. Masing-masing pintu ada papan nama di atasnya.
Kantin Melati. Kantin Mawar.
"Apa bedanya?" Aleta penasaran.
"Kantin Melati khusus untuk makanan yang murah, dan Kantin Mawar lebih elit dan mewah——mereka nyediain menu makanan asing, bahkan ada dessert juga."
"Oh."
Aleta sudah terbayang isi makanan di kantin elit itu, karena dia biasanya lebih suka memilih restoran yang punya menu makanan yang unik. Walaupun Aleta sekarang sangat ingin ke sana, tapi dia tahu dia sangat miskin sekarang.
"Astaga, kapan gajian?" Aleta tersenyum sedih.
"Al, aku bener-bener nggak apa-apa kalau kamu nggak ganti makanan itu. Aku serius." Marwa mencoba membujuknya lagi, sebenarnya dia terpaksa menyetujui tawaran Aleta juga karena tidak ingin Aleta merasa berutang.
"Eh? Kamu bisa baca pikiran aku?" Aleta bengong.
"Hah?" Marwa bingung.
"Hah?" Aleta ikut bingung.
Tiba-tiba Marwa menyemburkan tawa yang ringan dan geli. "Aleta, kamu nggak sadar kalau kamu ngomong terang-terangan?"
Aleta menggaruk kepalanya. "Hehe, emang gitu ya?"
"Aku beneran—"
"Ssst, ini atas inisiatif aku sendiri. Bukan paksaan. Aku emang pengin traktir kamu, selain karena aku salah, juga karena kamu salah satu yang mau temenan sama aku."
Wajah Marwa membeku sepersekian detik, dan dia tampak linglung karena bingung dengan apa yang dia dengar.
Teman?
Marwa menunduk dan tersenyum tipis.
"Udah ah, ayo! Sementara, kita ke Kantin Melati dulu karena budget aku tipis. Ok?"
Setelah keduanya duduk, Aleta baru sadar bahwa dua ruangan kantin itu hanya dipisahkan dengan sekat kaca tebal. Meskipun tidak terlalu jelas, tapi dia bisa melihat orang-orang di kantin sebelah. Penempatan meja dan kursi di kantin itu sama dengan di kantin yang ditempatinya, bedanya mereka memiliki meja bar.
"Kamu mau pesan apa?" Marwa mengetuk meja.
"Kamu duluan pesan, nanti aku pesan yang sama. Aku nggak tau apa yang enak di sini."
"Kamu beneran belum pernah makan di kantin?"
"Belum."
Marwa membawanya ke stan makanan terdekat, dengan lihai menjelaskan, "Untuk budget mini tapi sehat, kamu bisa ke sini dulu. Nasi sayur dan telur cuma sepuluh ribu."
Aleta hampir tersedak ludahnya sendiri. "Semurah itu?"
"Iya, jadi kalau kita pesan dua sama air mineral, sekitar tiga puluh ribu aja. Apa duit kamu cukup? Kalau misal nggak cukup—"
"Cukup, cukup!" Aleta sangat bersemangat karena ini pertama kalinya dia bisa makan satu porsi cuma sepuluh ribu.
Di display kaca, masih ada beberapa lauk yang menggugah selera Aleta, apalagi dia melihat ayam goreng dan ikan bakar.
"Kamu mau tambah lauk?" tanya Marwa setelah dia memesan pada pemilik stan.
"Tambah uang nggak?"
"Tambah tapi nggak banyak."
Mendengar bahwa dia harus menambah uang lagi, Aleta mengurungkan niat. Dia masih dalam fase mengirit. Akhir bulan masih dua belas hari lagi, kalau dia foya-foya, uang yang dikasih Arumi bisa habis. Dia masih punya banyak keperluan seperti bahan makanan di rumah, ongkos pulang pergi kerja dan lain-lain.
Kalau dipikir-pikir, dia merasa beruntung Danu sudah membayar semua biaya apartment selama tiga bulan di muka.
"Enak banget!" kata Aleta sesaat mencoba sup jamurnya.
"Ramah di dompet, enak lagi," sahut Marwa. "Meskipun murah, sebenernya nggak kalah rasanya sama yang di sebelah."
Aleta melirik ke kantin sebelah dan tidak peduli. Dia bisa makan enak dengan sepuluh ribu, kenapa dia harus mengeluarkan banyak uang? Dengan begini, dia bisa membuktikan pada sang ayah, kalau dia bisa hidup sendiri tanpa bantuan ayahnya itu.
"Tapi kalau lama-lama juga bosen sih," kata Marwa lagi.
Mulut Aleta penuh saat menjawab, "Nanti kalau gaji pertama aku keluar, aku traktir kamu, ya?"
Marwa terkejut dengan penuturan itu. "Al, maksud aku ngomong begitu bukan untuk—"
"Aku tau kok, aku tau. Tapi aku pengin traktir kamu, karena kamu baik sama aku."
Lagi-lagi Marwa tersipu. "Sebenernya aku juga nggak pernah masuk ke kantin sebelah."
"Serius? Apa harganya memang semahal itu?"
"Bagi aku itu harga yang lumayan, soalnya aku juga miskin. Jadi kalau kamu mau nyoba, sekali-kali juga nggak apa-apa, kalau keseringan nanti uang kamu abis."
Aleta meringis.
"Aku akuin dessert di sana emang enak."
"Oh ya?"
Marwa mengangguk, dia menelan suapan terakhir sebelum melanjutkan, "Seminggu ini Pak Danu ngirim dessert box, 'kan? Itu menu makanan di kantin sebelah."
Jujur saja Aleta kaget dan dia semakin bersemangat untuk ke kantin mahal itu. "Lemon cake juga ada di sana?"
"Yup."
Aleta tidak bisa menahan senyumnya. Bahkan dia tidak sabar untuk kembali ke ruangan, dan melihat apakah ada bingkisan dari Danu yang lain lagi. Kali ini Aleta tidak masalah jika bukan hanya dirinya yang mendapatkan itu, dia hanya terlalu senang karena itu pemberian Danu.
Sementara di kantin sebelah, Danu yang sedang melamun, tiba-tiba bersin.
"Pak Danu lagi sakit?" tanya Bagas yang sedang duduk bersama Danu dalam satu meja.
"Nggak, mungkin ada yang ngejelekin saya di belakang." Danu menjawab asal.
"Siapa sih yang mau ngejelekin Pak Danu? Udah baik, kaya, ganteng lagi. Yang ada mereka lagi lomba untuk deketin Bapak mungkin." Kevin menyahut. Kevin ini adalah teman Bagas dari divisi marketing.
Danu tidak menggubris omongan dua orang itu. kepalanya menoleh ke sana kemari sekali lagi, menggantungkan harapan kecilnya untuk menemukan seseorang, tapi orang itu tidak ada. Danu juga bingung kenapa dia masih bersikeras, padahal dia sangat membenci orang itu. Dan seminggu berada di kantin, orang itu bahkan tidak pernah muncul.
"Saya nggak pernah liat Aleta di kantin. Apa dia nggak makan siang?" Danu membuka topik baru di meja itu.
"Aleta siapa?" Kevin melirik Bagas.
Bagas menjelaskan secara singkat siapa Aleta dan kemudian menjawab Danu, "Aleta biasanya bawa bekal, Pak. Kayaknya dia makan di atap deh."
"Atap?"
"Saya udah ajak dia ke sini, tapi dia selalu beralasan bawa bekal dan lagi ngirit pengeluaran. Banyak utang katanya." Bagas berkata prihatin.
Di sini, Danu baru ingat kalau Aleta sedang kabur dari Turki untuk mengindari ayahnya. Dia juga kehilangan kartunya waktu itu, wajar saja jika dia sedang mengirit uang.
"Makanya dia seneng banget waktu Bapak ngirimin bingkisan makanan tiap hari. Dia bahkan nunggu-nunggu terus tiap hari," kata Bagas tertawa.
Danu tidak bisa menyembunyikan wajah kagetnya.
"Iya, Pak, saya juga seneng lho. Kadang-kadang bisa saya makan sama pacar." Kevin juga tertawa. "Sering-seringlah, Pak, traktirannya."
Danu hanya tersenyum dan mengeluarkan dompetnya. Dia merasa beruntung dapat informasi berharga hari ini. Memangnya apa yang lebih berharga dari uang?
"Makanan kalian hari ini saya yang bayar. Pesan beberapa dessert box lagi, bagikan seperti biasa, ya," kata Danu.
Keduanya berbinar melihat uang yang diberikan Danu. Dengan cepat mengangguk.
"Serius, Pak? Siap, Pak. Siap!"
***
Danu keluar dari kantin dengan perasaan lega. Tidak menyangka bahwa bingkisan itu ternyata berguna bagi sebagian orang.
Bukannya Danu ingin memberikan harapan pada Aleta, tapi siapa sih yang bisa melihat seorang wanita sendirian kesulitan? Danu tidak setega itu. Lagipula, dia terlalu banyak uang untuk bisa dibagi-bagikan kepada setiap orang, bahkan hanya dessert box, itu bukan apa-apa.
Baru saja dia keluar dari pintu, dia melihat kantin sebelah terbuka dan Aleta keluar juga dari sana. Sedang tertawa keras bersama Marwa.
Kebencian Danu entah bagaimana muncul lagi. "Wanita itu nggak baik tertawa terlalu keras. Nggak sopan."
Tawa Aleta berhenti, bahkan langkah kakinya juga, wajahnya langsung membeku begitu melihat Danu. "Maaf, Pak, kami lagi bahas sesuatu yang seru."
"Sebentar lagi masuk jam kerja, dan kalian baru keluar dari kantin semepet ini? Di mana kedisiplinan kalian?" Danu memarahinya lagi, semua orang yang ada di situ melihat mereka penasaran.
"Memangnya gara-gara siapa aku telat, huh?" cibir Aleta pelan.
Tapi telinga Danu sangat tajam. "Ngomong apa kamu, Aleta? Kamu menuduh saya nahan kamu untuk telat makan siang gitu?"
"B-Bukan gitu, Pak."
"Apanya yang bukan begitu?" Danu tidak mengalah. "Ini sudah seminggu kamu di sini, dan sikap kamu masih belum berubah. Apa sih, Aleta, mau kamu? Jangan pikir kamu sudah lepas seleksi di kantor ini. Jangan pikir, saya nggak bisa nilai ulang kamu. Situasi kamu belum aman."
Situasi apa pula?
Kepala Aleta mendadak berbuih dan panas. Dia benar-benar ingin mengumpat jika tidak lihat sikon.
"Maaf, Pak. Ini sebenernya gara-gara saya Aleta baru selesai makan siang." Marwa mencoba membuka suara.
Pasalnya, karena insiden di toilet, dia menahan Aleta cukup lama, sehingga waktu istirahat terus terpangkas habis. Belum lagi obrolan mereka yang seru di kantin. Mau tak mau Marwa merasa bersalah.
"Marwa, kerja kamu di sini udah bagus, kamu udah disiplin. Seharusnya kamu jangan terbawa sama ketidaksiplinan pegawai baru dan malah bikin nilai kerja kamu turun." Suara Danu lebih rendah ketika bicara pada Marwa.
Marwa menunduk cemas. Ini pertama kalinya dia lihat Danu marah, jadi dia sedikit takut. "Iya, Pak. Saya minta maaf."
"Sekarang kamu kembali ke atas. Dan kamu, Aleta, menghadap ke ruangan saya."
"T-Tapi, Pak—"
Aleta baru saja ingin protes, tapi Danu meninggalkannya dengan tenang tanpa peduli sama sekali.
tbc.