bc

After Seven Years

book_age18+
1.4K
FOLLOW
6.3K
READ
drama
sweet
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Tentang masa lalu yang belum tuntas dan masih menyisakan tanda tanya besar.

Gilang Pramudya Wijaya berusaha mengurai teka-teki yang diciptakan oleh masa lalunya.

chap-preview
Free preview
1. Gilang
"Lang, mau gak Mama kenalin sama anak teman Papa?" "Gak mau!" "Cantik lho dia. Masih 25 tahun." "Gak mau!" Ibu Ratu yang sangat berharga bagi gue, yang hobinya tiap hari nanya soal pasangan, yang tiap hari bujuk gue buat kenalan sama anak temannya ... lebih ekstrem lagi, tiap hari nyokap nyuruh gue nikah. Gue cape. Gue bukan lagi anak kecil yang harus disuruh-suruh. Gue bukan lagi b***k bokap yang dikekang gak boleh ini gak boleh itu. Gue udah 34 tahun. Eh, udah lumayan tua gak sih? "Inget umur, Lang." Gue lupa kalau masih teleponan sama nyokap. "Inget, Ma." "Inget nikah, Lang." "Itu belakangan, Ma." Memijit dahi. Gue pusing. Pusing karena ocehan nyokap soal nikah, pusing juga urusan kerjaan. Numpuk banget. Kayaknya malam ini harus jadi penunggu kantor lagi. Ah, b*****t! Gue butuh liburan! "Lang?" "Iya, Ibu Ratu?" jawab gue, lembut. Nyokap yang dulu kulitnya kencang kini sudah kendor. Usia nyokap sudah lansia, tapi Tuhan masih kasih umur yang panjang ke beliau. Mungkin Tuhan tahu kalau nyokap pengin banget lihat gue nikah. Tapi sampai sekarang, hilal nikah buat gue nggak pernah muncul. Naif banget kalau gue gak pernah pacaran lagi setelah hati gue hancur. Sehancur-hancurnya. Gue pacaran karena kebutuhan bukan karena cinta. Bagi gue cinta yang gue miliki udah mati. Lebur dengan tanah. Setelah perempuan yang gue cintai sepenuhnya menghilang dalam hidup gue. "Mama mau cucu." "Kan udah punya, Ma. Bang Gema udah ngasih tiga cucu ke Mama, Kak Gisel juga udah dua, Bang Galih udah ngasih dua cucu juga. Jangan maruk dong, Ma." "Mama mau enam cucu dari kamu." Itu cucu atau tim bola voli? Horor banget permintaan nyokap. Gimana caranya gue berkembang biak kalau tidak ada lawannya? "MasyaAllah. Beli cucu di mana emang, Ma? Nanti aku beli dulu." "Gilang, Mama tuh serius." Gue menghela napas berat. Gue gak bisa bungkam mulut nyokap biar gak terus-menerus neror gue dengan pertanyaan yang itu-itu aja, karena sudah jelas sekali gue gak punya jawaban yang akurat kapan gue bakal nikah, dan dengan siapa? "Aku sibuk, Ma. Nanti sore aku jemput buat check up ke dokter." Gue tutup teleponnya. Kerjaan gue masih banyak. Habis ashar, gue izin pulang buat nganter nyokap check up ke rumah sakit. Nyokap didiagnosa jantung koroner dua tahun lalu, kesehatannya terus menurun apalagi setelah bokap meninggal. Jantung nyokap akan semakin lemah jika dia menerima kabar buruk. Nyokap tinggal sama gue, karena gue anak bungsu dan satu-satunya yang masih lajang. Gue sama sekali tidak masalah, namun saudara gue nggak pernah ngerti kalau gue juga sibuk kerja. Gue pengganti bokap buat nerusin tongkat estafet perusahaan biar nggak patah. Gue berusaha keras belajar bisnis biar perusahaan asuransi ini tetap jaya. Bang Gema selalu bilang dia sibuk. Kak Gisel sama, lebih memilih tinggal di luar negeri mengikuti perjalanan bisnis suaminya. Cuma Bang Galih yang bantu gue. Profesi dia sebagai dokter rajin mengecek tensi nyokap, istrinya juga selalu nemenin nyokap di rumah tiap hari pas gue kerja. Namun, sekarang mertua Bang Galih tinggal bersamanya. Nana anak tunggal, karenanya dia ingin mengurus kedua orang tua setelah ayah dia pensiun jadi kepala sekolah. Bang Galih gak keberatan dan langsung memboyong kedua orang tua Nana dari Solo untuk tinggal bersama. Gue mendorong kursi roda nyokap masuk ke lobi rumah sakit. Rumah sakit ini tempat praktik Bang Galih. Dia yang merekomendasikan salah satu dokter spesialis jantung yang menangani Mama, namanya dokter Risma. "Galih nggak kamu hubungi, Lang?" "Aku WA kok. Dia bilang mau operasi jadi nggak bisa nemenin Mama." "Oh. Kirain lagi nyantai." Gue antre di depan lift. Bangsal Kenanga—ruang perawatan jantung berada di lantai tiga. Sebelum lift terbuka, ada telepon masuk. Gue mengajak Mama buat melipir dulu ke dekat dinding. Gue harus terima telepon dulu siapa tahu penting. Merogoh saku dalam jas untuk mengambil ponsel. Telepon dari Amanda. Dia sekretaris gue. "Halo, kenapa, Man?" "Pak, tadi Pak Rudi ke kantor tapi saya bilang Bapak lagi antar ibunya ke rumah sakit. Terus Pak Rudi bilang minta reschedule meeting buat besok." Pak Rudi ini teman bokap, salah satu mitra bisnis bokap juga. Begitu bokap meninggal, Pak Rudi masih mau bekerja sama dengan perusahaan. Dari beliau juga gue banyak belajar soal bisnis. "Kenapa bisa reschedule?" "Katanya besok beliau harus ke luar kota. Mertuanya sakit." Gue memijat dahi. Hari apa sih ini? Ruwet banget otak gue. "Jadi kapan maunya?" "Rani?" Gue sontak menoleh begitu mendengar nyokap memekik kencang. Seketika jantung gue melorot ke perut. Gue terpaku gak bisa napas sama sekali. "Kamu, Rani kan?" "I-iya, Tante." Rani masih sopan. Dia menyalami nyokap dengan penuh santun. Nyokap tahu, Rani baik. Tiap gue ajak ke rumah, dia selalu bantu masak. Nyokap setuju gue sama Rani, nyokap bilang selain cantik Rani juga ramah. Dia setipe sama Nana—istri Bang Galih. Makanya langsung setuju. Tapi sayang, nyokap gak bisa menentang bokap. Sama kayak gue. Pengecut kelas kakap. Dia terkejut, sama halnya kayak gue. Cuma dia bisa bermanipulasi. Seolah tidak pernah ada sesuatu yang terjadi di masa lalu. Dia berjongkok di depan kursi roda nyokap. Gue terharu, ternyata dia masih sebaik itu sama nyokap. "Tante sakit apa?" "Tante sakit jantung." Gue dengar suara nyokap mulai bergetar. Lain dari nyokap, yang bergetar justru hati gue. "Kamu tinggal di Jakarta?" Nyokap tanya. "Iya, Tante." "Terus siapa yang sakit?" Dia melirik gue yang mendadak jadi patung. Dia kayak ragu buat jawab pertanyaan nyokap. "Anakku demam, Tante. Panasnya gak turun-turun dari semalam makanya aku langsung bawa ke rumah sakit." Kok hati gue sakit dengar jawaban Rani. Rani sudah punya anak, artinya dia juga sudah menikah. Sama siapa? Yoga? Poor Gilang, lo dilangkahi mantan. Mana yang ini mantannya bikin gue susah move on. Rani, kecantikan dia tidak pernah pudar. Masih dengan ciri khas rambut panjang sepunggung yang kali ini terkucir rapi sekarang. Gue ingat, dulu gue pernah bujuk dia buat potong rambut. Minimal rambutnya sebahu biar kembaran sama Nana. Tapi Rani menolak dengan nada marah. Dia lebih menyukai rambut panjang. Matanya yang berada di balik kacamata bingkai itu tetap sama. Masih sehangat mentari pagi. Mata itu adalah jejak pertama yang bikin gue jatuh cinta sama dia. Senyumnya. Senyumnya masih terlalu manis dalam ingatan. Lalu, gue ingat sesuatu. Dia bini orang. Kapan terakhir kali gue ketemu dia? Ah, tujuh tahun yang lalu. Tepat di mana gue menghancurkannya dan gue lebih-lebih hancur setelah menghancurkan Rani. Tapi kok dia gak pakai cincin kawin di jari manisnya? "Halo, Pak Gilang?" Suara panggilan di dekat telinga gue membuyarkan fokus. Gue lupa belum tutup telepon dari Amanda. "Ya, halo." "Jadi gimana, Pak? Pak Rudi mintanya hari Rabu di jam makan siang." "Oke acc," putus gue, langsung menutup telepon. Objek di depan gue sepenuhnya mengalihkan atensi. Mengalihkan hati yang belum bisa melepas dia sepenuhnya. Sayang, dongeng gue dan dia gak pernah punya akhir yang bahagia. Menelan ludah. Gue dan dia sama-sama terpaku. Lalu, dia memutus kontak mata dengan cepat. Oh, s**t! Gue kok kecewa? "Tante, aku permisi dulu. Mau beli makanan. Semoga lekas sembuh ya, Tante." Dia buru-buru pergi. Sama sekali nggak nyapa gue, padahal gue yakin dia melihat gue ada di belakang nyokap dari tadi. "Lang?" Nyokap menyentuh bahu gue. Mata gue sibuk memandangi fatamorgana yang perlahan mulai menjauh itu. "Ayo, Ma. Maaf tadi sekretaris kantor telepon." "Nggak nyapa Rani?" Gue menghela napas. "Nggak, Ma. Terlalu canggung kayaknya." "Udah lama Mama nggak ketemu dia." "Sama." Gue mendorong kursi roda Mama buat masuk lift. Gue harus lupain Rani. Harus. Wajib! Gak boleh bolong-bolong. Setelah nyokap check up, gue anterin nyokap ke rumah Bang Galih yang baru. Abang gue satu ini terhasut oleh teman-temannya yang ingin tinggal di satu kompleks perumahan. Akhirnya, Bang Galih pindah rumah lagi. Satu kompleks bersama sahabat-sahabat dia waktu SMA. Nyokap tiap hari main dengan anak-anak Bang Galih. Nyokap lebih nyaman dengan istri Bang Galih daripada istri Bang Gema. Gue gak tahu sebabnya apa. Begitu gue bawa nyokap masuk ke rumah Bang Galih, Nana dan kedua ponakan gue langsung menyambut. Elea dan Naura langsung menghampiri nyokap dan bantuin gue dorong kursi roda nyokap. "Gimana hasilnya, Ma?" "Seperti biasa." Seperti biasa versi nyokap tuh gak ada progress yang signifikan. Masih harus rutin check up. "Mbakyu, sudah pulang?" Ibu Nana baru saja keluar dari kamar. Beliau lebih muda dari Mama, masih terlihat bugar. Wanita berjilbab itu tersenyum hangat dan bergabung di ruang tamu. Duduk di sebelah Nana. "Sudah, Besan." "Apa kata dokternya, Mbakyu?" "Dokternya cuma kasih semangat biar saya nggak putus asa buat sembuh. Tapi namanya juga sudah tua, umur tidak bisa dibohongi toh. Saya cuma berharap Gusti Allah nggak cabut nyawa saya sebelum melihat si bontot nikah." Duh, Ma! "Mama pasti sehat lagi, kok. Mama nggak boleh ngomong gitu." Nana menggenggam tangan nyokap. Berusaha meyakinkan nyokap. Gue terpaku. Selama ini sikap gue kayaknya berlebihan. Padahal permintaan nyokap sederhana. Mau gue nikah biar ada yang urus. "Makanya Mas Gilang, cepetan kenalin calon toh sama Mamanya." Gue cuma bisa senyum. "Mama tadi ketemu Rani di rumah sakit." Mama tiba-tiba menyinggung pertemuannya dengan Rani. Mendengar nama sahabatnya disebut, Nana tercengang. Lalu, melirik gue sebelum menatap nyokap lagi. Dia bertanya, "Rani, Ma? Rani sahabatku?" Gue tahu, Nana juga sangat merindukan sahabatnya. Beberapa kali dia coba nyari media sosial Rani, bertanya ke teman-teman kuliahnya. Nihil. Tidak ada satupun cara yang berhasil. Rani seolah hilang dari peradaban. Tapi sekarang dia muncul lagi, tepat di depan gue dengan status yang sudah berbeda. "Iya. Anaknya lagi sakit dan dirawat di rumah sakit tempat praktik Mas-mu." "Aku kira dia tinggal di Purwakarta setelah nikah sama Yoga." Benar ternyata dugaan gue. Pria kampret itu berhasil menikahi Rani. "Kamu masih berhubungan toh sama Rani, Nduk?" "Enggak, Bu." Nana menggeleng lemah. Ekspresinya berubah sedih. "Nana udah coba nyari media sosial Rani, tapi semuanya tutup akun. Nomor handphone dia juga ganti. Makanya lost contact." Dulu, Rani berhasil menghilangkan semua jejak yang terhubung dengan gue dan orang-orang di sekitar gue. *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook