5. Diana : The Beloving Mother

1238 Words
Seperti biasa Kinan, duduk menyendiri di pojokan kafe di lantai dasar gedung itu. Tampak abai dengan suasana sekitar. Matanya fokus membaca n****+ dengan sampul lusuh yang terletak di meja. Sore itu langit mendung dengan gerimis yang sudah membasahi bumi. Jalanan pasti akan macet di saat seperti ini. Hingga akhirnya Kinan memutuskan untuk menunggu hingga jalanan lebih bersahabat lagi. “Hai Kinan, apa kabar?” Suara ramah seorang lelaki terdengar di telinga Kinan. Gadis itu mendunga, lelaki itu, Alif, sempat terpesona dengan indahnya mata Kinan. Semakin terpesona saat melihat senyum samar di bibir Kinan. Tapi dia segera tersadar. “Boleh  duduk di sini?” Alif menunjuk bangku kosong di depan Kinan. Kinan mengangguk walau sudah merasa tidak nyaman. “Ini milikmu.” Sebuah paper bag bermerk nama toko perlengkapan sepeda diletakkan Alif di meja. “Apa ini?” Kinan malah balik bertanya. “Ini hadiah untukmu. Kemarin kan kamu belanja sampai satu juta lebih di toko sepeda, nah dapat hadiah ini, tapi kamu keburu pergi. Kebetulan saya dan teman-teman juga ada di situ dan Arfi bilang kalau kamu juga bekerja di gedung ini. Terus terang aku tidak memperhatikan sih dan baru ngeh ya pada saat Arfi cerita.” Alif menjawab. “Terima kasih.” Kinan beri sedikit senyum dan sedikit menundukkan kepalanya. Sudah, hanya itu saja reaksi Kinan dan gadis itu kembali fokus pada n****+ di depannya. Alif jadi bingung sendiri. “Euum, Kinan, saya mengajak kamu untuk ikut daftar Tour de Borobudur. Tampaknya kamu suka bersepeda juga kan? Kami ada beberapa orang nih tapi semua laki-laki,  kalau kamu ikutan jadi ada perempuan. Mayan deh, ada pemandangan.” Rayu Alif. “Iya Pak, terima kasih. Saya memang peserta lomba Tour de Borobudur dari beberapa tahun lalu.” Jawab Kinan polos. “Waah benarkah? Sudah ada grup? Kalau belum ikut kami saja ya.” Ajak Alif bersemangat. “Terima kasih Pak Alif, tapi saya mendaftar bersama teman-teman dari kampung saya.”  Penolakan Kinan membuyarkan harapan Alif. “Yaah… gitu ya? Okay deh kalau begitu, tapi pastinya akan sering latihan kan? Kita janjian saja ya Kinan. Minggu depan kami akan bike ke JPG (Jalur Pipa Gas). Ikut yuk.” Alif tak mau menyerah kalah. “Insya Allah ya pak.” Jawaban yang sangat simpel dari Kinan. “Saya boleh minta nomer whatsappmu? Jadi kita lebih gampang gitu untuk komunikasi.” Alif mengeluarkan ponselnya, bersiap untuk memasukkan nomer ponsel Kinan. “Euum.. Maaf Pak Alif, saya tidak bisa memberikan nomer w******p saya ke sembarang orang. Sekali lagi maaf Pak.” Kinan menangkupkan tangan di depan d**a, “aah hujan sudah reda. Saya permisi pulang dulu pak. Mari…” Dengan terburu, Kinan segera membereskan n****+ dan segera pergi dari kafe itu. Tampak ketidaknyamanan di wajahnya. Saat hendak ke luar kedai kopi itu, tubuhnya tidak sengaja menabrak tubuh seseorang. Seperti biasa, Kinan tadi berjalan tergesa dan menunduk, hingga tidak awas pada sekeliling. “Maaf, maaf…” Kinan mendunga, sedikit senyum tampak di bibirnya, tapi segera menunduk lagi saat si lelaki tampan itu sama sekali tidak bereaksi.   *** Acara lamaran Arfi ke keluarga Ella sudah selesai. Sekarang acara santai. Kinan sengaja duduk menjauh dari keramaian. Menikmati hidangan yang menggugah selera. Sesaat telinganya mendengar suara mengeong lirih. Matanya mencari-cari dan saat ditemukan dia melihat seekor anak kucing kurus melihat ke arahnya, seperti minta diberi makanan untuk pengganjal perutnya. Kinan duduk di pembatas, diletakkannya piring makan di sebelahnya. Kemudian dia mengambil beberapa lembar tissu, dia susun di pangkuannya, kemudian dia membawa anak kucing yang semakin kencang mengeong karena kaget. Kinan mengusapkan tisu basah ke mata anak kucing itu untuk membuang kotoran mata, kemudian mengusap tubuh kurus anak kucing tadi agar menjadi bersih. “Nah, kamu sudah bersih. Kalau sudah bersih gini untuk makan kan jadi enak Nis. Ini ada daging untuk kamu makan.” Kinan bermonolog dengan anak kucing itu. Dielusnya tubuh anak kucing tadi dengan penuh kasih sayang. Dia tidak tahu aktivitasnya dari tadi diperhatikan oleh seseorang dengan penuh rasa penasaran. “Kamu kenapa sendirian, sayang? Kamu kan masih kecil gini. Mamamu ke mana? Bagaimana kamu bisa melanjutkan hidup kalau sendirian begini?” Kinan masih saja bermonolog dengan si anak kucing yang sekarang berusaha mengunyah daging. Tentu saja anak kucing itu tidak menjawab. “Kamu sama sepertiku, tidak punya ayah dan ibu. Tapi mungkin nasibku lebih beruntung karena ada eyang yang sangat menyayangiku. Semoga kamu tidak dianggap sebagai pembawa sial sepertiku.” Masih saja Kinan membelai sayang anak kucing kecil itu. Tapi kegiatannya terhenti saat kemudian ada sepasang kaki berhenti di depannya. Dia mendunga dan tersenyum kecut saat melihat siapa yang datang. Seorang perempuan cantik, bergaya klasik, tapi mata itu terlihat sungguh ramah. Dia tahu bahwa perempuan cantik ini adalah Nyonya Diana Sindhu, mamanya Arfi, calon mertua Ella. Kinan terburu berdiri, tapi dicegah oleh Diana. “Tidak perlu berdiri Nona, justru saya ingin duduk di sebelahmu. Boleh? Saya juga suka kucing, sangat suka malahan. Dari tadi saya memperhatikan kamu yang dengan telaten membersihkan tubuh kucing ini.” Diana menjatuhkan pantatnya, duduk di pembatas di sebelah Kinan. Tangan kirinya terjulur, mengelus tubuh anak kucing itu. “Oiya kenalkan, saya Diana.” Diana mengulurkan tangan mengajak Kinan bersalaman. Kinan terburu-buru membersihkan tangan sebelum menyambut uluran tangan ibu nan cantik itu. Pantas saja Arfi cakep, mamanya aja secantik ini. “Saya Kinan, ibu. Maaf tangan saya kotor.” Kinan segera menarik tangannya. “Aaah gak papa. Kamu suka kucing ya? Atau memang penyayang binatang?” Tanya Diana, tapi tangan kirinya tidak lepas mengelus anak kucing tadi. “Kucing saja ibu. Karena di rumah eyang saya juga ada kucing.” “Oooh. Kinan, sepertinya aku pernah melihatmu di panti asuhan Mawar di Bogor. Tapi saya juga gak yakin banget sih. Karena kita belum pernah ngobrol secara langsung. Tapi tadi pas melihatmu sibuk dengan anak kucing ini, saya jadi lebih yakin karena saat di panti asuhan kamu juga sangat sibuk dengan kucing setelah merawat bayi-bayi itu.” Kinan menatap Diana dengan takjub, heran ada orang lain yang ternyata peduli padanya. Selain Ella dan Iko. “Maaf, saya terkesan kurang ajar, tapi saya menanyakan pada pemilik panti siapa kamu sebenarnya. Tidak menyangka bahwa masa lalumu ternyata cukup menyedihkan. Sekedar info, nenek saya sepertimu. Tidak diaku sebagai anak karena membuat uyut putri saya meninggal, sehari setelah melahirkan nenek. Nenek saya diasuh oleh kerabat, dan beliau sering cerita pada kami, anak dan cucunya untuk pentingnya saling menyayangi. Mungkin itu yang membuat saya seperti punya rasa empati padamu.” Tangan Diana menyentuh tangan Kinan. Sedikit banyak dia bisa mengerti apa yang Kinan rasakan. Ibu, apakah ini rasa nyaman dibelai oleh seorang ibu? Seperti inikah rasanya, bu? Aku tidak pernah merasakan itu. Mata Kinan terasa panas. “Eeeh kenapa kamu malah menangis?” Diana jadi panik karena Kinan malah meneteskan air mata. “Saya membayangkan, mungkin ini rasa nyaman yang diberikan oleh seorang ibu pada anaknya, disayang dan dilindungi. Saya belum pernah merasa seperti ini. Eyang memang sangat menyayangi saya, tapi tetap saja saya merindukan belai kasih seorang ibu.” Lirih Kinan. “Kinan, yang kuat ya.” Diana merengkuh Kinan ke pelukannya, pecahlah tangis Kinan. Dia semakin tidak dapat menahan isak tangisnya. Seumur hidup, baru kali ini dia merasa sangat disayang oleh seorang ibu. “Maaf bu, maaf. Saya jadi cengeng.” Andai saja, aku bisa merasakan pelukan seperti ini setiap hari dari ibu. Kinan tidak tahu, kelak, hidupnya akan selalu bersinggungan dengan Diana dan Arfi. Diana merasa bertanggung jawab untuk menggantikan Arfi atas apa yang telah dia lakukan pada Kinan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD