MR 06. Fake Love

2651 Words
Jika kesadaran Coraima mulai pulih, ia akan menyuntiknya lagi. Memberinya candu dan perangsang adalah cara Salvador menguasai Coraima. Menanamkan dalam otak wanita itu bahwa yang mereka alami bersama adalah kebahagiaan dan kenikmatan tanpa batas. Hal itu berhasil untuk beberapa waktu. Percintaan mereka ganas, menggebu- gebu. Kamar yang sejuk oleh pendingin menjadi sepanas musim panas. Baju minim kerap ditanggalkan, keduanya akan terpasung di ranjang saling merasuk mencandu kenikmatan. Tidak ada ruang dalam pikiran Coraima untuk memikirkan Godfreido, mengenang kemesraan, bahkan kengerian saat kematian Godfreido. Ingatan itu perlahan-lahan disepelekan, seolah itu bukan apa- apa. Itu adalah insiden kecil yang tidak perlu diingat apalagi dipikirkannya. Setelah tenaganya terkuras akibat permainan cinta mereka, Salvador akan membawakan sebuket es krim vanilla dan memakani Coraima kudapan sejuk tersebut. Es krim vanilla memang kesukaan Coraima sejak kecil. Mami dan Papi akan membelikannya es krim vanilla sepulang terapi di rumah sakit. Memakan manisan itu memberikan perasaan nyaman terhibur, sekaligus manis yang membawa kenangan indah. Awalnya Salvador tidak terlalu peduli, karena es krim vanilla biasa dimakannya setelah ia berkelahi dan membuat tato di tubuhnya. Ia memberi Coraima karena butuh segera memulihkan tenaganya. Namun, melihat bagaimana mulut Coraima melahap es krim tersebut saat ia menyuapinya, menyebabkan Salvador ingin mereka bisa menikmati makanan kesukaan mereka berdua dengan cara yang lebih intim. Membuat wanita itu menjilati lelehan es krim vanilla di keperkasaannya menjadi kesenangan tertentu bagi Salvador. Es krim itu juga digunakan Salvador untuk mengolesi puncak dara Coraima yang meradang karena isapan dan gigitan kuat, serta muara rongga feminimnya yang panas akibat gesekan terlalu lama. Coraima berbaring di kursi malas dengan kaki terbuka lebar bagai tudung saji yang dibuka untuk menjamu tamu. Salvador menunduk menyantapnya. Kepalanya akan dipenuhi suara cecapan lidah pria itu. "Ooahh, hmmmmh ...," desah berat Coraima seraya meremas kepala Salvador yang berada di segitiga pubisnya, sedang menjilat- jilat lahap lekukan di sana lalu jika rasa es krimnya habis, ia akan menambah lagi, mengolesi Coraima dan kembali menikmatinya sampai ia puas. Coraima akan menangis jika mencapai puncak. Sangat mungkin karena merasa bersalah di lubuknya yang terdalam, tetapi apa pedulinya? Salvador akan mengatakan, "Lihatlah ini. Akulah yang kau inginkan, mi corazon. Jangan menyangkalnya. Jika tidak bisa bicara, luapkan rasa cintamu melalui kenikmatan ini, sayang." Lalu Salvador akan mengecup bibir Coraima dan bibir mereka sama-sama belepotan es krim. Jika hasrat Coraima memuncak lagi, ia akan mengolesi batang perkasanya dengan es krim vanilla dan menyodorkannya ke mulut Coraima. Wanita itu melahapnya sebagaimana ia sangat menyukai es krim vanilla. Bergantian Salvador akan meremas rambut Coraima yang membenamkan wajah di sela kedua kakinya. "Ooh, corazon ... mi corazon ...," panggil sayang Salvador pada wanita itu. Cara Salvador memperlakukan Coraima sedikit menimbulkan tanya bagi Benicio. Tidak ada wanita Salvador yang diperlakukan seintensif Coraima. Benicio baru datang dari luar kota, sehingga bergabung di hotel di hari kedua. Ia tahu rencana Salvador mengambil alih Hotel Reyes, tetapi tidak menduga istrinya juga. "Katamu kau membutuhkannya tetap hidup dan waras, tetapi kau terus menerus memberinya obat. Bagaimana jika tubuh Nyonya Reyes tidak sanggup menyandangnya?" tanya Benicio saat di ruangan lain Salvador menyiapkan suntikan Coraima. Salvador mendeliknya. Ia meletakkan ampul obat kembali ke baki lalu bersedekap dan menyahuti Benecio. "Kalau begitu, kita lihat bagaimana kau menanganinya." Jam makan Nyonya Reyes tiba, juga jam berobatnya. Makanan diantar masuk oleh Benicio sementara Salvador mengiringi belakangan. Benicio masuk lebih dulu. "Nyonya, makan siang Anda," katanya pada Coraima yang duduk memunggunginya di tepi ranjang, mengenakan jubah tidur satin. Wanita itu diam saja, seperti biasa tidak menyahut karena bisu. Benicio mendorong kereta makanan ke hadapan Coraima. Ia membungkuk sedikit hendak membuka penutup baki, akan tetapi tanpa sempat dicegahnya, Coraima bergerak mengambil pistol di pinggangnya dan mengokang ke arahnya. Benicio terbelalak, secepatnya bergerak menepis tangan Coraima dan letusan terjadi. Tembakan menyerempet lampu hias sehingga satu lampu pecah dan peluru bersarang di langit-langit. Benicio memukul tangan Coraima sekuat tenaga hingga pistolnya terjatuh. "Aaah!" pekik Coraima. Benicio memelintir tangan wanita itu ke belakang lalu meringkusnya terseruduk di tempat tidur. "Aaargh!" teriak Coraima. "Ahahahahah!" Salvador masuk sambil tertawa dan bertepuk tangan. "Percobaan yang bagus, Coraima," katanya. Coraima menghunuskan tatapan penuh kebencian padanya. Ia mengeluarkan suntikan obat sambil berujar pada Benicio. "Kau lihat sekarang, Benicio. Dia memang terlihat lemah, tetapi wanita ini masih berpikir dia bisa bebas dariku." Ia menyuntik Coraima lagi mumpung masih ditahan Benicio. Salvador lalu berkata pada Coraima sebelum kesadarannya terganggu. "Apa yang kau lakukan hari ini akan berdampak pada orang tuamu, sayang." Mata Coraima memerah dan meneteskan air mata. Salvador menelepon anak buahnya lalu bersuara lantang. "Bunuh Tuan dan Nyonya Aldevaro. Buat seolah-olah mereka bunuh diri bersama dengan cara terjun ke laut. Tidak akan ada yang mencurigai kematian pasangan tua yang kesepian. Huahahahha ...." Mengandalkan sisa kekuatannya, Coraima melepaskan diri dari kekangan Benicio untuk berlutut di kaki Salvador. Ia meraung disertai derai air mata. "Aaargh ... aaahh ...." Ia memeluk kaki pria itu sambil menggeleng kuat, lalu menjangkau tangan Salvador, menggenggamnya untuk lebih memelas lagi. Salvador menyengir mencemooh. "Kenapa? Apa kau mencoba memohon untuk keselamatan ayah dan ibumu?" Coraima mengangguk. "Kau melanggar peringatanku, Coraima, aku tidak akan menoleransi perbuatanmu ...." "Aaahh ... hu hu huuu ...." Coraima menangis seraya bersujud menyembah kaki Salvador. Salvador menghela napas dalam. Ia menepis tangan Coraima di kakinya, lalu berjongkok agar bisa menatap lekat wajah putus asa wanita itu. "Entahlah. Aku tidak pernah menarik kata- kataku," katanya. Coraima menepuk-nepuk da.da mengungkapkan kesungguhannya. Salvador menjadi besar kepala melihat kegigihannya. "Jadi ... apa kau berjanji tidak akan melawanku lagi?" Coraima lekas mengangguk. "Kau akan mematuhi apa pun yang kukatakan?" Coraima mengangguk lagi untuk kesekian kalinya. Salvador berlagak enggan, tetapi berbicara lagi pada anak buahnya di telepon. "Tunda dulu rencana tadi. Bersiap- siap saja tunggu komandoku lagi." Lalu ia memutus panggilan tersebut dan kembali menatap Coraima. Ia mengusap rambut wanita itu untuk menenangkannya. "Nah, kau sudah mendapatkan keinginanmu. Sekarang, jangan menangis lagi, sayang. Aku benci melihat air matamu." Coraima menarik napas gemetaran berusaha menghentikan tangisnya sesegera mungkin. "Sekarang, makan! Habiskan tanpa aku harus menegurmu, setelah itu kita bersanggama lagi sampai puas, sayang." Coraima merangkak ke kereta makanan dan melahap dengan tangannya apa yang tersaji di sana. Dorongan obat perangsang membuatnya ingin menghabiskan makanan itu secepat mungkin, tidak peduli penampakannya saat itu seperti pengemis kelaparan. Benicio memungut senjatanya, lalu menyematkannya kembali di pinggang. Salvador bertatapan dengan Benicio, menggunakan dagunya, ia menyuruh ajudannya itu keluar. "Terima kasih mempermudah urusanku, Benicio. Kau memang ajudan terbaik," katanya lalu diiringi tawa lepas yang membahana. Tertinggal berdua saja di kamar itu, Salvador memandangi Coraima selesai makan. Ia mendampingi Coraima mencuci tangan lalu menggiringnya kembali ke ruang tidur. Salvador tidak membawa Coraima ke tempat tidur, melainkan ia membuka pintu balkon. Balkon itu sempit, tetapi cukup untuk dua orang dewasa berdiri. Di sana Coraima berdiri dan ia menanggalkan pakaian wanita itu sehingga telanjang di bawah sengatan sinar matahari. Angin berembus kencang di ketinggian ratusan meter, membawa udara segar ke dalam kamar setelah berhari-hari tertutup. Coraima juga pusing karena untuk pertama kalinya ia terpapar sinar matahari setelah hari pernikahannya. Salvador turut memoloskan tubuh lalu menyanggamai Coraima di lantai balkon itu. Jika situasinya lebih mudah, Salvador mengkhayalkan berjemur di pantai pribadi dan bercin.ta di bibir laut bersama Coraima. Ia suka melihat rona kulit Coraima bersemu menggairahkan. Coraima berbaring di lantai balkon yang panas ditindih pria yang memacunya. Teriknya matahari tidak mengganggu lagi karena bayangan pundak Salvador jatuh di wajahnya. Lagi- lagi, untuk kesekian kali, ia dipenuhi desakan rasa penuh cinta dari sang beringas. Coraima terpejam saat hasrat mengambil alih semua panca indranya. Getaran konstan kedua tubuh saat bertaut sempurna membawa Coraima ke puncak kenikmatan. Salvador tersenyum tipis, senang Coraima semakin terbiasa dengannya dan bermain layaknya pecinta handal. Tanpa diarahkan lagi, kaki Coraima menjepit pinggangnya dan tangan terangkat membuka belahan gundukan dara agar bisa dilahap penguasa tubuhnya. Salvador meraup kasar buah itu dan menyeruput kuat. "Ahh, corazon, Kau semakin paham kesukaanku ...," desahnya. Sayangnya wanita itu tidak bisa diajak bicara. Padahal menyenangkan jika Coraima balas menyebut namanya atau memohon lebih kuat dan lebih cepat. Ketika senja menjelang dan keduanya sama-sama istirahat setelah mencapai puncak, Salvador mengasuh Coraima sambil meremas kedua gundukan daranya dari belakang. Ia mengajak Coraima memandangi matahari terbenam. Langit merah jingga dan matahari terlihat bagai nyala api yang sangat besar. Kelopak mata Coraima berkedip-kedip lemah. Salvador berbisik di tepi telinganya. "Pemandangan yang sangat indah 'kan, sayang? Seperti ketika Raquetes de Mar terbakar. Kau harus melihatnya, mi corazon. Api yang membangkitkanku dari kematian sehingga aku terlahir kembali sebagai Salvador Torres, sang penyelamat." Coraima tidak bereaksi. Cahaya matahari itu sebenarnya membutakan matanya. Namun, ucapan Salvador memunculkan secercah harapan baginya. Coraima bisa bernapas lega. Jika seorang baji.ngan seperti Salvador Torres saja mendapat kesempatan kedua, suatu saat ia akan mendapatkannya juga. Kesempatan untuk balas dendam. Saat itu akan tiba, Coraima, karena itu tetaplah hidup. Apa pun yang Salvador lakukan padamu, tetaplah hidup! *** Seminggu di hotel, jadwal selanjutnya bulan madu Coraima dan Godfreido jalan -jalan ke luar negeri, akan tetapi jadwal itu tidak berlaku bagi Salvador. Ia mendandani Coraima dan memasang pakaian rancangan desainer terkenal di tubuh Coraima. Gaun setali warna merah tua lalu melapisinya dengan mantel bulu. Ia beserta ajudannya membawa Coraima keluar dari hotel lalu pergi menuju kediamannya, sebuah rumah model ranch mewah. Lahan yang luas, memiliki kolam renang serta lapangan untuk latihan menembak dan berkuda. Rumahnya besar, bertingkat dua, dan memiliki ratusan kamar untuk pribadi, tamu, serta para anak buahnya. Rumah itu memiliki ruang pesta di mana dindingnya semua dari kaca dan menghadap ke kolam renang. Konstan mendapat obat penenang dan perangsang membuat Coraima tidak bisa mengamati sekelilingnya. Ia terjaga, tetapi bergerak sesuai instruksi Salvador. Pria itu menggandengnya erat memasuki rumah laksana ia adalah nyonya rumah, akan tetapi ketika Salvador terus membawanya hingga naik ke lantai dua, Coraima tersadar bahwa ia bukanlah sang nyonya rumah. Mereka berada di sebuah kamar tidur yang cukup luas dan indah dilengkapi furniture modern dan mahal. Seorang pelayan wanita bergegas keluar dari kamar itu ketika melihat kehadiran Salvador. Ada seorang wanita duduk bersandar di ranjang dan kakinya ditutupi selimut. Wanita itu masih muda, berambut ikal panjang warna pirang, wajahnya dipoles dandanan cantik jelita. Mata biru wanita itu menatap lekat Coraima dan bibir merahnya tersenyum tipis. Coraima membalas tatapan wanita itu serta tersenyum balik. Namun, seketika Coraima terhenyak ketika wanita cantik itu tidak mengubah ekspresinya, bahkan matanya tidak berkedip. Wanita itu persis sebuah boneka sebagaimana Salvador memperlakukannya selama ini, hanya saja lebih parah. Dia tidak bergerak sama sekali. Coraima melirik Salvador dengan rasa ngeri. Apa yang telah Salvador lakukan pada wanita itu sehingga kondisinya sangat mengenaskan? Salvador berujar santai dan memperkenalkan wanita berusia 25 tahun itu. "Dia adalah putri dari Jeronimo Torres, ayah angkatku. Coraima, perkenalkan. Esmeralda Rosa de Torres. Dia juga adalah istri sahku." Coraima menelan ludah lalu perlahan menoleh kepada wanita bernama Esmeralda lagi. Gelagapan sendiri melihat wanita itu benar-benar tidak berubah eskpresinya sedari awal ia melihat. Dia seperti patung lilin artis terkenal di Museum Madam Tussauds. Ucapan dan tindak tanduk Salvador padanya selama ini seakan dijabarkan dengan sangat jelas. Tanpa sadar Coraima menjambak rambutnya sendiri seraya melangkah mundur. Jadi, inikah kegilaan lain Salvador Torres? Selain hobi membunuh orang, ia juga mengubah wanita yang dicintainya menjadi boneka? "Ah!" pekik Coraima. Salvador menarik tangannya hingga mendempet ke dekapannya. Coraima menatap ngeri, tetapi pria itu masih saja memandangi Esmeralda tanpa beralih sejenak pun. "Aku belum memperkenalkanmu padanya, jadi jangan ke mana- mana dulu, mi corazon," kata Salvador. "Esmeralda, ini adalah Coraima, istri Godfreido Reyes. Tebak apa? Godfreido sudah mati dan aku mengambil istrinya sebagai milikku. Dan wanita ini bereaksi lebih baik darimu." "Kyaaah!" teriak Coraima karena Salvador tiba- tiba menarik mantelnya. Mantel bulu tersebut dilempar begitu saja, selanjutnya Salvador mendorong Coraima hingga tersungkur di ranjang, dekat kaki Esmeralda. Coraima lekas berbalik ingin memprotes tindakan Salvador padanya, akan tetapi ia terdiam karena Salvador bergegas membuka setelan, lalu naik ke ranjang dan memburu menindihnya. Gaunnya disingkap lepas di atas kepala. "Ah!" isak Coraima oleh gerakan Salvador yang kasar menarik lingeri halusnya hingga lepas di ujung kaki, kemudian menghunjam keras ke dalam tubuhnya hingga dia berteriak. "Aaakhh!" Tanpa suntikan perangsang, hari nurani Coraima bisa bicara, kenapa Salvador tega melakukan persetubuhan lengkap di depan mata istrinya? Meskipun dia mengalami kelainan, tetapi tetap saja ... tidak pantas. Dan tetap saja tubuhnya bereaksi terbangkitkan. Tepukan- tepukan cepat mengikuti gerakan penyatuan dua tubuh itu. "Hnggghhh ... ngghh," erang Coraima sepanjang intercourse di atas ranjang yang berguncang bersamanya. Sambil memacu Coraima, Salvador berucap gusar pada istri sahnya. "Kau lihat ini, Esmeralda? Dia sangat nikmat sampai-sampai aku tidak ingin melepaskannya. Aku rasa alasan ini juga yang membuat Godfreido menikahinya. Wanita ini sangat murni hingga setiap pria mabuk kepayang dibuatnya. Tidak sepertimu, benar-benar mati. Luar dan dalam." Segala kekuatan tercurah demi penghayatan permainan binal di hadapan Esmeralda. Di bola mata berbinarnya terpantul bayangan dua orang itu meluapkan gelora mereka, akan tetapi Esmeralda bergeming. Benar- benar ekspresi cetakan sebuah replika wanita cantik. Tidak terusik cela apa pun. Melihat wajah Esmeralda sedemikian rupa, Salvador sangat muak. Ia menembakkan muatannya dalam tubuh Coraima sambil memaki nyaring. "Sialan!" Ia bergegas mundur menjauhi ranjang membiarkan luapan cairan maskulinnya berceceran di lantai. Sementara Coraima terengah mencari udara. Dalam kepalanya tergambar labirin rumit perasaannya, semakin rumit dan melilit sehingga ia ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya agar semua itu usai. Namun, malah Salvador yang berteriak. "Kau wanita paling lak.nat, Esmeralda! Kau sangat berdedikasi pada kemunafikan hingga kau sanggup membuat dirimu menjadi benda mati demi menghancurkan singgasanaku padahal kau tahu ini semua ulah ayahmu. Ia yang memaksamu menikah denganku. Bukan aku." Suara tangis bayi tiba-tiba pecah dalam kamar itu. Bahkan membuat Coraima langsung tersiaga. Ada bayi di dekat mereka dan teriakan Salvador telah membuatnya ketakutan. Tapi, di mana bayi itu? Bayi itu adalah anak perempuan yang dilahirkan Esmeralda 6 bulan lalu. Karena gangguan dalam proses melahirkannya, Esmeralda koma nyaris 2 bulan. Ketika sadar, ia malah menjadi boneka pajangan. Tidak bergerak, bahkan tidak berkedip, kecuali obat tidur disuntikkan, maka matanya akan tertutup. Bayi itu menangis sangat kencang dalam peraduan kecil di sudut kamar Esmeralda. Salvador bergegas mendatangi anak itu, menggendongnya dengan sebelah tangan, lalu mendatangi Esmeralda sambil menodongkan pistol ke kepala sang bayi. "Akan kubunuh dia sekarang juga jika kau tidak bicara padaku!" ancam Salvador. Coraima terperanjat dan tidak berani bergerak dari posisinya duduk di dekat kaki Esmeralda. Salvador menanti reaksi Esmeralda, akan tetapi sampai bayinya berwajah merah padam karena tak berhenti menangis, wanita itu tetap bergeming. Suara tangisan bayi itu sampai membuat pengang telinga, sebuah alarm ketakutan dan memohon pertolongan. Salvador menekan moncong pistolnya ke kepala mungil itu dan menarik pelatuknya. Coraima bergegas memegang lengan Salvador dan berlutut di kakinya. "J-jangan!" seru Coraima disertai derai air mata. Salvador menunduk menatap wanita itu dan terperangah. "Apa?" Coraima menggeleng memelas. Rahang Salvador mengeras dan ia memantapkan posisi pistol di pelipis bayi Esmeralda. "Ucapkan sekali lagi apa yang baru saja kau katakan!" bentaknya. Coraima memejamkan mata sehingga bulir-bulir kesedihan semakin banyak meleleh di pipinya. Mulutnya bergerak mengucapkan jangan, tetapi suaranya tidak terdengar. "Katakan sekali lagi!" teriak Salvador. Namun lagi-lagi tidak ada suara keluar. Coraima memaki dalam hati. Kenapa ia selemah ini? Bahkan seorang bayi mampu bersuara berontak, kenapa ia yang setua ini tidak bisa? Coraima memberanikan diri mendongak, menatap ke dalam mata aquamarine Salvador, menatap ke bekas luka lepuh di sekeliling mata itu lalu bersuara susah payah. "Ja. Ngan." "Sialan! Mengucapkan sepatah kata saja harus melalui drama dan air mata," gerutu Salvador. Ia kesal sekali pada wanita di sekitarnya yang rumit dan susah diajak berkomunikasi. Ia mendorong bayi Esmeralda ke tangan Coraima lalu beranjak keluar kamar sambil menggerutu. "Kau urus bayi itu. Aku tidak mau mendengar tangisnya lagi atau aku akan benar- benar membunuhnya!" Coraima menimang bayi itu. "Husshhh ...," ujarnya lembut meski terisak gemetaran karena masih ketakutan pada kemarahan Salvador tadi. Bayi itu berangsur-angsur berhenti menangis, akan tetapi menyapukan wajah ke gundukan dadanya, yang membuat Coraima keheranan. Puncak- puncaknya mengeras kena gesekan hidung sang bayi. Dia sedang bugil bekas meladeni Salvador, kenapa sekarang bayi ini .... dan secara naluriah, bayi itu mengemut buah yang dicarinya. "Ah?" Coraima terperangah untuk sesaat. Meskipun tidak ada airnya, bayi itu tetap mengisapnya untuk menemukan ketenangan. Akhirnya Coraima terdiam bersimpuh mengasuh sampai bayi itu kembali terlelap. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD