Siang hari ini cukup panas sekali, sudah waktunya jam makan siang juga. Kedua gadis yang sedang menemani ibu hamil berbelanja di salah satu supermarket sudah merasa kelaparan, tapi sepertinya bumil belum juga puas berbelanja. Mau tidak mau, si kembar harus tetap menemani kemana langkah kaki Ai melangkah. Setelah puas berbelanja, mereka bertiga berjalan menuju kasir untuk membayar semua bahan makanan, buah dan cemilan yang diinginkan oleh bumil.
Rupanya, bumil sudah merasa lapar karena sejak tadi tak berhenti ngemil makanan yang sudah diambilnya. Walaupun belum dibayar, ia masa bodoh saja yang penting perutnya terisi.
"Lapar?" tanya Mimi. Ai menoleh ke arah Mimi dan mengangguk lalu nyengir.
"Sama kita juga! Tapi kamu dari tadi belanja terus gak berhenti-henti! Huh!" sungut Ama.
"Maaf ya, Kak. Ai merasa semua makanan enak jadi dibeli," ucapnya polos. Si kembar memutar bola matanya malas.
Mereka bertiga berjalan menuju parkiran lalu meninggalkan supermarket menuju tempat makan.
"Mau makan dimana?"
"Kak, katanya ada restoran baru di ujung sana dekat lampu merah tuh. Ya sekitar lima belas menit dari sini."
"Yakin? Ini jam makan siang, loh, apalagi posisinya itu resto baru, pasti akan banyak orang yang makan siang, Ai. Gimana kalau kita cari tempat lain saja?" tawar Ama memberi pengertian.
"Gak mau, Kak. Katanya disana makanannya enak-enak, terus spot fotonya juga bagus. Kita makan siang disana saja ya? Please!"
"Baiklah! Kita meluncur kesana."
"Tapi, Kak--"
"Sudah, Ama. Gak pa-pa. Khawatir nanti bayinya ngeces, kita juga ya repot, 'kan?"
"Hm … ya udah."
Ama menekuk wajahnya. Padahal, ia ingin sekali mengajak mereka untuk makan seafood langganan mereka. Sudah lama sekali tidak mampir ke restoran Marina. Tapi, karena ini permintaan bumil, mau tidak mau harus dituruti.
Lima belas menit berlalu, akhirnya mereka sampai juga di sebuah restoran yang ramainya sangat luar biasa itu. Mobil mereka sudah bolak-balik tapi belum juga mendapatkan tempat parkir.
"Tuh, 'kan! Ramai! Pindah saja ya," tawar Ama.
"Gak mau, Kak! Pokoknya makan disini," rajuknya.
"Ya sudah, kalian turun saja dulu. Tapi, tunggu aku ya. Aku cari parkiran dulu, kalian cari tempat adem saja. Tapi jangan nyebrang berdua!" tukas Mimi.
"Iya, Kak."
Ai dan Ama turun dari mobil, sedangkan Mimi masih berusaha mencari lahan kosong untuk parkir. Jam makan siang dengan posisi perut keroncongan dan matahari sedang imut-imutnya membuat Ai terus merengek kepanasan.
"Kak, ayo kita masuk saja," ajaknya.
"Tapi, Ai, kata Kak Mimi kita suruh tunggu dia 'kan? Biar nyebrang bertiga."
"Kelamaan, Kak! Panas juga! Lagian kakak mau nunggu panas-panas begini? Lebih baik kita masuk dan cari tempat kosong."
"Ya sudah, ayo. Tapi kita jalannya melipir dulu ya, kalau sudah depan resto baru nyebrang!"
"Iya, Kak."
Mereka jalan bersisian, berjalan santai menuju depan resto tersebut. Melihat kanan dan kiri, awalnya tenang tak ada yang lewat dengan kecepatan tinggi tapi saat sudah sampai di tengah jalan, tiba-tiba ada suara deru motor yang terdengar kencang sekali. Dari jauh, motor itu terlihat menambah kecepatan dan mereka tidak ada waktu untuk minggir.
Brakkk.
Motor tersebut menghantam keduanya, mereka berdua ditabrak dengan sangat kencang dan membuat tubuh kedua wanita itu terpelanting jauh dan terpisah. Ai ke arah kiri dan Ama ke arah kanan, semua orang yang melihat bergegas mendekat dan motor tersebut kabur. Ama berusaha untuk tetap kuat dan sadar agar bisa memastikan keadaan Ai. Ia memaksa membuka mata walaupun badannya terasa sangat sakit, kepala pun terasa pusing.
"Astaghfirullah!!" teriak beberapa orang.
Pikiran buruk menari-nari di kepala Ama, ia mencoba bangkit tak memperdulikan sakit yang dirasakan olehnya. Beberapa orang membantu Ama bangkit dan matanya mulai mencari dimana Ai berada. Terkejut bukan main saat ia melihat kondisi Ai tak sadarkan diri tergeletak di tengah jalan raya dekat trotoar dengan mandi bersimbah darah.
"Aina!!" teriaknya.
Berlari gontai dibantu beberapa orang mendekati Ai. Ama panik, ia menangis dan meraung-raung, semua orang hanya menonton tanpa membantu.
"Ai, sadar, Sayang!! Sadar!! Aina!! Sadar!!" teriaknya menangis histeris.
"Siapapun tolong bantu kami!! Tolong!!" teriaknya tapi tak ada yang membantu, mereka seperti patung.
"Nak, ini tas kalian. Siapa tahu bisa menghubungi seseorang," kata Ibu-ibu yang membawakan tas keduanya.
"Makasih, Bu."
"Ayo, Neng. Cepat hubungi siapa saja, ini kasihan temannya kayaknya lagi hamil."
Ama melihat darah membuatnya pusing dan hampir saja tak sadarkan diri. Ama berusaha untuk menguatkan diri agar tetap sadar dan kuat.
"Neng, jangan pingsan! Neng harus kuat! Ini temannya butuh pertolongan cepat."
Dengan tangan yang bergetar, ia membuka tas dan mencari benda yang sangat dibutuhkan saat ini. Ponsel, iya ponsel untuk menelpon kakaknya. Ia masih menangis sesegukan, wajahnya penuh basah karena air mata. Ibu itu mengusap punggung Ama agar tetap tenang.
"Sebentar!! Gak sabar amat sih, kalian! Ini aku lagi cari parkiran!!"
"Kakak!!" teriak Ama dengan tangisan histeris.
"Ama? Kau kenapa? Ada apa? Kenapa menangis histeris seperti ini? Mana Ai?"
"Kak, cepet balik lagi!! Cepat balik lagi sekarang, Kak!!" teriaknya masih dengan tangisan histeris dan kepanikan.
"Iya … iya! Ini mau balik lagi, tapi kalian kenapa? Ada apa?"
"Cepat!! Tidak usah banyak tanya!! Ai butuh pertolongan cepat, Kakak!!"
"Aku lagi putar balik! Sebentar!"
"Ai, Kak, Hu hu hu! Kami kecelakaan, Kak! Aina mandi darah, Kakak!!"
"Astaghfirullah!! Tunggu, Ama!! Tunggu!! Aku balik lagi!!"
Mimi memutus panggilan dan langsung memutar arah mobil. Ia tak peduli dengan beberapa kendaraan yang mengklakson. Pikirannya sungguh panik, ia memikirkan keadaan kedua adiknya, terlebih Aina. Ia sangat khawatir karena Ama mengatakan Ai bermandikan darah. Mimi mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, sedangkan di tempat yang berbeda Ama semakin menangis histeris ketika melihat darah yang semakin banyak keluar dari inti tubuh Aina.
Tubuh Ama mendadak menegang, tangisnya kembali pecah dan histeris. Ia meraung-raung meminta tolong harus melakukan apa sambil menunggu kakaknya datang.
"Tolong!! Tolong kami!! Tolong bawa adikku ke pinggir!! Tolong!!" teriaknya tapi mereka hanya menonton dengan tatapan nanar.
Ai benar-benar bermandi darah, rasa takut dan khawatir menyeruak hingga relung hatinya yang terdalam. Takut terjadi sesuatu dengan Ai dan bayinya.
Tinn.
Tinn.
Tinn.
Tinn.
Suara klakson dibunyikan oleh Mimi secara berulang, mereka mundur dan mempersilahkan mobil itu maju. Mimi keluar dari dalam mobil dengan penuh emosi karena melihat banyak orang yang tak punya simpati.
"Kenapa kalian diam saja saat melihat kecelakaan? Bodoh!!" makinya.
Ama dibantu Mimi dan beberapa orang yang baru melihat menggendong Ai masuk ke dalam mobil. Mobil itu melesat dengan kencang menuju rumah sakit terdekat.
"Sial!! Mereka itu manusia atau bukan, sih? Hati nuraninya dimana? Melihat kecelakaan parah begini malah diam saja, b******k!" umpatnya penuh emosi. Mimi memang paling frontal dari ketiganya.
"Kak, lebih cepat lagi!! Kasihan Ai, Kak!! Hu hu hu, Ama takut, Kak. Ama takut!!" teriaknya.
"Ama, tenang dong!!"
"Gak bisa, Kak!! Ini darahnya banyak!! Darahnya banyak, Kak Rahmi!!" tangisnya semakin histeris membuat Mimi tidak bisa konsentrasi nyetir.
"Ama! Kamu lebih baik diam, deh! Tenangkan diri kamu!! Jangan buat aku panik, dong!!" protes Mimi.
"Jangan nangis terus! Tenang! Aku kalut ini jadinya, bahaya kalau sampai kita nabrak! Tolong kerjasamanya! Bantu aku agar tidak lepas kendali."
"Hu hu hu, iya maaf, Kak."
"Ai, bertahan ya, Sayang. Aku mohon, kita sebentar lagi sampai. Please bertahan," ucapnya dengan suara serak.
Mereka sampai di pelataran rumah sakit tepatnya di depan IGD. Mimi turun dari mobil, berjalan terburu-buru dan berteriak memanggil tenaga medis.
"Suster! Dokter! Tolong! Tolongin adik saya di dalam mobil!!"
Beberapa para medis keluar membawa brankar dan memindahkan Ai ke atas brankar lalu membawanya masuk ke dalam IGD untuk dilakukan tindakan. Ama turun dari mobil dengan pakaian penuh darah, duduk tidak tenang menunggu Ai dalam tindakan dan menunggu Mimi sedang parkir mobil.
"Kak, Ai! Hu hu hu!" tangis Ama kembali pecah saat Mimi mendekatinya dan memeluk. Mereka berpelukan dengan erat, saling menguatkan satu sama lainnya.
"Tenang ya. Kita harus tenang. Aku juga takut, tapi kita gak boleh panik seperti ini. Kita duduk ya, terus berdoa."
Mereka duduk, tak lama berdiri, lalu mondar-mandir, begitu saja terus dalam waktu hampir dua jam menunggu tindakan pada Ai selesai.
"Keluarga pasien Aina," panggil Dokter.
"Kami kakaknya, Dok. Bagaimana keadaan adik kami? Dia baik-baik saja, 'kan? Lalu bayinya gimana?"
"Mohon maaf, kami harus sampaikan berita buruk ini. Pasien Aina mengalami keguguran. Kami mohon maaf karena tak bisa menyelamatkan janin yang berada di dalam kandungannya. Benturan dari kecelakaan itu terlalu dahsyat sehingga membuat janin tersebut tak sanggup bertahan dan akhirnya luruh."
"Efek dari benturan itu membuat rahimnya menjadi lemah. Kami akan melakukan tindakan lanjutan untuk memastikan apakah masih ada tertinggal sisa janin di dalam rahimnya, jika ada maka kami akan melakukan tindakan kuret. Setelah itu, pasien akan di bawa ke ruangan rawat inap."
Glegarrr.
Bagaikan tersambar petir di siang hari bolong saat mendengar penuturan dari dokter.
"Keguguran, Dok?" tanya Mimi dengan suara parau.
"Iya, maaf kami tak bisa berbuat banyak. Permisi."
Hancur, remuk redam dan dunia terasa seperti berhenti berputar. Mereka termangu mendengar penjelasan dokter. Berharap Ai dan bayinya baik-baik saja, ini justru sebaliknya. Aina keguguran dan rahimnya menjadi lemah itu membuat mereka berdua terpukul. Bahu Ama bergetar hebat, air matanya terus-menerus jatuh membasahi pipi, kakinya seakan tak sanggup lagi untuk menopang beban tubuhnya.
Tiba-tiba Ama menyeluruh jatuh ke lantai dan menangis dalam diam. Kalian tahu bukan? Sakitnya menangis dalam diam itu seperti apa? Sesak, sakit di d**a sangat tak tertahankan. Lebih baik menangis histeris maka akan membuatnya lega daripada menangis dalam diam. Mimi juga merasa tak sanggup untuk menahan beban tubuhnya, ia ikut terduduk di lantai. Mereka menangis dalam diam, menatap ke depan dengan tatapan kosong namun air mata terus saja membasahi pipi.
Perasaan mereka saat ini sungguh sangat sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata. Sakitnya, hancurnya dan tak berdaya benar-benar dirasakan semuanya. Perasaan bersalah berkecamuk di hati mereka dan berandai-andai jika saja tak menuruti keinginan Ai mungkin semua ini tak akan terjadi.
Mereka saja merasakan sakit dan kecewa, apalagi Ai. Mereka tak tahu akan menjawab apa nanti saat Ai sadar dan menanyakan keadaan bayinya. Si kembar mulai tersadar dan saling berpelukan. Mereka menguatkan satu sama lainnya walaupun hati merasa tak tenang.
Alhamdulillah, Ai tak harus menjalani kuret karena rahimnya sudah bersih. Ai saat ini sudah berada di ruang rawat inap. Si kembar dengan setia selalu berada disamping Ai dan menunggunya sadar. Setelah kurang lebih dua jam Ai tak sadarkan diri, akhirnya ia membuka mata namun bingung menyelimuti diri karena keadaannya dalam posisi diinfus.
Ia mulai mengingat apa yang sudah terjadi. Dan refleks mengusap perutnya, si kembar justru menangis histeris saat melihat Ai mengusap perut dan membuatnya berpikir buruk. Ia menatap lekat Ama, kakaknya itu masih terluka dan belum dibersihkan.
"Ada apa? Kenapa kalian menangis?" tanyanya sangat penasaran.
Diam. Hening. Keduanya tetap bungkam dan belum mengatakan yang sejujurnya. Tiba-tiba perasaan Ai tak enak dan detak jantung berdegup lebih kencang. Pikirannya sudah melalang buana tak menentu. Rasa takut menjalar ke dalam tubuhnya, takut akan sebuah kehilangan.
"Kak Ama, kenapa kepalanya masih belum dibersihkan? Lihat, darahnya sampai mengering," ucapnya masih tetap tenang.
"Kak? Ada apa? Kenapa terus menangis? Katakan? Apa yang terjadi? Aku baik-baik saja, 'kan? Anak aku juga baik-baik saja, 'kan?"
"Ma-maafkan, kami, Ai," ucap Mimi dengan bibir bergetar.
"Kenapa, Kak? Ada apa? Kenapa kalian menangis histeris seperti ini?"
"Ma-maafin Ama yang gak bisa jagain kamu, hu hu hu," tangisnya kembali pecah lalu memeluk tubuh Ai.
"Ayo katakan! Ada apa?"
"Ka-kamu, ke-gu-gu-ran," ucap Mimi dengan suara terbata.
Matanya melebar, ia tak percaya dengan apa yang barusan didengar olehnya.
"Apa? Katakan sekali lagi?"
"Kamu keguguran, Ai! Anakmu sudah tiada!"
"Ti-tidak, Kak! Tidak mungkin!! Anakku masih ada!! Anakku masih hidup, Kak!!"
Ai berteriak histeris membuat si kembar terkejut dengan responnya. Aina memaksa ingin melepaskan infus tapi di tahan oleh Ama, ia memeluk adiknya dengan sangat erat. Ai terus meraung-raung di dalam pelukan Ama. Tenaganya sungguh luar biasa, Ama sampai terhempas karena ulah Ai.
Hijabnya sudah terkoyak, Ai menarik hijabnya dan memukul-mukul kepalanya sendiri. Sama sekali tak bisa tenang, ia seperti orang yang depresi. Pasti sangat depresi karena mengetahui anaknya meninggal. Ai masih tak terima dengan kenyataan pahit itu. Mbok yang baru saja datang setelah diberitahu langsung berlari saat mendengar teriakan dan tangisan Ai.
Mbok terpaku diambang pintu, menangis melihat Ai kacau dan depresi. Ia kembali keluar, menutup pintu lalu berlari menuju ruang perawat dan memberitahu keadaan Ai yang menyedihkan itu.
Dan, untuk yang pertama kalinya Ai disuntik obat penenang oleh Dokter yang menanganinya. Ini adalah kali pertama mereka mendengar tangisan pilu yang keluar dari seorang wanita kuat. Padahal, sebelumnya banyak sekali kesakitan yang dirasakan olehnya tapi Ai masih tetap bisa tenang dan tersenyum, namun saat kenyataan menghantam dirinya dengan sebuah kehilangan bahkan lebih tepatnya kehilangan buah hati, seketika dunianya hancur berkeping-keping dan tak punya nyawa untuk tetap hidup.