SWFA-Kabur

2030 Words
Sesaat, setelah Aira lepas dari genggaman Sinta. Wanita itu segera menuju meja di mana akad akan dilangsungkan. Sinta mendekati suaminya dan juga putranya yang sedang duduk menunggu kedatangan Aira. Pernikahan Aira memang direncanakan oleh sang kakek dan kedua orang tua Andri, yang dulu memang pernah membuat janji dengan almarhum ayah Aira. Mereka berjanji jika putrinya sudah dewasa, kelak akan menjodohkannya dengan Andri anak dari Arifin. Sementara itu, Sandi adalah ayah Aira yang bersahabat baik dengan Arifin. Namun nahas, Tuhan berkehendak lain. Kedua orang tua Aira harus mendahului takdir mereka. Mengingat Aira sudah dewasa dan sang kakek sudah tua, di dalam benak sang Kakek saat ini. Dirinya meyakini bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Maka, dirinya akan melaksanakan keinginan Almarhum ayah Aira tanpa sepengetahuan Aira. Bukannya tak ingin memberitahu Aira, sang kakek sudah hafal dengan sifat cucunya itu, yang ingin mengejar cita-cita dan kariernya sebelum menikah. Sudah jelas jika dirinya memaksa Aira menikah, maka sudah pasti Aira akan kabur atau menolak hal itu. “Mana Airanya?” Kata Satya, kakek Aira. “Silahkan dilangsungkan akadnya, mumpung dia lagi sibuk. Nanti kalo sudah selesai saya akan bawa Aira kemari,” kata Sinta. Penghulu segera memulai akad dengan lancar. . . Mendadak wajah gadis berparas cantik itu memucat. “Ayo, itu Andri sudah menunggu kamu,” ucap Sinta. Andri? Nikah? Suami? Rasa-rasanya Aira ingin pergi ke segitiga bermuda dan menenggelamkan dirinya saat ini. Gimana tidak, semua mata menatap gadis itu dengan tatapan aneh. Terdengar beberapa orang sedang berbisik membicarakan dirinya. Bahkan, ada salah satu cuitan ibu-ibu yang membuat telinganya memanas. Biasa kan ya, kalo ibu-ibu sudah ngumpul akan ada yang namanya the power of gibah. “Kok bisa sih, masak pengantin malah duduk santai sambil makan? Baru kali ini aku nemu pengantin nggak punya adab deh jeng,” kata seorang ibu dengan gamis merah. “Iya ... ya jeng ... kalo anakku tadi sudah tak uwes-uwes,” sahut salah seorang ibu dengan gamis ijo. Masih banyak lagi tentunya kata-kata yang terdengar pedas, seperti sambelnya mang Ujang kalo lombok lagi murah-murahnya. Pikir Aira. Emang dasar tuh ibu-ibu nggak tahu tempat dan kondisi yang penting nge-ghibah jalan terus ya kan. Kalo nggak gitu kan namanya bukan ibu-ibu. Bayangkan aja, jika kalian yang berada di posisi Aira. Apa nggak langsung kena serangan jantung mendadak. Ya kali kan, tiba-tiba saja dirinyalah yang menjadi pengantin. Lagi enak-enak makan malah dengar namanya yang sedang diucap oleh si mempelai pria. Aneh kan ya, yang tadinya mau ngucapin selamat buat mempelainya, eh ... malah dirinya yang dapat ucapan selamat. Kan nggak lucu. Otak cerdas gadis itu mulai berpikir untuk segera kabur dari tempat itu. “Eh ... sebentar ya tante. Aira gugup nih, boleh ke kamar mandi dulu nggak?” Gadis itu sedikit memohon kepada Sinta. Sinta nampak berpikir sejenak sebelum mengambil keputusan, “ok, tante antarkan ya?” Ucap Sinta dengan lembut. Sinta memang tidak memiliki pikiran negatif terhadap Aira. Namun, siapa yang tahu ya kan. Kalo tiba-tiba si Aira kabur kan bisa berabe dong ya ini acara. Malah tamunya udah pada ngumpul semua lagi. Apa nggak tambah nyerocos nanti itu mulutnya ibu-ibu kompleks. “Nggak usah deh tante. Ya kali, masak udah gede pipis diantar,” kata Aira sembari tersenyum. Nggak tahu aja si tante, kalo Aira bakalan kabur. Aira dengan sejuta ide itu kemudian berjalan dengan cepat, meninggalkan Sinta menuju ke arah toilet untuk meyakinkan kalo dirinya benar ingin pergi ke kamar mandi. Setelah sampai di kamar mandi, Aira segera melepaskan sendal hak tinggi miliknya, tak lupa dia menjinjing sendal itu. Gadis itu berlari sembari memegangi kain batik yang membalut kakinya agar usahanya untuk kabur berjalan dengan lancar. Sinta yang merasa curigapun segera menyusul Aira ke kamar mandi. Di sana, Sinta yang sudah tak mendapati Aira di kamar mandipun segera berlari ke arah Arifin suaminya. Dia membisikkan bahwa Aira telah kabur. “Andri, cepat cari istrimu dia kabur!” Kata Arifin, pria paruh baya yang juga ayah dari Andri, sembari sedikit berbisik kepada putranya. Sementara Andri yang menyadari perkataan sang ayah, segera berlari keluar mengejar Aira, dari kejauhan Andri melihat Aira sudah menaiki mobil berwarna putih, yang dikendarai oleh seorang pria lalu menghilang dengan sangat cepat. “s**t!” Umpat lelaki tampan itu. Andri yang menyadari istrinya telah dibawa kabur oleh orangpun, mulai merasa kesal. Dia menyadari ternyata yang membuat langkahnya menjadi pendek adalah setelan beskap dan kain batik yang dia kenakan. Alhasil, Aira nggak dapat dirinya malah jatuh, karena tersandung kakinya sendiri. Ya elah mas Andri makanya kalo mau lari itu, jangan lupa itu kainnya dipegangin dulu. Dari kejauhan Jonathan berlari menghampiri Andri, “loh ... kok malah duduk di sini sih, Bos?” Ujar Jonathan, sambil menatap Andri dengan tatapan anehnya. “Emang dasar ya kamu itu, asisten nggak peka, nggak tahu diri. Sudah tahu bosnya jatuh. Eh ... bukannya ditolongin malah dilihatin. Nanti kupotong gajimu!” Ujar Andri sambil mengembuskan napas berat. Sementara Jonathan segera menolong Andir, ya ... bukan karena iba sih. Namun, karena lebih takut gajinya akan dipotong. “Iya maaf bos, mau di kejar atau bagaimana itu mbak Aira-nya?” “Biarin aja lah. Udah gede ntar juga tahu jalan pulang. Ayo aku mau balik ke rumah aja,” ujar Andri sambil berjalan terseok-seok menuju mobilnya. Karena jatuh yang nggak tepat, membuat pergelangan kaki Andri sedikit ngilu. “Loh loh ... itu tamu undangan, sama Pakde Arifin gimana?” Terlihat, Jonathan mulai panik ketika menyadari Andri akan pergi meninggalkan acara yang belum selesai. “Biarin aja ... Namanya juga nikah karena paksaan. Ya ... wajar si Aira kabur. Udah aku ngantuk ini. Kamu yang jelasin sama papa aja, nanti ku kasih bonus,” Andri memasuki mobilnya lalu melajukannya menuju rumah miliknya. “Ooo dasar pengantin gemblung. Acara sakral kok malah pada main-main. Malah tamunya seabreg. Bisa mati dipites aku sama pakde dan bude.” Jonatha kesulitan meneguk salivanya yang sebesar biji salak itu. Jonathan, adalah sepupu Andri yang kebetulan bekerja sebagai asisten dan orang kepercayaan Andri. Jonathan segera memberitahu kabar gagalnya Andri menangkap Aira. Eh ... bukan burung lho ya Jo, kok malah ditangkap. Sementara Satya yang mengetahui bahwa cucunya telah kabur-pun malah kehilangan kesadarannya dan langsung dilarikan ke rumah sakit. . . Jono mengendarai mobil Ayla miliknya, sambil bersenandung menyanyikan lagu yang tengah diputarnya dari radio yang ada di dalam mobilnya. Dari kejauhan Jono menangkap sosok Aira yang tengah kesulitan memegangi kain batiknya sambil berlari terseok-seok. Seketika itu juga Jono menghentikan laju mobilnya tepat di hadapan Aira. Aira menyadari bahwa orang yang berhenti di hadapannya itu, adalah gebetan Jodie. Yaitu Jono. Mendadak Aira menganggap Jono sebagai malaikat penyelamat yang dikirimkan oleh Tuhan kepadanya. Tanpa berpikir panjang dan tanpa dipersilahkan masuk oleh sang pemilik mobil. Aira langsung menerobos ke dalam mobil Jono dengan pedenya. “Jalan cepet Jon!” Jerit Aira. Jono yang merasa kaget langsung menginjak pedal gas mobilnya. d**a Aira yang masih naik turun karena napasnya terengah-engah ketika berlaripun, menatap Jono dengan cengirannya. “Apaan sih kamu, Ra? Emangnya aku supir taxi, seenaknya aja kamu nyuruh aku. Untung aku nggak jantungan lho ... emang kenapa sih? Malah pakai kebaya putih segala, kayak habis dikawinin paksa aja kamu,” kata Jono, yang masih fokus dengan laju kendaraannya. Sejurus kemudian Aira berpikir. Perkataan Jono memang ada benarnya. Aira malah mengangguk-anggukkan kepalanya. Aira berkata. “Kamu bener Jon. Nggak rugi bapakmu nguliahin kamu,” Aira malah menepuk-nepuk pundak Jono. Jono hanya menggelengkan kepalanya heran. “Lha emang apa hubungannya kuliah sama jawaban aku yang bener, coba?” Jono mulai merasa heran. Jangan-jangan karena goncangan ketika berlari tadi, otak Aira sudah geser dan membuat dirinya agak ngeheng. Begitulah pemikiran Jono sekarang ini. “Aku emang habis dipaksa kawin, eh ... nikah maksudku.” Jono yang kaget langsung menginjak pedal rem mobilnya. Karena ulah Jono, kepala Aira membentur dasbor mobil Jono. Alhasil, kening mulus Aira-pun benjol. “Beneran?” Jono melotot sambil menatap Aira. “Eh ... sorry-sorry, nggak sengaja Ra,” kata Jono sambil mengacungkan kedua jemarinya ke atas. Aira yang kesal memukul lengan Jono dengan keras. “Aduh,” teriak Jono. Sementara tangan yang satunya masih mengelus keningnya yang sudah benjol. “Udah, antarin aku ke kost Jodie aja. Ikut mobil kamu nyawa aku terancam Jon. Nanti aku ceritain di sana deh!” Perintah Aira. Udah kayak supir aja si Jono. “Iya-iya maaf,” kata Jono, mobil yang dikendarainya langsung melaju menuju kost milik Jodie, sahabat Aira satu-satunya. Jono hanya mengikuti instruksi dari Aira. Seolah dirinya adalah supir yang menuruti perintah majikannya. Hanya butuh waktu 15 menit mobil yang dikendarai oleh Jono, telah tiba di depan kost Jodie. “Thanks ya Jon. Maaf udah ngerepotin. Kamu nggak mau mampir dulu?” Tanya Aira. Seolah-olah yang dirinya mengajak mampir ke rumahnya sendiri. “Nggak usah. Sampaikann salamku buat Rara aja deh. Aku tadi disuruh ibu belanja ke pasar. Nanti kalo lambat pulang yang ada nggak makan dong Bapakku,” ujar Jono sambil terkekeh. “Iya deh ntar aku sampein. Makasih ya ... Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” jono meninggalkan Aira tepat di depan kost Jodie. “Aira ... itu tadi Jono? Kok nggak mampir sih” Suara cempreng dari arah belakang itu berhasil mengagetkan dirinya. “Jono terus yang ada di otak kamu Jod!” Aira mendengkus kesal. Siapa yang tak kesal jika sahabat yang dijadikan tempat curhat malah tak mempedulikannya. Ya kan ... apalagi pas lihat tampang Jodie yang lebih kehilangan Jono, dibandingkan dengan dirinya. “Hehe ... tumben kamu kesini Ra? Pasti mau curhat nih. Eh ... tunggu dulu. Kamu?” Jodie menunjuk Aira lalu menunju me arah Jono pergi, “Jono ... kok bisa sih?” Wajah Jodie kali ini benar-benar dipenuhi dengan banyak pertanyaan dan mulai muncul kecurigaan. “Kamu ... tega ngak nawari aku masuk??” Lirik Aira kepada Jodie. “Eh ... lupa ayo ceritain di dalam deh. Itu kenapa jidat kamu sampai benjol gitu?” Aira mengikuti Jodie memasuki kamar kost nya lalu menceritakan kejadian yang menimpanya dari awal dirinya memakain baju kebaya putih, dilanjut pergi ke undangan dan yang terakhir menyumbang untuk dirinya sendiri. Bukannya prihatin Jodie yang mendengar cerita Aira malah terbahak-bahak tak henti-henti. “Jadi? Kamu udah nikah?” Kata Jodie yang masih dengan tawanya. Aira hanya mengangguk lesu. “Eh ... tapi, itu ... suami kamu emang jelek banget ya Ra, sampe-sampe kamu lari gitu?” Jodie terlihat penasaran mendengar kelanjutan cerita Aira. “Dia nggak jelek sih Jod, cuma ...,” Aira melirik kepada sahabatnya. “Dia ... ganteng sih. Tapi, yang namanya mendadak ya kan, siapa yang nggak kaget coba. Bayangkan jika kamu yang mengalami apa yang aku alami, lagi asik-asik ngunyah rendang sama acar nama kamu tiba-tiba disebut. Apa nggak jantungan coba Jod?” Perkataan Aira memang benar. Tapi tak seharusnya dirinya kabur juga kan. Yang ada nanti pas udah ketemu kan malah bakalan malu banget nggak sih? “Aku ... sih, ya Ra. Kalo jadi kamu pasti nggak bakal lari lho. Malah bakal seneng banget deh. Secara, ya kan. Kamu itu kan jomblo akut. Jadi seharusnya bersyukur dong kan ya? dapet suami yang udah jelas mapan dan juga tampan,” kata Jodie. Tanpa disadari Aira juga menganggukkan kepalanya perlahan. Sedetik kemudian Aira mulai menyadari perkataan Jodie. “Eh ... enak aja kamu. Aku tuh nggak jomblo. Tapi aku itu single. S-I-N-G-L-E.” Kata Aira dengan tegas. “Ya Allah gusti. Sama aja kali Ra. Sama-sama nggak ada pasangan,” kata Jodie sambil terbahak-bahak. Ketika akan menjawab perkataan Jodie, tiba-tiba saja ponsel Aira berbunyi. Aira menatap Jodie. Seolah ingin meminta pendapat akankah dirinya harus menerima panggilan tersebut. Itu adalah nomor baru yang dia yakini adalah suaminya. “Angkat aja Ra, siapa tahu aja penting kan?” Kata Jodie. Terkadang sahabatnya itu ada kalanya pintar. Dengan ragu Aira mengangkat panggilan ponselnya. Aira [H- ha-lo] 08×××××××××× [Aira, kamu di mana? Cepat share lokasi kamu! Biar Andri jemput. Kakek masuk rumah sakit Ra.] Mendengar sang kakek masuk rumah sakit Aira pun sontak kaget dan menjatuhkan ponselnya. Tangannya bergetar air matanya mulai bercucuran dengan derasnya. Jodie, segera mengambil alih ponsel Aira yang masih tersambung dengan panggilan di seberang sana, lalu menjawab panggilan dan menjelaskan keadaan Aira. Lima belas menit setelah panggilan itu berakhir bel kamar Jodie pun berbunyi. Aira dan Jodie saling menatap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD