Gerrald baru saja ke luar dari kelas salah satu mata kuliahnya yang sudah ia jalani. Setelah dibuat pusing oleh materi kalkulus, kini cowok itu pun berniat untuk mampir ke perpustakaan sebelum pulang ke rumah. Tujuannya hanya satu, mencari referensi untuk ia jadikan sebagai riset tugas yang diberikan oleh sang dosen.
Di tengah langkahnya yang santai, ponselnya pun berdenting. Tampaknya, ada sebuah pesan masuk ke aplikasi chatingannya. Lalu, setelah ponsel ia rogoh dari dalam sakunya, cowok itu pun lantas memeriksa layar ponselnya yang menampilkan satu pesan pop up dari sang pacar.
Ger, kamu masih di kelas gk?
Sekiranya, seperti itulah isi pesan yang ia dapat dari Carissa. Mengingat suasana hati Gerrald sedang tidak bagus dan pikirannya pun sedang semrawut oleh sejumlah tugas yang harus segera digarap, cowok itu pun memutuskan untuk tidak membalas pesan yang pacarnya kirimkan.
Sebab, akan jauh lebih baik jika Gerrald tidak bertemu dulu dengan Carissa. Seperti yang diketahuinya, Carissa adalah tipikal perempuan yang doyan mengoceh dari a sampai z. Maka, daripada Gerrald kelepasan mengomelinya di tengah kesemrawutan yang sedang melanda hati dan pikirannya, bukankah lebih baik jika ia menghindarinya saja dulu?
"Sori, Ca. Gue lagi males buat sekadar nanggepin celotehan lo yang kadang gak berfaedah buat gue pribadi...." gumam cowok itu sambil berlalu seusai memasukkan kembali ponselnya ke tempat semula.
Gerrald melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Lantas, saat dirinya nyaris sampai ke lorong yang menuju perpustakaan, tiba-tiba sebuah suara tampak menyeru memanggil namanya.
"Ger!"
Spontan, cowok itu pun menoleh ke sumber suara. Rupanya, sosok yang memanggilnya barusan adalah temannya yang juga pernah satu kelas saat di SMA dulu.
"Hoi, Pet!" sahut Gerrald mengacungkan sebelah tangannya.
"Mau ke mana lo? Serius amat gue lihat," tanya Petra yang dulunya dikenal dengan nama Restu sewaktu di SMA.
"Mau ke perpus. Kerjain tugas yang seabreg," jawab Gerrald mengembuskan napas.
"Hoo, sama dong kalo gitu. Ya udah, barengan sama gue deh yok!" ajak Petra kemudian. Mengangguk setuju, kini dua cowok itu pun melangkah beriringan menelusuri lorong panjang yang akan mengantarkan keduanya ke arah perpustakaan berada.
"Gimana kabar Prita?" tegur Gerrald di tengah langkahnya.
Melirik, Petra pun menaikkan sebelah alis. "Tumben lo nanya soal kabar si Prita. Padahal, dulu kan lo anti banget sama kembaran gue itu...." cetus Petra terkekeh. Usut punya usut, Petra dan Prita ini memang saudara kembar yang baru satu tahun ini Gerrald ketahui.
Saat dirinya tahu mengenai Prita dan Petra ternyata bersaudara apalagi kembar dari cerita Keyna yang tak sengaja Gerrald dengarkan saat gadis itu sedang berbincang dengan teman kampusnya. Gerrald pun terkejut bukan main. Pasalnya, sudah jelas dua orang itu merupakan teman semasa SMAnya. Tapi justru, Gerrald malah baru mengetahui fakta tersebut yang seketika ikut menimbrung pada perbincangan Keyna dan temannya tersebut.
"Seriusan apa yang gue denger barusan itu?" pekik Gerrald yang sontak mengagetkan Keyna kala itu.
"Dih, lo nguping ya?" tuding gadis itu memelotot.
"Gak. Gue cuman gak sengaja dengerin obrolan lo sama Rita barusan. Lagian, suara lo kan selain cempreng kenceng juga kalo lagi ngobrol. Ya jangan salahin gue dong kalo misalkan gue bisa denger juga perbincangan lo itu...." tukas Gerrald tak mau dituduh yang tidak-tidak.
Keyna mendengkus seraya memutar bola matanya jengah. Kemudian, meski belum ada izin dari Keyna mengenai Gerrald yang dibolehkan atau tidak untuk menimbrung dengannya, tahu-tahu cowok itu pun sudah ikut duduk saja di kursi kosong seberang kursi panjang yang Keyna dan Rita duduki bersama.
"Key, jadi bener soal Prita sama Restu itu sodaraan?" lontar Gerrald menatap serius. Bahkan, begitu kentara sekali raut wajahnya saat ini bahwa ia sangat penasaran dengan sedikit fakta yang tak sengaja didengarnya tadi.
Keyna mendengkus. Sebenarnya, dia tidak berminat untuk bercerita apapun pada Gerrald. Apalagi saat ia tahu kalau cowok itu sudah membuat sepupunya patah hati gara-gara Gerrald yang dekat dengan perempuan lain. Rasanya, Keyna ingin sekali menampol wajah ganteng itu. Sayang, dia tidak punya hak dalam hal tersebut. Meski Keyna sudah berbaikan sejak beberapa bulan yang lalu dengan sepupunya itu, tapi tetap saja, Keyna tidak memiliki hak paten untuk sekadar menegur apalagi sampai menghujat cowok yang notabene adalah mantan kekasih sepupunya itu.
"Key!" seru Gerrald mendecak. Seketika, membuat Keyna tersadar dari pikirannya yang sempat berkecamuk.
"Apa sih?" balas Keyna mendelik.
"Itu. Soal Prita sama Restu, emang beneran mereka itu sodaraan?"
"Iya. Terus kenapa? Ada masalah sama lo?" sembur Keyna sedikit sewot. Pasalnya, ia merasa kesal saja pada Gerrald yang tiba-tiba datang dan mendesaknya untuk memberitahu dirinya perihal Prita dan Restu yang kini sudah menjadi kekasihnya.
"Kok bisa?" lontar Gerrald menatap heran.
"Ya bisalah. Kenapa gue ngerasa kalo lo lagi ngeraguin kuasa Tuhan sih," seloroh Keyna mendengkus sebal.
"Ya gak gitu juga. Maksud gue, kok bisa gue baru tahu hal ini. Secara, kita kan satu kelas semua. Tapi, kenapa cuma gue aja yang gak tau soal Restu sama Prita yang sodaraan...." ujar Gerrald menjelaskan perihal keheranannya yang semula ia utarakan.
Keyna memutar bola mata lagi. Sepertinya, Gerrald memang sangat ingin tahu tentang hubungan keluarga yang dimiliki antara Prita dan kekasihnya.
"Waktu SMA dulu. Cuma segelintir orang aja yang tau mereka sodaraan. Bahkan, gue juga tau mereka itu kembar pas gue udah deket sama Petra. Eh, maksud gue Restu...." terang Keyna memutuskan untuk memberitahunya saja.
Untuk kedua kalinya, Gerrald dikejutkan dengan fakta yang kembali ia dapat. "Hah? Jadi, mereka kembar? Dan Restu, kenapa lo panggil dia Petra?"
Keyna mendecak, "Gerraldi Hutama yang teramat menyebalkan buat gue. Jadi, nama lengkap Restu itu Petradiano Restu Prahara. Dan dia adalah kakak kembarnya Pritadiani Resti Prahara. So, sampe sini ... lo udah paham kan kalo mereka itu kakak beradik yang kembar non identik?" urai Keyna setengah jengkel.
Spontan, Gerrald pun teringat kembali ke kejadian sewaktu di SMA dulu. Momen di mana Restu yang datang bersama Dika Prahara sang kepala sekolah yang dulu pun sempat Gerrald kira sudah ada sangkut pautnya dengan Prita. Sayang, dulu ia tidak terlalu fokus pada kenyataan yang sebenarnya sudah ada di depan mata. Maka, baru di kesempatan ini sajalah Gerrald mengetahui tentang kebenaran antara Prita, Restu dan Dika Prahara.
Trak.
Tiba-tiba, Petra menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Gerrald. Seketika, cowok itu pun terkesiap kaget kala suara jentikan jemari Petra seolah dengan sengaja membuyarkan lamunannya.
"Lo ngelamun?" tebak Petra menatap aneh.
Gerrald mendengkus. Tanpa sadar, dia malah melamunkan perihal obrolan singkat yang pernah ia lakukan dengan Keyna tempo lalu. Gara-gara terlalu fokus melamun, ia pun jadi lupa kalau tadi sempat bertanya soal Prita.
"Sori, gue gak fokus barusan." Gerrald nyengir lebar. Membuat Petra lantas mendecak pelan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh iya, tadi lo ngomong apa?" tanya Gerrald meminta Petra untuk kembali mengulangi pembicaraannya.
"Ya elah ni anak. Gue bilang, Prita baik-baik aja. Malah, dia sekarang udah punya gandengan yang jauh lebih keren dari lo!" tandas Petra terkekeh.
Spontan menyebabkan Gerrald mendengkus geli seraya berkata, "Baguslah kalo gitu. Paling enggak, dia memang layak buat dapetin pasangan yang jauh lebih segalanya dari gue."
"Lo sendiri gimana? Udah mantapin hati sama pacar lo yang sekarang, atau jangan-jangan lo masih diam-diam ingat mantan lo itu lagi," cetus Petra iseng bertanya. Namun rupanya, keisengan itu pun malah membuat Gerrald bergeming di tengah pikirannya yang kembali mengacu pada kekasih masa lalunya.
Seandainya gue bisa, mungkin sekarang gue udah jalanin kisah asmara gue sama Carissa tanpa diusik sama bayang-bayang dari masa lalu gue dulu. Sayang, sesekali ... gue justru malah suka keinget dia. Kira-kira gue berdosa gak ya mikirin cewek lain di saat gue sendiri udah punya gandengan baru? Batin Gerrald berkeluh kesah.
Tak lama kemudian, Gerrald dan Petra pun akhirnya tiba juga di perpustakaan kampus yang menyediakan berbagai referensi apa saja yang dibutuhkan oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang menimba ilmu di kampus swasta tersebut.
***
Tepat pukul 2 sore, Gerrald baru saja selesai merangkum berbagai materi penting yang bisa ia jadikan acuan untuk tugasnya nanti. Sejenak, cowok itu menggeliat dan memutar lehernya yang terasa kaku. Maklum, hampir dua jam lamanya ia berkutat dengan berbagai buku referensi yang kini menumpuk di atas salah satu meja perpustakaan yang dihuninya seorang. Berhubung, Petra pun memilih untuk duduk berpisah supaya tidak tercampur dengan buku-buku yang Gerrald pakai, maka mereka pun memutuskan untuk duduk di kursi yang berbeda.
Sekadar informasi, semenjak masuk dunia perkuliahan, hubungan Petra dan Gerrald berubah menjadi baik bahkan akrab. Padahal saat di SMA dulu, mereka sempat menjadi saingan dalam mendapatkan hati seorang gadis. Meskipun Gerrald lebih unggul dalam hal itu, tapi tetap saja, Petra yang dulu adalah pribadi yang egois dan nekat apalagi setelah ia berubah menjadi cowok berstyle keren.
Lalu, saat mereka sering dipertemukan ketika masuk ke lingkungan kampus, lambat laun kedua cowok itu pun menjadi akrab. Meski tidak satu fakultas, tapi kegiatan kampus yang mereka ikuti berada dalam satu naungan. Maka, sejak saat itu, hubungan keduanya pun membaik dengan sendirinya. Walaupun Petra sempat dilarang Keyna agar tidak terlalu dekat dengan orang yang sudah mematahkan hati sepupunya, tapi hal itu tidak membuat Petra mengindahkannya.
Justru, dibanding menuruti saran yang Keyna ajukan, Petra malah sering mengadakan acara anak-anak pecinta motor yang tentu saja melibatkan Gerrald. Meski bukan acara resmi di dalam lingkungan kampus, tapi setidaknya, Gerrald pun ikut bergabung dalam komunitas pecinta motor yang juga diikuti Petra semenjak ia sering mengendarai motor gede selulusnya ia dari SMA. Maka, kini kedua cowok itu pun sudah seperti adik kakak yang terkadang memiliki kekompakan dan sesekali juga mereka berselisih paham yang ujung-ujungnya membuat keduanya berseteru walau tak seserius perseteruan yang terjadi di antara dua orang musuh.
"Ger, udah kelar lo?" tanya Petra yang sama-sama baru selesai. Dilihatnya, Petra pun menguap untuk beberapa detik lamanya.
"Udah. Gila, mata gue nyaris juling kayak gini nih gara-gara kelamaan baca buku. Belum lagi tangan gue yang pegel, gak paham lagi deh ... Pak Umar kan dosen kekinian, masa iya dia kasih aturan buat mahasiswanya supaya nulis manual sih dibanding dalam bentuk cetak komputer," tutur Gerrald mendengkus sebal.
Apalagi jika mengingat tentang perawakan dosennya tersebut yang cukup mengerikan hingga ia dan teman-temannya sepakat untuk menyama-nyamakannya dengan tokoh wayang Duryudana.
"Lo sih enak, dosen lo cuma nyuruh buat bikin tugas dengan tulisan tangan manual. Lah, apa kabar sama gue? Pak Rondo malah nyuruh anak didiknya buat bikin tugas dalam dua wujud, satu ditulis tangan, satu lagi diketik komputer. Terus, kalo sampe gak diturut sesuai perintahnya ... maka yang kena imbas semua anak kelas. Walaupun cuma satu orang yang gak menuhin perintahnya, tapi yang kena efek dari kesalahan satu orang itu malah kita semua. Anjir banget kan?" curcol Petra penuh semangat.
Gerrald tidak menyangka kalau ternyata Petra jauh lebih merana dibanding dirinya. Entah sebenarnya ada masalah apa dengan para dosennya itu? Sampai-sampai, mereka seolah tidak peduli juga sekalipun para mahasiswanya mengalami tingkat kesulitan yang bermacam-macam hanya demi menunaikan tugas yang diberikan mereka.
"Gue balikin semua buku ini dulu deh ke rak semula," ujar Gerrald bersiap bangkit dari duduknya. Sementara itu, Petra masih harus memeriksa ulang kalau-kalau ada materi penting yang terlewatkan.
Di tengah Gerrald yang sedang ingin mengembalikan buku-buku yang dia gunakan ke tempat semula ia mengambilnya tadi, tahu-tahu ponselnya pun berdering. Beruntung perpustakaan sedang tidak ramai pengunjung, maka Gerrald tidak perlu ditegur pengawas karena dering ponselnya sudah sedikit mengganggu ketenangan yang seharusnya diterapkan dalam ruang perpustakaan.
Seusai menaruh buku di rak, Gerrald pun mengambil ponsel dari dalam saku jeansnya. Saat benda berisik itu sudah ada di genggaman tangannya, barulah ia bisa mengetahui nama kontak yang kini tertera di layar berkedip tersebut.
"Bunda," gumam Gerrald ketika melihat nama kontak bundanya yang sekarang menghubungi. Kemudian, seolah tak ingin membuat bundanya terlalu lama menunggu dirinya menjawab panggilan itu, sigap Gerrald pun menggeser tanda hijau seraya menempelkan benda pipih putih itu di telinga kanannya.
"Halo. Ya, Bun?" sambut Gerrald mengawali.
"Ger, kamu di mana? Bisa buruan pulang gak?" lontar Tasya terdengar panik. .
"Lagi di perpustakaan. Emang kenapa? Kok Bunda kayak yang lagi panik gitu," seru Gerrald bertanya-tanya.
"Ini, Caca...."
"Caca? Carissa maksud Bunda?" ulang Gerrald memastikan.
"Iya. Carissa, Ger."
"Kenapa sama Carissa?" tanya Gerrald menanti jawaban.
"Carissa tiba-tiba aja pingsan, Ger. Ini Bunda gak tau harus ngelakuin apa, mana adik kamu juga belum pulang lagi."
"Ha? Carissa pingsan? Kok bisa?" pekik Gerrald membelalak.
"Nanti selengkapnya Bunda ceritain deh sama kamu. Terpenting, kamu pulang dulu sekarang ya!" titah Tasya tak bisa banyak berbicara.
"Iya deh, Bun. Gerrald pulang sekarang...." ucap cowok itu menurut patuh. Lalu, sambungan pun terputus. Membuat Gerrald lantas bertanya-tanya perihal bagaimana dan kenapa pacarnya itu bisa jatuh pingsan seperti yang diinformasikan bundanya barusan.