Kesempatan Terakhir
HARI-hari berlalu. Bulan pun berganti. Begitu pun dengan tahun. Erika tumbuh menjadi gadis kecil yang manis, lucu dan menggemaskan. Usianya sudah masuk tahun kelima. Anak itu periang. Rina kian menyayanginya. Meski rasa sayangnya tertumpah, tapi Dani yang sudah masuk kelas dua SMA, tak tampak iri dengan sikap ibunya yang terkadang berlebihan pada Erika. Malah, Dani pun kerap memanjakannya.
Suatu ketika, Dani pernah marah pada anak tetangga. Anak laki-laki sebaya Erika yang menghina kulit Erika. Warna kulit Erika memang hitam meski tak hitam-hitam amat. Semenjak Dani marah dan hampir menampar anak yang mulutnya tajam itu, seorang pun tak ada yang berani menghina Erika. Meskipun di belakang, masih ada yang mengolok-oloknya. Namun banyak orang yang suka dan simpati pada anak itu. Suka lantaran menggemaskan. Simpati karena tahu anak itu dibawa Danang dari perempuan lain yang pernah menjadi istrinya lalu menyerahkannya pada Rina. Mereka yang simpati tentu saja perhatian. Mengakui jika anak itu memang pantas disayang karena nasibnya yang tak seperti anak-anak lain. Meski ayahnya masih ada yakni Danang dengan kondisi perekonomian yang cukup mapan, dan meski Rina sudah menganggapnya anak sendiri, tapi jika kembali menelusuri ke belakang, Erika itu anak yang dicampakkan oleh orang yang pernah melahirkannya.
“Erikaaaaa, sini!” Ema sudah berdiri depan pintu rumah yang terbuka lebar. Erika yang tengah menonton TV menoleh. Senyumnya terulas ketika tahu siapa yang datang. Ema, orang yang suka menyapanya dan tak jarang memberikan makanan atau mainan anak perempuan.
Erika bangkit dari tempat duduknya lalu dengan malu-malu mendekati Ema. Tangan Ema memegang bungkus plastik. Isinya, kue donat beberapa buah. Erika girang. Ia tahu pasti itu untuknya. Lalu Ema pura-pura tak hendak memberikannya. Erika cemberut dulu. Namun tak lama, Ema akhirnya memberikan.
“Bilang apa?” tanya Ema ketika plastik kue donat sudah di tangan Erika.
“Makasih, Tante...” ucap Erika.
“Sama-sama, anak manis...” Ema mencubit pipinya.
“Mama mana?”
“Di dapur,” jawab Erika lalu setengah berlari menuju ke dapur. Bicara dengan Rina. Tak lama, Rina ke depan. Ema duduk di kursi yang berada di beranda.
“Di dalam yu...”
“Tidak usah, gerah,” Ema mengipaskan telapan tangan ke arah mukanya. Rina duduk di samping Ema. Erika makan sendiri kue donat di dalam sembari menonton film kartun kesayangannya.
“Apa kabar Danang?”
“Dia mengabarkan bulan depan baru bisa pulang.”
“Meneleponmu?”
“Tidak. Lagian menelepon ke mana?” Rina nyaris tertawa. “Emang di rumahku ada telepon? Aku yang menelepon duluan di Batujajar,” jelas Rina. Dalam dua tahun, komunikasi Rina dan Danang cukup lancar karena tersambung lewat telepon. Meski Rina yang harus pergi ke kecamatan lain, ke telepon umum, karena di kampung halamannya belum ada fasilitas itu. Dan dilakukannya seminggu sekali. Sementara Danang menerima telepon dari rumahnya. Ia memasang telepon sudah dua tahun. Ia pun meminta Rina memasang telepon rumah. Namun Rina menolak. Ia ingin lebih berhemat mengeluarkan biaya bulanan meski suaminya memberikan uang lebih saban pulang. Sisa uang, Rina tabung di bank. Ia ingin memperbaiki rumah yang ditempatinya. Rumah warisan yang model kuno ingin dirubah menjadi rumah seperti yang dilihatnya depan jalan raya. Danang sudah berulangkali membujuk Rina untuk pindah ke Jakarta. Memboyong Erika dan Dani. Namun Rina masih bersikeras menolak. Ia pernah tinggal di Jakarta dulu saat bersama suami pertamanya. Ia merasakan ketidakbetahan tinggal di metropolitan. Rina berat harus meninggalkan kampung halaman yang masih asri. Pohon-pohonan banyak tumbuh meski pesawahan mulai berkurang.
“Rin, alhamdulillah ya... pernikahanmu dengan Danang langgeng.”
“Baru sepuluh tahun. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti.”
“Ko bicara gitu sih, Rin?”
“Tidak bicara apa-apa.”
“Tidak gimana? Itu tadi bilang... aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti,” Ema menirukan ucapan Rina.
Rina tersenyum. “Ya, kan belum tahu nasib pernikahanku selanjutnya.”
“Itu sama berharap yang tidak-tidak. Bersyukurlah, sekarang Danang menjadi Danang sesuai yang kau harapkan. Menjadi suami yang setia dan tak melakukan lagi kesalahan seperti dulu.”
“Ya, aku pun berharap begitu.”
“Eh, Rin? Tadi kau lagi di dapur kan? Jangan-jangan, kau ninggalin kompor menyala, aku khawatir masakanmu gosong, ayo ke dapur dulu sana!” Ema mengingatkan.
“Tidak. Tadi aku baru menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Sudah kucuci, kuiris-iris, kupotong-potong. Malah bumbu sudah kuulek. Pokoknya tinggal masak. Sekarang kan masih pukul sebelas. Nanti aku masaknya abis zuhur, abis shalat... biar pas Dani datang, masakannya hangat. Dia tak suka makan siang yang makanannya sudah dingin.”
“Lho, Erika belum kau beri makan?”
“Sudah. Jam sepuluh juga dia sudah minta makan. Aku buatin ceplok telor dan tahu goreng kesukaannya. Kalau siang ikut makan lagi, paling dia milih sayuran.”
“Suka sayuran ya dia?”
“Ah, dia itu makan sama apa saja. Tidak pernah rewel. Em, kalau Erika itu... misal lihat aku lagi marah-marah... dia suka diam. Seperti merasa dia itu telah bikin aku marah. Padahal aku marah karena hal lain. Anak iu peka banget, Em.”
“Seperti ayahnya?” Ema melirik sembari menahan senyum.
Rina mengangguk. “Ya, tapi ayahnya itu bandel. Sudah bikin salah, bikin salah lagiiii...”
“Itu kan masa lalu, ya Rin.”
“Ya, Em. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Hemmm... mungkin ini cuma mimpi tapi aku kepikiran terus. “
“Mimpi apa? Digigit ular?” Ema mencandai.
Rina menggeleng. “Bukaaan.”
“Lalu mimpi apa?”
“Aku mimpi Danang... menduakan hati lagi. Menikah lagi,” ucap Rina lalu tiba-tiba termenung. Ema meliriknya. Dipegangnya bahu sahabatnya itu.
“Itu hanya mimpi. Mimpi kan bunga tidur.”
“Kadang aku punya firasat dan firasatku jarang meleset.”
“Firasat apalagi sih, Rin?”
“Ya, mimpi yang aku ceritakan itu akan menjadi kenyataan.”
“Rinaaaa... tak baik ah menduga-duga. Apalagi suamimu sudah jelas-jelas berubah. Terbukti juga, dia yang terus bujuk kau pindah ke Jakarta, sementara kau yang terlalu idealis bilang tidak. Kurang gimana lagi coba? Apa kau tak percaya?”
Rina menghela napas. “Berusaha percaya tapi kadang keraguan menghinggapiku. Ema, kau tahu kan dulu saban dia melakukan kesalahan, aku selalu memaafkannya. Memberinya kesempatan merubah diri meski lagi-lagi dia mengingkarinya. Lalu melakukan kesalahan serupa. Begitu dan begitu. Hingga di titik akhir, dia melakukan kesalahan terbesar selama rumah tangga kami. Dia menikah dengan dua perempuan. Lalu pulang membawa Erika padaku setelah mencampakkan dua perempuan itu. Itu kesalahan terbesar, Ema... harusnya tak kumaafkan. Harusnya tak kuberi lagi kesempatan. Tapi kau tahu kan... kenapa pada akhirnya aku memberinya kesempatan lagi?” Rina bicara panjang lebar tanpa melirik ke arah Ema.
Ema mengangguk. “Ya, aku tahu. Itu kau lakukan, berikan kesempatan lagi... karena Erika. Karena kau tak tega pada anak itu. Karena hatimu yang mudah tersentuh dengan sesama. Itulah kelebihanmu dan itu yang bikin aku salut padamu.”
“Kau benar, Ema. Demi rasa kemanusiaanku pada anak itu,” ucap Rina setengah berbisik. Namun ia tak khawatir ucapannya didengar Erika toh menurutnya, jikapun mendengar, anak itu belum mengerti isi perbincangan. Rina terus menekan perihal kesempatan yang telah diberikan pada Danang, tiga tahun lalu, kala membawa Erika itu merupakan kesempatan terakhir. Jika suaminya sampai melakukan kesalahan lagi, ia sudah bertekad akan menutup pintu hatinya dan meminta lelaki itu pergi dari kehidupannya.
Kesempatan terakhir yang diberikan Rina membuat Danang kian menyayangi Rina terlebih karena Erika yang berhasil mengikatnya. Hidup Danang terasa tenang. Ia ingin memiliki istri hanya Rina seorang. Ia pun berusaha mencoba. Mempertahankan mahligai perkawinan. Menjelma menjadi sosok lelaki setia. Dua minggu sekali berbincang di telepon saling melepas rindu dengan kata-kata. Sebulan atau dua bulan sekali, ia pulang. Bahkan tiga bulan pun pernah. Namun tak menjadi pertanyaan pada Rina. Tersebab sudah mematri kepercayaan. Hingga bertahun-tahun. Hingga usia Erika kian bertambah. Anak itu sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar. Kata orang-orang sekitar, kulit Erika kian memutih. Wajahnya cantik dengan mata yang indah dan bulunya yang lentik. Dagunya lancip, di atas bibir tipis yang kerap menyungging senyum.
“Wajahnya sekarang mirip Rina,” bisik-bisik tetangga. Rina pun pernah mendengarnya. Ia malah senang. Ema sahabatnya yang paling merasakan karena ia itu perempuan yang tidak bisa memberikan keturunan pada suami-suami sebelumnya hingga bercerai. Lalu dengan suami ketiga, ia pun mengadopsi seorang anak laki-laki yang diambil dari rumah sakit. Anak itu kian besar, wajahnya kian mirip orang-orang yang mengangkatnya sebagai anak. Paduan wajah Ema dan suaminya padahal tidak ada hubungan darah. Rina percaya apa kata orang tua zaman dahulu, jika seorang perempuan yang mengangkat anak orang lain menjadi anaknya terlebih karena rasa kemanusiaan, maka wajah anak itu akan mirip orang yang merawatnya seiring waktu berjalan.
Erika bukan hanya tumbuh menjadi anak yang cantk. Namun juga cerdas. Di sekolahnya selalu juara pertama. Anak itu pun rajin mengaji. Banyak teman yang senang bermain dengannya. Sikapnya yang baik dan bersahabat serta suka menolong. Orang-orang dewasa pun banyak yang suka.
Sementara di tengah rasa bahagia yang terpancar di wajah Rina karena keberadaan Erika yang bagai mutiara dalam hidupnya, ia terkadang merenung sendiri di tengah malam. Danang tiba-tiba tak ada kabar. Bukan sebulan dua bulan. Namun berbulan-bulan. Hingga dua puluh empat bulan. Nomor telepon rumahnya pun tak bisa dihubungi. Rina menduga sudah diputus petugas telekomunikasi di tempatnya.
Pagi itu, tepatnya di bulan November minggu kedua, Rina dengan tekad yang bulat pergi ke Jakarta. Ia sengaja tak membawa Erika. Dititipkan pada Nia kakaknya. Rina tiba di Jakarta menjelang sore dan mencari alamat rumah Danang, berbekal secarik kertas yang pernah ditulis Danang beberapa tahun lalu. Namun rumah itu sudah kosong. Bahkan sudah ada papan bertuliskan bahwa rumah itu sudah disita bank. Ia mencari tahu lewat tetangga sekitar situ, hingga ada seorang yang peduli menunjukkan keberadaan Danang. Katanya, lelaki itu sudah habis harta bendanya tak bersisa karena tertipu perempuan cantik.
Tiba di rumah yang dituju. Rumah yag besar. Pemiliknya wanita kaya. Usinya lebih tua dari Rina. Danang tengah tak berada di rumah. Perempuan itu memersilakan Rina duduk. Tanpa bertanya siapa Rina sebenarnya, perempuan itu memperkenalkan terlebih dahulu bahwa dirinya adalah istri Danang yang baru dinikahinya tiga bulan lalu.***