6. Pembohong yang Buruk

2039 Words
So look me in the eyes, Tell me what you see, Perfect paradise, Tearing at the seams, I wish I could escape, I don't wanna fake it, Wish I could erase it, Make your heart believe. But I'm a bad liar, bad liar.... Now you know, Now you know, I'm a bad liar, bad liar.... Now you know, you're free to go (go). (Imagine Dragon - Bad Liar) Lirik lagu yang sedang gadis itu dengarkan sekarang seolah mewakili isi hatinya yang sedang dilanda kegalauan. Bad liar, artinya pembohong yang buruk. Ya, sudah hampir 2 tahun lamanya Clarista menjadi seorang pembohong yang buruk mengenai perasaannya sendiri. Ketika di luar ia tampak bahagia, tetapi dalam hatinya ia justru merasa tersiksa dengan rasa rindu yang nyaris tak terbendung lagi. Puncaknya adalah malam ini, sambil mengenang masa lalu yang sudah begitu jauh ia tinggalkan. Clarista pun terisak sendiri di tengah keheningan malam.  "Kenapa mendadak aku kangen banget sama kamu, Ger...." ucap gadis itu terisak serak. Tanpa disangka, rupanya Clarista pun masih menyimpan sejumlah foto yang sengaja ia cetak sebelum memutuskan untuk pergi ke New York 2 tahun yang lalu. Alasannya sederhana, dia akan menjadikan semua foto itu sebagai objek yang bisa ia pandangi ketika dirinya sedang dilanda kerinduan mengenai masa lalunya. Terutama Gerrald, meski sudah dua tahun berlalu, tapi ingatannya tentang cowok itu masih belum bisa ia hilangkan dari benak dan juga hatinya. Malah, semakin berusaha untuk ia lupakan, semakin kuat pula rasa rindu yang mendera. "Ger, kamu masih inget aku gak sih? Kayaknya enggak deh ya. Setahuku, kamu pasti udah bahagia sama cewek baru kamu. Duh, jadi iri deh aku. Kapan coba aku bisa kayak kamu yang move on semudah buang ingus...." Sruuuttt, Clarista pun membuang ingusnya sungguhan ke permukaan tisu yang ia ambil dari tempatnya. Kemudian, tisu itu pun ia jadikan gulungan kecil dan dilemparlah ke lantai secara asal. Selepas itu, Clarista lantas kembali membuka album foto mini yang ia jadikan sebagai tempat penyimpanan sejumlah foto cetak yang berisi dirinya dan juga Gerrald sewaktu dulu. Beruntung mereka sempat mengabadikan beberapa foto di setiap momen yang mereka lalui, meski teknologi belum secanggih saat ini, tapi untuk sekadar berfoto mereka masih bisa melakukannya dengan kamera digital milik Clarista pribadi. Maka, berkat hal itu, kini ia pun memiliki bukti kenangan yang bisa dilihatnya lagi di kala ia sudah tak sanggup menahan rasa rindu terhadap bekas pacarnya tersebut. "Andai aja kamu tau, Ger. Setiap malam, kadang aku suka mimpiin kamu. Dalam mimpi aku, kamu tersenyum semringah sambil datang hampirin aku. Jujur, aku bahagia banget kalo udah mimpiin kamu kayak gitu. Tapi sayang, itu cuma sebatas mimpi. Kenyataannya, kamu bahkan gak pernah ingat aku lagi ya pasti? Kamu mungkin udah bahagia sama pacar baru kamu di sana." Clarista kembali menyeka air matanya yang berderai. Hatinya teramat pedih ketika bayangan masa lalu seakan menyerbu datang mendera diri. Seketika, sekelebat bayangan sewaktu Gerrald pertama kali menyatakan cintanya pun seolah berputar kembali dalam benaknya. Layaknya sebuah film lama yang diputar kembali, kini Clarista pun dapat melihat dengan jelas betapa bahagianya ia saat dulu. Tanpa terasa, air mata pun kian menderas seiring teringatnya kenangan di masa silam. "Diary, lo tau gak lagu yang barusan gue nyanyiin itu artinya apa?" "Tau," "It means, lo juga udah tau kan seperti apa perasaan gue ke elo selama ini?" "Ha? Maksudnya?" "Gue cinta sama lo, Diary. Jadi, lo mau gak kalo kita pacaran?"  Terbukti sudah, bahkan kini sepenggal percakapan di pesisir pantai kala itu seakan kembali berterbangan ke dalam benaknya. Suara Gerrald saat menyatakan cinta padanya malah teramat jelas terngiang di dalam pendengarannya. Sungguh, apakah yang sedang Clarista lakukan ini adalah hal benar? Mengenang masa lalu mengenai lelaki yang justru ia ketahui sudah memiliki pacar baru di kehidupan saat ini. Tapi apa yang bisa Clarista perbuat? Untuk menguburnya dalam-dalam saja rasanya ia tidak sanggup. *** Pagi-pagi sekali, Clarista sudah bangun lagi dari tidur yang kurang nyenyaknya. Setelah semalaman ia disibukkan dengan mengenang masa lalu, kini ia pun tampak tidak segar jika dilihat dari raut wajahnya. Jelas, bagaimana bisa ia terlihat segar jika sepanjang malam saja ia isi dengan menangis sendiri. Bahkan, gadis itu pun baru bisa tidur saat waktu subuh hendak tiba. Parahnya, sepagi ini dia pun sudah harus bangun lagi mengingat ia memiliki jadwal kuliah pagi bersama Oliver yang berniat untuk menjemputnya. "Aku lupa kalo hari ini ada kuliah pagi. Kalo ingat dari semalem, mungkin aku gak perlu pake acara kenang-kenang masa lalu. Tapi kan udah telanjur kejadian juga, auto dipandang aneh deh sama anak-anak kampus pas lihat keadaan mataku sebengkak ini," gumamnya di depan cermin rias sembari memeriksa bagian mata yang teramat sembab pasca menangis semalaman. Salahnya, Clarista langsung tidur tanpa mencuci muka lebih dulu. Maka tidak heran jika matanya menjadi bengkak seperti sekarang. Pada akhirnya, gadis itu hanya bisa mendecak sekaligus menghela napas pasrah. Kemudian, sambil menyeret langkah malasnya, ia pun bergegas menuju kamar mandi yang memang kebetulan tersedia di dalam kamar tidurnya juga. Sebelum Oliver meneleponnya dan membuat dirinya kewalahan ketika sudah diburu-buru, Clarista pun harus segera menyelesaikan ritual paginya hingga tak ada yang terlewatkan sedikit pun. Musim gugur masih berlangsung, selama itu pula pembelajaran di kampusnya masih akan terus berjalan efektif. Lain hal ketika musim dingin tiba, dimulai dari pekan depan kampus yang dijadikan Clarista sebagai tempat mencari ilmu pun akan memulai juga masa liburannya. Dengan begitu, Clarista pun akan memilih untuk pulang dulu ke tanah air selama liburan dan musim dingin belum berakhir. Lagipula, Clarista juga paling tidak kuat jika sudah diberi kondisi yang terjadi di musim dingin. Tahun lalu pun, Clarista nyaris mengalami hipotermia saking tak bisanya ia hidup di tengah musim dingin yang berlangsung.  Maka, demi agar ia tidak mengalami lagi kejadian sejenis itu, Clarista pun bertekad untuk pulang saja ke Indonesia. Sekalian ia pun akan memenuhi undangan Bara yang kebetulan akan menikah bersama dengan wanita pilihannya.  Membicarakan soal Bara, sepertinya hanya pria itu saja yang tak pernah absen dalam menghubunginya. Jika dihitung-hitung, mungkin dalam seminggu Bara bisa menelepon dan menanyakan kabar berikut perkembangan Clarista selagi hidup sendiri di New York kurang lebih sebanyak 5 kali. Ya, Bara memang teman yang sangat baik dan selalu peduli pada Clarista. Berkat Bara yang selalu memanggil dirinya dengan sebutan Clarista, kini ia pun dikenal sebagai Clarista oleh teman-temannya di New York. Tidak ada yang memanggilnya Diary. Sebab, nama Diary memang terbilang langka untuk dikenal oleh teman-temannya di sana. Jadi, karena sudah telanjur nyaman dengan panggilan Clarista, alhasil nama itulah yang sekarang menjadi identitasnya di New York. Setelah melakukan ritual kamar mandinya selama hampir setengah jam, kini Clarista pun sudah memakai kimono handuknya untuk membalut seluruh tubuhnya pasca mandi. Lalu, gadis itu pun beranjak ke luar dari kamar mandi tersebut. Namun, saat ia berniat untuk langsung melangkah menuju lemari pakaiannya, tahu-tahu ponselnya pun berdering nyaring yang cukup berhasil mengejutkannya. Seusai sempat terkesiap kaget, Clarista pun lantas meraih benda berisik tersebut yang semula ia geletakkan di atas nakas sebelah tempat tidurnya. Saat dilihat layar berkedipnya, nama Oliver pun terpampang di sana seakan mengomando sang gadis agar lekas menjawab panggilannya. Lalu, karena tak ingin membuat Oliver lama menunggu, buru-buru ia pun menerima panggilan tersebut seraya berkata, "Halo!"  "Kau sudah siap?" tegur Oliver tanpa basa-basi. Sudah menjadi kebiasaan memang, lelaki itu bukan tipikal manusia yang suka berbasa-basi dulu sebelum berbicara pada intinya. "Aku baru saja ke luar dari kamar mandi, Oliver. Ayolah, ini bahkan masih pukul 6...." rengek Clarista meminta pengertian teman karibnya tersebut. "Memangnya kenapa? Aku hanya bertanya saja. Lagipula, aku pun baru akan mandi. Jadi, jangan terlalu terburu-buru, mungkin aku akan sedikit terlambat dalam menjemputmu," tukas lelaki itu terkekeh. Mendengar hal tersebut, mendadak Clarista ingin sekali mengumpatnya kasar. Sayang, Oliver terlalu tangguh untuk menerima u*****n. Seberapapun u*****n yang dilontarkan padanya, hal itu bahkan tidak akan membawa pengaruh apapun pada lelaki itu. Alih-alih merasa menyesal setelah mendapat u*****n, yang ada, Oliver hanya akan membalasnya dengan senyuman menyebalkan saja yang terpatri di bibirnya. "Kau ini," desis Clarista menahan diri untuk tidak melancarkan omelan penuh kekesalannya. Oliver kembali terkekeh saat Clarista dengar, "Oh ya, kau mau kubawakan menu sarapan apa? Saat menjemputmu nanti, aku akan mampir sejenak ke restoran langgananku. Di sana banyak menu yang bisa kau sukai sesuai seleramu. Kebetulan, mereka juga menyediakan berbagai menu khas Indonesia," tutur Oliver memberitahu, "Benarkah?" pekik Clarista diiringi dengan bola mata yang berbinar.  Rasanya, gadis itu sudah sangat merindukan makanan khas tanah airnya. Lagipula, kenapa Oliver baru mengatakan hal ini setelah Clarista tinggal di New York selama dua tahun? Mengapa tidak ia informasikan saja sejak dulu bahwa ia memiliki restoran langganan yang menyediakan berbagai menu masakan Indonesia juga. Jika tahu begitu, Clarista pun tidak akan terus menerus memberikan makanan yang hanya berlabel khas New York pada  cacing di perutnya bukan? "Tentu saja. Aku baru ingat jika kau berasal dari Indonesia," ujar Oliver yang terdengar sedikit menyebalkan di telinga Clarista. "Baiklah. Mungkin kau memang menganggapku orang luar planet bumi. Maka tidak heran jika kau sampai lupa mengenai identitas asliku seperti itu," cetus Clarista mendengkus sebal, Tanpa diduga, Oliver pun malah tertawa renyah seolah ia baru saja mendengarkan lelucon dari mulut sang gadis. "Jangan marah! Kau akan terlihat jauh lebih cantik ketika marah, dan sialnya, aku akan jatuh cinta padamu seandainya kau terlihat semakin cantik di mataku...." ungkapnya diselingi kekehan. Clarista mendecak jengah. Entah sudah berapa puluh kali Oliver melayangkan gombalan sejenis itu. Untungnya, Clarista tidak mudah terbawa perasaan. Jadi, hatinya masih berada di zona aman sekalipun Oliver terkadang selalu gencar menggodanya hingga ia merasa puas sendiri. *** Clarista sedang memoleskan lip balm ke permukaan bibirnya ketika telinganya mendengar suara denting bel di pintu utama sana. Meski saat ini dirinya sedang berada di kamar, tapi tetap saja bunyi bel itu terdengar ke telinganya yang masih sangat normal itu. "Itu Oliver bukan ya?" gumam gadis itu sembari menyudahi kegiatan poles memoles lip balmnya. Kemudian, setelah menaruh kembali lip balm beraroma stroberi tersebut ke tempatnya, kini Clarista pun mulai beranjak sekaligus merapikan pakaian serba panjangnya yang sudah melekat sempurna di tubuh. Cling.  Di tengah ia yang sedang sibuk bercermin, ponselnya pun turut berdenting. Sepertinya ada pesan masuk yang harus segera ia periksa. Lalu tanpa berlama-lama, Clarista pun segera melihat nama pengirim pesan yang terpajang di layar notifikasinya. Kau sedang apa? Kenapa hobi sekali membuatku menunggu seperti ini. Spontan, Clarista pun menepuk dahinya ketika ia sudah membaca pesan yang Oliver kirimkan padanya beberapa detik yang lalu. Lantas, seakan tidak siap jika dirinya harus mendapat omelan si teman karib sepagi ini, buru-buru Clarista pun mengayunkan langkahnya meninggalkan kamar. Diiringi dengan langkah yang tergesa, kini gadis itu pun sudah hampir tiba di depan pintu yang masih terkunci rapat. Sampai ketika ia sudah benar-benar berada di depan pintu, barulah Clarista pun membuka kuncinya berikut menarik pintu tersebut hingga kini sudah terbuka lebar dan menampilkan sosok Oliver yang sedang berkacak pinggang. "Good job, Clarista. Lagi-lagi, kau membuatku harus menunggu cukup lama di sela kau sibuk sendiri di dalam kamar," cetus lelaki itu mendesah kesal. Mengerjap, Clarista pun menatap tak percaya karena Oliver sudah tepat sekali dalam melontarkan tebakannya. "Bagaimana mungkin kau tahu kalau aku sedang berada di kamar saat kau mengirimiku pesan tadi?"  "Apa lagi yang akan dilakukan oleh kaum wanita sepertimu jika tak lama lagi kau akan bepergian dari rumah. Selain bercermin dan merias diri, memangnya ada hal lainnya yang biasa kau lakukan?" tukas Oliver sambil memutar bola matanya. Mendengar itu, Clarista pun jadi menatap sebal. Pasalnya, temannya itu seolah sedang menyamaratakan dirinya dengan wanita lain pada umumnya. Padahal, Clarista kan hanya memoleskan lip balm dan sedikit riasan tipis saja agar tidak terlalu pucat. Tapi Oliver, dia berkata seakan-akan Clarista adalah wanita yang hobi merias wajahnya sampai sedemikian rupa. "Menyebalkan," desis gadis itu sembari mendelik dongkol. Lalu, tanpa berniat mempersilakan masuk, ia pun membalikkan tubuhnya membelakangi Oliver seraya mulai berjalan lurus meninggalkan lelaki itu. "Hei, kau tidak akan mempersilakanku masuk?" seru Oliver kala mendapati Clarista yang pergi begitu saja. "Masuk saja, bukankah kau sudah terbiasa masuk tanpa perlu kupersilakan...." balas sang gadis yang masih merasa kesal. "Ayolah, aku tidak seburuk itu dalam bertamu," tukas Oliver yang ujung-ujungnya menyusul masuk juga dengan dua kantong kertas yang dijinjingnya di masing-masing tangannya. "Sudahlah, bukankah sudah kubilang kau tidak diperbolehkan untuk marah? Atau, apa jangan-jangan kau memang sengaja ingin membuatku jatuh hati padamu, hem?" seloroh lelaki itu yang sontak membuat Clarista ingin sekali menyumpal mulut isengnya dengan kaus kaki bekas. Lalu, di tengah kekehannya, tanpa sengaja Oliver pun melihat ke bagian mata sang gadis yang tak sesegar biasanya. "Clarista, ada apa dengan matamu?" tanyanya langsung pada inti. Refleks, gadis itu pun kini tergugu kaku seakan tidak siap jika harus mengutarakan penyebab matanya bisa sebengkak pagi ini. "Bukan masalah besar. Ini sudah biasa jika aku mengalami kesulitan tidur. Ayo, mana menu sarapanku? Kau tidak lupa dengan pesananku bukan?" sahut Clarista yang sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Tapi Oliver adalah manusia paling peka yang tak mudah dibohongi. Maka, di tengah senyuman kecutnya, lelaki itu pun berkata, "Kau memang pembohong yang buruk."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD