Episode 5

2024 Words
Sekarang sudah waktunya untuk pulang kantor, aku langsung saja berjalan untuk menemui Wulan sekarang karena memang aku selalu pulang bersama dengan Wulan setiap saat untuk pergi naik ke kendaraan umum bersama. Akan lebih baik jika aku naik kendaraan umum bersama dengan seseorang daripada harus pulang sendirian. Apalagi bagi diriku yang merupakan seorang wanita di tengah malam. Tapi untuk saat ini, aku menemui Wulan bukan untuk pulang dengannya, melainkan meminta izin kalau aku tidak bisa pulang dengannya sekarang. Aku harus bertemu dan juga meminum kopi bersama dengan Arya sekarang. Aku tak sabar melihat reaksinya saat aku akan berkata kalau aku akan pergi di depan hadapan Wulan. Pasti mulutnya berbusa karena tak percaya kalau aku akan melakukannya saat ini. Dan di depan sana, aku bisa melihat Wulan berjalan sendirian mententeng tas bermerknya itu. Aku pun berjalan dengan langkah yang cukup cepat agar bisa mengejar Wulan yang tampaknya terburu-buru ingin segera pulang di sana. “Hei Wulan, maaf ya kalau aku tidak bisa pulang bersamamu sekarang. Karena aku memang sedang memiliki urusan sekarang. Aku harus bertemu dengan seseorang”. Wulan menengok, dengan keheranan dan juga curiga tergambar di matanya, “Hah? Menemui seseorang siapa? Penagih hutang? Sales kartu kredit? Kenapa kau malah menemui mereka? Kau seharusnya menghindari mereka selagi ada kesempatan! Ayo cepat pulang Sabrina!” Wulan malah menggandeng lenganku dengan erat dan mengajakku pergi sekarang. Dia bahkan tidak berusaha untuk mendengar ucapanku, seperti merasa kalau aku pergi dengan seseorang tanpa tujuan yang negatif adalah sesuatu yang aneh. Aku pun melepaskan genggaman tangan Wulan itu, berusaha untuk merengkuhnya dan menolaknya sekarang. “Enggak Wulan, sudah kubilang kalau aku tidak akan ikut denganmu, aku akan pergi bersama dengan Arya untuk makan malam sekarang!” Wulan berhenti, menyentuh dahiku dengan menggunakan telapak tangannya sampai membalik-balik tangannya berulang kali. “Suhu tubuhmu tidak tinggi, kau tidak demam. Tapi apakah kepalamu terasa pusing sekarang? Karena jika iya, mungkin kau terkena penyakit serius Sabrina. Aku khawatir denganmu, apakah sebaiknya kita mampir ke apotek dahulu sebelum pulang ke rumah masing-masing?” Aku pun tanpa ragu-ragu memberikan ponselku kepada Wulan, memperlihatkannya bukti chatan antar diriku dan juga Arya sekarang. Dia langsung saja meraih ponselku, menaikkan layarnya ke atas dan bawah sampai ke luar dari kolom pembicaraan sekarang. Dia tampak sangat tak percaya jika aku memang akan pergi dengan Arya sekarang. Senista itukah aku?” “Apa! Tidak mungkin! Bagaimana kau bisa bertemu dengannya? Kapan kalian berhubungan? Maksudku... itu semua benar-benar tidak mungkin!” Ucap Wulan sambil memegang kepalanya kebingungan. Aku tentu saja tak tahu harus menjawab apa padanya, karena memang mungkin kenyataan sungguh sangat sulit untuk dia dapat ataupun raih sekarang hanya dengan menggenggam kepalanya. Dan tiba-tiba, sebuah mobil SUV berwarna hitam datang di sampingku. Pemilik mobil itu menurunkan kaca depannya, dan ternyata ada Arya di sana, memanggilku dengan Wulan yang masih bersama denganku sekarang di sana. “Hey, Sabrina. Ayo masuk, aku yakin kau sedang kelelahan sekarang. Aku tak ingin kopi kita kehabisan nanti”. Aku menoleh ke arah Arya, masuk ke dalam pintu mobil yang telah dibuka olehnya. Aku pun menyampaikan salam selamat tinggalku kepada Wulan saat sudah duduk di bagian depan mobil. Aku yakin, Wulan benar-benar seperti ingin menangis dalam hati sekarang. Aku dan Arya pun pergi menuju kafe terdekat, menghabiskan malam kami bersama-sama di sana sekarang. “Dadah ya Wulan”. *** Saat berada di dalam perjalanan, aku mengobrol tentang banyak hal dengan Arya, mulai dari karir, pendidikan, dan juga tentang begitu banyak hal. Namun aku menahan semua obrolanku di sana, takut jika nantinya akan kehabisan topik saat berada di dalam kafe nanti. Namun sepertinya sekarang aku tidak perlu menahan-nahannya lagi. Karena kami sudah sampai di kafe itu. Aku turun dari mobil, sementara Arya berada di depanku sekarang. Aku merasa seperti seorang putri karena dijaga oleh seorang ksatria gagah berani seperti dirinya sekarang. Hanya saja, aku merasa seperti Arya mengabaikanku karena dia tidak menengok sama sekali ke arahku. Tapi saat dia berada di pintu masuk kafe, dia berhenti melangkah, menengok ke arahku dan berkata. “Sabrina, Ladies first”. Aku memilih tempat duduk, dan berada di pinggir-pinggir kafe tempat dimana meja berada sekarang. Saat aku berada di tempat umum, aku selalu memilih di pinggir jendela agar aku bisa melihat pemandangan di luar kendaraan sedang lalu lalang. Arya juga sepertinya tak memiliki masalah dengan tempat duduk yang aku pilih sekarang. Karena memang tempat yang kupilih benar-benar sempurna bagi kami berdua untuk bisa saling berbincang-bincang membahas apa saja di sepanjang malam yang gelap di sini. Aku memesan sebuah capuccino latte dengan s**u yang dominan sementara Arya memesan sebuah kopi arabica hitam dengan rasa yang sangat pahit. “Kau yakin kalau kau ingin memesan kopi itu? Aku pernah mencobanya sekali, namun aku tidak tahan untuk mencicipinya lagi. Karena saking pahitnya, aku seperti merasa pusing dengan kepalaku saat mencicipinya.” Ucapku kepadanya. “Berarti kamu tidak paham dengan esensi kopi yang sesungguhnya. Sebuah kopi hanya bisa dinikmati saat rasanya itu pahit. Dan jika ditambahkan gula, maka itu bukanlah kopi lagi, melainkan hanya sebuah minuman biasa. Ya memang aku sama sepertimu, merasa aneh dengan orang-orang yang meminum kopi pahit. Namun jika kau paham dengan apa yang menjadi kenikmatannnya, maka kau akan kecanduan.” Aku tidak mengerti apa-apa soal kopi. Bahkan jika ini bukan karena Arya mengajakku ke tempat kopi, aku mungkin tidak akan meminum kopi s**u ini di sini dan memesan minuman lain seperti jus, s**u, teh boba, atau makanan apa pun yang penting bukan kopi. Tapi kemudian, Arya melanjutkan omongannya. “Seperti dirimu Sabrina, aku mulai paham kenapa kau begitu nampak cantik”. “Memangnya, kenapa aku terlihat cantik?” Tanyaku, menantangnya dengan menatap matanya dengan sangat tajam. “Aku awalnya mengira kalau wajahmu lah yang membuatnya menjadi tampak cantik. Ternyata aku salah, seluruh hal yang melekat dalam dirimu adalah suatu kesempurnaan. Itu hanya hipotesaku saja sih, tapi kuharap kau tetap menjadi seperti ini Sabrina. Tak akan kehilangan salah satu pun dari dalam dirimu. Kau mungkin wanita yang tak pernah kutemui dalam hidupku selama ini. Aku merasa begitu beruntung.” Oke aku kalah, aku tidak bisa menatap wajah Arya lagi sekarang. Aku menundukkan pandangan dan juga kepalaku sekarang, mencoba untuk mengalihkan pandanganku padanya. Aku takut, jika sekarang wajahku berwarna merah dan malah tersipu malu di hadapannya. Aku tak boleh kalah dalam pertempuran harga diri seperti ini. Tapi, Arya malah tertawa terbahak-bahak di hadapanku. “Hahahah!!! Aku tak menyangka kalau kamu akan terjatuh seperti itu Sabrina! Maaf-maaf jika aku malah membuatmu bersikap salah tingkah seperti sekarang. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu seperti ini!” Ucap Arya kepadaku. Aku pun langsung memalingkan wajahku ke hadapannya, mencoba untuk mencari tahu apa maksud dari ucapannya. “Jadi, apakah pujian yang kau lontarkan kepadaku tadi bukanlah sebuah hal yang kau katakan sungguh-sungguh?” Ucapku dengan nada sedikit tinggi dan juga dengan sebal. Aku bisa melihat wajah Arya berbalik salah tingkah sekarang. Dia menggaruk-garuk rambutnya dengan panik dan juga menggeleng-gelengkan kepalanya kebingungan. Tanpa Arya mengucapkannya, aku tahu kalau dia panik. Tapi kemudian, wajahnya berpindah dengan santai dan juga serius. “Entahlah, apa kau menginginkan pujian itu menjadi sesuatu yang hanya bercanda atau sungguhan? Aku bisa saja berkata kalau itu sungguhan, hanya untuk membuat hatimu senang. Atau aku hanya bisa saja berkata kalau itu adalah sebuah candaan, karena aku tidak ingin serius denganmu. Tapi, aku tidak akan mengatakan itu. Menurutmu, mana yang aku akan pikirkan dan juga ucapkan kepadamu sekarang juga?” Aku mungkin kalah lagi sekarang, caranya mengucapkan itu kepadaku membuat tubuh dan juga wajahku menjadi pusing sekarang. Aku seperti kebingungan untuk mengucapkan kata-kata meskipun mulutku bisa aku buka dengan lebar-lebar. Tapi memang, aku tak tahu mana yang menjadi kata-kata Arya yang sesungguhnya saat dia mengucapkan kalau diriku adalah orang yang sempurna. Dan tiba-tiba, pelayan datang, memberikan sebuah minumannya kepada kami berdua. Secangkir arabika kepada Arya dan juga secangkir Capucino latte kepadaku. Aku merasa benar-benar bersyukur karena pelayan itu datang sekarang, karena jika tidak mungkin aku akan mati kutu kehabisan kata-kata melawan ucapannya. “Ini, mas, mbak minumannya. Silahkan dinikmati.” Aku pun langsung buru-buru mengangkat kopi itu, berusaha untuk meminumnya dengan kedua tanganku ku taruh di pegangan cangkirnya. Saat aku meminumnya, Arya kemudian berbicara sesuatu kepadaku. “Hei tunggu, kenapa kau buru-buru meminumnya! Kopi itu masih panas! Lidahmu akan terbakar saat...” Terlambat, Lidahku terbakar sekarang. Rasanya, seperti mati rasa. Aku tidak bisa berhenti untuk menuangkannya ke dalam mulutku karena jika berhenti tiba-tiba maka cairan di dalam cangkir itu akan tumpah ke seluruh meja. Aku hanya harus terus meminumnya dengan raut muka yang menahan kepanasan. Aku tak boleh bertingkah konyol, bodoh, atau apa pun itu di hadapan Arya. “Waww... tak kusangka kalau kau seperti semacam pesulap ya. Kau bisa menahan minuman bersuhu setinggi itu. Katakan kepadaku, keahlian apa saja yang kau miliki dengan kemampuanmu itu! Karena jika kau bisa mengajariku cara untuk minum kopi panas-panas! Aku mungkin tidak perlu menunggu meminum kopi menjadi agak dingin dahulu dan langsung minum saat panas hahah!” Ucap Arya mencoba untuk mengejekku sekarang. Karena dia tahu, aku tidak mungkin bisa berbicara sekarang. Jika aku berbicara, maka aku hanya akan menjulurkan lidahku seperti seekor kadal. Acara minum kopi yang seharusnya menjadi pertemuan yang romantis ini menjadi pertemuan yang sungguh konyol. *** Sudah dua jam kami berada di kafe ini, dan kami bercerita tentang banyak hal lagi, sebenarnya lanjutan dari apa yang kami tengah bicarakan saat kami berada di dalam mobil. Namun, tidak ada satupun pembicaraan-pembicaraan itu yang menjurus kepada percintaan, rayuan, atau apa pun itu dari Arya kepadaku. Sepertinya, Arya memang hanya menganggapku sebagai teman biasa dan kata-kata awalnya saat merayuku hanya untuk membercandaiku. Di kafe yang remang-remang dan juga sepi ini aku selalu bertanya-tanya apakah kafe ini memang tempat yang tepat bagiku untuk memilihnya, bisa saja mereka selalu memasang lampu seperti ini hanya untuk membuat kami merasa dan juga berada dalam keadaan intim. Sesuatu yang tentu saja tak bisa kuprotes ataupun kuhilangkan sekarang ini. Setelah lama berbicara dengan Arya, aku sadar kalau dia masih memiliki sifat-sifat kekanak-kanakan sekaligus sifat dewasa di saat yang bersamaan. Membuatnya menjadi pribadi yang unik dan suli untuk ditemukan di tempat lain. Ibarat seperti makhluk ataupun ras legendaris yang harus dilestarikan. Sifat kanak-kanaknya adalah seperti saat dia masih suka mengoleksi sesuatu untuk kepuasan pribadinya. Dia memang tidak mengatakan apa hal yang dikoleksinya itu, dia mengatakan kalau dia malu jika harus mengutarakannya padaku. Mungkin, itu adalah sesuatu seperti mainan yang dia miliki saat masa-masa kecil atau sesuatu semacamnya. Sementara sifat dewasanya adalah dia mampu mengomunikasikan hal yang ada di pikiran ataupun perasaannya dengan baik. Dia bahkan tidak pernah mencoba untuk menyela ucapanku saat aku berbicara kepadanya. Dia memang mungkin secara umur lebih muda daripada diriku, namun secara sifat sedikit lebih dewasa daripada diriku. Aku menikmati setiap waktu mengobrol dengan Arya. Tiba-tiba, dering ponsel Arya berdering. Dia hanya menengok ponselnya kemudian mencoba untuk mematikannya. Aku heran, kenapa dia sangat yakin mencoba untuk mematikannya. Membuatku penasaran siapa yang menelponnya tadi itu. “Kenapa kau mematikan teleponnya? Bisa saja kalau itu adalah sesuatu yang sangat penting dan mendadak ingin menghubungimu sekarang”. “Sabrina... katakan kepadaku. Apakah kau pernah melakukan Kencan yang asli sebelumnya?” Tanyanya tiba-tiba. Selama beberapa jam kami bercengkrama, baru kali ini dia mengatakan sesuatu tentang itu. Aku kemudian menggelengkan kepalaku, mencoba untuk jujur mengatakannya kepadanya kalau mungkin sekarang ini adalah saat pertama bagiku untuk pergi bersama dengan pria seperti Arya sekarang. Arya kemudian berdiri, beranjak dari kursi tempatnya duduk sekarang. Dia kemudian berkata kepadaku. “Maaf, sepertinya aku harus pergi sekarang. Benar memang katamu, aku memiliki urusan mendadak yang harus aku urus untuk sekarang. Tapi sebelum itu, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Ucap Arya mencoba menjelaskannya kepadaku meskipun memang perkataannya barusan tidak menjelaskan apa-apa. Tapi tiba-tiba saja, dengan cepat dan instan, Arya mengecup dahiku, membuatku diam membeku tak bisa bereaksi apa-apa dengannya sekarang. Mulutku pun saja sulit untuk dibuka dan juga ditutup. Aku bingung kenapa dia tiba-tiba mengecup keningku sekarang. “Ke... kenapa kau melakukan ini sekarang. Apa.... Maksudnya kau melakukan itu?” Tanyaku dengan sangat kebingungan. “Aku tahu, kalau kau belum pernah memiliki pasangan sebelumnya. Namun aku tak bisa menjadi pasanganmu sekarang. Mungkin, di lain waktu, kita akan melakukan kencan yang sesungguhnya. Bedanya, tentu saja aku sebagai pacarmu. Selamat tinggal Sabrina, semoga kita bertemu lagi nantinya”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD