Bab 27

2230 Words
Manhattan, New York, (US) Salju mulai turun sejak pukul 11 malam. Suhu udara yang dingin terasa begitu menyiksa ketika angin membawa masuk butiran salju dari jendela yang terbuka. Sejak siang tidak ada orang yang melintas di trotoar maupun di jalan raya. Semua orang seakan mengkarantina diri masing-masing karena udara dingin terlalu menyakitkan untuk dilawan. Beberapa kali pelayan hotel datang untuk memberikan selimut dan minuman hangat agar udara dingin tidak membekukan tulang mereka. Tidak ada bintang, bulan, maupun gemerlap lampu yang sejak beberapa hari ini menghiasi langit New York untuk menyambut malam natal. Tempat ini terasa seperti kota mati yang baru saja dihantam oleh badai. “Aku tidak mengerti kenapa New York menjadi pusat titik dingin. Bukankah ledakan nuklir tersebut terjadi di wilayah Asia Timur? Lalu kenapa dampaknya bisa sampai ke Benua Amerika?” Tanya Victor entah untuk yang keberapa kali. Aurora sendiri masih belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang Victor ajukan. Ayahnya hanya menjelaskan secara singkat mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Aurora tidak mendapatkan kesempatan untuk kembali mengajukan pertanyaan. Sejauh ini, Aurora jarang berkomunikasi dengan ayahnya. Alfred seorang pria yang sibuk, dia bahkan tidak memiliki waktu untuk kehidupan pribadinya sendiri karena sibuk mengurus penelitian meteorologinya. Dulu ayahnya sangat sering mengingkari janji karena lebih memilih untuk mengutamakan penelitiannya. Alfred sering melewatkan pertunjukan seni Aurora karena pria itu sedang melakukan pertemuan penting dengan profesor meteorologi, Alfred melupakan pesta kelulusan Aurora karena memiliki diskusi mendadak dengan pimpinan kampus mengenai trobosan baru yang ia ajukan. Banyak, sangat banyak janji yang Alfred ingkari karena kesibukan pria itu. Lalu malam ini Aurora kembali mendapatkan sebuah janji dari ayahnya. “Aku juga masih belum tahu. Semua ini membuatku sangat kebingungan..” Aurora menundukkan kepalanya sambil mengeratkan selimut ke tubuhnya. Hembusan angin meniupkan salju yang berada di atas dahan pohon. Aurora melihat dengan jelas jika saat ini jalan raya telah tertutup salju sepenuhnya. Malam terasa semakin dingin, tapi baik Aurora maupun Victor memilih untuk tetap terjaga. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.. tapi badai salju menjelaskan jika dunia tidak sedang baik-baik saja setelah ledakan nuklir itu terjadi. “Ayahmu akan datang ke sini? Apakah dia mengatakan informasi lain selain tentang gelombang dingin yang akan segera menerpa New York?” Aurora kembali menggelengkan kepalanya. Saat ini tidak ada yang bisa Aurora lakukan, dia tidak mungkin menyampaikan apa yang ayahnya katakan kepada semua orang yang menginap di hotel ini. “Sepertinya kita harus benar-benar menunggunya datang ke Manhattan, Victor..” Kata Aurora dengan pelan.  *** Udara terasa semakin dingin di pagi hari. Salju masih turun sekalipun dengan intensitas yang lebih ringan dari kemarin malam. Petugas hotel menghimbau agar seluruh pengunjung tidak membuka jendela atau pintu balkon agar udara dingin tidak masuk ke dalam ruangan. Beberapa selimut tambahan kembali diberikan, makanan dan minuman hangat juga telah diantarkan sejak pagi. Aurora duduk di dekat jendela sambil menggenggam secangkir coklat panas. Aurora meniup pelan ujung cangkir sesaat sebelum dia meminum coklat tersebut. Ada tiga macam makanan yang pagi ini diantarkan oleh pelayan. Beberapa keping biskuit, roti dan ham, dan semangkuk sup wortel yang terlihat baru diangkat dari kompor. Aurora rasa seluruh pelayan hotel sepakat untuk menyajikan sarapan yang masih mendidih untuk mengurangi rasa dingin karena suhu udara kembali turun. “Aku baru saja mencoba untuk menghubungi saudaraku di Colombus. Sepertinya sambungan telepon mereka sudah diperbaiki, Aurora.” Victor berbicara sambil menggosok kedua telapak tangannya. Pria itu tampak sangat kedinginan karena dia baru saja pergi ke ruangan paling atas di hotel ini yang memiliki saluran pintu yang mengarah ke luar bangunan. Sejak semalam pintu itu tidak ditutup karena engselnya rusak. Aurora bangkit berdiri dan segera memberikan Victor secangkir coklat panas yang baru beberapa menit lalu diantar oleh pelayan. Sejak pagi Aurora mencoba mencari keberadaan Victor, ternyata pria itu baru saja pergi ke gudang atas untuk mencoba menggunakan telepon tua yang ada di sana. “Minumlah coklat panas ini..” Aurora segera mengambilkan selimut agar Victor berhenti menggigil. Jari pria itu tampak membiru karena kedinginan. “Aku baru saja mencoba menghubungi saudaraku di Colombus. Katanya beberapa jam lalu saluran telepon baru saja berhasil digunakan di sana..” Victor tetap mencoba berbicara padahal tubuhnya bergetar karena kedinginan. “Kenapa kau datang ke sana sendirian? Gudang atas sangat dingin karena pintunya tidak bisa ditutup!” Aurora kembali datang dengan selimut tambahan untuk membungkus tubuh Victor. “Aku tidak mungkin mengajakmu ke sana selama berjam-jam, Aurora. Tapi.. tapi berita mengenai gelombang dingin yang akan terjadi di New York telah tersiar ke seluruh penjuru negeri. Kurasa ibumu pasti akan sangat khawatir ketika mendengar berita ini..” Tangan Aurora yang sejak tadi sibuk melilitkan selimut ke tubuh Victor kini berhenti seketika. Dia mengingat bagaimana keadaan ibunya saat ini. Aurora sedang berada di New York, dia berada di titik pusat gelombang dingin seperti yang dikatakan oleh Alfred. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? “Sepertinya pemerintah di sini sudah mengetahui berita mengenai gelombang dingin yang akan terjadi di New York. Tapi mereka tidak bisa memberikan pengumuman apapun karena masih belum ada cara untuk mengevakuasi warga ke tempat yang aman. Semalam aku mendengar kabar jika pemerintah menghimbau kita untuk tetap berada di dalam rumah jika salju belum berhenti turun..” Aurora memejamkan matanya dengan pelan. “Dari mana kamu mendapatkan informasi ini?” Tanya Aurora sambil menatap Victor. “Semalam saat kau tertidur, aku menemui petugas hotel dan memaksa mereka untuk mengatakan semua informasi yang mereka ketahui. Banyak orang yang sudah mengetahui informasi ini, tapi pengunjung hotel tidak diberi tahu agar tidak terjadi keributan. Nama ayahmu disebut di tayangan televisi yang ada di Ohio, mungkin bukan hanya di Ohio saja. Sepertinya dia adalah salah satu orang yang melakukan penelitian terkait gelombang dingin ini” Victor menjelaskan dengan sangat cepat. Pria itu berusaha keras untuk tetap mengendalikan tubuhnya yang sedang menggigil. “Apa yang harus kita lakukan?” Tanya Aurora dengan raut khawatir. “Ayahmu akan datang menjemputmu, bukan? Kau tidak perlu khawatir, dia akan datang ke sini..” Victor mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Aurora. Tangan pria itu terasa sangat dingin, sama seperti sentuhan sebuah es. “Jika dia menjadi salah satu tim ahli yang meneliti perubahan iklim ini, maka dia akan sangat sibuk..” Aurora berbicara dengan tatapan kosong. Masih teringat jelas apa saja yang selama ini ayahnya lewatkan karena kesibukannya. Meteorologi adalah kehidupan ayahnya. Pria itu lebih memilih duduk diam di depan sebuah komputer yang menampilkan kecepatan gelombang angin dari pada datang ke pertunjukan seni Aurora. Lalu sekarang.. apakah mungkin dia akan datang ke New York untuk menjemput Aurora padahal dia sedang memiliki banyak pekerjaan di Washington, D.C? Aurora merasa yakin pada janji yang ayahnya buat, tapi di saat yang sama Aurora juga merasa ragu. Selama ini ayahnya lebih memilih meninggalkan Aurora untuk pekerjaan pentingnya, apakah sekarang dia bisa melakukan hal yang sebaliknya? “Aurora, dia ayahmu. Dia pasti akan datang menjemputmu..” Victor berbicara dengan pelan. Aurora menggelengkan kepalanya. “Kau tidak mengenal ambisi ayahku..” Ada rasa kecewa ketika Aurora mengingat hal apa saja yang sudah dilewatkan ayahnya karena kesibukan pria itu. “Tapi kau putrinya, dia tidak akan meninggalkanmu di dalam keadaan kacau seperti ini..” Victor kembali meyakinkan Aurora. “Dengarkan aku, dia seorang ayah sebelum menjadi seorang ilmuan hebat yang dihormati oleh para ahli dan juga pemerintahan. Kau jauh lebih penting dari ambisinya..” Aurora mencoba untuk mempercayai kalimat yang Victor katanya. Jika benar New York akan menjadi pusat gelombang dingin, kira-kira apa yang akan terjadi pada orang yang tetap tinggal di tempat ini? Apakah mereka akan terkurung di dalam rumah tanpa bisa keluar? Lalu sampai kapan semua ini akan terjadi? Ada banyak sekali pertanyaan di kepada Aurora. Dia tidak mendapatkan jawaban apapun, jadi dia memilih untuk menyimpan pertanyaannya sendiri. “Sekarang kita harus naik ke atas dan menghubungi orangtuamu di Colombus. Mereka pasti sangat khawatir pada keadaanmu, Aurora..” Kata Victor. Aurora menatap Victor yang masih tampak menggigil kedinginan. Pria itu tidak membaik padahal Aurora telah memberikan coklat panas dan juga membungkus tubuhnya dengan dua lapis selimut. Jika Victor kembali naik ke lantai atas untuk menemaninya, maka keadaan pria itu akan semakin memburuk. “Aku akan pergi ke sana sendiri. Kau tidak perlu ikut denganku, Victor..” Kata Aurora dengan pelan. “Tidak, aku tidak mungkin membiarkan kau pergi ke sana sendirian. Lantai atas tidak digunakan oleh hotel ini, di sana sangat sepi karena hanya dijadikan gudang penyimpanan benda yang tidak berfungsi. Bagaimana mungkin aku membiarkanmu pergi sendirian?” Tanya Victor. Aurora menggelengkan kepalanya sambil menahan Victor untuk tetap duduk di hadapan penghangat ruangan. “Pintu gudang atas terbuka sehingga udara dingin bisa masuk dengan bebas. Kau akan semakin kedinginan jika ikut pergi bersamaku.. Tetaplah di sini..” Kata Aurora sambil menatap Victor dengan penuh permohonan. “Aku akan langsung kembali begitu selesai menghubungi ibuku. Aku hanya akan mengatakan jika aku baik-baik saja lalu menutup teleponnya. Aku janji..” Aurora tersenyum dengan tenang. Victor akhirnya menganggukkan kepalanya dengan pelan. *** Perjalanan Aurora dimulai dengan menaiki tangga menuju ke lantai paling atas. Beberapa pelayan hotel menyapa dan menanyakan apa yang akan dia lakukan di lorong hotel. Aurora menjelaskan jika dia harus pergi ke lantai atas untuk mencoba menggunakan telepon tua yang tersimpan di gudang tersebut. Ada beberapa pelayan yang langsung melarangnya dan memaksanya agar dia kembali ke kamar karena pintu gudang atas tidak bisa ditutup sehingga udara dingin akan langsung masuk ke dalam ruangan gudang, mereka tidak ingin Aurora menggigil kedinginan karena datang ke gudang tersebut. Aurora benar-benar mengapresiasi perhatian mereka, tapi dia tetap bersikeras untuk naik ke atas. Suara dering telepon menggema di tengah hembusan angin yang masuk melalui sela-sela pintu yang tidak tertutup dengan sempurna. Beberapa pelayan hotel membantu Aurora untuk menutup pintu itu dengan sebuah lemari tua agar udara dingin tidak masuk dengan bebas. Tapi tampaknya lemari itu masih belum bisa menghalangi udara yang terus memaksa masuk. Sambil menggosok kedua tangannya, Aurora mengeratkan mantel tebal miliknya. Udara di ruangan ini memang sangat dingin, Aurora bersyukur Victor tidak memaksa untuk ikut. Pria itu pasti semakin kedinginan jika dia berada di gudang ini. Aurora menegakkan punggungnya begitu dia mendengar suara sambungan telepon yang berada di telinganya. Ada beberapa detik lamanya sebelum suara Dalton terdengar di sambungan tersebut. “Daddy! Aku senang karena akhirnya bisa menghubungi, Daddy!” Aurora memekik dengan senang ketika dia mendengar suara Dalton. Setelah tiga kali mencoba menghubungi orangtuanya, Aurora akhirnya berhasil mendapatkan jawaban. “Aurora? Aurora, apakah kau baik-baik saja?” Dalton terdengar sangat cemas ketika dia mendengar suara Aurora. Tidak ada yang baik-baik saja di sini. Bahkan Aurora akan segera menyampaikan sebuah berita yang sangat buruk, tapi pertanyaan Dalton tetap Aurora jawab dengan sebuah anggukan. “Aku... aku baik-baik saja. Bagaimana dengan Daddy dan Mommy?” Aurora kembali berbicara. “Oh Tuhan.. Putriku, kau membuat Daddy sangat ketakutan” “Apakah itu Aurora?” Samar-samar Aurora mendengar suara ibunya. “Kau ingin bicara padanya?” “Berikan ponsel itu padaku!” Aurora menutup mulutnya sendiri, dia berusaha keras untuk menahan tangisannya. “Aurora? Aurora kau baik-baik saja?” Ketika Aurora berusaha menahan tangisannya, hal sebaliknya justru terjadi pada ibunya. Wanita itu sama sekali tidak menutupi getaran dari suaranya, dia terdengar sedang menangis saat ini. “Mommy, jangan menangis. Aku baik-baik saja..” “Aurora.. Oh Tuhan! Apa kau sungguh baik-baik saja?” Pertanyaan itu kembali Aurora jawab dengan jawaban yang sama. “Ada apa dengan ponselmu? Apakah New York masih belum mendapatkan listrik?” Aurora menekuk lututnya dan duduk sambil menyenderkan tubuh ke meja telepon. Hari ini Aurora merasa menyesal karena meninggalkan ibunya dalam keadaan marah. Andai saja Aurora mengikuti apa yang dikatakan oleh ibunya, maka semua ini tidak akan terjadi. Ya, nuklir akan tetap meledak dan gelombang dingin juga akan tetap melanda New York, tapi setidaknya Aurora berada di Ohio bersama dengan ibunya. “Semuanya sangat kacau.. Aku rasa Mommy sudah mendengar berita mengenai gelombang dingin yang akan—” “Tidak, Aurora. Kau tidak perlu khawatir.. semuanya akan tetap baik-baik saja. Mommy akan segera datang ke sana, kau akan pulang dengan aman sekalipun New York akan membeku karena gelombang dingin tersebut. Jangan khawatir, Mommy dan Daddy akan segera datang menjemputmu..” Aurora menggelengkan kepalanya. Apa yang akan mereka lakukan? Menaiki pesawat di tengah badai salju? “Mommy tidak bisa datang ke sini karena seluruh penerbangan tidak beroperasi. Bukan hanya penerbangan, tapi transportasi umum juga tidak berfungsi sejak ledakan nuklir itu terjadi..” Aurora berbicara dengan suara pelan. “Tidak, Aurora! Mommy akan melakukan segalanya untuk bisa membawamu keluar dari New York!” Ibunya berteriak sambil menangis dengan histeris. Aurora kembali menutup mulutnya karena ia merasa tidak sanggup mendengar tangisan ibunya. “Mommy, tolong dengarkan aku.. Kau tidak perlu khawatir, Daddy berjanji untuk menjemputku. Dia mungkin sudah berangkat dari Washington, D.C menuju ke Manhattan. Jangan khawatir, dia akan segera sampai di sini..” Kata Aurora. “Alfred? Kau sedang membicarakan dia?” Aurora bisa mendengar jika kali ini ibunya tampak marah. “Dia berjanji padaku..” “Dia seorang pria pengecut yang tidak bisa menepati janjinya!” “Aku tidak punya waktu untuk meragukannya!” Aurora menatap gagang telepon dengan pandangan kosong. Kali ini Aurora ingin berhenti mendengarkan kemarahan ibunya.. Sungguh, dia merasa muak dengan semua ini. “Aku tidak bisa bicara terlalu lama. Aku menggunakan telepon tua yang ada di lantai paling atas. Tempat ini sangat dingin, aku harus kembali ke kamarku karena kurasa aku mulai kedinginan..” Aurora berbicara dengan suara pelan. Terdengar keributan di ujung telepon. Aurora mendengarkannya sekilas lalu dia memilih untuk memutuskan sambungan telepon secara sepihak.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD