Bab 33

1624 Words
Washington, D.C (US) Suara dering telepon kembali terdengar entah untuk yang keberapa kalinya. Sebuah hari yang sibuk karena dipenuhi oleh jadwal pemotretan, kini berganti menjadi hari mengerikan dimana Charlotte harus menerima panggilan dari ratusan orang yang sedang mencari keberadaan Alfred. Bagi sebagian orang, kepergian Alfred ke New York adalah sebuah usaha yang sia-sia. Pria itu sendiri yang mengatakan jika badai akan menjadikan Manhattan sebagai titik bekunya. Datang ke New York adalah upaya bunuh diri yang dilakukan dengan sengaja. Ya, bagi sebagian orang Alfred adalah pria bodoh yang kehilangan akalnya. Berulang kali Charlotte mendengar u*****n kasar setiap Alfred menyampaikan gagasan mengenai penelitiannya. Alfred bukan pria biasa yang berpikir layaknya orang normal, pria itu memiliki segudang pemikiran yang kadang terdengar sangat aneh ketika diungkapkan kepada orang lain. Dibandingkan pujian, Alfred lebih sering mendengar makian. Menjadi berbeda adalah hal yang paling dibenci oleh kelompok masyarakat. Tidak ada yang menyukai ide dan konsep berpikir Alfred karena pria itu sering melakukan penelitian yang akan mengubah susunan kehidupan manusia. Seperti saat Alfred ingin membuat sebuah energi baru yang berbasis panas matahari buatan dimana energi tersebut akan bisa menggantikan listrik dan minyak bumi untuk bahan bakar kendaraan. Alfred ingin mengembangkan energi ramah lingkungan, tapi tidak ada satupun orang yang mendukungnya. Pasar minyak dunia akan terguncang jika Alfred sampai melakukan realisasi terhadap konsep penelitiannya. Manusia tidak butuh sesuatu yang ramah, mereka hanya membutuhkan uang. Charlotte mengenal Alfred selama hampir 4 tahun terakhir. Meskipun menjalin hubungan dengan pria itu, tidak banyak hal yang Charlotte ketahui tentang Alfred selain fakta jika pria itu masih mencintai mantan istrinya. Tidak, Alfred sama sekali tidak pernah mengatakan jika dia masih mencintai Abigail, selama ini Alfred juga tidak pernah membicarakan maupun menghubungi wanita itu dengan alasan apapun. Alfred seorang pria dewasa yang mengerti porsi pembicaraan sehingga selama ini dia tidak pernah menyinggung perasaan Charlotte dengan membicarakan rumah tangga masalalunya. Meskipun tidak pernah mengatakan apapun tentang Abigail, Charlotte bisa melihat dengan jelas jika Alfred masih mencintai wanita itu. Alfred memikat dengan Abigail selama lebih dari 13 tahun, wajar jika membutuhkan waktu lama untuk bisa menghapus posisi wanita itu. Bahkan mungkin posisi Abigail tidak akan pernah terhapus. Abigail menikah lagi tepat dua tahu setelah perceraiannya, sementara Alfred memilih untuk tetap melajang hingga satu tahun kemudian. Charlotte tidak berharap banyak pada Alfred, dia tidak pernah memaksa untuk menikah dengan pria itu, dia juga tidak ingin membebani Alfred dengan keinginannya untuk memiliki anak. Charlotte seorang model yang beberapa waktu belakangan ini mulai dikenal oleh masyarakat, Alfred mungkin berpikir jika Charlotte tidak ingin memiliki anak karena tidak mau bentuk tubuhnya rusak ketika sedang mengandung. Padahal tidak demikian.. Charlotte mencintai tubuhnya, tapi dia juga tidak keberatan untuk mengandung dan melahirkan seorang anak. Alfred seorang pria yang baik, dia menyayangi Charlotte dengan cara yang begitu luar biasa. Charlotte terbiasa hidup sendirian, tidak ada seseorang yang akan merawatnya ketika dia sakit, atau orang yang akan berlari dengan cepat ketika mendengar kabar mengenai gempa bumi. Alfred satu-satunya pria yang begitu peduli padanya.. Tapi sekarang pria itu sedang berada di New York, dia sedang mempertaruhnya nyawanya untuk mencari keberadaan putrinya. Aurora.. dia pasti sangat bangga karena memiliki ayah yang hebat seperti Alfred. “Kami pikir kau akan ikut bersama dengan Alfred..” Charlotte mengangkat kepalanya ketika dia mendengar Hugo berbicara sambil memberikan segelas coklat panas. Udara di Washington, D.C terasa semakin dingin sehingga mereka semua sepakat untuk membuat coklat panas untuk naikkan suhu tubuh. “Alfred tidak berpamitan padaku sebelum dia berangkat. Kurasa dia sengaja menghindariku..” Jawab Charlotte sambil menyesap coklat hangat yang dibuat oleh Hugo. Kembali ke kantor tempat penelitian iklim membuat Charlotte mengingat hari-hari pertama dia bergabung di dalam tim yang dipimpimpin oleh Alfred. Semuanya sudah berubah sekarang. Charlotte bukan lagi ilmuan yang duduk di depan komputer dengan kaca mata yang menggantung di hidungnya. “Dia sepertinya tidak ingin mengajakmu pergi ke New York, di sana terlalu berbahaya..” Kata Austin. Diantara rekan tim Alfred, Austin adalah yang paling pendiam. Pria itu sangat serius dan jarang sekali ikut berbicara jika bukan membicarakan masalah yang serius. Kadang Charlotte merasa penasaran dengan kehidupan pribadi pria itu. Austin menghabiskan waktu paling lama di dalam kantor ketika mereka sedang memiliki proyek penelitian, Austin juga sangat tertutup mengenai kehidupan asmaranya, dan Charlotte selalu merasa penasaran. “Alfred adalah pria yang manis, bukankah begitu, Charlotte?” Hugo berbicara di balik meja komputernya. Charlotte tersenyum lalu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Masih teringat dengan jelas bagaimana pertemuan pertama Charlotte dengan pria itu. Alfred bukan pria yang terlalu peduli pada kehidupan asmara. Setelah perceraiannya, Alfred datang ke Washington, D.C sebagai seorang pria sibuk yang hanya mengurus masalah pekerjaan. Tidak pernah ada wanita yang terlihat dekat dengannya, Alfred terlalu serius untuk menjalani kencan dan makan malam romantis. Charlotte selalu merasa beruntung karena dia bertemu dengan Alfred. Sepanjang kehidupannya, Charlotte tidak pernah bertemu seorang pria yang begitu peduli pada dirinya. Charlotte terbiasa hidup sendirian setelah dia memutuskan keluar dari rumah bibinya. Orangtuanya bercerai saat ia masih berusia 5 tahun, mereka meninggalkan Charlotte di depan pintu rumah bibinya. Hingga berusia 18 tahun Charlotte tinggal bersama dengan bibinya. Bibinya adalah orang yang baik, jika dia jahat maka kemungkinan besar Charlotte pasti akan langsung dititipkan ke panti asuhan sejak pertama kali ditinggalkan oleh orangtuanya. Namun, sebaik apapun seseorang, mereka tetap bukan orang tua Charlotte. Bibi dan Pamannya sering mengatakan hal-hal menyakitkan yang membuat Charlotte kehilangan seluruh kepercayaannya akan kasih sayang seseorang. Charlotte tinggal sendirian di Washington, D.C, ia berkuliah dan bekerja di saat yang bersamaan untuk membiayai hidupnya sendiri. Bertemu Alfred adalah sebuah takdir yang paling menyenangkan. Alfred tidak pernah membawanya ke restoran mewah setiap akhir pekan, pria itu juga jarang mengatakan kalimat cinta yang romantis, tapi Alfred selalu ada untuknya. Alfred selalu menjadi orang pertama yang mencarinya, yang akan selalu memeluknya dan mengatakan jika segalanya akan baik-baik saja. “Menurutmu dia seorang pria yang manis?” Tanya Charlotte. “Apakah ini saat yang tempat untuk membicarakan Alfred? Kita sedang membuat laporan untuk menghentikan pemerintah melakukan evakuasi di New York!” Austin menyela dengan tenang. Charlotte menutup mulutnya lalu menganggukkan kepalanya. Sekalipun kadang terdengar menyakitkan, Charlotte mengakui jika Austin selalu mengatakan hal yang benar. “Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu? Aku merasa tidak tenang jika tinggal di rumah sendirian, kurasa aku masih bisa meneliti laporan pergerakan angin..” Kata Charlotte dengan pelan. “Jika bisa tolong telepon kenalanmu di kantor pemerintah agar mereka segera menghentikan evakuasi gila tersebut. Berapa banyak warga Manhattan yang akan membeku di tengah perjalanan?!” Hugo menatapnya dengan kesal. Charlotte mengerti jika tatapan itu tidak ditujukan untuknya, Hugo hanya sedang mengekspresikan kekesalannya terhadap kebijakan pemerintah yang baru diumumkan beberapa jam yang lalu. Gelombang dingin telah menyapu wilayah San Fransisco dan beberapa orang yang sedang dalam perjalanan untuk melakukan evakuasi ditemukan membeku di jalan raya. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana keadaan di sana, tapi menurut berita yang beredar, wilayah San Fransisco benar-benar lumpuh saat ini. Pemerintah telah melakukan tindakan yang salah di dengan melakukan evakuasi di tengah ancaman gelombang angin dingin yang akan membawa badai dengan bongkahan es berukuran besar, sekarang mereka ingin melakukan hal yang sama di New York. Sejak beberapa jam setelah terjadinya badai gelombang udara dingin di San Fransisco, Hugo dan Austin berusaha keras untuk menghubungi pihak pemerintah agar mereka tidak mengambil tindakan evakuasi di tengah suhu rendah seperti ini. Ada banyak sekali risiko berbahaya yang bisa saja terjadi apabila mereka memaksa melakukan evakuasi. Bukan hanya hipotermia, tapi juga banyak masalah lainnya seperti berhentinya mesin kendaraan karena suhu terlalu rendah. “Belum ada satupun yang berhasil menghubungi pemerintah?” Tanya Charlotte. “Beberapa orang sudah kuminta untuk terus menghubungi pemerintah. Aku sama sekali tidak peduli jika kantor kita dianggap sebagai pengganggu dengan menghubungi mereka tanpa henti. Kita semua tahu jika ini masalah nyawa ribuan orang di Manhattan..” Kata Hugo. “Apakah kalian... memiliki kontak nomor Abigail?” Tanya Charlotte dengan ragu-ragu. Jemari Hugo yang sejak tadi menari di atas komputer, kini berhenti. Pemuda itu menatapnya dengan kebingungan. Austin sama sekali tidak bereaksi seakan pria itu tidak mendengar kalimat yang Charlotte katakan. “Kau tahu siapa Abigail?” Tanya Austin dengan tenang. “Aku sempat menghubungi Alfred, dia menolak untuk memberikan kabar mengenai Aurora kepada Abigail. Sejujurnya aku juga tidak terlalu mengerti bagaimana keadaan Aurora karena aku tidak pernah berbicara secara langsung kepadanya. Tapi kurasa Abigail kesulitan menghubungi Aurora saat ini..” Charlotte berbicara dengan suara pelan. “Maafkan aku Charlotte, tapi kurasa kau sebaiknya tidak terlalu ikut campur mengenai masalah ini. Biarkan Alfred menangani masalahnya sendiri, Aurora adalah putrinya dan Abigail adalah mantan istrinya. Tidak baik jika kau menghubungi Abigail tanpa izin dari Alfred..” Kata Hugo. Charlotte menganggukkan kepalanya. Niatnya mungkin memang baik, tapi apa yang Hugo katakan juga cukup masuk akal. Abigail sendiri mungkin tidak akan nyaman jika mendengar berita keadaan Aurora dari Charlotte. Charlotte baru saja akan kembali berbicara, tapi suara alarm yang dipasang di ruangan ini tiba-tiba berbunyi nyaring dan membuat mereka semua terkejut. Charlotte masih mengingat jelas apa yang terjadi jika Alarm itu berbunyi. Sebuah gelombang udara yang berbeda suhu sedang melanda wilayah ini. “Apakah Alfred pernah mengatakan jika Washington, D.C juga akan terkena badai?” Tanya Hugo dengan tatapan khawatir. Charlotte bangkit berdiri dan berlari mendekati jendela yang ada di sudut ruangan. Jalanan kota Washington, D.C yang awalnya terlihat tenang kini mulai terserang oleh angin kencang yang membuat dedaunan jatuh. Tidak ada satupun orang yang melintasi jalan karena pemerintah sudah mengeluarkan peraturan untuk tetap tinggal di rumah hingga badai udara dingin benar-benar berakhir. “Ini hanya sebuah angin..” Kata Charlotte sambil tetap memperhatikan keadaan di luar ruangan. “Itu angin yang membawa udara dingin. Lihatlah..” Austin mengarahkan tangannya untuk menunjukkan sebuah dahan pohon yang ada di bagian paling atas. Charlotte menutup mulutnya dengan tidak percaya ketika dia melihat dahan tersebut membeku secara perlahan. “Oh Tuhan, apa yang sedang terjadi?” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD