Kepercayaan itu mahal bahkan tak bisa dibeli oleh apapun jika seseorang sudah memegang teguh sebuah kepercayaan. Jadi, berkatalah jujur agar kepercayaan itu selalu tertanam di dalam diri. Angga berusaha menutupi semua masa lalunya namun ia tak menyangka bahwa akan bertemu kembali dengannya di rumah sakit ini.
Ia mulai berpikir bahwa wanita itu sudah mengikutinya tapi untuk apa? Apakah ia ingin mencari tahu mengenai dirinya dan juga Ai? Tapi untungnya apa? Angga menatapnya sekilas lalu melangkah pergi tapi langkahnya itu terhenti karena waktu itu tiba-tiba mencekal tangannya dan memeluk Angga kembali dari belakang.
"Lepaskan!! Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu ini!!" ucap Angga tegas memaksa tangan tersebut agar terlepas.
"Tidak! Jangan, Angga. Sebentar, saja. Sebentar saja, Sayang. Aku rindu, sungguh sangat merindukan aroma tubuhmu," bisiknya.
"Persetan! Aku jijik disentuh olehmu! Lepaskan!" Angga menghentakkan tangan wanita itu dan ia terlepas darinya.
Angga melangkah maju namun tiba-tiba wanita itu berkata, "Apa yang aku inginkan itu akan menjadi milikku!! Tak terkecuali kamu!!"
"Cih! Tak sudi aku dimiliki oleh w************n sepertimu! Menjijikan!" maki Angga berlalu pergi meninggalkan wanita itu yang menatapnya dengan nyalang.
Wanita itu tidak terima dengan makian yang keluar dari mulut Angga. Ia tak percaya, lelaki lembut dan penyayang seperti Angga bisa berkata kasar dan menyakitkan hatinya. Padahal dulu, lelaki itu sangat menyayangi dan mencintai dirinya, bahkan apapun yang diinginkan olehnya itu selalu dituruti, tapi sekarang semuanya berubah.
Jangankan menuruti keinginannya, untuk melihat wajahnya saja seakan enggan dan jijik. Wanita itu mengepalkan tangannya, benar-benar tidak diterima telah diacuhkan oleh lelaki yang sampai saat ini masih mengisi ruang di dalam hatinya.
Aku tak akan pernah melepaskanmu! Aku pastikan kehidupan kalian tidak akan bahagia! Aku siap untuk menghancurkan kebahagiaan kalian dengan caraku! Angga, aku pasti akan merebutmu kembali dari wanita jelek itu, ucapnya dalam hati.
Ia berbalik arah dan melangkah menuju orang suruhannya lalu orang tersebut memberi beberapa foto hasil jepretannya dan wanita itu tersenyum puas. Merasa sudah maju satu langkah untuk menghancurkan Angga. Sedangkan Angga dengan perasaan kesal melangkah terus hingga sampai di pengambilan obat lalu segera kembali ke istrinya.
Apapun keadaannya, mau itu sedang marah, lelah atau situasi seperti apapun tempat kembali adalah istrinya. Sebab, Ai bagaikan rumah ternyaman. Sebelum sampai di hadapan istri dan kedua sahabatnya, ia menenangkan terlebih dahulu hati dan pikirannya agar tidak meninggalkan bekas-bekas amarah seperti tadi.
"Angga kok lama ya," ucap Mimi.
"Mungkin antri, Kak," jawab Ai santai.
"Aku susul deh ya, ini lama banget tahu! Kalau antri gak mungkin selama ini!"
"Jangan, Kak! Masa Ama sendirian jaga Ai," protes Ama.
"Ya gak pa-pa, memangnya kenapa?"
"Sudahlah, bentar lagi juga Apih datang, Kak," sahut Ai.
"Nah, tuh datang." Ama menunjuk salah satu lelaki yang datang dari arah berlawanan dan berjalan mendekati mereka bertiga dengan senyum yang tak pernah lepas.
"Kok lama amat, Ngga?"
"Iya tadi antri, banget. Ya sudah, ayo kita pulang! Ai harus banyak istirahat, bukan?"
Mereka bertiga mengangguk dan bangkit lalu berjalan santai menuju parkiran. Si kembar seperti biasa tak henti-hentinya berceloteh ria. Pokoknya kalau kemanapun bersama mereka berdua, selalu ada saja yang menjadi topik pembicaraan. Mereka berdua seakan tidak kehabisan topik pembicaraan.
Brakkk.
Mereka tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Mimi membantu seseorang itu untuk bangkit, Angga hanya memandangnya tak minat. Ai mulai memperhatikan seseorang itu, ia seakan mengenalnya dan mulai mengingat-ingat kembali. Dan, benar saja! Ia seperti mengenal wanita itu sebab sudah dua kali tak sengaja bertemu di supermarket.
Wanita itu menatap mereka satu persatu lalu pandangannya berhenti di Angga. Ia menatap lekat suami orang di hadapannya itu. Ada binar-binar kerinduan yang tersorot dari matanya. Ai mengerutkan dahinya dan mulai sedikit curiga dengan sikap wanita itu.
"Mbak gak pa-pa?"
Bukannya menjawab, wanita itu justru semakin menatap lekat Angga. Bahkan sekarang, ia menatap suami Aina itu dari atas hingga bawah. Tatapan kerinduan seakan tak ingin terlewatkan sedikitpun. Tiba-tiba d**a Ai terasa sesak dan sedikit tidak terima dengan tatapan wanita itu pada suaminya. Apalagi, wanita itu terlihat cantik dan seksi. Berusaha untuk tidak berpikir buruk tapi kenapa rasanya sulit sekali, begitu pikir Ai.
Saat ini, mereka masih berhadap-hadapan, sorot mata kerinduan itu semakin terlihat dalam, seketika ujung bibir merahnya itu merekah membuatnya semakin anggun. Dan seketika, wanita itu langsung menubruk Angga juga memeluknya erat. Ai terkejut bukan main, ia masih belum menyadari sesuatu.
"Eh apa-apaan, ini!!" sergah Mimi langsung memaksa wanita itu melepas pelukannya di bantu oleh Ama. Angga sendiri pun mencoba melepaskan diri.
"Siapa sih, kamu! Jangan seenaknya peluk-peluk suami orang! Gak tahu diri!" maki Mimi penuh emosi.
"Iya nih! Udah baju kurang bahan, eh gak tahu diri pula! Lengkap sudah!" timpal Ama.
"Ai! Sadar! Jangan diam saja!" sergah Mimi.
Semua mata memandang ke arahnya, sedangkan sorot mata yang sulit diartikan oleh kata-kata itu memandang lekat wanita tersebut. Dan, hatinya mulai bertanya-tanya siapakah gerangan wanita yang sudah berani dengan lancang memeluk dan menyimpan sejuta rindu yang tak tersampaikan pada suaminya itu. Apakah mungkin sebelumnya mereka sudah pernah mengenal satu sama lainnya?
"Maaf, Mbak ini siapa ya? Kok bisa-bisanya tanpa rasa malu dan pikir panjang main peluk-peluk suamiku? Apa tidak bisa menahan diri dan bertanya terlebih dahulu lelaki di hadapanmu ini sudah beristri atau belum? Punya abad gak!"
"Ya walaupun belum beristri juga, kalau wanita tahu diri dan punya adab gak seenaknya peluk-peluk apalagi di kawasan rumah sakit seperti ini, memalukan!!"
"Mbaknya siapa? Kenal suamiku? Iya?" tanya Ai menahan emosi dan sesak di dalam dadanya.
"Suami?" cicitnya polos bahkan suaranya hampir tidak terdengar.
Wajahnya yang tadinya berbinar mulai berubah menjadi sendu, bingung dan muram. Itu bagi yang melihatnya, tapi dalam benaknya ia sedang melangkah rencana kedua untuk menghancurkan pasangan suami istri itu.
"Iya betul! Aku suaminya dan ini istriku! Kau memang tak punya adab sejak dulu! Tak pernah punya pikiran jika ingin melakukan sesuatu! Apakah tak punya rasa malu seenaknya bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu!" sergah Angga kesal.
"Siapa dia, Pih?" tanya Ai lembut.
"Teman kuliah dulu. Memang dia dari dulu selalu begitu, Mih. Memaksakan kehendaknya sendiri terus! Gak memikirkan pandangan dan perasaan sekitar," sindir Angga.
Ai mengangguk saja tapi ternyata Mimi menatap penuh curiga pada mereka berdua. Saat Angga menoleh pada Mimi, ia seakan mendapatkan ancaman.
"Oh teman lama, Apih. Pantas saja ada binar-binar kerinduan dari caranya menatap, Apih. Tapi, walaupun teman lama juga gak seharusnya seperti itu, sih. Apalagi lawan jenis, ini seakan tak ada batasan antara pria dan wanita main tubruk aja!" jawab Ai sinis.
"Maaf ya, Amih sempat curiga, Pih. Soalnya sikapnya begitu banget, sih!"
"Iya, Mih. Gak usah berpikir yang macam-macam ya, tenang saja."
"Heum … kayaknya pernah liat mbaknya deh, tapi dimana ya, Pih?" semua mata memandang Ai menunggu jawabannya.
"Di supermarket bukan ya, Pih?" tanya Ai menoleh pada suaminya dan meminta jawaban pasti.
"Mungkin," jawab Angga cukup singkat, jelas dan padat.
"Hm … ya sudah kenalan aja, yuk," ajak Ai.
"Aku, Aina Larasati. Panggil saja Ai, namamu siapa?" tanyanya mengulurkan tangan.
Wanita itu tak bergeming, ia hanya menatap sekilas uluran tangan Ai dengan tatapan sinis lalu memandang Ai dari atas hingga bawah seakan meneliti apa yang menarik dari wanita hamil itu sehingga dengan mudahnya merubah Angga yang selalu menganggapnya segalanya menjadi benci yang tak tertahankan.
Lalu, wanita itu menatap Ai, tatapan mereka bertemu dan saling mengunci. Sorot matanya berubah menjadi sinis dan tajam. Wanita itu seakan tak minat untuk berkenalan dengan Ai, tak memperdulikan uluran tangan dan senyum tulus itu. Ia ngeluyur melangkah pergi meninggalkan mereka semua yang menatapnya bingung.
"Aw! Sakit! b**o!" umpat Ai.
Sebelumnya, ia menyenggol bahu Ai cukup keras dan membuat Ibu hamil itu hampir saja terpeleset karena tak bertumpu kuat pada kakinya. Mendengar u*****n Ai membuat Mimi terbakar emosi.
"Hei! Jalan itu yang benar, b**o! Punya mata 'kan? Atau sengaja? Hah? Punya mata bukannya dijaga ini malah menatap liar suami orang. Cih! Memalukan! Dasar ular melata!" teriak Mimi lantang membuat wanita itu menghentikan langkahnya lalu berbalik arah dan menatap remeh Mimi.
"Dasar wanita tak berpendidikan!" makinya lagi.
"Aku atau dirimu yang tak berpendidikan, Nona? Berteriak-teriak di tempat umum! Kau pikir ini hutan?" sindirnya.
"Dan lagi memangnya penting berjabat tangan dengan wanita seperti dia? Menjijikan!" lanjutnya menunjuk Ai.
Merasa tidak terima dengan ucapan wanita itu, Mimi melangkah maju dengan penuh emosi namun tetap terlihat anggun. Ia berhadapan dengan wanita itu.
"Aw! Sakit, brengsekkk!!" maki wanita itu.