Bab 41

1715 Words
Manhattan, New York (US) Tangan Aurora bergetar ketika dia menatap luka parah yang ada di kepala Amanda. Serpihan kaca tersebut menembus kulit kepala Amanda sehingga menimbulkan robekan yang cukup dalam. Aurora bukan seorang dokter yang sudah profesional dalam menangani sebuah luka, Aurora hanya anak SMA yang kebetulan suka mempelajari ilmu kedokteran untuk memberikan pertolongan pertama jika dia bertemu dengan seseorang yang sedang dalam keadaan kritis. Aurora sering membaca bagaimana cara mencabut sebuah benda yang melukai tubuh, tapi Aurora masih belum pernah mempraktekan ilmu tersebut. “Apakah kau yakin bisa menangani ini?” Tanya Osvaldo dengan pandangan khawatir. “Kau harus mengeluarkan serpihan keramik itu dari kepalaku, Aurora..” Amanda ikut berbicara. Aurora merasa tidak yakin pada dirinya sendiri. Dia takut melakukan kesalahan, tapi dia juga merasa takut jika melewatkan kesempatan untuk membantu Amanda. “Apa yang terjadi jika serpihan itu dibiarkan tetap di kepala Amanda sampai kita mendapatkan bantuan medis dari pemerintah?” Tanya Sir Andres. Aurora menggelengkan kepalanya. Mereka tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan pemerintah untuk melakukan evakuasi. Hanya 8 orang yang tersisa di hotel ini, lagipula badai sedang terjadi sejak beberapa jam lalu. Tidak ada kendaraan yang bisa melewati badai es dan udara dingin yang terus berhembus sejak kemarin siang. “Apakah pemerintah bisa melewati badai ini? Mobil ayahku berhenti bekerja karena mesin dan bensinnya membeku, dia sedang terjebak di rumah sakit yang ada di perbatasan Manhattan..” Kata Aurora dengan suara bergetar. Dia mendengar suara gemuruh dari luar ruangan, sepertinya ada gelombang badai yang kembali menyapu Manhattan. Semoga saja kali ini tidak lagi disertai oleh getaran gempa. “Pria tua itu semakin membaik setelah diberi infus, aku percaya padamu, Aurora.. tolong keluarkan keramik itu dari kepalaku..” Kata Amanda. Aurora menatap Amanda dengan ragu, dia bukan sekarang dokter.. Aurora takut menyalahi aturan medis. “Aku tidak pernah melakukan semua ini sebelumnya. Aku tahu cara menjahit luka, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mencabut serpihan keramik dari kepalamu..” Kata Aurora dengan pelan. Aurora tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan apa yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Kau pernah mempelajari bagaimana cara memberikan infus?” Tanya Osvaldo. Aurora menganggukkan kepalanya. Dia masih ingat dengan jelas jika dua tahun lalu ibunya membelikan sebuah buku tebal yang berisi materi kedokteran yang biasanya dibeli oleh mahasiswa, Aurora membaca buku tebal tersebut dalam dua hari dan dia tertarik untuk melakukan percobaan langsung agar semakin mematenkan ilmu yang ia pelajari. Ibunya selalu memberikan fasilitas terbaik ketika Aurora ingin meningkatkan kemampuan belajarnya, jadi ibunya mengirim Aurora ke kelas tambahan yang biasanya diambil oleh mahasiswa kedokteran. Lagi-lagi Aurora mempelajari ilmu yang seharusnya belum dia dapatkan di bangku sekolah menengah atas, tapi berkat pengalamannya di kelas tambahan tersebut, Aurora jadi mengerti cara-cara dasar memberikan penanganan pada pasien yang terluka. Entah karena Aurora melewatkan kelas atau memang tidak ada materi mengenai pencabutan serpihan beda yang masuk dan melukai tubuh, tapi Aurora benar-benar tidak pernah melakukan operasi kecil seperti ini. Apalagi dia melakukan segala tindakan medis sendirian tanpa adanya tenaga ahli yang sudah menyelesaikan pembelajaran di sekolah kedokteran. Intinya, Aurora sangat gugup karena dia takut melakukan kesalahan. “Apakah kau berhasil ketika melakukan percobaan pertamamu?” Osvaldo kembali mengajukan pertanyaan. “Aku salah mengenali pembuluh darah vena dan harus mencabut jarum tersebut untuk melakukan percobaan kedua..” Jawab Aurora dengan pelan. “Lalu di percobaan kedua kau berhasil?” Tanya Sir Andres. Aurora menganggukkan kepalanya dengan antusias. “Kau sudah berhasil mencabut serpihan keramik yang menancap di kakimu, seharusnya kau juga berhasil melakukan hal yang sama dengan luka di kepala Amanda..” Aurora ingin mendebat kalimat Sir Andres dengan mengatakan jika kedua luka tersebut sama sekali tidak sama. Luka Aurora tidak parah, hanya ada sebuah serpihan kecil yang menancap di kakinya, hal berbeda terjadi pada kepala Amanda. Besar serpihan keramik yang menusuk kepala Amanda sekitar 4 inci. Aurora tidak tahu harus melakukan apa untuk mencabut keramik tersebut. Dia tidak mungkin menariknya begitu saja, karena pinggiran keramik bisa saja melukai pembuluh darah yang ada di kepala Amanda. Lukanya akan semakin parah jika Aurora mencabut keramik tersebut dengan sembarangan, tapi Aurora juga tidak bisa mengobati kepala Amanda jika keramik tersebut masih menancap di sana. “Kau memiliki dua pilihan Aurora, membiarkan Amanda tetap terluka hingga darahnya habis atau mencoba melakukan yang terbaik untuk membantunya..” Victor berbisik pelan. Aurora berada di posisi yang sangat sulit. Dia tidak siap melakukan operasi di kepala Amanda, tapi dia juga akan merasa sangat bersalah jika membiarkan Amanda tersiksa seperti ini. “Aku akan mencobanya..” *** “Aku harus menjadi pasien pertamamu saat kau berhasil menjadi seorang dokter..” Amanda berbicara dengan suara pelan. Aurora tidak menjawab, dia fokus untuk melihat luka yang ada di kepala wanita tersebut. Keramik yang menancap di kepala Amanda sudah berhasil dikeluarkan, Aurora melakukannya dengan sangat hati-hati karena khawatir akan menimbulkan luka yang lebih parah. Udara terasa semakin dingin sehingga membuat tubuh Aurora menggigil, tangannya bergetar dan dia kesulitan untuk menjahit luka Amanda. Aurora meletakkan jarum jahit yang awalnya dia genggam dengan erat. “Maafkan aku.. aku sangat kedinginan..” Kata Aurora dengan suara bergetar. “Kau baik-baik saja?” Victor yang sejak tadi duduk di sampingnya, kini menatap Aurora dengan pandangan khawatir. Pria itu terlihat sangat lemas, tapi dia masih memperhatikan keadaan Aurora. “Dia menggigil!” Aurora mendengar suara Osvaldo yang berteriak ketika melihat Aurora mulai kehilangan kekuatan untuk menyangga tubuhnya sendiri. Kali ini Aurora benar-benar merasa sangat kedinginan. Dia bahkan kesulitan untuk membuka matanya. “Hei! Aurora.. jangan menutup matamu.. Aurora..” Victor segera memeluk Aurora dan memberikan selimutnya untuk membungkus tubuh Aurora. “Aku sangat kedinginan..” Kata Aurora dengan susah payah. Seluruh tubuhnya menggigil karena kedinginan, bahkan sekarang Aurora merasa jika dia mulai kesulitan bernapas. “Tenanglah, kau bisa menggunakan selimutku untuk sementara waktu..” Kata Osvaldo sambil menyerahkan selimutnya kepada Aurora, “Tubuhnya membiru! Apa yang harus kita lakukan?!” Samar-samar Aurora masih bisa melihat wajah panik Victor yang tampak sangat khawatir. Tidak, Aurora tidak ingin merepotkan pria itu, tapi keadaannya memburuk dengan sangat cepat. Aurora sendiri tidak mengerti kenapa dia kedinginan hingga hampir pingsan seperti ini padahal sebelumnya dia masih bisa menahan udara dingin di sekitarnya. “Dia membutuhkan infus! Kurasa dia juga kehilangan banyak darah karena terluka sehingga dia kekurangan tenaga!” “Apakah masih ada cairan infus yang tersisa?!” Aurora ingat jika dia baru saja memberikan infus kepada Amanda, tapi dia melupakan dirinya sendiri. Sekalipun tidak mengeluarkan darah sebanyak Amanda, Aurora tetap saja kehilangan banyak energi karena dia sibuk mengurus luka Amanda. “Kau tahu cara menggunakan infus?” Aurora mencoba untuk membuka matanya. Menusukkan jarum infus bukanlah hal yang mudah, jadi.. dia harus melakukannya sendiri. “Berikan.. berikan padaku..” Aurora mengangkat tangannya, bermaksud untuk meminta jarum suntik yang sedang dipegang oleh Osvaldo. Tapi tangan Aurora terjatuh dengan lemah karena dia menggigil dan merasa sangat lemas. “Kau bisa melakukannya?” Tanya Victor. Aurora membuka matanya dengan susah payah, pandangannya mengambur tapi dia tidak memiliki pilihan lain.. Aurora harus menusukkan jarum infus ke tangannya sendiri. “Berikan..” Kata Aurora sekali lagi. Osvaldo memberikan jarum infus kepada Aurora, dengan tangan bergetar dan pandangan yang mulai mengabur karena kedinginan, Aurora berusaha untuk menemukan pembuluh darahnya sendiri. *** “Aku mohon maafkan aku.. maafkan aku, Aurora..” Berulang kali Victor mengatakan hal yang sama. Pria itu terus memeluk Aurora dengan erat, tangan kirinya mengangkat cairan infus Aurora tinggi-tinggi. Aurora tahu jika saat ini bukan hanya dirinya saja yang merasa kedinginan, tapi semua orang tampak sangat khawatir kepadanya. “Apakah kau masih kedinginan?” Tanya Victor. Aurora menggelengkan kepalanya dengan pelan. Dia merasa sedikit lebih baik karena Victor terus memeluknya. “Sudah lebih baik..” “Kau membuat kami semua sangat khawatir. Jika dokter di ruangan ini sakit, siapa yang akan merawat kami?”  Sir Andres berbicara sambil tertawa pelan. Aurora tersenyum. Dia sangat beruntung karena ada banyak orang yang peduli padanya. “Apakah penglihatanmu sudah kembali normal? Maaf jika aku harus mengatakan ini, tapi luka di kepala Amanda kembali mengeluarkan darah..” Aurora menatap Amanda yang sedang berbaring dalam posisi tengkurap. Wanita itu sama sekali tidak berbicara ataupun bergerak. “Dia pingsan?” Tanya Aurora? “Matanya terbuka, tapi dia terlihat sangat lemas..” Kata Osvaldo. “Tekan kantung infusnya, kita harus menambahkan infus ke dalam tubuhnya..” Aurora membuka selimut yang membungkus tubuhnya. Dia mencoba bangkit berdiri untuk mendekati Amanda, tapi begitu kakinya melangkah, Aurora kembali kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya terhuyung ke depan, dia hampir saja terjatuh jika Victor tidak menangkapnya tepat waktu. “Berhati-hatilah, Aurora..” Kata Victor. Victor membantu Aurora untuk berjalan mendekati Amanda. “Kau bisa mendengarku, Amanda?” Aurora mencoba untuk membangunkan Amanda. “Ya..” Amanda menjawab dengan suara pelan. Tidak, ini adalah pertanda yang sangat buruk. Mereka tidak memiliki kantung darah, mereka juga tidak bisa memeriksa golongan darah Amanda untuk melakukan tranfusi. “Jahitan kepalamu masih belum sepenuhnya selesai, aku akan mencoba untuk memperbaikinya. Apakah kau keberatan?” Tanya Aurora. Rasa khawatir mulai kembali memenuhi pikiran Aurora. Dia takut melakukan kesalahan yang berakibat fatal. Nyawa seseorang bukanlah sebuah permainan, Aurora akan merasa sangat bersalah jika dia tidak bisa menyelamatkan Amanda. “Kau yakin bisa mengatasi ini? Tanganmu masih bergetar karena kau kedinginan..” Osvaldo berbicara dengan suara pelan. Aurora menatap kedua tangannya, dia menyadari jika tubuhnya masih menggigil karena kedinginan.. tapi mereka tidak memiliki pilihan lain. “Amanda, apakah kau masih bisa mendengarkanku?” Tanya Aurora. “Ya..” Amanda kembali menyahut dengan suara lemah. “Apakah kau mengizinkan aku untuk melanjutkan semua ini? Kau tahu jika aku bukan seorang dokter, aku juga—” “Ya..” Kata Amanda sekali lagi. Aurora menarik napasnya dengan pelan ketika dia mendengar jawaban Amanda yang memotong kalimatnya. Perempuan itu percaya padanya.. Aurora sudah mengacaukan segalanya dengan jatuh pingsan dan membiarkan luka Amanda tetap terbuka dalam waktu yang cukup lama. Wanita itu kehilangan banyak darah, wajah jika ia terlihat lemas. Sekarang Aurora harus memperbaiki kesalahannya.. “Apakah masih ada obat bius yang tersisa? Kita harus melanjutkan semua ini..” Aurora berbicara sambil menatap kotak obat yang ada di samping Osvaldo. Untuk sesaat Osvaldo menatapnya dengan ragu, tapi akhirnya pria itu memberikan obat bius yang Aurora butuhkan. “Lakukan yang terbaik untuknya, Aurora..” Osvaldo berbicara sambil tersenyum. Aurora menganggukkan kepalanya. Dia harus melakukan yang terbaik.. harus. Kali ini tidak ada kesempatan kedua, jika Aurora melakukan kesalahan maka segalanya akan selesai..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD