Tenggelam Dalam Kecantikan

1305 Words
Semilir angin mengantarkan udara dingin yang bertiup tipis menerpa wajah cantik Aurora. Rambutnya nan hitam, panjang, dan bergelombang, terbang mengikuti arah angin. Seraya menghapus peluh yang mulai menetes di dahi, Aurora tersenyum dan menatap kupu-kupu berwarna eksotis yang indah dan terbang bebas kesana-kemari. Sambil menghela napas panjang, ia kembali menegakkan sapu lidi yang baru saja dilepaskan karena lelah. Hari ke empat di kandang kuda, sudah membuatnya lusuh dan hampir mengering. Gadis yang suka dan pandai bernyanyi serta menari balet tersebut, terus mengangkat senyum, demi memudarkan semua rasa sedih, serta kesepian di dalam hati. Sementara di kediamannya, Hans terlalu sibuk dengan urusan bisnis kelamnya, sehingga ia melupakan bahwa seharusnya sudah ada seseorang yang mengantarkan makanan dan minuman untuk gadis mainannya tersebut, agar tidak mati kelaparan. Siang menjelang sore, Aurora hampir menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Ia memperkirakan bahwa esok siang, seharusnya sudah bisa kembali ke kediaman Hans. Setidaknya, ia tidak lagi sendirian dan ketakutan di tempat ini. "Baiklah, ini harus di bakar! Setelah itu, aku bisa membersihkan diri di kucuran air bening." Aurora melanjutkan pekerjaannya dan mulai memikirkan apa yang paling ia sukai dari bagian kandang tersebut. Ditempat lain, "Maaf, Tuan." Ratih menyapa dengan kepala tertunduk, ketika Hans berniat untuk kembali meninggalkan kediamannya. "Hm," sahut tuan muda yang memang terkesan malas untuk berbicara kepada siapa pun, jika tidak penting. Kemudian ia menatap tajam ke arah asisten rumah tangga senior tersebut. "Kenapa?" Hans bertanya sambil menatap kejam. "Apa saya boleh mengantarkan makanan dan keperluan lainnya untuk Ara?" "Siapa Ara?" "Gadis yang Anda perintahkan untuk membersihkan kandang kuda, Tuan," jelas Ratih tanpa berani menantang mata Hans yang terkenal kejam. "I-ini sudah hari keempat, Tuan. Maaf jika saya lancang." Ratih semakin menundukkan tubuhnya. Tuan Hans berpikir sambil mengerenyitkan dahinya, "Lakukanlah!" "Baik, Tuan. Terima kasih untuk kemurahan hati Anda." 'Bagaimana aku bisa lupa? Dia tidak boleh mati semudah itu,' ujar tuan Hans di dalam hati sambil melangkah pergi. "Silakan, Tuan! Kendaraan Anda sudah siap," ujar sopir pribadinya sambil membukakan pintu belakang dengan tubuh yang menunduk. "Aku hanya ingin sendiri!" titah tuan muda yang memberikan isyarat bawa siapa pun tidak boleh duduk bersanding dengan dirinya saat ini, termasuk Moza. "Baik, Tuan." Kemudian sopir pribadi tersebut melaju dengan kecepatan sedang, sembari menelpon rekannya untuk menjemput Moza dengan kendaraan lain. "Ambilkan laptop!" perintah Hans sambil mengangkat wajahnya. "Baik, Tuan. Silakan." Hans langsung menyambungkan jaringan laptop yang berada di pangkuannya dengan CCTV di sekitar kandang kuda, di mana Aurora tinggal seorang diri, dan membersihkan segalanya. Hukuman berat, untuk gadis remaja yang tidak pernah melakukan pekerjaan kasar. Tapi, Aurora adalah gadis yang cepat beradaptasi. Ketika jaringan sudah saling menyahut, Hans mendengar lirik lagu tanpa musik. Suara itu sangat lembut dan nyaman di telinganya. Ia pun kembali tenang, meskipun sebelumnya sempat stres dan tertekan akibat beban pekerjaan yang semakin berat. "Tuan, apa Anda baik-baik saja?" tanya sopir pribadinya karena melihat tuan muda menyandarkan tubuh pada kursi, tidak seperti biasanya. Sebenarnya ia tampak rileks, tapi karena tidak pernah memperlihatkan gaya dan ekspresi seperti itu kepada siapa pun, jadi sopir tersebut berpikir, bahwa tuan muda tengah sakit. "Iya. Lanjutkan perjalanannya! Saya ingin segera tiba. Semakin cepat, semakin baik." "Siap, Tuan." Setelah membelah jalanan kurang lebih 30 menit dengan kecepatan tinggi, Hans tiba di kantor dan langsung menuju ke ruangan pribadinya. Setelah lebih dari empat jam bekerja, Hans kembali memerintahkan kepada Moza untuk tidak membiarkan siapa pun masuk ke dalam ruangan. Ia hanya ingin seorang diri, untuk tenang. Moza menyeringai, ia terlihat suka ketika Hans tertekan berat seperti saat sekarang ini. Padahal, sebenarnya Hans sedang ingin menikmati mainannya yang jauh di sana dan terlihat berantakan (Aurora). Setelah yakin hanya ada dirinya di ruangan tersebut, Hans kembali menyambungkan jaringan CCTV dengan laptopnya. Setelah itu, ia mencari-cari keberadaan Aurora. Tak lama, suara tawa kecil namun menggelitik terdengar di tempat bekas pemandian kuda yang kini sudah bersih dengan kolam air tampak jernih. Itu adalah satu-satunya lokasi yang bersih dan menyenangkan. Kamera pun langsung mengarah kepada sumber suara. Pada saat yang bersamaan, mata Hans terbelalak, ketika melihat tubuh muda dan molek milik Aurora tanpa sehelai benang pun, basah dan tampak berkilauan. Tanpa menyentuh dan disentuh, tubuh Hans tiba-tiba saja bergetar. Ini adalah pertama kalinya, ia merasakan desiran hebat dan berbeda ketika melihat seorang wanita yang asing baginya. Padahal selama ini, banyak wanita yang datang dan pergi dari kehidupannya, namun tidak mampu meninggalkan bekas yang berarti. Sorot mata tajam milik Hans menghujam layar laptop ukuran besar. Keinginannya bangkit hanya dengan menangkap tampilan visual dari seorang Aurora. "Itu adalah bentuk dadaa yang paling aku sukai. Bulat seperti bulan, namun tampak alami." Hans mulai menghitung bagian yang menarik, dari mainannya tersebut. Apalagi ketika Aurora mengangkat tubuhnya pada rata-rata air, hingga memperlihatkan pusat dan bagian atas tubuhnya. Aurora berenang seperti ikan hias yang manis. Saat ini, air pancuran yang dihubungkan dengan bambu panjang, membuat Aurora semakin tampak natural dan indah. Lagu yang syahdu kembali Aurora senandungkan sembari menggosok tubuhnya dengan sabun batang berwarna merah muda beraroma mawar yang khas. Ini adalah peralatan tambahan yang baru saja dibawakan oleh Ratih untuknya, selain makanan, minuman, dan pakaian. Setelah 15 menit membasuh diri dengan air yang datang langsung dari alam, Aurora pun berniat untuk segera mengakhirinya. Karena merasa hanya seorang diri, gadis tersebut pun santai saja saat berdiri dan meniti bebatuan kali dalam ukuran beragam, demi menjangkau pakaian baru dan bersih yang sudah ditinggalkan oleh Ratih. Saat itu, Hans kembali terpukau ketika melihat bokonng bulat dan mulus milik Aurora yang menyembul sempurna. "Ternyata dia memiliki bagian belakang yang memukau bak gadis Brazil. Agh ... kenapa harus dia? Siaaal!" Hans semakin sesak dan tersudut. Semakin menatap layar laptop, Hans kian berteriak dan merasa frustasi. Ia pun memukul keras meja kerjanya, untuk melupakan keinginan yang datang tiba-tiba. Saat itu, Moza kembali tertawa karena mengira bahwa Hans semakin gila dengan keadaan dan pekerjaan yang mendesak. Rupa-rupanya, Moza memiliki banyak rahasia yang disembunyikan dari laki-laki berwajah oriental tersebut. Sayangnya, Hans berpikir bahwa Moza adalah orang kepercayaan dan tangan kanan terbaiknya. "Hans, tiba waktunya, saya lah yang akan memegang belati itu," kata Moza sembari melipat tangan di depan dadaa untuk memeluk dirinya sendiri. "Huft, tidak ada yang sia-sia." Moza menggelengkan kepala dan kembali tertawa jahat dengan suara yang terbenam. Sementara di dalam ruangannya, Hans berusaha lepas dari tatapan matanya yang selalu tertuju kepada Aurora. Namun rerumputan tipis yang menutupi kelopak bunga gadis itu, kembali mengusik. "Aaagh!!" teriak Hans sekali lagi. Kemudian miliknya yang paling sensitif, semakin berdiri dan menyiksa. Laki-laki pemilik rahang tegas tersebut, terlihat begitu geram dan ingin menggapai tubuh Aurora. Namun semua itu mustahil baginya. Sekali lagi, Hans berkata pada dirinya sendiri, bahwa Aurora hanyalah mainannya. Kesal dengan perasaan yang tiba-tiba saja muncul dan menguasai diri, Hans mencari wanita nakal yang memiliki fisik mendekati sama dengan Aurora. Kali ini ia ingin menumpahkan semua hasratnya kepada wanita bayaran kelas ekslusif, yang mampu memberikan tampilan visual nan menyenangkan seperti milik Aurora. Hans menghubungi seseorang yang dapat ia andalkan. "Jack, aku ingin yang muda, sintal, cantik, memiliki mata dan kulit seperti peri, punya bokoong bulat bagai gadis Brazil yang eksotis. Kirimkan malam ini juga! Atau kepalamu akan melayang!" ancamnya tanpa ampun. Iya, begitulah cara seorang Hans berbicara kepada orang lain. Ia sama sekali tidak memperdulikan kesulitan, maupun kendala. Yang ia tahu, ketika lapar, ia ingin makanannya sudah tersedia. "Tapi, Tu-tuan." Hans menutup saluran ponselnya, tanpa ingin mendengar alasan apa pun. Kemudian ia langsung melonggarkan dasi, seraya menghela napas panjang. Tak lama, ia kembali menatap kedua kaki jenjang milik Aurora yang terus bergerak gemulai untuk kembali ke kandang kuda. Sebenarnya, saat ini ia sedang berada di dalam kondisi tertekan akibat bisnisnya yang dibobol dari dalam. Namun jika dilihat, Hans masih saja tetap bisa tenang. Namun kali ini, setelah melihat tubuh mulus Aurora tanpa penutup, ia sangat gelisah dan sulit untuk bernapas. Rasanya, Hans sedang ditodong dengan senapan serbu laras panjang. Bersambung. Bagaimana Hans akan melewati malam ini? Lanjut bacanya ya. Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love, dan follow. Makasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD