"Mari kita lihat tas siapa ini? Apa kartu nama pelac*r klub malammu ada di sini, hah?" ia meraih tas tersebut, dan mulai menggeledah isinya.
Misaki yang menyadari ini mulai menggapai-gapaikan tangan kanannya, sebelah tangannya berusaha menyangga tubuhnya yang masih menerima efek sensasi sebelumnya. Kedua kakinya lemas dan gemetar.
Kana yang melihat ini langsung saja menendang bahu Misaki.
"KANA!" teriak perempuan berbaju asimetris.
"Aku hanya akan memeriksa isi tasnya! Berhenti meneriakiku!" ia melotot.
"Hentikan sekarang juga. Bukannya kita hanya memperingatinya saja? Jika orang-orang tahu kelakuanmu belum berubah, semua orang akan bergunjing tentangmu! Kabar seperti ini, bisa dengan mudahnya sampai ke telinga lelaki itu! Hentikan sebelum terlambat!"
"Jika kalian segitu takut dan percayanya kalau perempuan ini tunangan Wataru, maka tinggalkan aku! DASAR PECUNDANG!"
Tangannya mengeluarkan dua buah ponsel dari tas Misaki.
"Berikan... berikan ponselnya..." Misaki kembali menggapai-gapai, rambutnya kini tergerai berantakan menutupi wajahnya, air menetes-netes dari ujung rambutnya.
Kekesalan bertubi-tubi merangkak naik di hati Kana melihat kegigihan perempuan itu.
"DASAR RATU NERAKA KEGELAPAN!" sekali lagi ia menendang Misaki, tapi kali ini sadako mini market itu menahan kaki Kana dengan kedua tangannya.
"Kita pergi saja! Biarkan saja Kana sendirian! Wataru benar-benar bisa menghancurkan kita tak bersisa jika ia benar-benar menyukainya. Ini terlalu berisiko!" Perempuan berbaju ungu memandang iba pada penampilan Misaki, ia sebenarnya hanya ikut-ikutan agar terlihat keren. Tak tahu akan jadi berantakan seperti sekarang.
"Ayo, pergi!" salah seorang dari mereka memberi isyarat, dan diiyakan lainnya.
"DASAR PECUNDANG, KALIAN SEMUA!" raungnya murka dengan emosi memekik nyaring dari suaranya yang meninggi tajam.
"Ponsel... Ponsel Wataru...," racau Misaki, masih menahan kaki Kana.
"APA? PONSEL WATARU? JADI SALAH SATU PONSEL INI MILIK WATARU?" darah Kana mendidih, pikirannya jadi kacau oleh fakta bahwa lelaki yang ia cintai sejak dulu, dan diincarnya dengan penuh kesabaran kini jatuh pada pelukan wanita yang lebih rendah darinya.
"Be-berikan ponsel Wataru..." ia berusaha menatap Kana melalui sela-sela rambut yang menutupi wajahnya.
Kana menjerit ketakutan. Penampilan Misaki saat ini seperti di film-film horor yang pernah ditontonnya.
"KAU PASTI MEMANTRAI WATARU SAMPAI IA JATUH HATI PADAMU! TAK BISA DIMAAFKAN! WANITA RENDAHAN! MURAHAN! LEPAS! LEPASKAN KAKIKU!" Kana menahan satu tubuhnya dengan menyangga pada tepian wastafel, berjuang melepas kakinya dari pelukan erat Misaki.
"Berikan ponselnya!" nada suara Misaki mengancam.
"BERANI SEKALI KAU! KITA LIHAT APA REAKSI WATARU JIKA IA TAHU PONSEL PENTINGNYA RUSAK OLEH ULAHMU!" tangan Kana bersiap-siap menghempaskan kedua ponsel yang digenggamnya.
CELAKA! Jerit Misaki dalam hati.
Kedua bola matanya membesar dari balik rambutnya, pegangannya pada kaki Kana melemas.
Toshio bisa membunuhnya!
Semua kontak bisnisnya pasti ada di sana! Dan juga data-data penting terkait pekerjaan lelaki itu!
"Tidak! Jangan! Jangan lempar! Toshio bisa membunuhku!" racau Misaki, ingatannya bergulir pada beberapa kejadian akan reaksi lelaki itu jika sedang murka, Misaki bergidik.
Jika ponsel Wataru rusak, apa yang akan terjadi padanya?
"Akan kubuat Wataru membencimu!"
Kana menggerakkan tangannya ke arah lantai dengan kekuatan penuh, tapi berhenti oleh sebuah tangan yang mencengkeram kuat ponsel dalam genggamannya.
"Watanabe Kana. Sikapmu ini tidak ada manis-manisnya." Ishikawa tersenyum ramah. Di belakangnya dua petugas keamanan muncul dan membantu Misaki berdiri.
"KAU! KAU SELINGKUHAN WANITA INI, KAN? AKU MELIHAT KALIAN BERTINGKAH ANEH DI BALIK TIRAI! w************n!" matanya melotot tajam, suaranya memekik kesal.
Kana meronta hebat saat diseret keluar oleh kedua petugas tadi.
"AKU AKAN MEMBALASMU! TUNGGU SAJA! AWAS KAU, PENYIHIR KEGELAPAN!"
"Jangan dengarkan dia. Apa yang sakit?" Ishikawa merapikan baju Misaki, kepala perempuan itu hanya menunduk.
"Uesugi-san..." suara Misaki gemetar. "Terima kasih..."
"Akabane-san?" Ia meraih dagu Misaki.
"Sakit... hatiku sakit entah kenapa..." ia sesenggukan, bulir-bulir air matanya membasahi kedua pipinya, mengenai tangan lelaki itu.
"Akabane-san..." lelaki itu meraih Misaki dalam pelukannya.
"Aku... aku sudah siap mental akan semua ini... tapi tetap saja..." suara Misaki tertahan.
"Tidak apa-apa. Sudah. Jangan dipikirkan lagi. Kamu kuat, Akabane-san. Aku salah menilaimu," ia mengelus lembut rambut Misaki.
***
Ishikawa menghibur Misaki dengan sedikit lelucon garingnya sepanjang jalan menuju lift.
Lelaki itu ternyata adalah putra pemilik hotel tersebut. Misaki sampai terpana dengan takdir klise yang dialaminya. Tapi, masuk akal juga. Mengingat itu adalah acara orang-orang elit.
"Aku sudah meminta asistenku menyiapkan orang untuk membantumu," ia mengusap bagian bawah
mata kiri Misaki dengan ibu jarinya, tatapan matanya teduh dan damai sehingga mampu membuat Misaki menjadi sedikit lebih tenang. "Aku, kan, sudah bilang tadi jasnya tidak apa-apa. Akabane-san tidak mendengar, sih. Jadinya begini, kan?"
"U-Uesugi-san?"
"Ishikawa. Ok?" matanya tersenyum.
"Ah... itu..."
Belum sempat Ishikawa menegurnya kembali, sebuah suara perempuan terdengar berteriak dari balik tembok.
"Wataru! Tunggu!"
Wataru? Ulang Misaki dalam hati.
Ishikawa melirik reaksi Sadako mini market yang tiba-tiba berbalik.
"Lepaskan aku! Kita sudah tak ada hubungan apa-apa lagi!" raung Wataru.
Mata Misaki terbelalak kaget.
Jadi benar itu Toshio? Batinnya.
Ishikawa yang peka dengan keadaan itu bergegas menarik Misaki memasuki lift yang terbuka.
Kedua sosok pendatang itu akhirnya berhenti tepat di depan lift, cukup jauh untuk tak menyadari ada orang di sekitar mereka.
"Hentikan permainanmu, Aiko!"
"Kenapa? Wataru juga suka bermain-main, kan? Aku baru berstatus tunangan dengan Kumato. Semua bisa diatur. Wataruku, sayang." Tangannya mengelus lembut bahu kanan Wataru.
Ishikawa menutupi tubuh Misaki dengan melakukan kabedon* pada dinding lift.
Perempuan berponi rata itu sedikit terguncang dengan keadaan ini, tak tahu harus bagaimana.
Pikirannya cepat fokus pada usah sandiwara mereka yang bisa saja akan jadi sia-sia.
Mata Ishikawa dan Misaki bertemu.
Deg!
Adegan macam apa ini? Wajah Misaki pucat dan suram. Jarak mereka terlalu dekat!
"Apa kau benar tunangan lelaki itu, Akabane-san?"
Reaksi tubuh Misaki terbaca jelas oleh ishikawa, senyum ramahnya pun kembali terlihat.
"Apa kau menyukainya?"
"U-Uesugi-san..."
Mata Misaki berusaha melihat melalui bahu Ishikawa pada pemandangan di luar.
"Kumohon jangan lihat!" suaranya memekik tertahan.
Terlambat.
Misaki memang tak memakai kacamata karena rusak, tapi ia masih bisa sedikit jelas menyaksikan perempuan yang bersama sosok pria beraura beruang di ballroom kini mencium paksa Wataru.
Kedua tangannya menarik jas sang lelaki hingga mendekat ke tubuhnya.
Semula, tunangan palsu Misaki itu hendak menolak, tapi perempuan itu gigih merapatkan bibirnya. Detik berikutnya, lelaki itu luluh. Mencium dengan ganas dan penuh nafsu pada sang wanita, dari bahasa tubuhnya ia tampak begitu mengelu-elukan wanita itu.
"Toshio-san..."
Kaki Misaki hendak melangkah keluar lift, berusaha memperingati Wataru tentang sandiwara mereka. Alih-alih ia ingin berteriak memperingatkan, tas genggamnya jatuh ke lantai lift. Kedua tangannya terkulai lemas di kedua sisinya. Mulutnya terkunci rapat.
Hatinya merasa tak nyaman melihat hal itu, ia seperti orang bodoh saja saat ini. Pandangan matanya dalam sekejap berubah kosong.
Menyadari ini, Ishikawa berbalik.
Ia menarik Misaki ke pelukannya, menutup kedua mata Misaki dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya berusaha menutupi telinga kanan perempuan itu.
Tatapan benci dan penuh dendam lelaki berambut pirang itu meluncur cepat ke arah dua sosok yang menurutnya tak tahu malu itu.
"Jangan lihat. Jangan dengar. Akabane-san." Ucapnya tegas dan dingin. Lirikan matanya iba pada perempuan yang dianggapnya menarik itu.
Pintu lift mulai menutup.
Wataru yang merasakan tatapan tajam entah dari mana, mendorong perempuan di hadapannya.
"Wataru?"
Pandangan Wataru segera diarahkan menghadap ke lift dengan Misaki dan Ishikawa masih dengan posisi yang sama.
Matanya kurang cepat menangkap siapa pengguna lift tadi, hanya berupa bayangan samar-samar di balik pintu lift yang tertutup total dalam sedetik, tepat saat ia berbalik.
Keningnya bertaut kesal.
Seketika itu juga perasaannya menjadi tidak enak.
***
-----------
NOTE
Kabedon : memojokkan pasangan atau seseorang sampai bersandar di dinding lalu meletakkan satu atau kedua tangan di dinding sehingga orang itu tak bisa kabur.
Silahkan gugel gambarnya jika masih belum dimengerti!
Terima kasih sudah membaca! ^^