Bab 2

1746 Words
Selamat membaca! Di koridor rumah sakit, Rafka masih terlihat mencengkeram lengan Alissa dengan sangat erat, hingga membuat wanita itu semakin meringis kesakitan. "Tuan, lepaskan aku! Atau nanti setelah ini aku akan melakukan visum, lalu melaporkanmu ke pihak berwajib agar kamu ditahan di kantor polisi!" ancaman Alissa tak berhasil membuat Rafka melepas cengkraman tangannya, pria itu malah menambah kekuatannya, hingga membuat Alissa sampai berteriak kesakitan. "Aw... ampun Tuan. Aku minta maaf, tolong ampuni aku!" ucap Alissa yang akhirnya mengalah dan menuruti keinginan Rafka, agar pria itu mau melepaskan cengkraman tangannya. "Coba dari tadi kamu minta maaf dan tidak keras kepala, mungkin saya tidak akan melakukan semua ini yang membuat waktuku terbuang sia-sia!" Rafka menghempaskan lengan Alissa dengan kasar, sampai membuat wanita itu terjatuh kembali ke lantai. Tak lama kemudian, seorang suster datang menghampiri dengan raut wajah yang terlihat sangat cemas. "Maaf Tuan Rafka, apa Anda bisa ikut dengan saya ke ruangan PICU? Karena putri Anda saat ini sudah sadar dan pasien telah mengetahui kondisinya bahwa dia tidak bisa melihat lagi. Sekarang ini pasien terus berteriak menanyakan keberadaan Bundanya," ucap seorang suster dengan napas yang terengah-engah karena berlari kesana-kemari mencari keberadaan Rafka. Kabar yang disampaikan oleh suster tersebut, seketika membuat raut tegang di wajah pria itu yang saat ini sedang memutar otaknya dengan keras untuk berpikir. "Bagaimana ini? Kalau Bintang sampai tahu Aura telah meninggal, pasti putriku akan semakin terpukul. Aku tidak ingin lagi merasakan kehilangan dalam hidupku. Sudah cukup kehilangan Aura membuat hatiku sakit dan sangat hancur," batin Rafka coba menahan kesedihan yang saat ini sudah membuat kedua matanya mulai memerah. "Tuan, jadi bagaimana? Apa Anda bisa ikut dengan saya sekarang?" tanya suster itu kembali, setelah pertanyaan pertamanya tak ditanggapi oleh Rafka yang hanya diam dengan pikirannya sendiri. Rafka pun akhirnya tersadar dan seketika langsung menoleh dengan sorot matanya yang tajam ke arah Alissa. Tatapan yang membuat Alissa kembali bergidik ngeri dibuatnya, terlebih ketika Rafka mendekatinya dan langsung membungkukkan tubuhnya di hadapan Alissa yang saat ini masih dalam posisi terjatuh di lantai. "Ikut denganku!" Rafka menggenggam tangan Alissa dan membantunya untuk kembali bangkit. "Tapi kamu akan mengajakku kemana, Tuan? Memangnya untuk apa aku harus ikut denganmu?" tanya Alissa yang merasa tak punya pilihan lain selain mengikuti pria tampan itu yang saat ini mulai mempercepat langkahnya untuk menuju ruangan dimana putrinya dirawat selama dua hari ini. Rafka terus mengacuhkan pertanyaan Alissa, walau wanita itu terus mengatakannya berulang kali di sepanjang perjalanan. Hingga akhirnya, saat ini keduanya sudah tiba di depan ruang rawat dimana Bintang terdengar sedang mengamuk histeris, Rafka pun menghentikan langkah kakinya dan menatap tajam wajah Alissa yang saat ini begitu kebingungan dengan napasnya yang terengah. "Siapa namamu?" tanya Rafka setelah ia melepaskan cengkramannya dari lengan Alissa. "Memangnya kenapa kamu tiba-tiba saja menanyakan namaku?" Alissa malah balik bertanya seraya mengusap pergelangan tangannya yang terasa panas. "Jawab saja, tidak perlu banyak bertanya!" "Alissa Maharani!" jawab wanita itu yang terdengar sangat ketus. Setelah mendengar nama wanita yang berada di hadapannya, tiba-tiba terbesit sebuah ide dalam benak Rafka untuk menjadikan Alissa penolong dalam kesulitannya saat ini. "Alissa, kamu dengar suara teriakan histeris di dalam ruangan PICU? Itu adalah suara anakku, namanya Bintang. Saat ini dia mengalami kebutaan akibat kecelakaan yang dialami bersama Bundanya. Saya mohon, tolong bantu saya." Kali ini Rafka berucap dengan nada suaranya yang terdengar lemah, membuat Alissa menjadi iba. "Ya Allah, aku turut berduka cita atas musibah yang menimpa keluarga kamu. Tapi, memangnya aku bisa bantu apa untuk menenangkan Bintang?" tanya Alissa yang benar-benar tidak tega mendengar tangis kesedihan yang terdengar dari dalam ruang PICU. "Saya minta kamu untuk berpura-pura menjadi Bunda dari anakku. Saya akan membayarmu untuk hal ini, berapa pun bayaran yang kamu minta saya akan menyanggupinya. Asalkan kamu mau menikah siri dengan saya sampai Bintang bisa kembali melihat ketika saya sudah berhasil menemukan pendonor yang cocok untuknya, dan tujuan utama saya menikahi kamu karena saya butuh kamu untuk terus berada di dekat Bintang. Tolong saya Alissa, saya mohon." Rafka meminta dengan sorot mata penuh harap, pria itu sangat berharap Alissa akan menuruti permintaannya. Wanita itu pun terkesiap dengan permintaan yang terlontar dari mulut Rafka, apalagi saat pria itu mengatakan akan membayarnya. Di sisi lain hati Alissa tergerak untuk membantu memenangkan Bintang yang sampai saat ini terdengar samakin terisak dan terus memanggil Bunda. "Tapi Tuan, suaraku kan pastinya sangat berbeda dengan suara istrimu. Nanti putrimu pasti akan mengetahui kalau aku bukanlah Bundanya." "Kamu tidak perlu khawatir akan hal itu karena saya akan mengatakan pada putriku, jika suaramu berubah akibat operasi pita suara." Alissa tersentak kaget dengan penjelasan Rafka karena pria itu ternyata sudah memikirkan rencana yang akan dilakukannya, dalam waktu yang sangat singkat di tengah kepanikan akan kondisi putrinya. Di satu sisi, wanita itu ingin sekali menolong pria yang saat ini terus berharap padanya. Namun, banyak pertimbangan di dalam pikirannya yang membuatnya masih sangat ragu untuk membantu Rafka. "Aku jadi bingung harus memutuskan apa. Walau aku kasihan dengan gadis kecil itu yang terdengar begitu menyedihkan, tapi pria ini baru saja aku kenal dan bukan tidak mungkin pria ini memiliki niat jahat padaku ke depannya. Apalagi dengan sikapnya kasarnya tadi kepadaku. Ah, sebaiknya aku menolak dan pergi saja dari sini. Ya, anggap saja aku tidak pernah bertemu dengannya, lagipula pasti Mama sedang menungguku di ruang rawatnya," batin Alissa terus menimang-nimang semua hal sebelum wanita itu menjawab permintaan Rafka. Setelah merasa yakin dengan keputusannya, Alissa pun mulai mengatakannya kepada Rafka. "Maafkan aku Tuan, tapi aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu." Selesai mengatakan semua itu, Alissa pun melangkah pergi dari hadapan Rafka dan membuat pria itu sangat geram dengan penolakan yang baru saja diucapkannya. "Berani sekali wanita itu menolak permintaanku. Apa tawaranku tadi tidak terdengar menarik untuk diterimanya? Kalau sudah begini apa aku punya pilihan lain untuk tidak mengatakan pada Bintang, jika Aura sudah meninggal dunia karena kecelakaan itu," batin Rafka yang masih menatap kepergian Alissa dengan sorot matanya yang tajam. Setelah keberadaan Alissa sudah tak terlihat di pelupuk matanya, kini Rafka pun mulai membuka pintu ruangan PICU dengan perlahan. Pria itu masih menyimpan keraguan di dalam dirinya tentang beberapa pertanyaan dari sang putri yang nantinya pasti akan menanyakan keadaan Aura, Ibunya. "Ya Tuhan, sekarang apa yang harus aku lakukan? Apa jika aku menceritakan dengan sejujurnya pada Bintang, dia akan kuat mendengar semua ini? Sedangkan kebutaan yang saat ini dialaminya saja sudah membuat Bintang terlihat begitu histeris dan tidak bisa menerimanya, apalagi jika harus ditambah dengan mendengar kematian Bundanya. Aku khawatir, keadaan Bintang bisa semakin parah," batin Rafka begitu pelik memikirkan semua itu di dalam pikirannya. Kedua matanya kini langsung tertuju menatap sang putri yang saat ini terus menangis sambil mencari keberadaan ibunya. "Ayah, apakah itu dirimu? Ayah..." Bintang mulai membaca kedatangan Rafka lewat suara pintu yang terbuka. Saat ini kedua matanya sudah benar-benar tak dapat lagi melihat, hingga gadis kecil itu hanya mengandalkan kedua telinganya untuk membaca situasi yang ada di sekitarnya. "Iya sayang, Ayah sudah ada di sini. Kamu yang sabar ya. Ayah janji ini tidak akan berlangsung lama, Ayah sedang berusaha menemukan pendonor kornea mata untukmu, jadi kamu tidak perlu khawatir karena kamu tidak akan buta untuk selamanya. Semua ini hanya sementara waktu ya, sayang." Rafka kini sudah memeluk tubuh Bintang yang terus menangis meratapi apa yang terjadi pada kedua matanya. "Janji ya Ayah, aku tidak mau lama-lama buta. Aku takut kegelapan Ayah, aku juga masih ingin melihat Ayah dan Bunda. Aku ingin menatap dunia." Bintang semakin membenamkan wajahnya dalam dekapan Rafka yang terus mengusap surai hitam putrinya dengan penuh kelembutan. "Iya sayang, Ayah janji! Kamu tidak akan lama mengalami kebutaan ini. Ayah pastikan, kamu akan segera mendapatkan pendonor." Rafka begitu sakit mengatakan semua itu, hingga membuat bulir kesedihan mulai menganak di kelopak matanya. Pria arogan yang angkuh dan berwajah dingin itu, kini terlihat begitu rapuh. Bahkan kedua pipinya yang tak pernah terjamah oleh air mata, dalam dua hari ini sering terlihat basah. "Sekarang aku ingin bertemu Bunda, Ayah. Apa Bunda baik-baik saja?" tanya Bintang dengan suaranya yang masih terdengar penuh isak tangis, gadis kecil itu memang belum mengetahui kondisi Aura yang telah meninggal dunia karena benturan keras di kepalanya. Pertanyaan Bintang sontak membuat Rafka terdiam seribu bahasa. Ia sungguh tak sampai hati mengatakan sesuatu yang ia tahu, bahwa itu akan sangat menyakitkan perasaan putri tercintanya. "Ayah, kenapa diam? Jawab aku Ayah! Bunda ada di mana?" tanya Bintang semakin menuntut, agar pertanyaannya segera dijawab oleh sang ayah yang kini hanya terpaku diam seribu bahasa. "Apa yang harus aku lakukan, oh Tuhan? Apa kejujuran adalah jalan satu-satunya, atau aku harus membohongi putriku demi kesehatannya?" batin Rafka untuk menimang-nimang segala sesuatunya, sebelum dirinya memutuskan bahwa mungkin yang terbaik adalah dengan berkata jujur kepada Bintang. Putri kecilnya yang saat ini sudah berusia 7 tahun. Rafka pun menghela napasnya sejenak, deru napas yang terdengar letih penuh rasa sesak, sebelum akhirnya ia mulai mengatakan semuanya kepada sang putri. "Bintang, kamu yang sabar ya, sayang. Maafkan Ayah yang waktu itu tidak bisa menemani Bunda untuk mengantarkan kamu ke sekolah, seandainya Ayah pergi bersama kalian, pasti semua ini tidak akan terjadi dan Bundamu...." Rafka menjeda kalimat yang akan diucapkannya. Ia merasa tak punya keberanian untuk melihat putrinya lebih terluka dan menangis lebih dalam dari sebelumnya. Lidahnya terasa begitu kelu untuk mengatakan tentang kematian Aura kepada putrinya yang sudah menunggu jawabannya sejak tadi. "Ayah, Bunda kenapa? Tolong jangan bilang kalau Bundaku sudah tidak ada, Ayah... Aku lebih baik mati, aku ingin mati saja, Ayah...." Bintang terus berontak dalam dekapan Rafka, hingga akhirnya tubuhnya terkulai lemah dan gadis kecil itu pun kini tak sadarkan diri. Sadar dengan kondisi sang putri yang saat ini pingsan, Rafka langsung merebahkan tubuh Bintang di atas ranjang pasien dan bergegas menekan bel yang berada tidak jauh dari jangkauannya. Sebuah bel yang memang disediakan untuk pasien, agar memudahkan dalam memanggil perawat ataupun dokter yang membutuhkan kehadiran mereka. "Bintang, bangun, Nak! Tolong jangan buat Ayah semakin tersiksa karena melihat kondisimu!" titah Rafka sambil menepuk-nepuk kedua pipi Bintang, berharap sang putri bisa kembali sadar dari ketidakberdayaannya. Namun, usaha Rafka berakhir dengan kegagalan karena sampai Dokter dan dua perawat datang ke dalam ruangan, Bintang masih belum sadarkan diri. "Dokter, tolong putri saya, Dok!" Rafka begitu cemas dan terus memohon kepada seorang Dokter yang saat ini mulai memeriksa kondisi Bintang. "Baik, Tuan Rafka, tapi silahkan Anda menunggu dulu di luar, agar kami leluasa untuk menangani putri Anda!" jawab sang Dokter dengan ramah sambil mempersilahkan Rafka berjalan ke luar dari ruangan. Rafka pun mengangguk patuh terhadap perintah sang Dokter. Ia kini mulai melangkah untuk keluar dari ruangan PICU, walau sesekali kedua matanya masih sempat melihat wajah sang putri yang terkulai lemah di atas ranjang pesakitan. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD