1. Silence

1676 Words
Malam semakin pekat, membuat Galins tidak dapat melihat ke arah jalanan kecil yang berada di depannya. Sehabis melumpuhkan Alzy, musuh sekaligus lelaki yang sudah menyakiti salah satu adiknya yang bernama Zea. Galins segera berlari untuk keluar dari hutan, karena menahan sakit di kaki kanan ia jadi tertinggal oleh teman-temannya. Alzy sudah tak sadarkan diri karena berhasil ia lumpuhkan, entah meninggal atau hanya pingsan saja. Galins tidak peduli lagi yang ia pedulikan kekesalannya pada Alzy sudah terbalaskan walau tak tuntas. Galins memutuskan untuk berputar arah, dia berjalan dengan hati-hati untuk sampai ke depan, tepatnya ke jalan tempat mobilnya terparkir. Galins berjalan tak tentu arah, handphone-nya mati dan tidak ada pencahayaan lain selain dari pemantik rokok yang sering ia bawa kemana-mana. Dia terus berjalan, melewati gelapnya malam ditengah hutan. Dia tidak takut kalau pun harus bertemu dengan binatang buas, yang ia takut kan hanyalah kehilangan orang tersayangnya. Dia tak akan membiarkan orang yang telah menyakiti keluarganya lepas, sampai kapanpun juga. Tak lama kemudian, Galins berhenti berjalan karena dia melihat sebuah rumah dengan cahaya yang terang berwarna warm bercampur gold. Sejenak dia berpikir, dia takut jika rumah itu adalah markas seseorang yang menakutkan ralat yang akan membahayakan dirinya. Bukannya Galins takut karena tidak bisa bertarung, tetapi sekarang dia kekurangan orang. Keadaannya pun tidak dapat dikatakan baik. Akan sangat terhina sekali, jika dirinya harus mati ditangan orang-orang yang kotor. Jika itu terjadi, maka kematian dirinya pasti ditertawakan oleh daddy-Nya, Lian. Lama terdiam, hingga beberapa menit kemudian, terlihatlah seorang wanita yang tidak terlalu jelas menyibakkan gorden. Galins tersenyum kecil, akhirnya malam ini dia tidak jadi untuk tidur di tengah hutan dengan alas dedaunan. Galins berjalan dengan sedikit mengendap-endap. Saat telah sampai didepan pintu kaca dia segera mengetuk pintu itu dengan lumayan cepat. Tak lama keluarlah seorang wanita cantik, dengan pakaian yang cukup sexy. Wanita itu hanya mengenakan hotpans berwarna merah muda dan singlet berwarna putih yang cukup nerawang. Wanita itu membulatkan mata, terkejut. Dengan gerakan cepat dia menutup pintu. Namun pintu segera dicekal oleh Galins. Galins segera mengeluarkan pisau dari saku hoodie nya, menodongkannya pada leher wanita itu. "Aku ikut masuk! Atau akan kubunuh kau sekarang juga!" wanita itu menelan nafas, meneguk susah payah salivanya, tubuhnya menegang, dia melihat ke arah pisau yang tepat berada di depannya dengan tatapan takut dan penuh dengan kehati-hatian. "O-okay, ma-masuklah." jawab wanita itu tergugup-gugup. Galins segera masuk, tetapi tangannya masih melilit di leher sang wanita dengan pisau tajamnya. Galins menutup pintu dengan satu kakinya, keadaan didalam rumah tidak dapat dikatakan besar. Ternyata rumah itu hanya ada satu ruangan saja, dengan dua pintu yang menghubungkan ke arah luar. Di sudut ruangan ada kasur yang tidak terlalu besar, lalu di depannya ada satu sofa panjang dan karpet bludru berwarna merah muda. Di sisi lainnya ada rak berisi buku-buku, dan juga rak lemari yang pasti berisi pakaian milik gadis ini. Galins segera duduk di sebuah sofa panjang berwarna krem, dia menarik tangan wanita yang entah namanya siapa, untuk ikut duduk bersamanya. "Si..siapa dirimu?! Dan ma..mau apa?" tanya wanita itu. Galins menyeringai kecil, "Hanya ingin menginap saja, aku tersesat. Apa kau keberatan?" jawab dan tanya Galins enteng. "A-apa menginap?!" tanya wanita itu dan refleks membalikan wajahnya untuk menatap ke arah Galins, membuat Galins segera menyingkirkan pisaunya. Jika tidak, mungkin leher wanita itu akan terkena goresan dari tajamnya pisau. "Hmmm, ma-maaf." cicit wanita itu lalu menunduk, menyadari kebodohannya. Dia berpikir dalam hatinya untung saja pria itu segera menarik pisaunya. Dia terlalu terkejut mendengar perkataan pria yang berada di hadapannya. "Nama?" tanya Galins. "Hah?" dengan bodohnya, wanita itu malah memasang wajah terkejut, sambil melihat ke arah Galins. Baru dia sadari ternyata pria yang berada di hadapannya ini sangatlah tampan. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, warna kulit putih serta rambutnya berwarna hitam pekat, sangat jarang orang sini berambut hitam legam seperti Galins. Dia benar-benar sempurna layaknya pangeran di Negeri dongeng. "Ck! Namamu bodoh!" berdecak kesal, dan memutar bola matanya malas. "Oh anu.." jawab wanita itu salah tingkah. Membuat Galins mengernyitkan keningnya bingung. "Namamu anu?" tanya Galins. Wanita itu segera menggeleng kuat, " A..aku Alice." jawabnya, Galins mengangguk paham. "Di sini, apa kau hanya sendiri?" Alice mengangguk, dia akan beranjak dari tempat duduk namun tangannya ditahan oleh Galins. "Ke..kenapa?" "Aku tidak ingin kau melaporkan pada warga jika aku disini bersamamu." ujar Galins. Alice membulatkan matanya, "Ti..tidak! Lagi pula ini hutan, hanya ada rumah ini saja, lumayan jauh ke pemukiman." jawab Alice, Galins segera merutuki kebodohannya. Yang sekarang ia singgahi adalah rumah ditengah hutan, bukan rumah yang berada di desa atau kota. "Lalu, untuk apa kau berdiri?" tanya Galins. Sebelumnya, dia tidak pernah bertanya pada perempuan asing dengan akrab seperti ini. Dia hanya ingin memastikan saja, jika yang tinggal dirumah ini hanyalah ada wanita itu seorang. Citranya akan sangat buruk jika dia seperti ini, mengingat jika Galins adalah pewaris pertama keluarga William. Sangat melakukan bukan? Jika dia terekspos seperti ini? "Berganti ba..baju." jawab Alice, wajahnya sudah merona. Mendengar jawaban Alice, Galins menyunggingkan senyumnya. Galins melihat kearah pakaian yang dipakai oleh wanita itu, seketika itu juga tubuhnya menegang. Dia baru sadar, pakaian Alice sangatlah sexy. Galins menelan salivanya dengan susah payah. Galins segera menarik tangan Alice dengan kasar, sehingga Alice berada diatas tubuh Galins. "Kyaaaaa!!" jerit Alice, tetapi Galins segera menutup bibir kecil nan tebal milik Alice dengan bibirnya. Alice berontak, namun tenaganya tak cukup kuat untuk melawan tenaga milik Galins. Galins meraup bibir Alice tanpa ampun, membuat Alice tak berdaya. Apalagi saat tangan Galins sudah bergerilya kemana-mana. Lidahnya mencoba menerobos masuk, namun Alice semakin memberontak, mencoba melepaskan. "Bukalah bibirmu! Kenapa tidak membalas ciuman ku?" Galins berucap dengan suara seraknya. Matanya terlihat sayu karena menahan gairah yang sudah membuncah. Malam ini dia harus menuntaskannya dengan Alice, itulah tekadnya. "A..aku belum pe..pernah melakukannya." jawab Alice, dia segera menunduk menyembunyikan wajahnya yang merona. Galins terkekeh pelan melihat kelakuan wanita yang berada diatas pangkuannya. Terlihat lucu dan menggemaskan. "Jadilah milikku! mulai malam ini kau adalah kekasihku!" ujar Galins dengan suara serak dan tegas. Alice mendongak, lalu menatap tak percaya ke arah Galins. "Ba..bagaimana bisa? Kita baru saja bertemu." jawab Alice. "Bisa, jadi bagaimana? " "Bagaimana apanya?" tanya Alice polos. "Kau jadi milikku." Alice menggeleng, "Tidak!" Galins menyeringai, dia mengeluarkan pisau nya kembali. " Jadi pacarku atau kubunuh kau!" Alice terkejut, dia menelan salivanya dengan susah payah kembali, lalu mengangguk, dia tidak ingin mati sekarang juga, dia masih ingin hidup dan tidak ingin menyusul kedua orang tuanya yang telah tiada tiga bulan yang lalu akibat perampokan. Galins tersenyum penuh kemenangan, dia membuang pisaunya ke arah lantai kayu, membuat Alice membulatkan matanya. Galins kembali mencium bibir Alice yang membuatnya candu walau dia baru menikmati beberapa saat saja, dia mengabsen gigi rapi Alice, dan memeluk tubuh wanitanya agar badan Alice semakin menempel pada badannya. Galins melepaskan ciumannya, dia membuka baju atas hingga menampakkan badannya yang sangat profesional, kotak diperutnya serta d**a bidangnya begitu sempurna, hal itu membuat pipi Alice semakin merona. Galins menggendong Alice ke arah kasur, dia segera merebahkan Alice dan menindihnya. Mencium kembali bibir Alice dengan s*****l, tangannya sudah masuk ke dalam kaos wanita yang baru beberapa menit ia temui, wanita itu melenguh, sangat indah di pendengaran Galins. Jauh dalam lubuk hati Alice, dia sangat ingin menolak sentuhan Galins yang sangat memabukkan bahkan rasanya seperti ingin terbang. Walau ingin menolak, badannya berkata lain terbukti dengan tangan Alice yang sudah mengalung indah dileher Galins. "Kau menikmatinya, hum?" tanya Galins, dia mencium kembali bibir Alice yang membuat Galins candu. Dengan hanya satu tarikan saja Galins berhasil menyobek baju Alice, dan menampilkan lekuk tubuh Alice yang sedikit berisi. Dia menatap takjub ke arah badan Alice yang atasnya terbuka. "Ja-jangan!" saat Galins akan melahap salah satu aset berharga Alice yang menggantung tanpa bra itu, dengan segera tangan Alice menghangi dengan tangannya, membuat bibir Galins tidak sampai dan bibirnya malah mengenai tangan Alice yang sedang menutupi dadanya. "Singkirkan tanganmu!" perintah Galins dengan nada dingin dan ketidaksukaan. "Ja..jangan" Alice sudah menangis, namun air mata itu tak dapat membuat Galins kasihan padanya. Jiwa jahat Galins tiba-tiba muncul. Dia meraba saku celananya dan mengeluarkan satu pisau yang kecil namun sangat tajam. Dia menggoreskannya pada lengan Alice yang tengah menutupi asetnya. Dengan mata hitam legam Galins menatap Alice sayu. Hasratnya sudah membuncah. "Awshhhh.." ringins Alice, dia refleks melepaskan tangannya, lalu mulai meringis diiringi derai air matanya yang keluar begitu saja, lukanya cukup panjang namun tidak terlalu dalam. Dan hal itu membuat dia merasakan perih. Alice menyeringai, dia mendaratkan bibirnya di cerukan leher Alice lalu mulai turun ke bawah-bagian yang sangat Galins incar. "Galins, kali ini saja aku mohon. Aku masih perawan, ja..jangan merusakku." lirih Alice, air mata sudah meluncur membasahi pipi mulusnya. Galins tertegun melihat itu, biasanya dia tidak akan mengasih ampun pada wanita yang akan ia nikmati tubuhnya, berbeda dengan kali ini. Hatinya merasa tersentuh kala Alice mengeluarkan air matanya. Dengan sangat terpaksa, Galins berdiri. Dia segera memakai baju dan merebahkan tubuh di atas sofa lalu memejamkan matanya. "Pakailah baju, kali ini aku membiarkanmu, Alice!" Alice tersenyum lega, dia segera menganggukan kepalanya, dan mulai memunguti bajunya lalu berganti baju dibawah selimut tebalnya. Setelah susah payah mengganti baju, dia mendengar nafas teratur dari pria yang tidur di atas sofa. Rupanya Galins sudah tertidur. Alice segera beranjak dari tidurnya, dia segera mengambil selimut dalam lemari lalu memakaikannya pada Galins. Dia juga berjalan ke arah pintu untuk mengunci pintu. Dan setelah itu mematikan lampu diganti dengan lampu tidur, ia melupakan luka yang berada di tangannya hingga darah yang keluar pun sudah mengering. Tanpa Alice ketahui, Galins belum tertidur. Dalam kepura-puraan nya Galins tersenyum kecil. Galins terus terngiang-ngiang dengan tubuh Alice yang menjadi type-Nya. Lain waktu, dia tak akan membiarkan Alice lepas. Dia bersumpah akan itu, kalaupun dia harus menikah dalam usia muda, dia akan melakukannya. "Apakah begini cara orang-orang memperkosa korbannya?" tanya Alice, menempelkan jari telunjuk di dagu dan segera mengedikkan bahunya, seakan-akan tak peduli. Ia yakin besok juga Galins pasti akan pulang ke rumahnya, dan tidak akan mengganggu dirinya lagi. Atau malah sebaliknya. Entahlah. "Gadis polos."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD