Episode 13

2054 Words
Aku duduk di atas sebuah gedung kosong, cahaya matahari menyinariku di sana. Namun entah kenapa. Aku tidak merasa silau karena kilau dari cahayanya. Aku bisa melihatnya langsung ke dalam matahari itu, merasa tak terganggu sama sekali. Sementara di samping sang matahari, aku bisa melihat bulan berada di sampingnya, sebuah fenomena aneh yang tak pernah aku lihat sebelumnya sekarang. Sementara di bawah gedung, berjejer banyak sekali gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, dengan tidak adanya jalanan, kendaraan, atau orang-orang berlalu lalang. Hening, kosong, seakan-akan jauh di dalam sana hanyalah sebuah lubang tanpa dasar. Melayang-layang selamanya dalam jurang keputus asaan itu. Aku tidak cukup bodoh mencoba untuk jatuh dan melompat dari sana. Dan anehnya, walaupun sangat sepi di sini, aku masih bisa mendengar suara burung bersenandung, memamerkan karya terbaru mereka di dalam telingaku. Aku mungkin menjadi satu-satunya orang yang bisa mengapresiasi apa yang tengah mereka kerjakan sekarang. Karena selain aku, tidak ada lagi. “Kau sepertinya menikmati dirimu sendiri Sabrina. Bagaimana, apakah kau menikmati apa yang tengah kau lakukan sekarang ini?” Sahut seorang pria dari belakangku. Pria itu memakai baju serba putih, dengan bunga mawar tercantum di kantong bagian d**a sebelah kirinya. Pria itu, adalah pria yang sama kutemui di dalam mimpi. Aku pun tersadar kalau aku sedang bermimpi sekarang. Dia mendekatiku, mencoba untuk duduk di sampingku sekarang. Aku sendiri pun masih menatap birunya langit, merangkai awan-awan yang sedang berbaris dan membuat gambar untuk aku bisa saksikan. “Kau tahu, aku sudah menyerah mencoba untuk mencari tahu siapa dirimu. Aku putus asa. Datanglah, kapan pun yang kau mau. Aku tidak akan keberatan lagi, meskipun aku tak tahu apa yang kau inginkan dariku”. “Kenapa kau menyerah? Apakah itu semua adalah semangat yang kau miliki dalam hidupmu?” tanya pria itu kepadaku. Aku meliriknya, dia memakai baju serba putih diiringi rambut pirangnya benar-benar manis sekarang. Aku teringat, kalau baju yang ia kenakan itu mirip sekali seperti baju jas yang digunakan pengantin pria saat menikah. Apakah dia mencoba meninggalkan suatu isyarat kepadaku? “Apa itu maksudmu? Apa kau memang ingin aku agar mencarimu? Kau bahkan tidak memberikan petunjuk apa-apa. Hanya membiarkanmu mencoba masuk ke dalam memoriku tanpa alasan. Apa yang sebenarnya ingin kau capai?” tanyaku kepadanya. Dia masih tertawa terkekeh mendengar ucapanku. Tak memiliki rasa kepekaan sama sekali kalau aku merasa sebal saat mendengarnya tertawa. “Maaf, maaf. Maafkan aku. Aku tahu kau memang setengah mati penasaran denganku. Dan aku tidak memberimu petunjuk apa-apa. Namun alasanku menanyakan hal itu kepadamu hanya sebatas untuk mencari topik. Mengapa kau begitu inginnya ingin tahu soal diriku? Tak bisakah kau menerima kalau aku hanyalah sebatas imajinasimu sekarang ini?” Tanya pria itu kepadaku. “Entahlah, apa yang kupikirkan tentangmu selalu saja kau patahkan dengan sendirinya. Tunggu, apakah itu berarti kalau kau memang hanyalah sebuah buah hasil karya dari imajinasiku saja? Bukan sosok makhluk asli yang ingin aku cari? Lalu, mengapa kau bisa berkali-kali masuk ke dalam mimpiku?” “Entahlah, mungkin saja kalau aku memang seorang imajinasimu saja. Tapi mungkin juga aku orang yang nyata. Aku tak tahu apa yang ingin kau cari sebenarnya. Namun, aku merasa kalau aku berada di sini sudah cukup untuk menjaga dan mendampingimu, ya bukan?” Balik tanyanya kepadaku. Setiap aku menanyakan petunjuk kepadanya, Dia selalu membaliknya dengan pertanyaan juga. “Kau benar-benar memuakkan. Aku bisa mengatakan, kalau kau tidak bergunanya, sama seperti semua orang di dunia asalku. Yang mereka bisa lakukan hanyalah mengemis, meminta bantuan, dan juga bekerja untuk diri mereka sendiri, tanpa menengok ataupun melirik ke orang lain. Dan kau sebagai sebuah imajinasi, tak bisa melakukan apa-apa bagiku.” Ucapku padanya. “Ya... aku bisa bilang kalau aku ingin meminta maaf kepadamu. Mungkin, kehadiranku di sini benar-benar mengganggumu, namun, aku juga tidak bisa keluar dari sini. Aku terjebak, berada dalam imajinasi dan juga mimpimu sekarang. Aku tidak mempunyai kuasa, untuk menjagamu di dunia luar sana. Mungkin memang benar dunia luar tidak memiliki rasa keadilan atau kebaikan sama sekali.” Ucapnya kepadaku. “Kau... terjebak di dalam mimpiku?” Tanyaku padanya. Tanpa dia sadari, dia baru saja meninggalkan sebuah petunjuk bagiku. Dan aku yakin dia menyuruhku untuk memecahkannya sendiri. “Bagaimana kau bisa terjebak di dalam mimpi dan juga kepalaku? Aku bahkan tidak menguncinya! Kau bebas keluar dari sini kapan pun kau mau. Bahkan, mungkin aku akan sangat senang bila kau melakukannya!” “Tidak, kau salah paham. Bukan dirimu lah yang mengunci diriku di sini. Namun aku sendiri yang mengunci diriku sendiri di sini. Dan tidak ada jalan untuk berpaling lagi dariku, aku tidak mempunyai jalan keluar. Aku, terjebak di sini, bersamamu. Entah sampai kapan waktu yang akan datang nantinya.” Lanjut pria itu lagi kepadaku. Pembicaraan tentang kuncian ini membuat kepalaku makin pening. “Cukup soal mimpi-mimpi itu. Bukankah sudah kubilang, kalau aku muak, menyerah, dan tidak peduli apa yang telah kau alami di dunia ini sekarang. Kau bebas melakukan apa yang kau mau di sini, asalkan kau tidak menyetirku atau mengurusi urusan pribadiku! Aku akan benar-benar bersyukur bila kau mencoba untuk keluar sendiri nantinya.” Jelasku padanya sekarang. “Kumohon, maafkan aku lagi. Karena memang mungkin, ucapanku kepadamu barusan itu sungguh sangat diluar konteks dari apa yang bisa kau pahami. Kau mungkin akan benar-benar menganggap dirimu sendiri sebagai orang yang bodoh, tak berguna, atau gagal karena ucapanku. Namun yang terjadi, sebenarnya sebaliknya. Belum waktunya bagimu untuk mengetahui ini semua sekarang”. Balas pria itu. “Apakah waktu bagiku untuk mengetahuinya, adalah waktu saat aku sudah meninggal? Tak bisa bernafas lagi di dunia ini? Apakah memang, aku tidak memiliki kesempatan untuk mengungkap tabir itu dan mencari tahu tentang semua yang terjadi kepadamu?” Tanyaku kepadanya. Dan aku mulai merasa kalau mungkin hari dimana aku akan mengetahui semuanya akan benar-benar hilang atau berakhir dari hidupku. “Hei...! anggap saja kalau aku adalah seorang pria random yang ada di mimpimu sekarang. Dan apakah kau berharap seseorang sepertiku ini mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan darimu sekarang? Bahkan jika aku hidup di luar dunia fisik, mengetahui kematian seseorang adalah hal yang mustahil. Jangan memaksaku untuk menjadi peramal sekarang!” Balas Pria itu dengan emosi. Aku pun menarik nafasku dalam-dalam, menghembuskannya dengan keras sampai Pria itu bisa mendengarnya. Kedua tanganku aku letakkan di kedua lututku sekarang, berusaha untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. “Jika kau memang tak ingin mencoba untuk memberitahuku siapa diriku. Maka aku tak memiliki alasan untuk terus berada di sini. Bolehkah aku pulang sekarang?” “Tidak, aku tidak bisa melarangmu untuk pergi atau datang. Namun, kita masih memiliki banyak waktu sekarang di tempat ini. Apakah kau memang ingin benar-benar menyia-nyiakannya? Bagaimana jika kita mengurangi membicarakan tentang pria di dalam mimpi ini dan mulai membicarakan tentang pria yang berada di dunia nyata. Aku bisa merasakan kau sedang dekat dengan seseorang kan?” tanyanya. “Tunggu, apakah kau tahu tentang segala sesuatu yang kulakukan di dunia nyata? Seberapa banyak dan juga hal yang kau tahu?! Apakah kau menjadi semacam pengawas dalam kehidupan pribadiku sekarang?” tanyaku padanya. Aku merasa seperti diawasi, dimata-matai, dan juga dikuntit oleh pria ini. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, kalau hidupku akan menjadi tontonan oleh seseorang. “Aku terlalu banyak mengatakan tidak hari ini, namun bisa kupastikan kepadamu kalau aku tidak bisa menyaksikanmu seleluasa yang kau pikirkan. Ingat, aku hanya pria yang kebetulan berada di dalam mimpimu! Aku tidak bisa masuk ke dalam otakmu dan mengutak-atik semuanya dengan sangat mudah bukan? Aku memiliki batasan apa yang bisa kurasakan dan kulihat.” Ucapnya. “Lalu, seberapa banyak yang kau tahu tentang diriku di dunia nyata? Aku tidak bisa hanya mulai mempercayai omonganmu saja mulai dari hari ini.” tanyaku kepadanya, mencoba untuk membuktikan seberapa besar omongannya bisa untuk dipercayai. Aku mulai merasa kalau dia hanyalah sosok yang manipulatif dan juga penipu ulung sekarang. “Oke,,, mari kita lihat. Aku tidak terlalu banyak tahu soal dirimu, maka dari itu aku selalu menanyakan keadaan tentang apa yang terjadi dengan dirimu di luar sana. Yang kutahu hanyalah kau memiliki satu sahabat, satu orang tua, dan juga satu orang pria yang dekat denganmu sekarang. Hanya itu, aku tak memiliki detail lain yang bisa kuceritakan kepadamu” ungkapnya kepadaku sekarang. Dari kata-katanya, sepertinya cukup meyakinkan kalau informasi yang dia ketahui memang tidak banyak. Tapi aku bisa merasakan kalau dia memang ingin tahu banyak soal diriku, seperti ingin mengenal siapa diriku di balik kulit yang tebal itu di sini. “Baiklah, aku sedikit percaya dengan omonganmu barusan. Namun bukan berarti aku benar-benar mempercayaimu. Aku cuman menganggapmu sebagai orang aneh”. “Aku akhir-akhir ini memang dekat dengan seorang pria sekarang. Namanya Arya, dia memiliki sifat yang baik, polos, dan cenderung sangat bijaksana. Walaupun umurnya beberapa tahun lebih muda dariku, tapi aku bisa merasakan kalau dia sudah jauh lebih dewasa dariku. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan hidupnya, namun aku merasa kalau dia benar-benar orang yang hebat.” Ungkapku kepada pria itu di sana. “Hmm... Dari deskripsimu, kau sepertinya juga tertarik untuk mengetahui pria bernama Arya ini lebih dalam. Katakan kepadaku, apa yang membuatmu tertarik kepadanya? Apakah dia pernah memberimu sesuatu, atau pernah meninggalkan kesan yang khas tak bisa kau lupakan sampai hari ini?” tanya Pria itu lagi kepadaku. Dia menggeser badannya semakin dekat ke arahku agar bisa mendengarnya lebih intim. “Tidak, dia tidak memberikan apa-apa kepadaku. Hanya sebuah kesan dan pesan yang khas tersirat dari dirinya membuatku benar-benar tertarik kepadanya. Kau tahu kan, kalau kau bisa merasakan seseorang benar-benar orang yang baik atau buruk hanya dari mencium bau atau juga melihatnya secara sekilas? Aku melihat itu dari Arya, aku merasa kalau dia adalah pria yang baik.” Lanjutku menjelaskan Arya. “Waw... caramu tertarik kepada seseorang, benar-benar membuatku kagum. Aku tak pernah mendengar sebelumnya seseorang yang menyukai seseorang hanya dari bau badan yang dikeluarkannya. Bisa kukatakan, kalau kau adalah wanita yang benar-benar unik. Kalau begitu, kalian mungkin benar-benar pasangan yang cocok untuk bersama, ya kan?” Pertanyaan itu, pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh orang-orang diantara kami berdua. Tak terkecuali wulan atau bahkan pria itu di sini. Tapi entah kenapa, hati kecilku berkata sesuatu yang lain sekarang. “Entahlah, aku sendiri tidak yakin kalau pria itu akan menjadi pendamping hidupku nantinya. Ada sebuah kekhawatiran yang terjadi di dalam hidupku sekarang, dan aku benar-benar gelisah...” “Apa? Kekhawatiran apa? Aku tak menyangka sosok yang selalu periang sepertimu memiliki kekhawatiran di dalam hidupmu juga. Jika aku boleh bertanya kepadamu, apa yang kau khawatirkan dari pria yang sangat beruntung ini?” Tanya pria itu kepadaku. Aku memalingkan wajahku darinya. “Entahlah, aku adalah tipe wanita yang mendambakan kesempuranaan. Dan kesempurnaan itu tidak bisa kulihat dari sosok Arya, seakan-akan dia adalah pria yang lain. Mungkin, kami memang tidak untuk ditakdirkan bersama, dan mungkin, aku tidak cocok dengannya. Aku tidak tahu apa yang mungkin terjadi kedepannya. Banyak keragu-raguan terjadi di dalam hidupku. Seperti kau tahu kan, kau mungkin menyukai seseorang, namun bukan berarti kalau kau mencintainya juga di saat yang bersamaan. Aku mungkin menyukai Arya, namun aku tidak yakin jika aku akan mencintainya.” Ungkapku kepada Pria itu, aku tidak pernah mengatakan ini kepada siapa-siapa, bahkan kepada Wulan sebelumnya. “Hahhh...” Pria itu menghela nafas panjang. Kedua tangannya ia rentangkan dari ujung bangku sebelah kanan sampai hampir menyentuh pundak kiriku sekarang. “Perkara yang kau katakan itu memang cukup sulit untuk mencari solusi ataupun juga padanannya. Aku hanya bisa mengatakanmu satu hal tentang ini.” Pria itu menarik bahuku, mencoba untuk menatapku dengan satu tatapan matanya yang benar-benar tajam sekarang, dia ingin mencoba agar aku bisa mendengar pesannya dengan baik-baik. Dan entah kenapa, tatapan matanya benar-benar menghipnotisku sekarang. “Kejarlah pria yang benar-benar kau inginkan, karena isi hati dan juga pikiranmu, hanya kaulah yang bisa memilihnya.” Jauh di sana, aku bisa mendengar suara-suara gedung yang hendak akan runtuh sekarang, semakin lama semakin cepat, seperti sebuah gempa dan juga gelombang petir menghancurkan dimensi tempat kami berada sekarang. Aku merasa, kalau kami akan menjadi korban dari gulungan ombak dan juga bencana itu tak lama lagi. “Sepertinya, waktu kita akan berakhir sampai di sini saja.” Pria itu masih menatapku, tak menoleh untuk mendengar gulungan suara yang mengerikan itu di sana. “Dengarkan aku Sabrina. Apa pun yang kau lakukan, teruslah melangkah ke depan. Karena hanya masa depanmu lah, yang bisa kau genggam dengan kedua tanganmu.” Pria itu mengecupkan bibirnya ke bibirku. Sementara aku menenggelamkan mataku, mencoba terlelap melupakan mata itu sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD