Manhattan, New York (US)
Udara dingin yang mulai terasa di ruangan hotel membuat Aurora gelisah. Dia berjalan ke luar dari ruangan perapian untuk melihat apakah Victor sudah kembali dari lantai atas.
Pria itu melarang Aurora ikut naik, tapi sekarang Aurora merasa sangat cemas karena sudah bermenit-menit berlalu tapi Victor masih belum kembali.
Gemuruh suara badai membuat Aurora menghentikan langkahnya. Dia merasa takut setiap kali ada suara yang menandakan jika badai itu semakin dekat dengan lokasi mereka. Hembusan udara dingin dari arah lorong mulai membuat tubuhnya mengigil. Meskipun begitu, Aurora memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya. Rasa takutnya kalah dengan rasa khawatir karena Victor tidak segera turun sejak beberapa menit yang lalu.
Sayangnya, tiba-tiba ada sebuah getaran yang cukup keras hingga membuat Aurora menjerit dan menundukkan tubuhnya. Gemuruh udara terdengar semakin riuh bersama dengan suhu dingin yang terasa semakin mematikan.
Aurora menatap sekelilingnya dengan gelisah, masih teringat jelas bagaimana gempa bumi yang terjadi tiga hari lalu saat ia berada di bandara.
“Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja..”
Aurora membuka matanya begitu dia merasakan pelukan Victor yang menyelimuti tubuhnya. Pria itu ikut menundukkan badan dan mencoba untuk menenangkan Aurora yang sedang bersembunyi di balik lemari besar yang ada di sudut ruangan.
“Victor.. apakah.. apakah terjadi gempa?” Tanya Aurora dengan raut ketakutan.
Di belakang Victor terlihat Osvaldo yang sedang berdiri sambil membawa banyak balok kayu yang mereka ambil dari gudang atas.
“Sepertinya ini adalah puncak gelombang dingin. Kita harus kembali ke ruangan perapian..” Kata Osvaldo. Pria itu menjawab sambil memunguti balok kayu milik Victor yang berserakan di lantai karena pria itu sedang memeluk Aurora.
“Aku merasakan getaran gempa..” Aurora menjawab dengan suara pelan.
Dia mengingat dengan jelas jika beberapa menit lalu hotel ini terasa bergetar bersama dengan suara gemuruh yang hebat. Aurora yang sangat panik langsung menundukkan kepalanya dan berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik lemari kaca.
“Mungkin itu pengaruh dari badai. Kita harus kembali ke ruangan perapian, Aurora. Di sini sangat dingin..” Kata Victor sambil berusaha menuntun Aurora untuk kembali berjalan.
Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Victor, Aurora bisa merasakan betapa dinginnya kulit pria itu. Victor tampak menggigil tapi dia tetap berusaha untuk menenangkan Aurora.
Melihat bagaimana keadaan Victor membuat Aurora merasa sangat terharu. Dia beruntung karena memiliki pria itu di tengah keadaan kacau seperti ini.
Tidak ada hal lain yang bisa Aurora pikirkan selain cara agar mereka bisa segera kembali ke ruangan hotel tempat perapian tersebut berada. Aurora tidak ingin membuat Victor semakin menggigil karena kedinginan.
“Iya, kita harus kembali..” Aurora berbicara sambil bangkit berdiri. Tangannya bergerak untuk memunguti beberapa balok kayu yang Victor jatuhkan ke atas lantai.
“Biarkan aku membawa semua ini..” Kata Victor sambil tersenyum.
Sekali lagi Aurora menyadari betapa beruntungnya dirinya karena berada di New York bersama dengan Victor.
***
“Ayahmu baru saja menelepon. Itulah alasan kami tidak segera kembali ke sini..” Victor berbicara sambil menarik Aurora untuk duduk di dekatnya.
Di depan mereka tampak api yang menyala semakin besar sehingga menyalurkan kehangatan untuk tubuh mereka. Beberapa saat lalu Osvaldo mengusir orang-orang yang tidak mau mengambil kayu dari gudang atas sehingga sekarang ruangan mereka hanya ditempati oleh empat orang saja. Empat orang lainnya diminta untuk naik ke atas dan mengambil kayu di sana agar api mereka tidak padam begitu saja. Sejujurnya Aurora dan Victor sama sekali tidak keberatan jika mereka semua berkumpul bersama di ruangan ini, tapi Osvaldo dan Amanda menentang pendapat Aurora. Semua orang yang berada di depan perapian harus berkontribusi untuk mengumpulkan kayu.
“Ayahku menelepon?” Aurora bertanya sambil mendekatkan tubuhnya ke arah Victor. Udara dingin terasa semakin mengerikan, Aurora khawatir pada ayahnya yang sedang berada jauh darinya.
“Dia mengatakan jika ini adalah awal dari badai gelombang dingin.. dan dia masih belum bisa memastikan kapan badai ini akan berakhir” Kata Victor.
Setelah ledakan nuklir, badai gelombang dingin adalah hal tidak terduga yang tiba-tiba saja terjadi tanpa aba-aba sebelumnya. Tidak pernah ada kasus dimana suatu daratan akan membeku setelah terjadi ledakan nuklir.
Aurora jadi bertanya-tanya, apakah ini akan menjadi awal dari zaman es yang baru?
“Kau seharusnya memanggilku, Victor..” Kata Aurora.
“Di sana sangat dingin, kau tidak boleh naik ke sana, Aurora..” Victor menjawab sambil menutup matanya. Pria itu menyandarkan tubuh ke tembok hotel, lalu menarik Aurora untuk tetap berada dalam pelukannya.
Dalam keadaan terburuk sekalipun, Victor tetap berusaha untuk menjaganya.
“Apakah dia baik-baik saja?” Tanya Aurora dengan cepat.
“Ya, dia baik-baik saja. Dia akan segera datang menjemputmu, jangan khawatir..” Kata Victor sambil tersenyum.
Bagaimana cara ayahnya datang ke tempat ini? Aurora selalu ingin mempercayai pria itu, tapi sekarang udara semakin dingin dan jalan raya sudah dipenuhi oleh es yang membeku. Bagaimana mungkin ayahnya bisa datang ke sini?
“Di sini sangat dingin..” Kata Aurora dengan suara pelan.
“Jangan khawatir, kita akan segera membaik, Aurora. Pastikan untuk tetap menjaga kesadaranmu.. kita semua sedang terserang hipotermia saat ini..”
Aurora berusaha menahan rasa kantuk yang menyelimuti dirinya.
Di tengah udara dingin seperti ini, orang-orang memang cenderung merasa mengantuk hingga membuat mata merasa berat.
Berulang kali Aurora mendengar suara Victor yang mencoba mengajak bicara sekalipun dengan suara samar yang terdengar meracau.
Empat orang yang baru saja mengambil kayu di gudang juga sudah kembali beberapa menit lalu. Mereka tampak sangat kacau.. Aurora bisa melihat jika pria tua yang sejak tadi memilih untuk duduk di sudut ruangan kini mulai membaringkan tubuhnya dan menutup matanya.
Aurora mencoba untuk bangkit dari posisinya, dia mengguncang tubuh Victor untuk menunjukkan apa yang terjadi pada tubuh pria tua tersebut.
“Dia terserang hipotermia..” Jawab Osvaldo yang sedang duduk dengan tenang di depan perapian.
“Kita harus melakukan sesuatu..” Victor membuka matanya lebar-lebar ketika dia melihat keadaan pria tua tersebut.
Aurora kembali teringat pada kejadian beberapa jam lalu saat seorang wanita meninggal di depan pintu hotel. Hal yang sama tidak boleh terjadi pada pria tua itu.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Victor. Dia seorang pria tua yang lemah..” Osvaldo menggelengkan kepalanya dengan tenang.
Tidak. Bagaimana mungkin mereka bisa tetap santai padahal di dalam ruangan ini ada seorang pria yang sedang sekarat?
“Berikan selimut ini padanya..” Aurora berbicara dengan pelan kepada Victor.
Victor bangkit berdiri lalu mencoba untuk menyadarkan pria itu.
“Sir, apakah Anda baik-baik saja? Kurasa Anda terserang hipotermia..” Victor mengguncang tubuh pria itu.
Aurora menjauhkan dirinya, dia tidak sanggup jika harus melihat seseorang dalam keadaan sekarat.
“Dia masih bernafas, tapi detak jantungnya sangat lemah. Tubuhnya juga kaku!” Victor berteriak setelah dia mendengarkan detak jantung pria itu.
Aurora merasa lega untuk sesaat, tapi dia kembali sadar jika masih memiliki detak jantung bukan berarti pria itu baik-baik saja.
“Dia tidak akan bisa bertahan di tengah udara dingin seperti ini. Tinggalkanlah dia dan biarkan dia tidur dengan tenang..” Kata Osvaldo.
Aurora menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin mereka membiarkan seseorang meninggal begitu saja?
“Sir, apakah Anda masih bisa mendengar?” Victor masih mencoba untuk membangunkan pria itu.
Aurora menatap dengan cemas, di tengah udara yang semakin dingin, pria itu memiliki kemungkinan semakin memburuk jika dia terus menutup matanya. Setidaknya mereka harus tetap sadar sekalipun dengan tubuh menggigil karena kedinginan.
“Dia sama sekali tidak memberikan respon! Aurora, apakah kau bisa memeriksa keadaannya?” Tanya Victor.
Aurora semakin menjauhkan tubuhnya. Dia tahu langkah dasar untuk memberikan pemeriksaan pada pasien, tapi Aurora sama sekali tidak berani mendekati pria itu. Dia merasa.. sangat takut..
“Aurora! Jangan menjauh, tolong periksa keadaannya!” Victor berteriak semakin keras.
Aurora bisa melihat dengan jelas jika pria itu cemas dan panik. Melihat bagaimana keadaan pria itu membuat Aurora menggelengkan kepalanya dengan pelan. Dia tidak bisa mendekat.. Tubuhnya bergetar karena merasa ketakutan.. Hari ini dia sudah melihat satu orang meninggal dengan tragis di depan matanya sendiri, Aurora tidak sanggup jika dia harus memeriksa keadaan pria itu dan menemukan fakta jika dia.. dia telah tiada.
“Jangan berteriak! Kau membuat keadaan semakin kacau!” Kata Amanda dengan raut kesal.
“Aurora! Kau harus melihat denyut nadinya!” Victor mengabaikan Amanda dan kembali menatap Aurora dengan panik.
“Kalian yang mengirimnya ke gudang atas di tengah badai gelombang dingin! Wajar jika dia mati membeku!” Teriak Amanda.
Aurora semakin menjauhkan dirinya. Dia merasa bersalah karena telah membiarkan pria itu pergi. Seharusnya Aurora menghentikannya.. seharusnya dia yang menggantikan pria tua itu..
Mata Aurora terpejam dengan erat, dia sama sekali tidak tahu harus melakukan apa ketika rasa panik seketika memenuhi pikirannya. Aurora merasa bersalah, dia yang bertanggung jawab atas keadaan pria tersebut.
“Diamlah, Amanda! Kau hanya membuat keadaan semakin buruk!” Osvaldo bangkit berdiri lalu mendekati Victor yang mulai panik karena tubuh pria itu menggigil dengan keras.
“Dia semakin menggigil, kulitnya juga memucat. Kurasa kita harus membawanya ke rumah sakit” Kata Victor.
“Apa kau sudah gila? Kita akan menjadi patung es jika nekat berjalan keluar dari hotel ini” Kata Osvaldo dengan tenang.
Aurora menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia merasa panik dan ketakutan, tapi juga tidak berani mengambil langkah apapun. Bahkan kakinya bergetar ketika dia berniat untuk mendekati pria itu.
Aurora memang bukan seorang dokter dan perawat, dia juga bukan mahasiswa jurusan kedokteran, tapi sejak kecil ibunya sering memberikan pelajaran dasar mengenai pemberian pertolongan pertama pada keadaan darurat. Sekalipun ibunya adalah seorang dokter hewan, Abigail juga mempelajari tentang pengobatan dan penanganan darurat pada manusia.
Ini adalah saat yang tepat untuk mengimplementasikan apa yang telah ia pelajari selama beberapa tahun terakhir, tapi Aurora terlalu ketakutan. Belajar dan mempraktekkan langsung di tengah keadaan darurat sangatlah berbeda.
“Aurora, kau sungguh tidak mau membantunya?” Tanya Osvaldo.
Aurora menatap Victor dengan ragu. Dia juga menatap tubuh pria tua yang berada di atas lantai. Kulitnya mulai memucat yang menandakan jika dia tengah mengalami hipotermia parah.
“Kita melihat seseorang meninggal hari ini, aku tahu itu sangat berat untukmu.. tapi akan lebih berat jika kau hanya memilih diam tanpa bisa membantu pria ini. Kami tidak berharap kau berhasil menyelamatkannya, tapi mungkin kau bisa sedikit membantunya?” Tanya Osvaldo.
Aurora akan sangat menyesal jika dia hanya diam sambil melihat pria itu sekarat, tapi Aurora juga akan selalu merasa bersalah jika dia tidak berhasil membantu pria itu. Aurora bukan seorang dokter, dia sendiri masih belum tahu apa yang harus ia lakukan.
“Aurora, aku mohon..” Victor menatapnya dengan serius.
Aurora mulai bangkit berdiri, dia melangkah dengan pelan lalu kembali menunduk setelah sampai di depan pria tua tersebut.
Tangannya terulur dengan takut-takut, tapi akhirnya Aurora berhasil meraih pergelangan tangan pria itu. Dengan ketiga jarinya Aurora menekan satu nadi yang berhubungan langsung ke jantung pria itu. Ada denyut nadi yang begitu lemah, tapi Aurora masih bisa merasakannya.
“Dia.. dia membutuhkan selimut tambahan. Tolong jauhkan dia dari api, itu akan membuat tubuhnya semakin buruk!” Aurora berbicara dengan suara bergetar karena ketakutan.
“Kau yakin? Dia bisa semakin menggigil jika kau menjauhkannya dari api” Kata Amanda.
Aurora menganggukkan kepalanya dengan cepat. Ini keadaan yang sangat buruk, Aurora baru pertama kali melihat seseorang yang kedinginan hingga kehilangan kesadaran. Ada rasa takut setiap kali dia ingin memberikan intruksi, tapi Aurora berusaha keras untuk mempercayai dirinya sendiri.
Suhu dingin di dalam tubuh pria itu akan semakin menurunkan jika tubuhnya terpapar langsung oleh panas dari api.
“Kita harus memberikan lebih banyak selimut..” Aurora segera melepaskan selimutnya, dia memberikan selimut terakhirnya kepada pria itu.
Tubuhnya langsung bergetar kedinginan ketika selimutnya terlepas, tapi entah kenapa Aurora merasa lebih baik dari sebelumnya.
“Apakah.. apakah di sini ada klinik atau ruangan pengobatan, Sir Andres?” Tanya Aurora sambil menatap kepala pelayan rumah sakit yang duduk dengan tenang di dekat perapian.
“Tidak ada klinik, tapi ada ruangan obat-obatan. Apa yang ingin kau cari?” Tanya pria itu.
Aurora merasa bersyukur karena saat ini Sir Andres sudah lebih ramah dari sebelumnya.
“Mungkin sebuah infus?” Aurora bertanya lagi.
“Kurasa kau bisa menemukan beberapa infus di sana. Tapi aku masih belum tahu pasti..” Kata pria itu.
Aurora menganggukkan kepalanya lalu bangkit berdiri dengan cepat.
“Kau mau kemana?” Victor menangkap pergelangan tangan Aurora.
“Dia harus diinfus agar memiliki tenaga. Aku akan segera kembali..” Kata Aurora.
“Aku akan ikut denganmu!” Kata Victor sambil mencoba menggeser posisi pria tua itu dari pangkuannya.
“Jangan menggeser tubuhnya dengan tiba-tiba! Tetaplah di sini dan jaga suhu tubuhnya, detak jantungnya akan memburuk jika kamu menggeser tubuhnya di posisi yang tidak tepat. Aku.. aku akan segera kembali..” Kata Aurora dengan suara bergetar karena kedinginan.
“Jangan pergi sendiri, Aurora..”
“Tenanglah, aku akan pergi bersamanya. Tetaplah di sini dan jaga pria itu, aku akan menemani Aurora..” Kata Osvaldo dengan tenang.
Aurora menatap pria itu dengan sedikit ragu. Mereka baru saling mengenal beberapa jam lalu, Aurora merasa canggung jika harus pergi bersama dengan pria itu.
“Baiklah, tolong cepat kembali..”