[2] Terjebak

1361 Words
Aric menjelajahi pulau mengerikan itu bersama Nigen. Dikatakan mengerikan karena sejak masuk ke dalam hutan di pulau tersebut ia merasa banyak pasang mata yang sedang memperhatikan. Namun Aric berusaha tak menghiraukan selama mata-mata itu tidak menganggunya. "Sebenarnya apa yang terjadi sebelum aku pingsan?", tanya Aric pada Nigen. Nigen menggeleng pelan, "Aku pun tidak terlalu mengingatnya" "Jika kita pingsan seharusnya kita berdua masih berada di atas speed boat, tetapi kita malah bangun di pulau ini, dan speed boat itu tidak tau hanyut kemana", jelas Aric. "Kalau kita bisa sampai ke pulau ini, berarti ada seseorang yang membawa kita", lanjutnya. "Kita tidak bisa berpikir begitu saja, bisa saja semua yang kau pikirkan bukan kejadian yang sebenarnya", ujar Nigen. "Aku hanya membuat sebuah kemungkinan", Aric membela dirinya. "Lagipula kita harus memikirkan sesuatu yang lebih penting, bagaimana caranya kita bisa kembali?", tanya Nigen. Aric nampak berpikir, "Sepertinya kita tidak bisa kembali". Pernyataan Aric membuat Nigen memukul kepalanya, "Bodoh, kau sangat mudah menyerah" Aric meringis pelan, ia menatap Nigen, "Baiklah, sekarang kau seperti sedang memarahi pasanganmu" "ARIC!" Dan Aric mendapat satu pukulan lagi di kepalanya. ===== Mereka berdua memasuki hutan semakin dalam, semakin mengerikan bagi Aric, berbeda dengan Nigen yang tampak tenang daritadi. Namun Aric tidak takut, takut tidak akan menyelesaikan apapun pikirnya. Terkadang memberanikan diri adalah sebuah keharusan. Ciitt! "Suara apa itu?", tanya Nigen. Aric mengindikan bahunya, "Mungkin tikus" Hari semakin gelap, tetapi keduanya tidak terlihat panik. Mereka segera mencari kayu bakar untuk menghangatkan tubuh mereka malam nanti. Setelah mengumpulkan beberapa kayu bakar, mereka duduk di atas batang kayu besar, tempat itulah yang akan mereka jadikan sebagai tempat istirahat malam ini. Aric menghela nafas, membuat teman yang berada di sampingnya bertanya, "Kenapa?" "Masih mending jika aku terjebak di sebuah pulau terpencil bersama seorang wanita cantik, tapi aku malah terjebak bersamamu", Aric membuat ekspresi yang dibuat-buat sedih. Nigen menggeleng, ia sudah menyerah terhadap pemikiran Aric, kenapa dia harus memiliki teman seperti Aric? Srekk srekk Suara itu berasal dari semak-semak, karena matahari mulai terbenam membuat mereka berdua tidak bisa melihat dengan jelas sesuatu yang berada di semak-semak tersebut. "Siapa disana?", tanya Aric, namun dia tidak mendapat jawaban. Aric melirik Nigen, Nigen hanya mengindikan bahunya yang berarti ia tidak tau. Semak-semak itu berhenti bergerak, membuat mereka berdua mengernyitkan dahi. Lalu tiba-tiba... BRAKK Seorang wanita terjatuh dari semak itu, tak lama datang seorang pria yang berasal dari arah yang sama. Aric dan Nigen bangkit dengan cepat dan segera menjauh dari wanita dan pria di depannya. Wanita itu tampak kesal, "Kenapa kau mendorongku?!". Pria di hadapannya tidak menjawab. "Siapa kalian?", tanya Aric memberanikan diri. Wanita dan pria tersebut mengalihkan pandangannya pada Aric dan Nigen. "Kami penghuni pulau ini", jawab sang wanita. Aric dan Nigen akhirnya bernafas lega, mereka tak menyangka pulau terpencil ini memiliki penghuni. Namun Aric masih sedikit merasa aneh pada mereka, karena mata mereka berdua berwarna, merah? Nigen berjalan mendekat dengan santainya, ia mengulurkan tangannya pada pria itu, "Aku Nigen, maaf karena kami datang tanpa izin, kami terdampar disini" Pria itu membalas uluran tangan Nigen, "Aku Hans, wanita ini adalah adikku, namanya Violet, tidak apa, kami memakluminya" Mereka tak kunjung melepaskan uluran tangan, malah genggaman itu semakin kuat, tatapan mereka bertemu dan memandang tajam satu sama lain, mereka seperti sedang melakukan telepati. Beberapa detik kemudian, genggaman tangan itu lepas, Hans memperlihatkan senyumannya, "Oh jadi begitu". Hans melihat ke arah adiknya, lagi-lagi mereka seperti sedang melakukan telepati. Lalu adiknya pergi begitu saja ke dalam hutan. Hans berjalan mendekat pada Aric, ia mengulurkan tangannya dan dibalas oleh Aric, "Aku Aric" "Hormatku bisa bertemu denganmu", balas Hans yang membuat Aric menaikkan satu alisnya. Nigen lalu memotong pembicaraan, "Jadi Hans, apa kau tau bagaimana caranya agar kami bisa kembali ke kota?" Hans mengalihkan pandangannya pada Nigen, "Setahuku tidak ada cara". Aric membulatkan matanya, "Apa tidak pernah ada orang kota yang pernah kesini?", tanyanya. Hans tampak berpikir, ia memegang dagunya, "Pernah, beberapa kali" "Apa yang terjadi pada mereka?", tanya Aric penasaran. "Mereka mati", jawab Hans jujur. Aric mengernyitkan dahinya heran. "Lalu bagaimana kalian bisa bertahan hidup disini?" "Malam telah tiba, lebih baik kita membuat api", potong Nigen. Aric pun menyetujuinya. ===== Hari sudah benar-benar gelap, pulau itu menjadi sangat sunyi, seperti tidak memiliki tanda-tanda kehidupan. Terdapat banyak pertanyaan didalam pikiran Aric, namun ia akan menanyainya satu per satu, "Apakah hanya kalian berdua penghuni pulau ini?", tanya Aric yang juga membicarakan adik Hans. Hans menggeleng, "Disini cukup ramai, kau tidak bisa melihatnya?" Aric melihat sekitarnya, dia memang sudah merasa diperhatikan sejak tadi. Dan benar saja, banyak pasang mata berwarna merah tengah memandang mereka. "Kenapa mereka tidak bergabung?", tanya Aric lagi. Tiba-tiba saja dia menjadi lebih cerewet dari biasanya. Nigen hanya diam menyimak. Hans memegang dagunya sambil melihat ke atas, "Ehm, gimana ya?" Aric semakin dibuat penasaran. Namun tiba-tiba Nigen menyela, "Aric, sebaiknya kau jangan terlalu penasaran, sama saja kau mengurusi urusan mereka" "Aku hanya ingin tau", balas Aric tidak terima. Akhirnya dia tidak bertanya lagi pada Hans. Karena merasa bosan, Aric memutuskan untuk keluar dari pulau menuju tepi pantai, keadaan di dalam membuatnya sesak. Dia meninggalkan Nigen dan Hans yang asik berbincang. Saat berjalan, dia merasa seperti diikuti oleh ratusan hewan buas, mata-mata berwarna merah itu terus memperhatikannya. Tetapi Aric berusaha agar ia tidak merasa terganggu. Dia sampai ke tepi pantai, Aric menghirup udara sedalam-dalamnya seakan-akan ia tidak bernafas selama berjam-jam. Lalu perlahan ia membuang nafasnya. Aric juga merasa mata-mata merah tadi sudah tidak mengikutinya. Haa~ aa~ "Suara itu?", ujar Aric pada dirinya sendiri. Dengan cepat Aric menuju ke sumber suara, dan lihat apa yang dia temukan. Jika tadi ia hanya bertemu satu wanita bersirip, sekarang dia bertemu 5 wanita bersirip. Mereka terlihat sangat cantik, namun Aric tidak tertarik. Dia malah mencari seseorang di dalam kerumunan 5 wanita bersirip itu. Tidak ada ya? Batin Aric. Aric bahkan heran dengan dirinya sendiri, kenapa dia sama sekali tidak takut pada siluman-siluman itu? Menyadari bahwa di dekat mereka ada seorang manusia, mereka segera mengeluarkan harpa mereka masing-masing hanya dengan memunculkannya secara ajaib di tangan mereka. Haa~ Mereka mulai bernyanyi ke arah Aric, namun sekali lagi, nyanyian itu tidak bisa mempengaruhi Aric. Tetapi karena rasa penasarannya yang tinggi, Aric pun berpura-pura seolah dia terkena kekuatan mereka. Aric berjalan mendekat pada kerumunan wanita bersirip itu. Wanita-wanita itu tersenyum mengejek ke arah Aric. Hanya tinggal beberapa langkah lagi Aric akan menyentuh air, Aric sama sekali tidak menghentikan langkahnya. "Kalian berhenti!" Para wanita bersirip itu menghentikan nyanyian mereka, membuat Aric juga reflek berhenti. Akhirnya dia keluar juga. Batin Aric. "Jangan ganggu manusia itu, dia milikku" Mereka ketakutan, dengan cepat mereka pergi dari tepi pantai, meninggalkan Aric dengan satu wanita bersirip disana. "Kau berpura-pura dikendalikan oleh mereka?", wanita cantik itu melipat tangannya. "Kenapa? Apa aku salah?", tanya Aric dengan wajah tak bersalahnya. Membuat wanita di hadapannya menggeram kesal. "Bodoh! Kau bisa terbunuh!" "Apa pedulimu?", Aric menaikkan satu alisnya. Bukannya berterima kasih karena sudah diselamatkan, dia malah menantang wanita cantik tersebut. "Kau benar-benar tidak tau terima kasih", wanita itu mengambil ancang-ancang ingin pergi, namun dihentikan oleh Aric. "Kau belum memberi tau namamu" Terpaksa wanita itu menoleh kembali pada Aric, "Untuk apa kau tau?" Aric tersenyum mengejek, "Bukankah kau tadi bilang aku milikmu?" "Sepertinya kau salah paham, tuan" "Aku punya nama" "Aku tidak nanya" Mereka saling menjawab dengan nada ketus, terlihat seperti pertengkaran anak kecil. "Kau tidak boleh pergi sebelum menjawab pertanyaanku", ujar Aric. Sifat keras kepalanya itu sudah ada sejak lahir. Wanita itu merasa tertantang, "Bagaimana kalau aku tidak mau?" "Kau harus bertanggung jawab dengan ucapanmu" "Kau benar-benar salah paham", wanita itu mulai geram dengan Aric. Sebenarnya wanita itu mengatakan bahwa Aric miliknya itu berarti bahwa wanita itu yang akan membunuh Aric, tetapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Aric. Wanita bersirip yang satu ini masih memiliki rasa simpati pada manusia. "Aku memiliki banyak pertanyaan, tapi aku berharap kau menjawab pertanyaanku yang satu ini", ujar Aric serius. Wanita itu menaikkan alisnya, "Apa itu?" Aric berjalan mendekat membuat wanita itu mundur sedikit kebelakang, "Aku harus tau namamu" "Sudah ku bilang kau tidak pantas mengetahui namaku" Aric memicingkan matanya, "Kau keras kepala" Merasa tidak terima, wanita itu setengah berteriak pada Aric, "Kau yang lebih keras kepala!" "Thea?" Wanita itu dan Aric menoleh ke sumber suara. "Hans?" TBC Hayoloh hayoloh Jangan lupa tinggalkan jejak teman-teman

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD