Rasa takut akan sesuatu membuat diri semakin menutup diri. Bayangan buruk kejadian di masa lalu seakan menari-nari indah di dalam pikiran. Aina mulai merasa gusar dan hatinya pun tak tenang. Ia takut ada kejadian buruk kembali yang menimpa hidupnya.
"Pertanda buruk?" ucap Ai mengulang ucapan Mbok.
Ai menatap Mbok seakan meminta penjelasan, tepat saat itu juga mobil si kembar masuk ke pelataran. Ama melihat Ai dan Mbok yang berdiri berhadapan merasa penasaran ada apa gerangan.
"Kok Ai dan Mbok ada di ruang tamu? Ada apa ya?"
"Nunggu kita kali, Ama."
"Masa, iya? Tumben amat Ai nungguin kita di ruang tamu? Biasanya juga di ruang keluarga."
"Iya juga ya, Ama. Atau mungkin habis antar Angga?"
"Kak, Angga lihat ini jam berapa. Ini sudah hampir satu jam melewati jam dinasnya. Ayo turun deh, Kak. Perasaan Ama gak enak banget."
Di balik dinding dan pohon besar, seseorang itu menatap bingung pada mobil yang baru masuk. Awalnya, ia ingin masuk dan memberikan kejutan pada Ai, tapi sialnya rencana itu tak bisa direalisasikan sebab kedatangan mobil. Beberapa saat kemudian, mobil tersebut terbuka dan memperlihatkan sang empunya.
"Sial! Ternyata dua gadis bodoh itu! Kenapa dimana-mana selalu ada mereka, sih!" umpatnya kesal.
"Rencana malam ini terpaksa batal gara-gara kedatangan mereka! Tidak apa-apa, yang penting kejadian tadi sudah membuat dia merasa tak tenang."
"Aku tak akan pernah ikhlas melihat kalian bahagia! Karena kebahagiaan itu hanya akan menjadi milikku seorang! Kalian layaknya menderita seumur hidup!!" ucapnya penuh penekanan.
Si kembar berlari kecil menuju pintu utama tanpa mengetuk, mereka langsung membuka menggunakan kunci cadangan. Mbok memeriksa siapa gerangan yang ada, hatinya lega karena melihat si kembar.
"Non kembar!" pekiknya membuat Ai menoleh.
"Loh? Ini ada apa? Kok berserakan gini?" tanya Mimi bingung.
"Ai! Sini menjauh dari pecahan itu! Bahaya tahu!"
"Ada yang melempar sesuatu, Non," curhat Mbok.
"Ish! Siapa pula yang memainkan drama dan teror malam-malam seperti ini! Mana rusaknya lumayan besar pula," gerutunya mencari ke kanan dan ke kiri apakah ada sesuatu.
"Gimana ini, Kak? Kalau dibiarkan terbuka seperti itu, khawatir ada maling," ucap Ai polos.
"Ai, kayak di sini gak ada satpam yang kerja di depan komplek saja," jawab Ama.
"Ya juga sih, tapi lah buktinya ini malah kejadian seperti ini."
Mimi melihat ada sesuatu di kolong kursi, berjalan dengan hati-hati dan mengambil batu sedang yang dilapisi oleh kertas tersebut. Mereka bertiga melihat kr arah Mimi.
"Ternyata ini yang dilempar!" ucapnya bergegas lebih dulu membuka batu yang dilapisi kertas tersebut.
"KALIAN TIDAK AKAN PERNAH BAHAGIA! KARENA BAHAGIA HANYA AKAN MENJADI MILIK AKU!!"
Reflek Mimi langsung meremas kertas tersebut, emosi mulai naik hingga ubun-ubun.
"Brengsekkk!!" umpatnya penuh emosi.
"Kak, kenapa? Sini aku lihat!"
"Gak usah, Ai!"
"Tapi, Kak--"
"Kalau aku bilang gak usah ya gak usah! Semua ini semata-mata kulakukan untuk kesehatan kamu," jawabnya merasa putus asa setiap kali Ai memaksakan sesuatu.
"Baiklah. Maaf," lirihnya.
"Mbok tolong segera bereskan ya. Sudah gak usah berlarut-larut memikirkan hal yang tidak penting seperti ini!!"
"Ama, gandeng Ai! Kita masuk ke dalam setelah itu bersama-sama memikirkan menutup kaca tersebut sementara waktu."
Ama mengangguk dan menggandeng Ai masuk ke dalam. Sedangkan Mimi berjalan pasti keluar dan meneliti setiap sudut pekarangan. Ia melihat ada bayangan seseorang dibalik pohon lalu berlalu pergi.
"Siapa dia? Kalau memang dia pelakunya, aku tidak akan pernah melepaskannya!!"
Malam itu mereka tidur berempat dalam satu tempat sebab Ai merasakan ketakutan karena hal tadi. Sudah beberapa jam berlalu tapi Mimi masih terjaga dan terus berpikir siapa sosok tadi. Hingga ia merasa lelah berpikir dan memilih untuk ikut istirahat bersama yang lainnya.
***
Pagi pun tiba, Angga sedang berkeliling untuk pergantian dokter. Rasa lelah menyelimuti diri, bergegas membereskan semuanya dan ingin segera pulang bertemu dengan istri dan mengajak anaknya ngobrol. Setelah berpamitan pada yang lainnya, ia meninggalkan ruangan dan berjalan santai menuju parkiran.
Sabrina seakan tak pernah menyerah untuk kembali masuk ke dalam kehidupan Angga. Wanita itu ternyata sejak tadi sudah duduk santai di lobi menunggu lelaki beristri itu lewat. Saat melihat Angga lewat, ia segera bangkit dan jalan terburu-buru seakan-akan mereka tabrakan.
Tak mengetahui siapa gerangan yang sudah ditabrak atau menabraknya. Angga reflek memegang tangannya agar tidak jatuh. Memang dasarnya ular melata! Seakan hilang rasa malunya langsung memeluk Angga membuat lelaki itu terkejut sesaat. Angga mulai menyadari siapa gerangan yang memeluknya dan menimbulkan emosi membara di dalam hatinya.
"Lepaskan!! Murahan sekali sikapmu ini, Sabrina!"
"Oh ya, memang tidak bisa diragukan sikap murahan kamu ini sebab sudah mendarah daging sejak dulu!!"
"Aku tak peduli dengan semua caci maki darimu. Yang jelas, saat ini aku sangat amat merindukanmu. Aku merindukan pelukan hangat yang selalu menenangkan aku."
"Cih! Menjijikan sekali! Jangan terlalu banyak bermimpi! Sampai kapanpun aku tak sudi memberikan pelukan hangat padamu! Ada istri yang selalu setia dan aku sangat mencintainya."
"Lepaskan atau aku akan berbuat kasar!!"
"Lepaskan, Sabrina!!" hentaknya langsung membuat wanita itu melepaskan diri dan terhuyung ke belakang.
"Angga!" pekiknya.
"Aku tak percaya, kau berubah seperti ini! Kau bukan seperti lelaki yang aku kenal dulu! Sekarang kau menjadi lelaki kasar! Ini semua pasti gara-gara perempuan kampung itu, 'kan!!"
"Hei, jangan berkata seakan-akan kau adalah korban padahal kau adalah pelaku!! Aku hanya kasar pada w************n seperti dirimu! Bahkan, kehadiranmu sungguh tak membuatku tergoda!!"
"Dan, wanita yang kau sebut kampung itu adalah wanita yang mampu membuatku bahagia!!" ucapnya penuh penekanan dengan mencengkram rahang Sabrina.
Emosi Angga naik hingga ubun-ubun saat wanita itu menghina istrinya. Ia tak akan pernah terima, siapapun yang menghina istrinya maka akan berhadapan dengannya.
"Halah! Perempuan kampung tetap perempuan kampung! Dia tak akan pernah bisa menyaingi diriku!!"
"Pede sekali kau, Sabrina? Lagi pula, siapa juga yang akan bersaing denganmu! Istriku tanpa bersaing pun akan menang! Ia lebih terhormat darimu!"
"Ha ha ha, terhormat saja tidak cukup, Sayang! Apa dia bisa memuaskan dirimu di atas ranjang? Jika tidak, ada aku yang akan bisa memuaskan dahaga kamu."
"Lihatlah, dirimu! Ucapan mu itu menunjukkan kualitas dirimu. Memang dasar basic murahan ya akan tetap murahan dan tak akan pernah menang bersaing dengan wanitaku!!" ucapnya penuh penekanan dan memandang rendah Sabrina.
"Angga, datanglah padaku ketika kau merasa tak puas dengannya! Aku akan selalu bisa memuaskan dahaga kamu, Sayang!" ucapnya menggoda.
Angga meludah ke samping lalu melanjutkan langkahnya. Sikap yang ia tunjukkan pada Sabrina itu benar-benar menunjukkan dimana tempat wanita itu. Ta punya adab sekali bisa-bisanya berbicara hal yang memalukan seperti itu tanpa ada rasa sungkan di wajahnya.
Ada rasa menyesal yang menusuk hingga relung hatinya terdalam. Angga menyesal karena sempat punya hubungan dengan wanita tak bermoral itu, dulu. Dan ia menyesali juga, kenapa sekarang wanita itu sudah berani muncul di hadapannya. Angga tidak akan tinggal diam sebab merasa kebahagiaannya akan terancam.
Tapi, hatinya yakin bahwa cintanya pada Ai akan selalu membuat keadaan menjadi tenang dan damai. Ai tak akan mudah percaya pada Sabrina. Tak dipungkiri, memang dirinya merasakan sedikit takut mengingat Sabrina itu adalah wanita yang nekad dan bermulut ular. Wanita itu bisa merubah keadaan seakan-akan dirinya adalah korban padahal pelaku.
Angga membuka pintu mobil dengan kasar dan menutup kembali dengan kencang. Ia menundukkan kepala di atas setir mobil, menarik nafas beberapa kali agar hatinya kembali tenang dan tidak dipenuhi rasa emosi. Ia banyak sekali belajar dari istrinya, dimana rasa emosi menyelimuti diri maka dengan istighfar semuanya sirna.
Angga pun sering melakukannya seperti sekarang ini. Ia tak ingin, saat pulang, istrinya itu melihat ada emosi yang masih tersimpan di sorot matanya. Ia mulai menyalakan mesin mobilnya, tapi tiba-tiba jendela digedor-gedor keras oleh Sabrina. Tak peduli dengan teriakan-teriakan itu, Angga tetap memundurkan mobilnya.
Sabrina menghalangi jalannya bahkan sudah berdiri di tengah-tengah dengan maksud ingin menakuti-nakuti Angga. Tapi, bukan Angga jika takut karena sikap bodohnya itu. Emosi yang sudah berhasil terkikis justru datang lagi karena sikap bodoh itu.
Angga menyunggingkan senyum sinis, ia mengambil ancang-ancang untuk menginjak gas. Tepat di hadapan Sabrina, Angga langsung menancap gas dan membuat wanita itu terkejut lalu loncat ke samping. Angga tertawa terbahak-bahak melihat mental Sabrina yang kacau.
"Jangan pernah menantangku! Kau tahu betul, bahwa aku paling benci di tantang! Apalagi ditantang oleh wanita durjana seperti dirimu!"
Angga meludah tepat di samping Sabrina, setelah itu menutup jendela mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumah sakit. Ia dapat melihat Sabrina menahan kesal dan emosi dari balik spion. Angga puas melihat Sabrina tidak berdaya seperti itu karena sikapnya.
"Akan kupastikan, kau menyesal karena sudah berani muncul di hadapanku dan mengusik kehidupanku!! Aku bukan Angga yang dulu!! Bukan Angga yang akan tetap diam walaupun sudah diinjak-injak!!"
"Sikapmu di masa lalu, sungguh membuat rasa benci itu mendarah daging!!"
"Angga Atmaja, aku tak pernah terima diperlakukan seperti ini!! Aku akan membalas semua penghinaan ini!! Dan akan aku pastikan bahwa kau pasti akan luluh di hadapanku!" ucap wanita itu penuh penekanan.