MENJENGUK BUNDA 2

1037 Words
    saat ini kami semua sedang berkumpul di ruang keluarga, kami berbincang-bincang mengenai kesehatan bunda. syukur Alhamdulillah kesehatan bunda sudah jauh lebih fit dari sebelumnya, ayah mengatakkan jantung bunda sudah stabil, hanya tetap tidak boleh banyak fikiran dan juga kelelahan. lambat laun pembicaraan itu merembet ke dalam rumah tanggaku. “ jadi sayang, kapan kalian mau memberi bunda cucu?” aku hanya bisa tersenyum. lalu mas Rei menjawab : “ sabar ya bunda, mungkin Allah masih belum memberi kesempatan pada kami untuk memiliki momongan.” “ iya gimana kalian mau punya anak, bulan madu aja kalian belum pernah, kamu juga Rei, jangan terlalu sibuk bekerja, ajak Hanna liburan, kalian juga butuh waktu untuk bersama.” “ iya bunda, Rei minta maaf ya.” “ ini bunda punya hadiah buat kalian, ayo kalian buka.” kami sama-sama membuka hadiah dari bunda, dan setelah membukanya aku dibuat terkejut melihat isinya, 2 buah tiket trip honey moon ke Paris. “ bunda tidak perlu memberi kami hadiah ini.” mas Rei berbicara “ tidak apa-apa, anggap saja hadiah pernikahan kalian dari bunda, bunda gak mau kamu sibuk kerja terus Reinald, bunda ingin segera menimang cucu dari kalian.” “ baiklah terimakasih bunda.” pada akhirnya mas Rei hanya pasrah menerimanya, sebegitu tidak sukakah ia denganku, aku hanya bisa tersenyum masam melihatnya. “ Hanna, kamu senang tidak dengan tempatnya? apa mau ganti tempat? bilang sama bunda, kamu ada tempat yang jadi keinginan kamu tidak? kalo ada biar bunda ganti.” bunda bertanya dengan sangat antusias, seandainya bunda mengetahui apa yang terjadi dengan kami, aku tidak bisa membayangkan bagaimana terlukanya bunda. “ tidak bunda, terimakasih atas hadiahnya ya, Hanna sangat suka.” “ ya sudah sekarang ayo bunda istirahat, sudah malam, kalian juga istirahatlah.” ayah menyuruh kami semua istirahat.     tiba di kamar, ku lihat mas Rei sedang asyik dengan hp nya, mungkin ia sedang chat dengan mbak Raline. beruntungnya mbak Raline, jauh dengan mas Rei saja masih diperhatikan, apalah daya diriku, yang selalu tidak pernah dianggap.     memikirkan hadiah dari bunda membuat ku senang, senang karena aku akan merasakan jalan-jalan keluar negeri, bukannya senang karena aku akan berbulan madu dengan suamiku. melihat responnya aku tahu ia terpaksa melakukkannya. sedang asyik melamun tiba-tiba mas Rei menghampiriku. “ Hanna, untuk masalah ke Paris, saya akan mengajak Raline ikut juga.” mendengar perkataannya membuatku merasa sesak. “ kalau begitu mas saja dengan mbak Raline yang pergi berbulan madu, biar aku di rumah saja.” tidak ada getaran dalam suaraku, aku sungguh sudah tidak mood dalam hal apa pun sekarang, terserah maunya dia saja, aku tidak peduli. “ tidak, kamu akan tetap ikut, anggap saja kamu pergi jalan-jalan.” “ tidak mas, lebih baik mas saja dengan mbak Raline yang pergi, toh kalian yang akan berbulan madu, bukan aku.” aku berkata dengan agak sinis. “ cukup Hanna, jangan kekanakkan.” mas Rei membentakku. lihat, bahkan dia mengataiku kekanakkan. kekanakkan katanya? aku tersenyum sinis padanya. “ mas, mari kita berpisah!” entah dapat kekuatan dari mana aku mengatakkanya. ku lihat mas Reinald terkejut dengan apa yang baru saja aku ucapkan. “ jangan gila kamu Hanna, kamu gak dengar apa yang ayah katakkan? bunda tidak boleh sampai terkejut” “ aku atau kamu yang gila mas?” aku semakin berani menantangnya. “ cukup Hanna, nanti orang rumah bisa dengar” “ kenapa? apa mas takut kalo bunda atau yang lain tahu, bahwa mas Rei sudah menikah dengan mbak Raline secara diam-diam?” “ saya tidak mengerti kenapa kamu bersikap demikian Hanna.” “ aku lelah mas, aku lelah menjalani pernikahan ini, bukankah mas Rei sudah menikahi wanita yang mas cintai? lalu untuk apa aku masih mempertahankan pernikahan ini mas? bahkan mas ingkar dengan janji mas, mas berjanji adil dengan ku, nyatanya tidak, mas hanya melihat mbak Raline, mas tidak pernah menatapku. lalu untuk apalagi kita menikah mas?” hening, tidak ada suara diantara kami, kami sibuk dengan fikiran kami. “ Hanna, saya minta maaf jika selama ini saya mengabaikan kamu, tolong beri saya waktu sedikit lagi untuk bisa menerima pernikahan ini. saya hanya tidak mengerti caranya memulai, tolong maafkan saya. tidak bisakah kamu bersabar demi bunda?” lagi, akhirnya aku dituntut untuk terus bersabar. aku sangat lelah Tuhan…     karena merasa lelah, aku memutuskan untuk berbaring dan menghiraukannya. namun belum lama terpejam aku melihat mas Rei yang tidak nyaman tidur di sofa, aku sedikit kasihan, apakah aku harus menyuruhnya tidur di kasur bersamaku? lagi pula suasana di Bandung cukup dingin dari Jakarta. karena merasa kasihan aku menyuruhnya untuk tidur di kasur. “ mas kalo gak merasa nyaman tidur di sofa, mas bisa tidur di kasur.” “ apa kamu gak keberatan” aku hanya menggeleng sebagai jawabannya. “ terimaksih” “ tidak perlu berterimakasih, inikan kamar mas, atau kalo mas yang merasa risih, aku bisa tidur di sofa.” “ tidak, tidak perlu, kamu tidur disini saja, kita akan berbagi tempat.” setelahnya kami saling berbaring memunggungi… “ Hanna, saya minta maaf atas sikap saya selama ini yang sudah sangat menyakiti hati kamu.” “ hmm” aku hanya berdehem saja, malas menanggapi. lalu aku merasa kasur bergerak, dan tiba-tiba mas Rei memelukku dari belakang. aku pun mencoba melepas pelukannya. “ tidurlah, saya hanya ingin memelukmu.” aku merinding dibuatnya, pasalnya malam ini Bandung sangat dingin, apakah mas Rei sedang bergaiirah? yang aku tahu mas Rei selalu rutin melakukan hubungan intin dengan mbak Raline, bukan aku bermaksud nguping, hanya saja ketika aku terbangun tengah malam untuk minum aku selalu mendengar suara maduku itu mendesah. reflek aku merapatkan pelukanku ke selimut, aku tidak akan memberikannya. namun aku semakin merasa ia memelukku lebih erat. “ mas lepas, aku gak bisa nafas nih.” aku memprotes tindakkannya. “ coba hadap sini.” pintanya “ gak mau” “ Hanna, dosa kalau menolak permintaan suami.” dengan penuh rasa kesal aku membalikkan tubuhku. “ tidurlah, saya hanya ingin memelukmu saja.” setelahnya ia membawaku masuk dalam pelukkannya. tak lupa ia mencium keningku. “ selamat malam Hanna, maaf atas segala perbuatanku.”     aku tidak mengerti, mengapa setiap ia bersikap manis, aku merasa senang, setiap ia mencium keningku aku juga merasakan hatiku menghangat, andai mas Rei tahu, bahwa aku sangat mencintainya. jika begini terus aku berharap waktu tidak akan cepat berlalu, aku selalu ingin merasakan dekapan hangatnya.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD