"Kalau kau tak bisa jelaskan, tak apa-apa. Matamu sampai bengkak begini. Mikirin uangnya, ya? Atau ibumu yang jatuh pingsan?" Eikichi meraih ransel, mengeluarkan sebuah amplop coklat cukup besar.
"Aku sudah bayar di bagian administrasi. Banyak juga, ya." Ia menyerahkan amplop itu pada Misaki.
"Eh? Sudah Eikichi urus?"
"Kebetulan pemilik rumah sakit ini kenalan ayahku. Jadi, aku bisa meminta keringanan untukmu. Seperti katamu, aku hanya bayar separuh. Tabunganku tak cukup, jadi mesti minta pinjaman dari teman lain. Kau utang makan siang denganku, ya, karena ini!"
"Te-terima kasih!" matanya berkaca-kaca dengan wajah menggemaskan hati lelaki itu.
Eikichi mencubit sebelah pipinya.
"Kalau kau menikah denganku, aku bisa bantu seumur hidup, loh, membayar tagihannya."
"Bercandanya tidak lucu!" teriak Misaki ngambek.
Eikichi terbahak santai.
Misaki memasang tampang cemberut. Tetangganya itu kembali jahil seperti dulu lagi. Sejak kecil, ia memang suka menggoda Misaki dengan gurauan semacam itu.
Tak heran sewaktu dia nyaris lompat dari gedung, dirinya yang terdesak dan lelaki itu memasang tampang serius dengan sedikit kebohongan, percaya juga kata-katanya.
Setelah akal sehatnya jalan, tak mungkinlah Eikichi sungguhan menyukai Misaki sebagai wanita. Toh, ada temannya dulu yang ia cintai dengan segenap perhatian sampai begitu romantis hampir tiap hari, katanya. Katanya....
Misaki tak begitu ingat, sebagian masa lalunya diceritakan oleh Eikichi dan dengan sedikit bantuan buku catatan harian miliknya.
"Nah, ini yang kau minta."
"Oh, iya."
Misaki meminta tolong untuk dibelikan pakaian, sekalian meminjam uang demi biaya rumah sakit yang sudah begitu mendesak sejak beberapa hari lalu.
Playboy itu memang memberinya cek seratus juta (dengan cara rendahan ala pria itu tentunya), tapi mana sempat ia mengurus itu di bank dengan segala kehebohan kakak-beradik itu?
Belum lagi jumlah ceknya, mana mau ia dijejali pertanyaan mencurigakan dari petugas bank? Bagaimana ia harus menjelaskan hal itu? Selama ini, pak editor yang nyaris mengurus semua uang hasil penjualannya. Dia juga tak mau ambil risiko identitasnya terungkap sebagai penulis terkenal.
Bisa repot jadinya nanti.
Hari ini bank tutup, besok baru buka. Minta tolong bantuan pak editor pun juga sepertinya agak sulit. Hal ini harus dibahasnya kembali pada playboy itu. Pikirannya njlimet saat membayangkan lelaki itu memasang tampang mengeluh padanya. Lelaki menyusahkan! Keluhnya.
Ia bahkan tak bisa meminta Eikichi membawakannya pakaian dari apartemen gara-gara takut lelaki itu bertemu dengannya, bisa-bisa ia menjadi bahan ledekan dan hinaan lagi padanya.
Lihat topi Eikichi saja dia sudah seperti laser berjalan dengan kedua matanya itu. Bagaimana kalau sampai tahu dan melihat pria itu keluar-masuk apartemennya sesuka hati? Tuduhannya bisa macam-macam!
Apa, sih, salahnya pada lelaki itu sampai berbuat semena-mena padanya? Apa karena uang lima ratus juta yen itu? Sial sekali, ia juga tak mau dan tak bisa menjelaskan kegunaan uang itu padanya.
Ngapain juga repot-repot menjelaskan padanya. Mana percaya dia!
Misaki menggigit bibir bawahnya.
"Misaki? Misaki?" Eikichi menggoyangkan tangannya di depan wajah Misaki
"Eh, maaf."
"Kau melamun apa, sih? Mentang-mentang sudah jadi cantik begini?"
"Cantik apaan? Dari ujung kepala sampai kaki semuanya palsu, kok!" keluhnya mengulang ejekan lelaki itu yang dugaannya tepat sasaran.
Eikichi terkekeh lembut. "Mau palsu atau tidak, Misaki tetaplah Misaki di sini." Telunjuknya dilekatkan pada tengah dadanya sendiri.
Wajah Misaki tiba-tiba berubah muram dan sedih.
"Misaki?"
"Aku palsu..." suaranya bergetar.
"Kenapa begitu...?" Eikichi mulai sedikit khawatir.
"Eikichi tahu, kan... semua data diriku palsu.... nama, marga, tempat lahir, latar belakang... semuanya..."
Mereka berdua terdiam.
"Misaki..." mata lelaki itu berubah sayu.
Sadako mini market itu tertawa geli. "Siapa itu Misaki? Apa aku bahkan kenal sosok itu? Jangan, kan, sosok Misaki, nama asliku pun aku tak tahu."
"Misaki!" ia memekik tertahan.
"Eikichi, kenapa hidupku begitu konyol sekali? Begitu rumit? Kenapa aku tak bisa memiliki kehidupan normal sedikit pun? Bahkan ingatanku tak sempurna. Aku cacat, Eikichi. Cacat..." bulir-bulir air matanya kembali menuruni pipinya.
Mendengar ini, Eikichi memasang tampang serius. "Apa kau mau tahu siapa dirimu? Semuanya?"
Misaki membeku.
"Aku bisa memberitahu siapa nama aslimu. Apa margamu. Aku bisa diskusikan hal ini pada ibumu jika kau yakin ingin mengetahui semuanya," senyumnya terlihat sedih.
"Tidak! Tidak! A-aku, aku belum bisa menghadapinya...." tangan Misaki yang gemetaran menggenggam kuat tangan lelaki itu.
"Kalau kau sanggup mendengarnya. Aku bisa menceritakan semuanya. Semua yang kau ingin tahu, Misaki. Tak akan ada lagi ingatan-ingatan yang pecah atau ingatan kosong menghantuimu."
Sesaat, Misaki tergoda, tapi ia menggelengkan kepala.
Eikichi tahu semua yang terjadi pada dirinya sebelum ia berangkat ke luar negeri. Lelaki itu seperti kotak pandora untuknya. Jika ia membukanya, apa yang akan ia temukan? Penderitaan? Rasa lega?
Atau apa? Memikirkan hal ini membuatnya ngeri sendiri.
Ingatannya banyak yang kabur, tidak jelas seperti puzzle, tak beraturan, dan sebagian terasa tak masuk akal seperti mimpi. Namun, ia lebih memilih seperti itu saat ini. Dirinya belum cukup kuat mental mendengar semua kebenaran dari Eikichi.
Bahkan alasan sesungguhnya mamanya bersikeras mengubah marga mereka, juga masih menjadi misteri, terlepas dengan alasan yang pernah diungkapkannya demi mengubur masa lalu Misaki dan move on.
Jika dingat-ingatnya percakapan waktu itu, ekspresi mamanya agak aneh.
Misaki mengernyitkan kening. Bahkan, yang tak kalah aneh, adalah kedua adiknya tak tahu apa-apa soal ini. Mereka seolah menjalani kehidupan sebagai marga Fujihara adalah sesuatu yang normal dan sejak dulu begitu.
Ada yang sedikit normal di sekitarnya, setidaknya membuatnya ikut-ikutan merasa normal juga walau sesaat, sih.
Mamanya juga menyuruhnya untuk berjanji agar jangan sampai mengungkit apa-apa terkait keganjilan yang menyelimuti keluarganya. Ingin rasanya ia juga seperti adik-adiknya itu, tak tahu apa-apa meski ada banyak benang kusut di belakang.
Selain tak ada niat melanggar janji, ia pun tak tega menyeret adik-adiknya ke dalam gasing kehidupan yang ia alami sendiri. Cukup dia yang pusing dan bingung sendirian, adik-adiknya jangan.
Dipikir-pikir, bagaimana, ya, awal mula ia menjalani kehidupan anehnya saat ini? Ia tak begitu ingat.
Dan ya. Mamanya menyembunyikan banyak hal darinya. Dan Eikichi terlibat di dalamnya.
Awal-awalnya, Misaki mencoba meminta penjelasan tentang semuanya, tapi mamanya hanya bisa menangis dan memohon agar Misaki tak membahasnya sedikitpun. Tak tega dengan keadaan mamanya tiap kali ia menuntut penjelasan, ia pun menutup mulut dan dengan patuhnya mengikuti instruksi mamanya agar tak ketahuan.
Hanya bisa pasrah dan mengubur niatnya jika hasrat itu muncul kembali. Lama-kelamaan, ia sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang kompleks, rumit, dan penuh misteri itu.
Kehidupannya sendiri ternyata lebih misterius daripada yang ia duga selama ini.
Entah kenapa ia kesal sendiri jadinya.
"Jika hidupku ini adalah n****+ atau komik, aku harap penulisnya lebih bermurah hati lagi dengan plot yang lebih sederhana," tangannya mengepal kuat, berbisik jengkel pada diri sendiri, alisnya berkedut. Kemudian ia menghela napas panjang.
"Kau bicara apa, Misaki?"
Misaki tersenyum santai. "Lupakanlah. Masa lalu biarlah masa lalu. Aku tak mau kepalaku pusing lagi."
"Baiklah. Lupakan percakapan tadi. Kalau begitu, kau mau makan atau ganti pakaian dulu? Orang-orang memandangi kita sedari tadi, loh! Baru setelah itu aku akan menyapa keluargamu."
"Aku ganti baju dulu." Misaki meraih satu tas belanjaan, dan hendak mengarah ke toilet umum.
"Loh? Misaki? Kenapa tidak menggunakan toilet kamar rawat ayahmu saja?" tunjuknya pada ruangan yang tak jauh dari mereka.
Mata Misaki mengikuti arah telunjuknya, berkata dengan nada setengah berbisik. "Yuka tak menyukai kehadiranku."
***