Di dalam mobil yang ditumpangi, Aurora termenung. Ia tidak membawa apa pun, termasuk sehelai benang dari rumah orangtuanya yang baru saja ditempati.
Bayangan dan kenangan masa lalu yang indah, sempat membuat Aurora tersenyum di dalam kesendirian dan ketakutan.
Ia tidak pernah menyangka bahwa roda berputar begitu cepat. Sekarang, ia bukan lagi berada di dasar bumi, melainkan kerak neraka.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 90 menit. Mobil milik Hans berhenti di sebuah rumah mewah yang dipagar tinggi. Dua orang satpam mendorong pagar putih tersebut, sambil menundukkan kepala mereka.
"Selamat siang, Tuan."
Hans berjalan sambil menengadahkan kepala, tanpa memperdulikan sapaan manis dari orang-orang di sekitarnya. Ia seperti raja, sangat angkuh dan merasa paling tinggi.
Setibanya di dalam rumah yang tampak luas dan megah, Hans kembali disambut oleh tiga orang asisten rumah tangga, berusia sekitar 27 tahun.
"Bawa dia ke belakang! Aku ingin, dia membersihkan kandang kuda."
'Apa?' Aurora terkejut mendengar ucapan laki-laki yang memiliki tatapan mata keji tersebut. Namun, ia tidak membantah apalagi mengeluh.
Aurora mengingat sumpahnya beberapa jam yang lalu, ketika memohon kepada Hans untuk menolong mama dan papanya.
"Baik, Tuan," sahut yang lainnya sambil memegang tangan gadis jelita tersebut.
Aurora memang tidak tahu akan diperlakukan seperti apa dan menjadi bagaimana. Yang jelas, ia akan menurut dan melakukan apa pun untuk mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Hans yang terkesan asing, tetapi sudah membantunya.
"Kamu sudah makan?" bisik asisten rumah tangga yang lainnya.
Aurora menggeleng dengan wajah yang tertunduk. "Belum."
"Kalau begitu, ayo makan dulu! Nanti, aku yang akan mengantarkan kamu. Oh iya, aku Ratih. Kamu?"
"Aurora, Mbak. Kamu bisa memanggilku Ara!"
"Bias, Tara, Nona ini, biar aku yang mengurusnya!"
"Baik, Mbak." Asisten rumah tangga yang lainnya, meninggalkan Ratih dan Aurora di meja makan ruang belakang.
"Orangtuaku sudah bekerja cukup lama di sini, sekitar 10 tahun. Sekarang, akulah yang melanjutkannya."
"Kamu tampak nyaman berada di sini, Mbak."
"Awalnya tidak, apalagi saat mendapat sorot tajam dari mata tuan Hans. Tapi, jika mengingat almarhum mamanya, aku tidak bisa pergi dari sini. Beliau sangat baik dan lembut. Berbeda sekali dengan tuan muda," bisiknya sekali lagi, sambil melirik ke arah sekitar.
"Kenapa bisa begitu?"
"Nyonya besar adalah perempuan yang sangat disegani. Dia begitu cantik, lembut, dan dicintai oleh tuan besar. Tapi entah apa yang terjadi? Yang jelas, tragedi mengenaskan itu sudah menghancurkan kebahagiaan dan kebaikan di dalam rumah ini," bebernya penuh rahasia.
Aurora menatap sambil berpikir, "Aku tidak mengerti."
"Lain kali saja, ya?" elak Ratih yang belum ingin membuka tabir misteri tentang Hans dan keluarganya, kepada Aurora yang merupakan orang baru bagi Ratih.
"Emh."
"Tolong, segera habiskan makananmu! Setelah itu, sebaiknya kita langsung ke kandang kuda agar tuan muda tidak menamparmu dengan ucapannya."
"I-iya, baiklah."
Siap dengan makan siang yang terlambat dan tergesa-gesa, Ratih langsung membawa Aurora ke tempat penyiksaan pertama.
"Aku tidak bisa membantu dan menemani. Kamu harus menyelesaikan semua ini seorang diri dalam waktu yang singkat! Jika tidak, kamu belum boleh kembali!"
"Apa, Mbak?"
"Ini makanan dan minuman untukmu. Tidak ada tempat khusus untuk tidur, membersihkan diri, atau pun buang air. Makanya, kamu harus cepat!"
"Lalu, bagaimana jika malam?"
"Kemarilah! Ini penerangannya." Ratih menunjukkan lampu minyak khas zaman dulu kepada Aurora. "Di sini apinya. Ingat! Semakin cepat, semakin baik. Saya pamit, hari hampir gelap."
Aurora menundukkan kepala saat Ratih meninggalkan dirinya seorang diri.
Matanya berkaca-kaca, ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Semua ini sangat menjijikkan dan menakutkan. Ia pun tidak mengerti, kenapa diperlakukan seperti ini.
"Pa, Ma, Hazel ... semoga kalian lebih baik dan berbahagia," ujarnya penuh do'a dalam kemalangan.
Kandang itu sangat kotor dan luas. Entah bagaimana cara Aurora membersihkannya. Apalagi, tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetar karena ketakutan.
Wajar saja, ia hanya sendirian di tempat asing yang dikelilingi oleh semak belukar dan pepohon rimbun.
Sementara di kediamannya yang serba mewah dengan fasilitas modern, Hans tengah menikmati waktu menuju malam.
Sambil menatap ke arah televisi ukuran besar, ia menyunggingkan senyum seakan mengejek sekaligus merasa bahagia karena sudah berhasil mengeluarkan air bening dari kedua bola mata Aurora.
Tanpa diketahui oleh siapa pun, ternyata Hans sudah memasang CCTV di seluruh bagian kandang kuda yang tidak terpakai tersebut.
Rupanya ia memang berniat untuk menyiksa, mempermainkan, dan menikmati ketakutan Aurora.
"Sayang, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya wanita yang selalu bersama Hans. Ia pun langsung menyapu bibir tuan muda dan tidak melihat apa yang laki-laki itu kerjakan.
"Seharusnya saya yang bertanya, apa yang sedang kamu lakukan, Moza?"
"Tentunya sesuatu yang kamu suka," timpalnya sambil memegang kedua sisi wajah tuan muda dan menatapnya penuh hasrat.
"Apa kamu tidak bosan? Kita sudah melakukannya dua kali sore ini."
"Kurang. Masih belum cukup," sahutnya sembari meliuk-liukkan tubuh seperti ular yang tengah memanjat pohon besar.
"Benarkah?"
"Bukankah aku harus kuat, agar kamu tidak menggantikan posisi ini dengan wanita lain?" tanyanya seraya menyentuh bibir Hans dengan jari telunjuknya.
Bibir Hans menyungging, ia hampir tersenyum, tetapi tiba-tiba malas. "Apa yang kamu pikirkan?"
"Wanita yang baru itu, dia terlihat cukup menggairahkan." Moza pura-pura marah agar dirayu. "Tadi, aku melihat kamu menatapnya berbeda. Seperti bocah kecil di tengah malam gulita yang merindukan cahaya. Ketika bulan muncul, binaran dari sepasang manik mata si gadis langsung menyala."
"Ha ha ha ha ha ha." Hans tertawa besar. "Haaah. Jangan membuatku ingin muntah! Dia hanya tikus kecil yang aku gunakan untuk menghancurkan rombongannya."
"Apa itu benar?"
"Jika perlu, sampai ke sarang-sarangnya," tukas Hans dengan tatapan membunuh dan wajah yang sangat membenci. "Pergi saja! Jika masih ingin membahas tentang dia. Aku jadi mual."
"Suuut! Jangan mengusirku!" pinta Moza dengan suara manja.
"Pergilah!" pinta Hans sekali lagi, dengan ekspresi wajah marah.
"Tenanglah! Kali ini, biarkan aku yang bekerja keras!" Moza kembali merayu setelah menyulut api kemarahan di dalam hati tuan muda.
Seperti wanita nakal yang handal, Moza mulai menari di hadapan Hans demi memancing keinginannya.
Setelah 10 menit, "Monster sudah bangun," bisik Moza manja sembari memainkan cuping telinga Hans yang telah bersemangat untuk menghabiskan malam panjang dengan percintaan yang berat. "Aku suka," sambungnya sembari menggigit kecil leher Hans. Ini merupakan bagian terfavorit bagi laki-laki kekar tersebut.
Malam panas pun mengisi waktu Hans yang kosong dan itu berhasil membuat dirinya lupa akan kenangan buruk di masa lalu.
Meskipun, tetap saja tidak mampu untuk menutupi semua mimpi buruk yang selalu hadir dan terus menyiksa jiwanya.
"Malam ini, biarkan aku yang bekerja keras untukmu, Hans!" ujar Moza manja, seperti kuda betina yang liar.
"Coba saja!" tantang Hans sambil menarik salah satu sisi bibirnya. Kemudian ia memasrahkan diri di atas tempat tidur empuk dan membiarkan wanita itu merajalela di atas tubuhnya.
Tanpa merasa jijik sedikit pun, Moza mulai mengepel tubuh Hans dengan salivanya. Lalu ia memulai permainan panas, setelah otot panas milik Hans bereaksi.
Pertempuran berat terjadi, Moza sampai kelelahan dan sulit untuk mengatur napasnya. Namun ketika ia merasa takut akan Aurora, tubuhnya kembali bersemangat untuk meliuk manja.
Bersambung.