Megan menatap dengan gugup pantulan wajahnya di depan cermin. Wajahnya terlihat begitu pucat meski polesan make up berusaha menutupi segala macam emosi yang terbentuk di hatinya tidak tertampil segamblang itu di permukaan wajahnya. Megan hanya bisa melihat seorang wanita menyedihkan yang menggantungkan segalanya pada harapan setipis kulit ari.
Wajah mungil putranya tergambar begitu jelas di benak Megan. Cara anak mungil itu menatapnya, tersenyum dan segalanya. Segalanya tentang Kiano begitu menyentuh hatinya, membuat hatinya terharu sekaligus melayang oleh kebahagiaan. Membuatnya menginginkan lebih dan lebih. Yang Megan yakin akan memberinya kekecewaan yang lebih dan lebih lagi. Yang tak yakin akan sanggup ia tampung di dalam hatinya yang sudah sesak oleh jumbalan emosi yang bercampur aduk.
Megan mengerjapkan matanya beberapa kali, mengurai dan menahan butiran bening jatuh ke pipinya sekali lagi. Dan ternyata butuh waktu lebih banyak untuk menenangkan emosinya, mengurai kaca-kaca yang menggenali kedua kelopak matanya. Megan masih terus berusaha, hingga kemudian suara langkah kasar yang entah bagaimana Megan hafal nadanya, bergerak semakin mendekat. Ia tahu milik siapakah langkah tersebut. Megan memutar kepalanya tepat ketika sosok Mikail muncul dari baik pintu toilet. Tatapan wanita itu langsung mengarah pada wajah Mikail yang mengeras dan merah padam. Kedua mata pria itu terlihat berapi-api.
Megan tak sempat mencerna keterkejutannya ketika Mikail langsung menghambur ke arahnya. Dari kemarahan yang menyelimutii wajah Mikail. Megan tahu Mikail tidak melihatnya sebagai seorang supermodel yang menjadi brand ambassador untuk perusahaan pria itu. Melainkan seorang Megan Ailee, seorang mantan istri yang telah mencampakkan pria itu.
“Apa yang kau lakukan, Mikail?” desis Megan tajam. Mengarahkan tubuh menghadap Mikail, siap menghadang untuk apa pun yang akan dilakukan pria itu padanya.
Dengan tatapan yang melekat pada kedua mata Megan, Mikail melangkah semakin dekat. Membuat Megan terpaksa mundur. Bahkan pria itu tidak berhenti ketika punggung Megan sudah menyentuh dinding. Jantung Megan berdebar dengan kencang.
Hanya sedetik Megan berpikir untuk menyelipkan tubuh rampingnya di antara dinding dan tubuh tinggi Mikail, detik berikutnya Mikail menangkap pinggang Megan dan mengembalikan wanita itu dalam posisi semula. Berada dalam himpitan tubuhnya. Wajahnya tertunduk, agar sejajar dengan wajah Megan.
“Apa yang kau lakukan, Mikail?” Suara Megan lebih tajam dan tatapan peringatannya ketika Mikail semakin merapatkan tubuh mereka. Bahkan kepala pria itu bergerak semakin turun, menyisakan jarak setipis mungkin di antara bibir mereka. Yang membuat Megan berpikir bahwa pria itu akan benar-benar menciumnya, karena pikiran Mikail yang sedang tidak waras.
“Kami bukan siapa-siapa mu lagi, Megan. Aku dan Kiano hanyalah orang asing di hidupnya. Dan kita terlibat dalam situasi ini karena sebuah keprofesionalan. Tidak seharusnya kau menjadi emosional seperti ini,” desis Mikail tepat di bibir Megan. Napas panas pria itu menerpa seluruh permukaan wajah Megan, yang membuat jantung wanita itu nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya.
Megan tak mengatakan apa pun, selain nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya.
Megan tak mengatakan apa pun, kedua matanya melekat kuat dalam kuncian Mikail. Dan hanya sepersekian detik, Megan berpikir Mikail tersesat dengan keinginan pria itu. Tetapi rupanya kewarasan pria itu berbicara lebih tegas dan keras, yang membuat Mikail mengerjap sekali sebelum kemudian mendorong tubuh pria itu menjauh dari tubuhnya. Seolah terbangun dari kesadarannya.
“Kau sudah pernah melukai anakku dan menyisakan luka yang membekas di hidupnya, Megan. Sekali lagi jika kau meninggalkannya tepat di depannya, aku akan membuatmu menyesal.” Mikail berhasil mengeluarkan suaranya dengan tanpa getaran. Emosi di kedua matanya menguat. Membuat wajah dan seluruh tubuh Megan membeku. “Kau mengatakan akan menerima semua konsekuensi dari keegoisanmu, kan? Tidak seharusnya kau menjadi begitu emosional karena sikapnya. Dia hanya tidak tahu apa yang dikatakannya, jangan menanggapinya secara berlebihan.”
Kata-kata Mikail benar-benar menusuk tepat di jantung Megan. Meremas dadanya, hingga tak menyisakan apa pun di dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia merasakan hatinya begitu kosong sekaligus penuh oleh penyesalan yang teramat sangat. Menganga lebar di dalam dadanya.
“Aku tak akan memperingatkanmu untuk kedua kalinya, Megan,” pungkas Mikail, sebelum membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari toilet wanita.
“Aku tahu kau sengaja mengundangnya ke meja makan kita hanya untuk mengusikku.” Kalimat Megan berhasil menghentikan langkah Mikail yang sudah hendak mencapai pintu toilet. “Kau menggunakannya untuk mengusikku. Menghukumku dan membalas dendam padaku.”
Tubuh Mikail membeku, ketika pria itu memutar kepalanya ke samping dan mendengus dalam cemoohannya. Mikail berkata dengan nadanya yang dingin dan tak punya hati. “Hukuman? Balas dendam?” Mikail memberi jeda sejenak dalam cemoohannya. “Kau tak layak mendapatkan sedikit pun perhatianku, Megan. Juga perhatian dari anakku. Percayalah, ini bukan pertama kalinya aku membawa anakku makan siang maupun makan malam dengan rekan kerjaku. Jadi apa yang membuatmu merasa special dan layak mendapatkan perhatian kami?”
Air mata menggenang memenuhi pelupuk mata Megan dan tubuh wanita itu jatuh di lantai setelah Mikail meninggalkannya di kamar mandi. Dengan kedua telapak tangan menangkup wajahnya, sebelum kemudian terisak dengan pilu. Tak mampu menahan segala macam emosi yang menerjang dan menelannya mentah-mentah. Menenggelamkannya dalam kepedihan yang tiada henti.
***
Lima belas menit kemudian, Jelita muncul dan menjemput Megan yang menunggu di tempat parkir. Tepat di samping mobilnya.
“Kenapa kau begitu lama, Jelita?” sergah Megan jengkel.
“Aku tak bisa pergi begitu saja, Megan. Aku harus membuat alasan sealami mungkin tanpa menyinggung perasaan tuan Matteo. Apalagi anakmu.”
Megan tak ingin mendengar lebih. “Cepatlah. Aku butuh segera pergi dari tempat ini.”
Jelita mengangguk. Dengan sigap membuka kunci dan pintu mobil untuk Megan, lalu memutari bagian depan mobil dan bergegas duduk di balik kemudi. Membawa mobil meninggalkan halaman restoran sesegera mungkin.
Sepanjang tengah perjalanan, Jelita tak berhenti melirik ke arah Megan yang sengaja membisu. Membiarkan keheningan menyelimuti keduanya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Jelita memecah keheningan ketika mobil berhenti di lampu merah. Sekedar membuyarkan lamunan Megan karena tahu wanita itu tidak baik-baik saja.
Megan mengerjap sekali. Memutar kepala dan menatap Jelita dengan keletihan yang lebih pekat dari ketika ia duduk di dalam mobil. “Sangat buruk.”
Jelita mengguman pelan menanggapi jawaban Megan. Jika Megan masih membalas pertanyaannya, kekhawatirannya perlahan menyusut meski masih tetap tak bisa tenang.
Megan kembali membisu. Terngiang kalimat yang diucapkan oleh Mikail dan hatinya kembali direndam perih yang teramat. “Apakah menurutmu emosiku terlalu berlebihan di hadapannya?”
Jelita menatap lampu yang berubah hijau dan menginjak gas. “Dia anakmu, Megan. Tidak ada yang berlebihan.”
Megan termenung, menepis kalimat tanpa hati Mikail dan menggantinya dengan kalimat Jelita. Tentu saja lebih mudah menerima kalimat Jelita. “Apakah dia sangat kecewa padaku?”
“Dia menyukaimu. Ikatan batin memang tak bisa berbohong.”
Kening Megan berkerut. “Benarkah?”
“Tentu saja. Apa kau tidak bisa melihat caranya menatapmu, dia begitu menyukaimu, Megan. Dia masih begitu polos untuk memahami masalah orang dewasa.”
Megan mengangguk setuju. Tetapi … “Lalu bagaimana jika dia mulai curiga jika aku bersikap terlalu berlebihan padanya lagi, Jelita?”
Jelita mengambil tangan Megan dan menggenggamnya. “Tidak ada yang berlebihan. Dan dia tidak mungkin mencurigai apa pun itu yang kau khawatirkan. Tuan Matteo tampaknya bersikeras tak ingin anakmu tahu siapa dirimu. Dan kau … apa kau berniat memberitahunya tentang siapa dirimu?”
Megan pun segera menggeleng dengan cepat. “Tidak mungkin, Jelita. Aku …” Megan berhenti, menelan gumpalan yang tertahan di tenggorokannya dan rautnya seketika berubah sedih. “ A-aku tak mungkin melukai hatinya tentang siapa diriku. Dia pasti akan membenciku jika tahu siapa diriku.”
Jelita tak mengatakan apa pun. Kekecewaan yang ia lihat di wajah Kiano ketika Megan meninggalkan ruang pribadi beberapa saat yang lalu tentu masih tergambar jelas di wajah bocah mungil itu. Dan ia tak sampai hati menyampaikan kekecewaan itu pada Megan. Yang pasti akan membuat Megan kehilangan semangat dan kepercayaan diri untuk mendekati anaknya.
“Kalau begitu kau hanya perlu menjadi tante cantik yang diidolakan olehnya, Megan.”
“Diidolakan?” Kening Megan berkerut dan kebahagiaan memanjat naik di dadanya.
Jelita mengangguk dengan yakin. “Kau tak mungkin tidak menyadarinya, Megan. Dari tatapannya, dia jelas mengidolakanmu. Dia bahkan mengenalimu. Sejak pertemuan pertama kalian, yang bahkan sangat singkat. Dan apa kau tidak bisa melihat binar di kedua matanya ketika memanggilmu tante cantik?”
Megan tampak termenung, memikirkan kata-kata Jelita. Yang semakin ia pahami, membuat hatinya mengembang oleh kebahagiaan. Dan harapan yang sebelumnya hanya setipis kulit ari, perlahan mulai menguat. “Apakah kau pikir seperti itu?”
“Itu terlihat jelas, Megan. Tidak hanya dalam pikiranku. Bagaimana mungkin kau tidak menyadarinya?”
Megan terdiam. Tentu saja ia tidak menyadarinya, dan sepertinya karena ia sibuk dengan perasaannya yang begitu emosional karena melihat darah dagingnya berda tepat di depan matanya. Namun tak bisa ia sentuh dengan kedua tangannya.
“Jadi, aku hanya perlu menjadi tante cantik untuknya, kan?”
“Ya, kau harus membuatnya bangga melihat dirimu.”
Megan mengangguk, dan dengan tekad baru yang kuat, harapan baru membentang luas di hadapannya. “Ya, kau benar, Jelita. Aku harus membuatnya bangga dan tak sia-sia mengidolakanku.”
“Juga, kendalikan emosi di wajahmu, Megan. Tahan keharuanmu dan jangan bersikap terlalu emosional tiba-tiba meninggalkannya seperti yang kau lakukan tadi. Hmm … kau tahu, pikirkan ketika kau terlibat dalam suatu pembicaraan dan tiba-tiba orang itu meninggalkanmu. Kau pasti bertanya-tanya …”
“Aku mengerti,” penggal Megan. Teringat kata-kata Mikail ketika di toilet. Pantas saja Mikail begitu marah. Pria itu pasti takut dirinya membuat Kiano kecewa.
‘Kau sudah pernah melukai anakku dan menyisakan luka yang membekas di hidupnya, Megan. Sekali lagi jika kau meninggalkannya tepat di depannya, aku akan membuatmu menyesal.’
Dan Mikail ada benarnya. Ia sudah melukai Kiano. Cukup sekali dan tidak seharusnya ia mengulang kesalahan tersebut untuk kedua kalinya. “Apakah menurutmua aku harus minta maaf padanya?”
Jelita tampak memikirkan pertanyaan Megan sejenak, kemudian mengangguk. “Tidak ada salahnya.”
Megan mengembuskan napas, melepaskan kegugupan yang sejak tadi tertahan di pangkal tenggorokannya. Keningnya berkerut, mulai memikirkan permintaan maaf seperti apa yang akan menyenangkan putranya.
“Apa kau tahu kapan lagi aku memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya?”
“Besok adalah pemotretan pertamamu di mall M-King. Jika kita beruntung, kita akan bertemu dengan anakmu.”
Wajah Megan seketika berubah diselimuti semringah. Dan ketidaksabaran memenuhi dadanya. Namun, senyum itu tak bertahan lama. Ketika Jelita menyela kebahagiaan yang baru saja didapatkan oleh Megan.
“T-tapi …”
Megan menoleh, masih dengan senyum yang tersungging di kedua ujung bibirnya. “Tapi apa?”
Jelita mengigit bibir bagian dalamnya. Memastikan tidak ada kendaraan lain di depan mereka sebelum kemudian menoleh pada Megan yang menatapnya dengan kerutan di kening.
“Tapi apa, Jelita?” Megan menyadari ada sesuatu yang serius dari keseriusan yang lebih pekat di wajah sang manager.
“Selain kau, ada satu orang lagi yang menjadi brand ambassador M-King.”
Kerutan di kening Megan semakin dalam. Ia tak pernah keberatan dengan siapa pun yang akan menjadi pasangan dalam pemotretannya. “Siapa?”
Jelita masih tampak meragu untuk menjawab.
“Katakan saja, Jelita.” Megan tak pernah mempermasalahkannya. Ia tidak pernah kesulitan bersikap professional dengan siapa pun. Pria maupun wanita. Namun, lain ceritanya jika itu adalah. Mata Megan menyipit tajam, menusuk sisi wajah Jelita yang berusaha membagi konsentrasi antara dirinya dan jalanan. “Jangan bilang jika dia adalah Nicholas, Jelita,” desisnya dengan penuh penekanan.
Jelita menghela napas rendah dan menoleh ke samping. Memberikan satu anggukan singkat dan mengonfirmasinya. “Yup. Nicholas Matteo. Dan demi apa, Megan. Aku baru mengetahui kalau ternyata dia adalah sepupu tuan Matteo. Mantan suamimu.”
Megan menggeram dalam hati, dan menyumpahi pria menjengkelkan itu.
“Besok, kau akan melakukan pemotretan dengannya.”
Dan itu tak akan menjadi pemotretan yang mudah.