“Assalamualaikum,” ucapku pada Bu Helmi.
“Waalaikumsalam,” jawab Bu Helmi dari dalam rumah.
Aku berdiri di depan pintu rumah Bu Helmi. Sambil menenteng keranjang yang berisi pakaian bersih, yang sudah disetrika.
“Bu, ini pakaiannya sudah selesai.”
“Iya, Ay,” sahutnya.
Bu Helmi keluar dari dalam kamar. Dia masih memakai pakaian daster batik berwarna coklat tua.
“Ini upah buatmu, ya, Ay?” ucapnya mengulas senyum.
“Terima kasih, Bu.”
Kuterima uang lembaran dua puluh ribu dari Bu Helmi. Hanya Bu Helmi pelanggan tetap, yang masih bertahan mengantar cucian tiap hari. Dia terkenal dermawan pada setiap orang. Terlebih lagi kepada keluargaku yang susah.
“Besok ada acara di rumah Ibu. Kamu datang, ya! Buat bantu-bantu di dapur!” kata Bu Helmi. Seraya memberiku bungkusan kantong plastik hitam, yang tadi dibawanya dari arah dapur.
“Apa ini, Bu?” tanyaku penasaran.
“Tadi Rida pulang dari kantor membawa martabak telur tiga porsi. Kebetulan Bapak lagi ada tugas di luar kota tidak pulang. Jadi Ibu memberikan satu untukmu,” lanjutnya.
“Maaf, Bu. Aku jadi merepotkan Ibu.”
“Kamu tidak perlu sungkan atau canggung Ayi. Ibu memberikan ini karena tidak mau makanan mubazir. Lebih baik Ibu berikan padamu agar anak-anakmu bisa ikut menikmati,” jelas Bu Helmi.
“Terima kasih, Bu,” ucapku sekali lagi.
“Sama-sama. Besok jangan lupa datang, ya ke rumah buat bantu Ibu masak.”
“Ibu ada acara apa?” tanyaku penasaran.
“Rida dilamar pacarnya. Dan akan mengadakan acara tukar cincin pada malamnya,” jawab Bu Helmi tersenyum.
Aku hanya mengangguk. “Oh ....”
Setelah berpamitan pada Bu Helmi, aku melanjutkan mengantar pakaian ke rumah Bu Zainab. Satu tanganku menenteng keranjang pakaian yang sudah bersih di setrika. Sementara tangan yang satunya lagi menggendong Nara.
Pegal sudah pasti, apalagi lelah. Jangan ditanya lagi bagaimana rasanya. Berjalan dari rumah mengantar pakaian menyusuri desa membuat tubuh, dan tulang-tulangku rasanya mau remuk. Sampai di rumah Bu Zainab, aku berdiri di ambang pintu. Sambil mengedarkan pandangan menatap bunga yang tertata rapi di halaman, dan mengucap salam.
“Assalamualaikum, Bu Zainab,” sapaku.
Kebetulan Bu Zainab sedang duduk di teras bersama suaminya.
“Waalaikumsalam,” jawabnya.
“Ini pakaiannya sudah selesai, Bu.”
Bu Zainab segera menghampiriku, dan menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah.
“Besok gak usah ambil cucian ke rumah Ayi. Karena Ibu sudah punya mesin cuci baru. Suami Ibu yang memberikannya tadi,” ucap Bu Zainab sembari merangkul suaminya.
Aku mengangguk pelan. “Iya, Bu.”
Berkurang satu lagi pelanggan yang biasa mengantar cucian ke rumah. Dengan sabar kuusap d**a agar dilapangkan rezeki berikutnya.
“Aku dengar suamimu menceraikanmu Ay,” sela Pak Iwan. Matanya terlihat mengerling sebelah ke arahku.
“Iya, Pak,” jawabku kaku.
“Oh, ya, Ayi. Ini upah kamu. Aku hampir lupa memberikannya,” ucapnya.
Bu Zainab menyerahkan uang pecahan lima belas ribu kepadaku.
“Kok, lima belas ribu, Bu,” protesku.
“Iya. Ibu potong lima ribu karena kemarin kamu telat mengantarnya sampai ke rumah,” jelasnya sembari memajukan bibirnya lima centi ke depan.
Soal dandan Bu Zainab memang nomor satu. Bibir bak buah tomat merona dengan lipstik merah darah, dan menyala. Tidak pernah absen setiap hari menghiasi.
“Astagfirullah, Bu. Kemarin’ kan sudah aku jelasin kalau telat karena harus menjemput Habib dari sekolah,” ujarku menjelaskan.
“Iya, kalau telat, ya tetap telat, Ayi. Lagian gara-gara kamu aku jadi terlambat arisan dan ketinggalan berita.” Sungutnya kesal. Bibir tebalnya mengerucut ke atas.
“Ya, sudah, Bu.Tak apa-apa. Mungkin memang rezekiku hari ini Cuma segini,” ucapku menunduk.
Setelah menerima upah dari Bu Zainab, aku pun melanjutkan perjalanan. Mengantar pakaian yang sudah disetrika ke pelanggan lainnya. Tinggal satu lagi pekerjaanku akan selesai.
Berjalan di bawah teriknya sinar matahari membuat tubuhku terasa panas. Nara yang sedari tadi ada dalam gendonganku masih tertidur pulas. Setiap hari Nara tidak pernah aku tinggalkan di rumah sendiri. Walaupun mengantar pakaian ke rumah pelanggan. Nara, aku gendong menggunakan kain jarik yang sudah lusuh. Terdapat tambalan dan jahitan sana-sini.
Berjalan keliling desa membuatku terasa sangat lelah. Semua kulakukan demi kedua buah hatiku yang sudah menjadi tanggung jawab. Di sebuah rumah berukuran sederhana, perumahan tipe tiga enam langkah kaki terhenti. Rumah milik Intan adalah rumah terakhir yang aku singgahi, untuk mengantar pakaian.
“Assalamualaikum,” ucapku dari luar.
Sejenak aku duduk di teras Intan. Beristirahat sebentar mengatur napas.
Tak lama kemudian, Intan muncul dengan menggunakan lingerie berwarna merah menyala. Bajunya tipis transparan, dan tembus pandang.
“Eh, kamu, Ay,” sapanya.
“Iya, Tan. Aku datang ke sini untuk mengantarkan pakaianmu.”
“Ya, sudah letakkan saja di situ! Sebentar aku ambil uangnya ke dalam,” Intan melangkah dengan gemulai memakai lingerie merah menyala pada siang hari.
Satu menit kemudian, aku mendengar suara seorang pria muncul dari kamarnya. Dengan memakai handuk saja sebatas pinggang. Semula aku mengira itu suami Intan yang baru pulang kerja. Namun ternyata bukan. Dugaanku salah.
“Siapa sih, siang-siang datang kemari? Ganggu orang lagi enak-enakkan saja,” dengkus pria itu kesal.
“Tukang cuci, Sayang,” sahut Intan cepat.
“Cepat kasih uangnya, Sayang! Dan suruh lekas pergi aku mau melanjutkan main kuda-kudaan,” ucapnya. Seraya berlalu begitu saja sembari menutup pintu kamar dengan keras.
Intan pun kemudian mendekatiku dengan pelan, dan memberikan upah sesuai dengan kesepakatan awal.
“Ambil uangnya, Ay! Dan segera pergilah dari rumahku!” ketus Intan.
“Maaf, Intan. Aku tidak punya kembaliannya,” ucapku.
“Sudah ambil saja kembaliannya! Tapi jangan bocorkan rahasiaku, ya!” titahnya. Intan memberikanku uang pecahan lima puluh ribu sebagai ganti aku tutup mulut.
“Aku takut dosa. Maaf, bukan sombong menolak rezeki. Tapi aku gak mau nanti jadi beban di akhirat,” ujarku.
“Halah ... udah miskin aja belagu. Sok gak mau uang. Dikasih lebih malah nolak,” gerutunya.
Aku hanya mengelus d**a mendengar cibiran intan. Uang yang disodorkannya sebagai ganti tutup mulut, karena menutupi aib perselingkuhannya. Namun dengan tegas aku menolaknya. Berdalih dosa dan tidak berkah. Intan kemudian marah dan membanting pintu rumah sekeras-kerasnya.
“Ya, sudah kalau tidak mau. Pergi sana! Sudah dikasih rezeki malah nolak. Dasar tak tahu diuntung,” cerocosnya.
Intan Membanting pintu tanpa menoleh ke arahku. Aku hanya mengelus d**a melihatnya.
Pintu dibanting sekuatnya hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Nara tersentak bangun dalam gendonganku. Mendengar keributan yang baru saja terjadi.
“Bunda,” panggilnya lirih.
“Ya, Sayang.”
“Adik, haus,” ucapnya.
“Sebentar, Nak. Kita minum di rumah saja, ya? Bunda sudah selesai kok ngantar pakaiannya,” ujarku.
Nara mengangguk pelan. “Iya, Bunda.”
Di bawah terik matahari tepat di atas kepala, kami berdua berjalan kembali menuju rumah. Tidak banyak hasil yang kudapat hari ini. Hanya tiga puluh ribu rupiah saja. Seharusnya ada tambahan dari baju yang diantar tadi ke rumah Intan, tetapi dia urung memberikan karena aku menolak uang suap.
Berjalan keliling kampung yang jauh, membuat putri kecilku menjadi kehausan. Panasnya mencapai tiga puluh delapan derajat. Sesampai dirumah dia meminta minum.
“Bunda, haus,” ucapnya lagi.
“Ini, Nak. Minumlah yang banyak!” segelas air putih diminum dan menandaskan isinya. Dia pun kembali tersenyum.
“Makasih, Bunda,” Nara berkata sembari memberikan gelas kosong kepadaku.
Baru saja aku duduk melepaskan lelah, Habib pulang dengan wajah yang kusut dan sedih.
“Assalamualaikum,” ucapnya. Habib masuk dengan wajah yang masam dan terlihat sedih.
“Ada apa, Nak?” tanyaku heran.
Lima menit kemudian, Habib terlihat menarik napas, dan terdengar mendesah.
“Besok Habib akan dikeluarkan dari sekolah, Bunda,” jawabnya lesu.
“Loh, kenapa?” tanyaku lagi.
“Sudah enam bulan Bunda menunggak uang sekolah.” Habib berkata dengan lirih.
“Astagfirullah,” ucapku mengelus d**a. “Maafin Bunda, Nak. Bunda belum bisa membayar uang sekolahmu.”
“Jika besok tidak dibayar Habib bisa dikeluarkan dari sekolah, Bun,” desisnya.
Aku terdiam mendengar ucapan Habib. Memang sudah enam bulan uang p********n sekolah tidak aku lunasi. Bukan karena sengaja, tetapi memang tidak punya uang sama sekali untuk melunasinya. Penghasilan sehari-hari pun tidak mencukupi. Bagaimana bisa membayar uang sekolah?
Segera aku beringsut dari tempat duduk dan beralih menuju kamar. Lemari pakaian yang sudah lapuk kubuka, dan mengambil uang simpanan, yang selama ini aku sisihkan untuk membayar listrik. Dan di tambah uang tadi pun, hanya cukup untuk membayar tunggakkan tiga bulan saja.
Uang sekolah Habib sebulan lima puluh ribu, dan tertunda enam bulan. Sisanya masih banyak lagi yang belum dibayar. Terpaksa hari ini, dan besok kami harus berpuasa. Menahan lapar karena tidak punya uang untuk beli bahan makanan. Hanya martabak dari pemberian Bu Helmi tadi. Bisa mengganjal perut Habib dan Nara. Sedangkan aku mengalah asal mereka tidak kekurangan.
Biarlah aku yang mengalah untuk kedua buah hatiku. Malam ini dan besok, aku harus berpuasa menahan lapar asal anakku bisa makan, dan tidak kelaparan.
“Besok biar Bunda saja yang datang ke sekolah, Nak. Bunda akan bayar tiga bulan dulu dan meminta tangguhan pada kepala sekolah biar tidak mengeluarkan kamu dari sekolah,” ucapku.
“Iya, Bun. Andai saja Ayah ada. Pasti kita tidak akan menderita seperti ini, ya, Bun,” keluh Habib. Matanya terlihat sayu menatapku.
“Suatu hari nanti pasti Ayah akan menyadari kesalahannya, Nak. Bahwa keluarga adalah sangat berharga dibanding harta,” jelasku.
Habib mengangguk pelan. “Iya, Bun.”
“Sekarang ganti bajumu lalu makan! Bunda punya martabak kesukaanmu buat makan hari ini,” ucapku kemudian.
“Asyik … Habib bisa makan enak hari ini,” teriaknya girang.
Aku tersenyum kecut melihat kecerian di wajah Habib. Makan dengan memakai telur, dan martabak berisi daging menjadi barang mewah bagi kami, yang setiap hari hanya makan seadanya tanpa lauk.
Bahkan, lebih keseringan berpuasa menahan lapar karena tidak punya uang. Untuk membeli bahan makanan. Hanya air putih yang bisa kami minum untuk menahan rasa lapar.
Keadaan ini sudah kami jalani selama lima tahun. Sejak kepergian Mas Anan berpamitan untuk merantau mengadu nasib. Hidup kami sejak dulu serba kekurangan.
Pekerjaan Mas Anan yang hanya serabutan tidak mencukupi. Untuk kebutuhan kami sehari-hari. Dia pun akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib ke kota Jakarta. Berharap bisa mengubah kehidupan kami menjadi lebih baik. Nyatanya setelah berhasil dia berubah. Meninggalkan keluarganya yang selama lima tahun menunggunya kembali.
***
Bersambung.