Seoul, 2009
“Ini apa, Anna? Katakan padaku ini apa?!”
Anna bertanya marah pada Anna sambil mengacungkan sebuah benda persegi panjang yang ada di dalam genggamannya. Wajah Nana memerah karena amarah, namun matanya berkaca-kaca. Nana merasa sedih, kecewa, dan marah pada saat yang sama karena keberadaan benda yang ia temukan di tong sampah kamar mandi kamar Anna.
Sebuah testpack.
Satu hal yang membuatnya semakin terguncang adalah hasil yang ditunjukkan oleh testpack itu; dua garis. Itu artinya seseorang yang menggunakan testpack itu terbukti hamil, bukan? Lalu, milik siapa testpack itu? Jawabannya tentu saja Anna karena faktanya testpack itu ditemukan di kamar mandi miliknya.
Anna yang baru saja kembali dari dapur begitu terkejut saat Nana menanyakan soal testpack itu pada dirinya. Raut Anna bak seseorang yang baru saja tertangkap basah sedang mencuri. Hal ini semakin menguatkan kecurigaan Nana pada gadis itu.
“Ini milikmu?” Nana bertanya dengan nada yang ia buat setenang mungkin. Akan tetapi, Anna tidak menjawabnya dan hanya menunduk sambil terisak. “Jawab aku, apa ini milikmu, Anna?!”
Nana mengguncangkan bahu Anna cukup kasar diiringi air matanya yang berjatuhan.
Anna berteriak histeris lalu mendorong Nana menjauh. Kemudian, ia jatuh bersimpuh di tempatnya berpijak kini. Anna meringkuk dan menangis semakin kencang di lututnya.
Nana kebingungan dengan sikap Anna. Namun, ia bisa merasakan bahwa adiknya itu sedang terluka parah saat ini. Sebisa mungkin, Nana menenangkan dirinya. Kemudian, dengan perlahan ia ikut duduk bersimpuh di samping Anna. Nana mengulurkan tangannya perlahan menyentuh bahu Anna yang bergetar hebat.
“A-Anna ....”
“Itu memang benar milikku, Nana. Ak-Aku hamil. Aku hamil setelah diperkosa, Nana. Aku diperkosa.”
Pernyataan Anna yang terdengar lirih seketika langsung menyakiti perasaan Nana. Bagai ada sebilah pisau yang menusuknya tepat di jantung. Nana membungkam mulutnya tak percaya. Air mata mengaliri pipi pualamnya semakin deras.
“Diper ... kosa? Anna, kau benar-benar diperkosa? Ya Tuhan ....”
Nana menggeleng tak percaya. Lantas, beberapa saat kemudian ia menarik Anna ke dalam dekapannya.
“Anna, siapa orang itu? Siapa orang yang telah tega memperkosamu? Jawab aku, Anna kumohon!”
Anna bungkam seribu bahasa, tak berkenan menjawab pertanyaan Nana. Setengah hati, Nana ingin sekali memaksa Anna menjawab pertanyaannya, tapi ia juga tahu kalau Anna pasti akan semakin terluka bila ia bertanya lebih jauh lagi. Bagaimanapun, tidak mudah bagi gadis itu untuk mengingat-ingat tentang orang yang telah menghancurkan seluruh kehidupannya, bukan?
Dan yang Nana lakukan untuk sementara ini hanyalah menenangkan Anna yang semakin terisak di dalam dekapannya. Lagi pula, sepertinya ia tahu siapa salah satu kandidat orang berengsek yang telah merenggut masa depan sang adiknya.
*****
Dengan tak sabaran Nana menggedor pintu sebuah flat apartemen. Amarah terlihat jelas di wajah cantiknya itu. Lebih tepatnya, amarah yang disertai perasaan kecewa. Entah kenapa nama orang yang sedang ia datangi apartemennya ini adalah yang pertama terlintas di otaknya ketika bertanya pada Anna tadi siang.
Sehun membukakan pintu apartemennya. Nana langsung menyapa Sehun dengan tamparan keras di pipi pemuda itu.
Plakkk!
Sehun terkejut menatapnya. Wajahnya menunjukkan kalau ia tidak terima dengan tamparan yang diberikan Nana pada pipinya. Sehun menggeram marah.
“Apa-apaan ini, Nana? Kau tidak puny—“
Kata-kata Sehun terhenti saat Nana melemparkan sesuatu tepat mengenai d**a bidangnya. Secara refleks, Sehun menangkapnya dengan cukup sigap. Mata Sehun membulat ketika menyadari benda apa yang sedang dipegang olehnya itu. Tangannya bergetar hebat. Ia menatap Nana dan benda persegi panjang tersebut bergantian. Ia tampak tak percaya.
“Tidak mungkin ....” gumamnya tidak percaya. “ I-Ini ....”
“Ya, benar. Testpack itu milik Anna,” jawab Nana dengan nada keras. “Kau, kan orangnya? Kau yang telah memperkosa Anna.”
Nada pahit akibat rasa kecewa yang teramat dalam menyertai pertanyaan yang terlontar dari mulut Nana. Nana menunggu jawaban Sehun sambil menahan gejolak amarah yang menggelora di dadanya. Apalagi, Sehun kini justru terpekur menatap testpack di tangannya. Sungguh, ingin rasanya ia berkata kasar pada pemuda di hadapannya. Namun, Nana menahan diri.
“Benar, akulah si berengsek yang telah melakukan hal b***t itu pada Anna.”
Plakkk!
Satu kalimat penuh makna itu sudah cukup membuat Nana kembali melayangkan tamparan keras di pipi Sehun. Nana tampak begitu geram, sementara pemuda itu masih saja bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Kau tahu? Selama ini kukira sikap berengsekmu itu hanya topeng, tapi nyatanya aku salah. Kau memang berengsek—tidak! Kau bukan lagi sekedar berengsek, melainkan kau seorang b******n, Oh Sehun! Bagaimana bisa kau memperkosa kekasih sekaligus sahabat sejak kecilmu sendiri?! Kau sudah tidak waras? Di mana hati dan perasaanmu, hah?! Pantas saja saat itu kau dan Anna pulang pagi dan sejak itu kalian juga bersikap aneh. Jadi saat itukah perkosaan yang kau lakukan pada Anna terjadi?”
Nana menumpahkan semua kemarahan dan kekecewaannya pada Sehun. Sehun tak bereaksi apa-apa. Tatapan dan wajahnya mengeras, tapi ia bungkam seribu bahasa.
“Apa yang membuatmu begitu tega, Sehun? Apa yang membuatmu setega itu menghancurkan hidup Anna? Apa salah Anna padamu, Sehun?”
“Anna tidak melakukan kesalahan apa pun padaku, Nana. Tapi, maaf, aku tetap tidak bisa mengatakan apa penyebab aku bisa melakukan semua itu pada Anna kepada dirimu.”
“Kenapa? Kenapa kau tidak bisa mengatakannya, Berengsek?!”
“Karena jika aku mengatakannya, maka kau yang akan menyesal seumur hidup.”
Nana terdiam mendengar perkataan Sehun yang begitu misterius baginya. Nana mencoba berpikir, tapi pikirannya seolah buntu. Maksud dari perkataan Sehun sungguh membuatnya penasaran, tapi ia tak ingin memusingkannya. Untuk saat ini, itu tidaklah penting. Nasib Anna-lah yang terpenting baginya saat ini.
“Aku akan segera menghubungi ayahku untuk melamar Anna dan bertanggung jawab atas kehamilannya. Aku tidak akan mangkir dari tanggung jawabku. Kau bisa pegang janjiku.”
Setelah berkata begitu, Sehun menutup pintu apartemennya dengan keras, meninggalkan Nana yang terpekur sendiri di tempatnya berdiri kini.
“Aku selalu percaya kalau kau adalah orang yang selalu menepati janjimu, Sehun. Sebesar apa pun rasa marah dan kecewaku padamu, kau tetap sahabatku,” Nana berujar lirih sambil meninggalkan apartemen Sehun dengan langkah gontai.
*****
London, 2017
Anna tak henti-hentinya menatap Irene yang sudah tampak begitu cantik dengan gaun pernikahannya dengan wajah berbinar. Ia begitu bahagia karena dua hal; pertama, Irene menikah. Kedua, Irene memakai gaun rancangannya.
“Kakak cantik sekali,” puji Anna pada Irene. Mereka sedang ada di ruang mempelai, menunggu waktu upacara pernikahan dimulai.
Irene tersenyum dengan begitu manis. Binar-binar kebahagiaan terpancar jelas dari wajahnya.
“Thanks to you, Anna. Aku jadi semakin tampak cantik karena gaun rancanganmu yang begitu indah ini.”
Anna menggeleng tak setuju. “Tidak, Kak. Kau memang sudah cantik sejak dulu. Pakaian apa pun yang melekat di tubuhmu akan tetap membuat kecantikanmu itu terpancar.”
Irene tersipu. “Terima kasih atas pujianmu, Anna.”
Anna mengangguk sambil tersenyum manis.
Tiga puluh menit kemudian, acara pemberkatannya dimulai. Pemberkatan berjalan begitu khidmat. Beberapa sanak keluarga dari kedua mempelai tampak bahagia sekaligus terharu ketika Suho dan Irene mengucapkan sumpah pernikahan mereka. Irene juga tampak terharu saat mengucapkan sumpahnya di hadapan pendeta.
Jennie yang duduk di samping Anna beberapa kali berbisik mengenai betapa serasinya Irene dan Suho serta curahan hatinya yang mengatakan kalau ia juga ingin segera menikah. Sayangnya, ia belum memiliki kekasih hati. Anna yang mendengar curahan hati Jennie hanya bisa tersenyum tipis.
Aku juga pernah mengalami apa yang sedang dialami oleh Kak Irene saat ini, Jennie, Anna menimpali dalam hati dengan perasaan getir.
*****
Sehun dan Kiara baru saja menapaki tanah London, tepatnya Bandara Heathrow. Perjalanan yang cukup jauh dari New York menuju London membuat mereka memutuskan untuk langsung pergi ke Hotel SK, hotel milik Grup SK, tempat diadakannya resepsi pernikahan Kim Suho. Sebagai tamu undangan, mereka memang disediakan tempat menginap di hotel itu.
Salah satu utusan dari Grup SK rupanya sudah menjemput mereka di bandara. Mereka pun segera memasuki mobil yang sudah disiapkan oleh pihak Grup SK.
“Kiara, are you okay?” Sehun bertanya pada Kiara yang selain tampak lelah juga tampak tegang.
Kiara yang sejak memasuki mobil hanya terdiam sambil menatap keindahan kota London lewat jendela langsung menoleh. Senyum tipis yang tampak dipaksakan menghiasi wajah cantik itu.
“I’m fine, Sehun. Don’t worry about me.”
“Aku tahu betul bagaimana perasaanmu saat ini, Ki. Setelah sekian lama, akhirnya kau kembali ke kota kelahiranmu, London. Perasaanmu pasti begitu campur aduk, kan sekarang? Apalagi kau memiliki kenangan buruk di sini.”
Air muka Kiara berubah dalam hitungan detik. Mau tak mau ia mengangguk mengiyakan perkataan Sehun.
“You’re right. Aku tidak tahu tentang perasaanku saat ini. Aku dilahirkan di kota ini tanpa tahu siapa orang tuaku. Di sini juga aku merasakan cinta bertepuk sebelah tangan yang membuahkan suatu kesalahan besar dalam hidupku. Yah, bisa dibilang aku senang dan sedih pada saat yang sama. But, it’s okay. Kita harus profesional, bukan?”
Sehun menghela nafas sedikit kasar. “Kalau kau tidak sanggup ikut denganku menghadiri acara pernikahan ini, seharusnya kau tidak perlu memaksakan diri. Aku bisa mengajak Miranda untuk menggantikanmu.”
“Ya, benar. Supaya dia bisa menghangatkan ranjangmu setelah acara, bukan? Dasar m***m!”
Sehun terkekeh. Kiara ikut tertawa walau hatinya tetap merasa was-was.
Apakah nanti aku akan bertemu dengannya? Kiara bertanya-tanya.
*****
Resepsi pernikahan Suho dan Irene baru saja dimulai. Tamu-tamu dari berbagai macam kalangan telah menghadiri ballroom Hotel SK. Grup SK memang cukup berpengaruh di dunia bisnis, terutama London, jadi wajar saja jika hampir semua yang datang ke acara itu adalah orang-orang yang berkecimpung dalam dunia bisnis. Walaupun ada juga diantara mereka yang berasal dari dunia politik, bahkan entertainment.
Kai sudah sampai di hotel milik keluarganya itu. Namun, ia masih saja diam seperti patung di depan ballroom, enggan masuk ke sana. Hatinya bimbang. Ia ingin masuk ke sana demi Suho, kakaknya. Namun, ia tidak ingin bertemu dengan sang ayah dan ibu tirinya.
“Sial! Aku sudah janji pada Kak Suho untuk datang, tapi sekarang aku justru malas masuk ke sana.” Kai mengerang frustrasi.
Saat akan berbalik pergi dari tempatnya berdiri, ia melihat seseorang yang mencuri atensinya. Mata Kai melebar sempurna saat menyadari siapa gadis yang memakai gaun biru pas badan dengan lengan panjang itu. Gadis itu adalah gadis yang ia cium di kelab sebulan yang lalu. Ya, benar! Ia masih ingat wajah cantik itu.
Perlahan, sudut bibir Kai terangkat tinggi. Akhirnya, setelah sekian lama mencari, ia bisa menemukan sosok gadis yang begitu membuatnya penasaran itu. Akan tetapi, Kai sedikit mengernyit heran. Gadis itu sedang apa di sana? Kenapa gadis itu bisa menghadiri resepsi pernikahan kakaknya? Tamu dari pihak siapakah gadis itu? Kalau Suho, sepertinya tidak. Gadis itu tidak tampak seperti orang yang berkecimpung dalam dunia bisnis. Lantas, Irene-kah?
Penasaran, akhirnya Kai pun memilih untuk masuk ke ballroom. Ia mengikuti kemana arah gadis itu pergi bersama temannya yang tak kalah cantik darinya itu.
Sayangnya, kegiatan menguntitnya terhenti ketika sebuah suara feminin menyapa gendang telinganya.
“Lama tidak berjumpa, Kai. Kau semakin tampan saja.”
Kai mengutuk dalam hati mendapati wajah cantik Tania Westwood di hadapannya. Gadis itu tersenyum sinis pada Kai. Kai membalas senyum itu tak kalah sinisnya.
“Oh, hai, juga, mantan calon tu-nang-an-ku! Kau juga semakin cantik saja. Sepertinya kau melakukan suntik botoks lagi, ya? Kelihatan sekali, tahu.” Kai menyeringai.
Air muka Tania berubah menjadi angker. Gadis itu mengepalkan tangannya kuat dan menggeram marah.
“Selain semakin tampan, kau juga semakin menyebalkan, ya? Huh! Aku menyesal telah menyukaimu selama ini dan tidak menolak perjodohan lebih dulu.”
Kai tersenyum mengejek. Tania adalah anak dari salah satu rekan bisnis ayahnya. Mereka sempat dijodohkan dan bahkan hingga bertunangan setahun yang lalu. Namun, Kai menolaknya mentah-mentah. Pada hari pertunangan mereka, Kai justru asyik berlibur dan berpesta di Miami. Parahnya, ia justru mengirim video yang menunjukkan bahwa ia sedang bermesraan dengan gadis lain di sana yang diputar di acara pertunangan. Benar-benar keterlaluan, bukan?
“Ha-ha! Salahmu sendiri jatuh dalam pesonaku. Sudah kukatakan padamu sejak awal bukan, kalau hubungan kita hanya sebatas hubungan di atas ranjang? Walaupun orang tua kita dekat, aku tidak pernah berharap untuk dijodohkan denganmu. Tapi kau malah menerimanya. Jadi kalau aku melakukan hal berengsek padamu untuk membatalkan perjodohan kita, jangan salahkan aku! Karena itu kesalahanmu sendiri.”
Kai bergegas pergi dari hadapan Tania yang kini menggeram marah pada Kai. Gadis itu tidak sudi mengejar Kai dan hanya menghentakan kakinya pergi meninggalkan tempatnya berdiri kini.
Sementara itu, Kai menoleh ke sana-kemari mencari keberadaan gadis pencuri hatinya itu. Namun, ia tidak bisa menemukannya di manapun.
“Dasar gadis ular! Gara-gara dia aku kehilangan gadis cantik itu.” Kai menggerutu kemudian memutuskan untuk mencari kakaknya saja. Siapa tahu, sembari berkeliling ia bisa kembali menemukan gadis pencuri atensinya.
*****
“Anna, di sini banyak sekali pria tampan, ya?” Jennie berbisik girang pada Anna yang meminum minumannya dengan tenang.
Anna hanya tersenyum tipis melihat kelakuan temannya yang sedang asyik ‘cuci mata’ itu. Ia menggelengkan kepala tak habis pikir.
“Kau tidak perlu menatap mereka dengan tatapan menggoda seperti itu, Jen. Nanti mereka takut padamu,” Anna menasihati. Jennie berdecak dan menggeleng tak setuju.
“Bukan aku yang menatap mereka dengan tatapan menggoda, Anna Sayang. Justru merekalah yang menggodaku.”
Anna terkekeh mendengar perkataan Jennie yang narsis itu. Tak lama kemudian, ponsel Jennie berbunyi. Jennie girang sesaat setelah membaca nama penelepon.
“Anna, aku angkat telepon dulu, ya? James menelepon.” Jennie mengerling genit pada Anna yang terperangah mendengar perkataan Jennie.
James adalah teman seangkatan mereka saat kuliah fashion dulu. Dia tampan, tapi sayangnya seorang gay. Jennie begitu menyukai James sejak awal masuk kuliah sebelum mereka tahu bahwa James penyuka sesama jenis. Anna kira setelah tahu bagaimana orientasi seksual James, Jennie akan menyerah menyukainya. Namun nyatanya, sang sahabat masih menyukainya bahkan hingga sekarang mereka sudah lulus.
Anna mengangguk mengiyakan. Dengan cengiran lebar, Jennie pergi untuk menerima panggilan dari pujaan hatinya.
Kini, Anna sendirian. Ia mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang mungkin saja ia kenal. Namun, sepertinya wajah-wajah yang ia lihat banyak yang tidak ia kenali. Hanya beberapa orang saja yang ia ketahui. Itu pun karena mereka seorang selebriti dan ada beberapa orang non-selebriti yang sering muncul di televisi atau berita online. Selebihnya, Anna tidak tahu.
Anna berjingkat kaget saat ada seseorang yang menepuk pelan bahunya. Anna menoleh dan matanya langsung membulat terkejut melihat siapa yang telah menepuk bahunya itu.
“Kau, kan ... ?”
Kai menyeringai. “Benar, Nona Cantik. Ini aku, yang menciummu di kelab itu.”
Sambil mendengus kasar, Anna menghentakkan kakinya meninggalkan tempatnya berdiri kini. Kai mencoba menahan kepergian Anna dengan menarik pelan bahunya. Namun, Anna menghempaskan tangan Kai kasar.
“Jangan sentuh aku!” bentak Anna kasar sambil menatap Kai tajam. “Dan jangan pernah mencoba untuk mengikutiku!”
Anna hendak melangkah lagi, tapi Kai segera berujar, “Maaf atas kelancanganku waktu itu, Nona! Aku benar-benar menyesal telah melakukan hal memalukan itu padamu. Kumohon, dengarkan aku dulu. Aku benar-benar hanya ingin minta maaf.”
Perkataan Kai membuat Anna urung pergi meninggalkannya. Gadis itu berbalik. Tatapannya masih setajam beberapa saat lalu.
“Semudah itukah kau meminta maaf?” Anna menghela nafas sedikit kasar. “Baik, aku memaafkanmu, Tuan. Tapi bukan berarti aku sudah melupakan apa yang telah kau perbuat padaku. Asal kau tahu saja, aku begitu terluka oleh sikapmu yang seolah merendahkan harga diriku. Jadi kuharap setelah ini, kita tidak akan bertemu lagi karena aku sama sekali tidak menyukai orang seperti dirimu. Maaf, karena aku bicara kasar seperti ini padamu. Permisi!”
Anna berbalik untuk benar-benar pergi kali ini. Namun, saat berbalik, ia tidak sengaja menabrak seseorang hingga minuman yang dibawa orang itu tumpah mengenai tuksedo-nya sendiri.
Anna buru-buru minta maaf. “Maafkan saya, Tuan! Saya benar-benar tidak se—“
“Hwang Anna?”
Anna terkejut saat namanya disebut oleh pria itu. Suara tersebut begitu dikenalnya! Kini, tubuh Anna membeku. Tangannya yang terulur untuk membersihkan tuksedo pria itu bergetar. Keringat dingin membasahi telapak tangannya.
Anna memberanikan diri untuk mendongak secara perlahan. Saat hazelnya bertemu dengan netra pria itu, lapisan kaca bening langsung membuat matanya buram.
Anna menelan salivanya dengan susah payah saat menyebut nama pria yang ada di hadapannya itu.
“Oh ... Sehun?”
Tubuh Anna menegang sekarang. Kumpulan kristal bening yang tadinya menggenangi pelupuk mata kini mulai meluncur bebas menuruni pipi pualamnya. Anna begitu terkejut karena ia kembali dipertemukan dengan pria itu, Oh Sehun. Tampaknya, tidak hanya Anna yang terkejut, tapi Sehun juga. Pria itu menatap Anna tak percaya.
Anna menelusuri penampilan Sehun sekarang. Pria itu tidak banyak berubah. Ia masih setampan delapan tahun yang lalu saat mereka terakhir bertemu. Mata, hidung, bibir, dan semua yang ada di wajahnya masih sama, hanya saja saat ini wajah Sehun terlihat lebih tegas dan kokoh sesuai dengan umurnya. Ada satu yang berubah dari pria itu, yaitu warna rambutnya. Jika dulu berwarna hitam pekat, kini berwarna pirang terang.
“Anna ....”
Sehun hendak menyentuh bahu Anna yang bergetar hebat akibat dari isakannya. Namun, Anna segera menyingkir dari jangkauan Sehun.
Sehun terkejut. Anna menatapnya dengan tatapan penuh luka.
“Jangan ... sentuh aku,” Anna memperingatkan. Setiap kata yang terlontar dari bibirnya penuh dengan penekanan.
Sehun menarik tangannya kembali kemudian menunduk. Namun, ia kembali mendongak setelah beberapa saat.
“Anna, bisakah kita ... bicara sebentar?” Sehun berujar ragu. Perlahan, ia melangkahkan kakinya untuk kembali menjangkau Anna.
Anna langsung menggeleng dan menjauh dari Sehun.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kita, Sehun.”
Lantas, Anna segera melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu disertai lari kecil.
“Anna!” Sehun hendak mengejarnya, tapi sebuah cengkeraman menahan lengannya.
Sehun menoleh dan mendelik sengit pada pelaku utama yang telah menghalangi langkahnya.
“Maaf, Bung, tapi sepertinya dia tidak ingin bicara denganmu,” Kai yang sejak tadi diam tak mengerti dengan situasi yang tengah terjadi antara Anna dan Sehun, kini mulai angkat bicara. Seringai khas tercetak di wajah tampannya.
Sehun menarik lengannya kasar. “Maaf, tapi kurasa ini bukanlah urusanmu. Ini adalah urusanku dengan gadis itu, jadi kau tidak berhak ikut campur.”
Sehun hendak melangkah lagi, tapi Kai kembali menahan lengannya.
“Berengsek!” Sehun mengumpat.
“Katakan dulu apa hubunganmu dengan gadis itu!” Kai bersikeras. Ia tidak akan melepaskan Sehun jika pria itu hanya seseorang yang tidak penting di kehidupan gadis itu, Anna.
Sehun menyeringai sambil berusaha kembali menarik kasar lengannya. Kai masih mencekal lengannya dengan kuat.
“Kau ingin tahu siapa aku?” Sehun bertanya. “Aku adalah mantan suaminya.”
Lantas, setelah mendengar ucapan Sehun, wajah Kai tampak begitu terkejut. Bahkan, tanpa sadar ia melonggarkan cekalannya pada lengan pria itu.
Sehun mendengus kemudian menarik kasar tangannya. Ia segera melanjutkan niatannya mengejar Anna.
Sementara itu, Kai yang masih syok hanya mampu tercenung. Seketika tawa getir kini lolos dari bibirnya. Ia mengacak rambutnya kasar.
“Ironis sekali,” ujarnya dengan penuh sesal. “Di saat aku benar-benar menyukai seorang gadis kenapa ia justru seorang janda? Dan sepertinya ia juga memiliki luka yang begitu menganga di hatinya.”
Kai berkacak pinggang lalu menggeleng tak percaya. Tawa getir sekali lagi keluar dari bibirnya. Namun, beberapa saat kemudian ia kembali menatap arah perginya Anna dan Sehun.
“Tidak masalah.” Kai tersenyum penuh percaya diri. “Aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya.”
Kai pun melangkahkan tungkai panjangnya untuk menyusul Anna dan Sehun.
Jika Kai telah menetapkan hatinya, maka rintangan apa pun akan dilaluinya. Itulah, prinsip hidupnya saat ini.