"Itu loh, Niiiis."
Ia ikut menoleh. Baru satu minggu di sini dan sudah menemukan lelaki yang menarik. Ohoo tentu mudah karena semua orang membicarakan lelaki itu. Ia hanya penasaran. Ingin melihat orangnya seperti apa dan ternyata waaaw!
"Ganteng kan? Cocok tuh sama lo."
Yaaa yang satu ganteng, yang satu cantik. Katanya idaman. Katanya sempurna. Katanya semua pasangan itu memang harus kayak gitu dan ia terbiasa diinginkan untuk menjadi seperti itu. Menjadi sempurna. Karena ia dipaksa untuk menjadi sempurna.
"Hamas Muttaqi Zulfiqar."
Incaran semua anak sekolah. Lelaki yang duduk di kelas XI itu belum lama pulang dari Inggris setelah lomba debat internasional. Semua mata perempuan memang tertuju padanya. Dari awal masuk sudah dikagumi karena dianggap, ia menjadi satu-satunya orang yang mungkin bisa sempurna?
Ya setidaknya dimata Nisa. Ganteng, cerdas, dan kepribadian yang sangat menyenangkan adalah kombinasi yang belum tentu dimiliki semua orang. Namun Hamas memiliki itu. Ia mungkin bukan yang jago olahraga. Lebih terkesan agak sedikit kutu buku namun anehnya tetap gaul. Ia gaul dengan caranya tersendiri.
Kebanyakan anak-anak seusia mereka kan sibuk mencoba-coba. Ia? Kalau sesuatu itu dianggap menyimpang jauh dari nilai-nilai agama, ia tak akan mau mendekat. Termasuk.....
"Nisa, kak."
Si gadis yang tampak ceria, cantik, dan incaran para lelaki ini malah memilihnya. Hanya yang membuat para lelaki lain turut melihat. Ya Nisa pasti dibicarakan sejak awal masuk sekolah. Kecantikannya membuat semua orang menoleh. Cantik, kaya, dan seksi. Ia punya itu. Sialnya, kebanyakan laki-laki memang hanya memandang tubuhnya. Lalu bagaimana dengan lelaki yang baru saja diajak untuk berkenalan olehnya? Bahkan sampai ingin berjabat tangan?
Hamas mengatupkan kedua tangannya di depan d**a. Lalu hanya menyebutkan singkat namanya dan berpamitan dengan teman-temannya. Ia memang dipanggil kepala sekolah. Dan semua orang riuh melihat kejadian yang baru saja terjadi. Seorang Nisa, yang cantik dan sempurna tampaknya baru saja ditolak oleh Hamas ya?
"Hamas diajak kenalan," seru salah satu cewek. Yeah tipikal yang paling tak sudi kalau ada yang berani menjadi saingannya. Termasuk Nisa. Ia sudah menandai gadis itu sejak awal. Akan kah Nisa takut?
Tentu tidak. Ia tak mengenal takut dalam menghadapi orang lain.
"Modal cantik doang sama kaya ya gampang masuk sekolah ini. Sampai antriannya penuuh."
Begitu kata yang lain. Tapi Nisa tak perduli. Ia adalah tipikal orang yang tak akan menolak fakta. Yaah, orangtuanya memang kaya dan punya jabatan. Jadi, apa masalahnya dengan mereka? Bukan kah tidak ada hubungannya?
Tidak menyerah, ia memang terus mendekati Hamas. Segala cara dilakukan. Bahkan sampai ikut kelas ekstrakulikuler debat di mana Hamas memang dijadikan pembimbing oleh gurunya. Tujuan Nisa memang bukan untuk belajar tapi melihat Hamas dan berkenalan. Lalu?
"Papa Nisa bilang kalau kenal sama orangtuanya kak Hamas."
Ia mengucapkan itu setelah berhasil mengusir semua murid pada kelas ektrakulikuler debat hari ini. Ya sengaja membuat semua orang pergi karena ia ingin berdua dengan Hamas. Hamas memang sedang memberesi barang-barangnya dan ia sungguh tak tertarik dengan gadis ini. Meski semua laki-laki mengatakan kalau ia akan menyesal.
"Oooh."
Ya memang tak terlalu merespon karena gadis ini terlalu terang-terangan dari awal. Hamas tidak suka. Pertama, ia memang tidak tertarik. Kedua, ia tahu batasan antara laki-laki dan perempuan yang berusaha ia patuhi.
"Papa kak Hamas itu rektor kan? Ibu kak Hamas juga dosen kan?"
Satu sekolah juga tahu. Tapi tak akan ada satu pun yang menyebutnya masuk ke sekolah ini bermodalkan orangtua. Ia murni masuk dengan usaha yang ia ukir melalui berbagai prestasi.
Ia hanya berdeham lantas buru-buru keluar. Ia enggan berduaan dengan perempuan kecuali dengan ibunya. Dan mungkin hidupnya jauh lebih tenang sebelumnya dibandingkan setelah ditempel ketat oleh gadis ini. Bahkan hingga bertahun-tahun. Nisa seolah tak pernah lelah. Gadis itu selalu menganggapnya sebagai sebuah kepemilikan.
Satu tahun kemudian, ketika Hamas duduk di kelas XII dan masih menjabat sebagai ketua OSIS, para perempuan yang naksir tentu saja makin banyak. Terutama adik-adik kelas yang baru saja masuk. Tapi karena kehadiran Nisa yang selalu menempelinya bahkan foto-foto yang dipamerkan pada teman-temannya, membuat semua orang percaya kalau ia memang dekat dan punya sesuatu hubungan dengan Hamas. Namun tentu saja tak bisa dipercaya sepenuhnya. Karena siapapun tahu Hamas seperti apa. Mana mungkin pacaran?
Dan karena itu Nisa berhasil membuat alibi kalau.....
"Aku sama kak Hamas itu mau dijodohin."
Lalu semua orang percaya? Sangat percaya. Apalagi kemesraan Nisa dengan ayah dan ibu Hamas yang sengaja dipamerkan. Satu-satunya orang yang tak termakan gosip itu adalah.....
Wayan. Yaa ia tahu bagaimana Hamas. Ia juga tahu kalau Nisa sangat posesif. Wayan menyebutnya begitu.
"Cinta mati kayaknya dia sama lu."
Hamas hanya geleng-geleng kepala. Menurutnya, Nisa itu bukan cinta padanya. Tapi obsesif. Kalau melihat orangtuanya, tampaknya ia terlalu dimanjakan. Apapun yang Nisa pinta pasti akan diberikan bukan? Jadi ya menurut Hamas, itu adalah sumber utamanya. Dan ada kemungkinan, Nisa tak akan pernah berhenti sampai ia berhasil mendapatkannya.
"Kenapa lu gak bilang aja ke anak-anak kalo gak ada hubungan sama Nisa?"
Hamaa tertawa. "Ada yang percaya kayak gitu?"
"Ya banyak, Mas. Sebagian cewek aja percaya. Percaya kalo lo mau dijodohin sama Nisa."
Hamas tertawa lagi. Menurutnya itu aneh sekali dan sangat tidak mungkin. Tapi ya namamya anak-anak remaja kadang gampang terhasut. Anak-anak cowok sih tak begitu perduli. Tetap banyak yang mengejar Nisa meski tahu akhirnya ditolak.
"Cewek goblok."
Lalu mereka pasti akan memaki setelah ditolak oleh Nisa. g****k menurut mereka karena mengejar sesuatu yang tidak mungkin seperti Hamas. Meski asa juga yang meragukan Hamas. Yaa.....siapa yang tidak tertarik dengan cewek cantik seperti Nisa?
@@@
Ia selalu berkecil hati kalau melihat seorang ibu bersama anak-anaknya. Ia juga ingin berada di posisi itu. Namun belum juga diberikan. Rasanya?
Sedih. Ia berusaha menutupi kesedihannya. Mudah? Tidak juga. Hanya bisa berkata pada diri sendiri kalau segalanya akan baik-baik saja. Percaya pada takdir karena Allah tak akan pernah mengecewakan hamba-hamba-Nya. Ia menguatkan diri dengan hal itu.
Usai memakan tteokbokki instan yang dijual di minimarket, ia akhirnya beranjak. Kemudian berjalan menuju gerbang komplek. Yeah, tadinya mau ikut pengajian. Tapi ia agak-agak malas dengan pertanyaan ibu-ibu yang setiap minggunya selalu sama. Hanya menanyakan sudah hamil?
"Aku yang udah hamil aja masih ditanya-tanya. Ada rencana punya anak lagi? Belum juga lahiran. Bukannya bantu doa biar persalinannya lancar. Heran juga tuh sama orang-orang."
Itu ucapan Dina beberapa minggu yang lalu. Ya bagaimana pun pasti ada keirian kalau melihat ada yang hamil kan? Mau siapapun itu. Ia tak bisa menampik hatinya.
"Aku yang udah punya anak satu aja, ditanya. Kapan punya anak kedua? Udah cukup loh jarak usianya itu. Terus kan kamu hamil anak pertama aja bukan diusia muda begitu. Pengen deh bacotin orang-orang kayak gitu. Dikira nyari jodoh gampang ya? Ada banyak di luar sana yang kepengen banget menikah. Pengen banget punya anak. Bukannya bantu doa malah bikin orang tambah stres."
Ya itu omelan Tiara yang juga pernah kesal dengan mulut ibu-ibu. Mungkin akan ada yang mengatakan kalau omongan ibu-ibu itu harus dimaklumi. Helooo! Kata siapa? Ya kalau dibiarkan juga tidak baik dong. Bukan kah mereka adalah orangtua yang seharusnya memberikan contoh yang baik untuk anak-anak? Bukannya menggunjing.
Dan dari kejauhan saja, ia sudah melihat rombongan ibu-ibu itu keluar dari masjid. Yang Farras heran kan adalah untuk apa sebenarnya mereka datang ke masjid? Karena apa?
Baru sampai di masjid pasti ada yang....
"Eh tahu gak itu si Rahma, anaknya Ibu Minah, usianya udah 28 tahun. Udah mau 30 tahun. Belum juga nikah-nikah."
"Iya ya?"
"Anaknya pemalu sih. Susah bergaul. Padahal cantik loh. Jadi susah kan ketemu jodohnya."
"Bukan karena itu kali, jeung. Dia kan lagi S3 tuh. Cowok-cowok minder kali ada cewek yang setinggi itu pendidikannya. Makanya kalo jadi cewek itu gak perlu sekolah tinggi-tinggi. Nanti susah jodohnya."
"Terus ada lagi itu si Hani, anaknya Pak Dulloh."
"Yang dilangkahi adiknya ya?"
Ibu-ibu yang lain menjentikan jari.
"Keasyikan karir katanya. Gitu tuh susahnya kalo perempuan sibuk kerja di luar rumah aampai lupa tugas utamanya nanti ya bakal jadi seorang istri. Bakal jadi ibu rumah tangga juga."
"Iya, jeung. Aku aja wanti-wanti anakku. Takut kayak si Hani. Kan umurnya udah 29 tahun tauk, jeung. Cowok mana coba yang mau nikahin?"
"Si Neneng juga tahu, jeung."
"Yang PNS itu?"
"Iyaaa yang PNS. Udah 30 tahun, jeung. Belum juga nyari jodoh. Orangnya gak cantik sih, jeung. Kerjaannya suka minjem duit ke temen-temennya. Anakku sering babget dipinjemin sama dia. Lagian PNS kok gayanya selangit. Udah tahu PNS gajinya juga gak seberapa. Kalo kayak gitu ya, cowok mana yang mau? Aku kalau cari mantu juga mikir-mikir."
"Si Suci juga tahu, jeung. Seumuran itu sama si Neneng. Temennya si Neneng juga. Keasyikan jadi pengusaha sukses. Terlalu sukses dan banyak duit, jeung. Jadi cowok-cowok juga minder buat deketin dia. Coba kalau dia biasa-biasa aja. Pasti ada yang mau. Iya gak sih?"
Dan kalau mengingat iu, meski yang dibicarakan adalah orang lain ya....Farras ingin sekali menarik mulutnya lalu mencabik-cabiknya. Farras juga ingat dulu saat kak Aya belum menikah dan saat itu usia kak Aya sekitar 27 tahun. Ada tetangga opa dulu yang memang pernah tinggal di sekitar komplek ini. Tapi sudah lama pindah. Nah anak perempuannya yang memang lebih tua dari kak Aya yaa mungkin usianya sekitar 35 tahun lah, mengusik kak Aya dengan pertanyaan.....
"Udah umur berapa, Ya?"
"27 tahun, kak."
"Oooh. Ada pacar?"
Kak Aya waktu itu berusaha untuk tersenyum. "Aku lagi fokus sama desain dan bisnis aja, kak."
"Ooh gak punya pacar ya?"
Farras yang mendengarnya saja ingin sekali menarik mulutnya sampai putus. Andai bisa. Ia paling kesal dengan orang-orang yang seperti itu. Apakah tidak bisa mengerem mulutnya? Apakah tidak bisa menjaga perasaan orang lain? Toh kalau perasaannya disakiti juga pasti tersinggung kan?
Kadang manusia itu inginnya menyakiti. Tapi disakiti tak mau. Ya kalau sednag khilaf dan dikuasai setan, Farras biasanya akan menyumpah. Biar semua kata-kata itu kembali padanya. Bair tahu rasnaya tersinggung dan sakit hati. Biar tahu kalau kata-kata itu sangat menyakitkan dan bisa membunuh. Bahkan banyak yang akhirnya melakukan pembunuhan hanya karena beberapa kata yang mereka anggap sepele.
Haaaah. Farras menghela nafas. Ia sampai bersembunyi sembari menunggu para ibu-ibu itu agak jauh dari masjid dan jalan menuju rumahnya. Ia tak begitu jauh dari rumah bunda sebetulnya. Namun bunda tak ada karena keluar kota bersama papanya. Saudara-saudara kembarnya? Paling sibuk di kantor. Ini kan belum jam pulang kerja ya sama lah seperti suaminya.
Setelah agak sepi, ia akhirnya melanjutkan langkah. Ia memang tampak termenung. Tak berpikir apapun kalau bahaya sedang mengintainya. Ada seseorang yang sudah mengincarnya sejak lama. Dengan pisau di tangan. Ia bahkan cukup hapal seluk-beluk CCTV agar tak tertangkap. Namun CCTV di zaman sekarang kan lebih canggih. Berbekal badan dan wajah sudah bisa dicek. Kecuali kalau menyamar. Masih ada kemungkinan tidak terlacak.
Ia mengenakan jaket tebal, celana gombrong, rambut yang dicepol dengan topi, dan juga kacamata besar yang menutupi sebagian wajahnya. Ia terus mengikuti Farras sejak dari minimarket. Ia sudah mengintai secara tidak disengaja.
Manusia ketika sudah tak berhati nurani, jalan apa saja akan ditempuh. Meski tampak buruk. Mereka tak akan perduli karena yang penting bagi mereka yaa dendam tersampaikan. Hanya untuk kepuasan hati sesaat tapi lupa akan apa yang dihadapi nantinya. Bukan sekedar hukum manusia tetapi Allah.
Tangannya tampak gemetar saat memegang pisau itu. Sudah lewat dari beberapa rumah bahkan masjid, masih saja bekum terayun. Padahal Farras hampir berbelok ke kiri untuk masuk ke dalam rumahnya. Gerbang rumahnya bahkan sudah terbuka secara otomatis. Ya soal keamanan ini kan pasti produk-produk abangnya. Dan bertepatan dengan Farras yang berbelok, pisau itu terayun ke atas.
"AWWWAAAAAS!"
Duuukkkk!
Bukan ia yang jatuh. Ia malah sudah berjalan cepat. Pisau kembali dimasukkan. Farras? Dengan santainya masuk ke dalam rumah. Lalu apa yang terjadi?
Perempuan istimewa itu. Ya, Aisyah, istrinya ustad Marshall. Perempuan itu yang melihat. Ia sengaja berteriak agar pisau itu tak jadi diayunkan. Meski ia juga berlari. Karena berlari itulah, ia malah jatuh. Namun setidaknya ia berhasil menghindari Farras.
Ia tampak gemetar begitu beranjak berdiri. Ia melihat gadis tadi sudah berlari jauh kali ini. Ya ia tak membuat gaduh. Ia setidaknya masih memberikan kesempatan agar perempuan tadi sadar kalau jalan yang diambilnya salah. Masa mudanya masih panjang. Jangan sia-siakan kalau tak mau menyesal di akhirat nanti.
Dan Farras masih tak tahu apa yang terjadi. Andai tak diteriaki tadi, ia mungkin sudah mati? Ya bisa jadi. Tapi kalau ia mati, apa gunanya juga untuk Shakeera yang berusaha membunuhnya? Apakah ia akan bisa mendapatkan Ando karena hal itu?
Tidak. Di dalam bayangan yang dilihat oleh Aisyah, gadis itu justru akan gila lalu mati bunuh diri. Lalu ia berupaya mencegah dan mengubah takdirnya?
Tidak. Ia tidak ingin melakukan itu. Ia hanya tergerak untuk melakukan itu bukan untuk kepentingan pribadinya. Melainkan menolong orang lain. Menurutnya, gadis tadi adalah gadis baik-baik. Sekarang mungkin sedang salah arah.
@@@
"Bangga deh tuh kayaknya, series barunya booming gitu deh."
Yessi sudah menyapa ketika Shabrina baru saja masuk ke diskotik. Ia hanya melengos dan lebih suka nongkrong di dekat meja bartender. Untuk apa bergabung dengan komplotan Yessi? Ia hanya akan mendapat hinaan.
"Lo bilang kalo mereka udah gak pernah nongkrong di sini?"
Ia mendumel. Ia hanya ingin menenangkan diri di sini dengan minum tentunya. Seriesnya mungkin melambung. Tapi anehnya ia sama sekali tak bahagia. Lalu apa yang harus ia lakukan?
Tidak ada. Cukup sering live video di akun media sosialnya. Netizen akan memburunya. Selain nama Nesia, namanya juga sedang trending. Yeah sebagai dua orang yang sama-sama terlibat dengan saudara kembar dan pemberitaan yang benar-benar sedang hangat.
"Yaa biasanya memang udah enggak. Sesekali pasti dateng lah yey."
Ia mendengus. Omongan banci memang tak bisa dipercaya. Kupingnya panas karena mendengar omongan-omongan Yessi dan teman-temannya tentang series terbarunya. Yaaaa soal karakter yang ia mainkan.
"Sejak kapan dia jadi pacarnya Farrel?"
"Lah yang dulu bukan pacar?"
"Bukan lah. Ferril yang bilang. Ya biar pun playboy gitu, Ferril masih jujur soal itu, bro."
"Yakin loh?"
Satu cowok sanksi tapi ia dipelototi.
"Lagian tuh cewek juga bukan anak kyai tauuk! Kalo gak salah pernah dimuat di berita gitu. Mertuanya sendiri yang ngomong."
Alona menyembur. Yessi mengangguk-angguk. Setuju.
"Bisa aja bikin cerita baru ya? Fansnya b**o-b**o lagi!"
Mereka tertawa. Yaa tak perlu dimasukkan ke hati meski ia gondok setengah mati. Si bartender melirik ke arahnya sembari menyodorkan minuman padanya. Shabrina langsung meneguknya cepat-cepat. Makin lama di sini ternyata makin membuatnya gerah. Akhirnya ia malah pergi usai membayar. Ia di sana bahkan tak sampai setengah jam.
"Tuh kaan! Pelanggan eyke jadi pergi gara-gara elu, Yes."
Yesai terbahak. Ia bisa melihat Shabrina sempat menatapnya dengan tajam sebelum benar-benar keluar dari diskotik. Ia bertos ria dengan dua sahabatnya.
"Gak capek apa ya tuh orang, malu-maluin sendiri?"
Alona mengangguk-angguk. Mendingan gue deh, kerja gak bener tapi gak ada yang gue tutup-tutupin."
Yessi terbahak mendengarnya. Yeah, si sugar daddy satu ini memang cukup dikenal. Meski semua orang juga penasaran dengan sosok lelaki tua yang dipacarinya. Sementara Yessi memang terlahir sebagai anak orang kaya. Kedua orangtuanya tinggal di Amerika sementsra ia malah memilih di sini. Alasannya. Hanya suka berkarir di sini saja.
"Eh tapi emangnya bener si Brina jual diri waktu acara puteri apa miss gitu?"
Si cowok satu-satunya itu mengajak bicara meski ia sudah agak-agak teler. Setidaknya ia masih sadar.
"Lu tanyain aja petinggi-petingginya pasti tahu."
"Ya gue kagak ada kenalan lah dodol."
Alona terkekeh. Ia menunjuk Yessi. Karena sebenarnya gadis itu yang paling tahu.
"Ada lah ceritanya."
"Lo ada buktinya?"
"Bisa gue cari."
"Harus ada bukti dulu kalo gitu."
"Halaaah. Bilang aja lo masih suka sama si Brina!"
Ia terbahak. "Seksi, men. Gue lebih milih dia. Farrel aja yang b**o. Istrinya kurus begitu mau--aaawww!"
Semua orang kaget karena tiba-tiba ada yang menonjok. Siapa? Ferril. Cowok itu sedang memantau seseorang. Bukan Shabrina karena ia juga tak perduli. Tapi kalau ada yang menjelekkan keluarganya....ia akan bantai. Makanya ia menunjuk-nunjuk cowok itu dengan matanya yang melotot.
"Gue pantau bacot lo," ingatnya. Adit dan Ardan menariknya agar tak membuat keributan. Lelaki itu memaki. Jelas dongkol lah. Ia mendadak dipukul. Yessi dan teman-temannya malah terbahak.
"Lagian lo ngehina kakak iparnya. Ya marah lah. Cewek baik-baik begitu lo hina. Gimana yang gak baiknya?"
Lalu ia mengambil tasnya. Tak mau ikut campur kalau urusannya dengan Ferril. Dan Shabrina baru saja menyembunyikan badannya. Ia tadinya hendak kembali. Tapi tak jadi begitu melihat Ferril, Ardan, dan Adit keluar dari diskotik. Ketiga cowok itu termasuk ke dalam daftar hitam yang sangat ingin ia hindari. Ia marah sekali karena terakhir mereka mengobrak-abrik apartemennya dengan seenaknya. Namun ya yang paling ia hindari memang Ferril. Cowok yang satu itu.....bukan kah ia sudah bilang kalau begitu mengerikan?
@@@
Dan ia gemetar ketakutan begitu tiba di dalam kamarnya. Tak menyangka kalau ia hampir membunuh orang. Ia sadar kalau saat mengayunkan tadi bahkan pisaunya hampir terlepas. Karena apa?
Bukan karena tak tega. Yaa walau memang ada rasa itu. Tapi bukan rasa itu yang paling dominan. Yang paling dominan justru rasa takut. Ia takut sekali entah kenapa. Saat mamanya menggetuk pintu kamarnya, ia terkaget. Tapi ia tak bereaksi. Ia justru ingin menangis sekarang. Menangis tanpa sebab. Rasa takut menjalar begitu ke dalam tubuhnya.
Jihan menarik nafas dalam. "Keeraaa?"
Ia menggetuk-getuk pintu kamarnya. Ia tahu kalau anaknya tak menyelesaikan shift-nya di rumah sakit hari ini. Malah kabur entah ke mana. Ia baru tahu saat datang menjemput ke sana. Ia tak paham apa mau anaknya. Ia ingin memperjuangkan masa depannya. Masa depannya jelas masih sangat panjang bukan?
"Kamu dari mana saja, Keera? Keera?"
Ia memanggil-manggil. Namun tentu tak ada jawaban. Gadis itu sudah berlari masuk ke dalam kamar mandi dan menangis. Jihan menghela nafas. Suara mobil suaminya membuatnya membalik badan. Akhirnya memilih untuk turun. Ia berusaha tersenyum tapi tak bisa. Akhirnya malah memangis saat Tio sampai di pintu rumah. Tio memeluknya. Tanpa perlu tahu apa masalahnya karena masalah di rumah ini memang hanya satu, yaitu urusan anak perempuan satu-satunya.
"Kangan terlalu dipikirin. Jangan terlalu dijadikan beban. Kita cuma bisa berdoa."
Ya suaminya memang benar. Tak perlu berpikir hal-hal yang seperti ini. Jangan dibuat pusing.
"Biasanya aku yang ngomong gitu."
Tio terkekeh. Ya ia mencoba lebih santai untuk menghadapi Keera. Mereka pasti emosi kan? Namanya juga orangtua. Pasti khawatir akan masa depan anaknya. Semua orangtua pasti begitu. Wajar rasanya. Ya kan?
"Aku tadi ngobrol lama sama bang Feri."
"Terus?"
"Yaa mungkin beda perlakuannya sama Tiara dulu. Karena Tiara cuma bawel. Tapi ya kuncinya tetap sama. Kita harus sabar. Sama mungkin coba obrolin lagi sama psikolog. Siapa tahu kita dapat sudut pandang yang berbeda."
@@@