6. Missing You

1733 Words
"Menangis itu seperti berbicara melalui mata ketika mulutmu tak sanggup lagi menjelaskan betapa patah hatinya kamu." ------ Hari seolah cepat berganti. Makin hari pernikahan Alya dan Kenzie semakin di depan mata. Jika mengingat kenyataan itu seketika mood Alya kembali rusak. Sampai detik ini ia masih belum yakin apa ia benar-benar harus menikahi Kenzie? Orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Sepertinya Alya butuh waktu untuk menata hati. Menerima kenyataan kalau sebentar lagi akan menjadi bagian keluarga Winata. Teringat ucapan Dinda tempo hari "Bukan kah sesuatu kebanggaan tersendiri bisa menjadi istri seorang Kenzie Winata Al, mengingat wanita di luar sana berlomba-lomba ingin menjadi pendampingnya." Tidak untuk Alya. Menjadi bagian seorang Winata bukan impiannya. Bahkan sedikit pun tak pernah terbesit dipikirannya. Tidak bisa dipungkiri nama Radit masih terpatri jelas di benaknya. Berusaha sekuat tenaga mencoba berdamai dengan hati untuk pelan-pelan melupakan Radit. Mencoba untuk membuka lembaran baru. Tapi apa daya, pria itu begitu indah untuk sekedar dilupakan begitu saja. To sweet to forget, begitulah Alya sering menyebut segala kenangan bersama Radit. Pagi ini kabut tebal menyelimuti dinginnya pagi. Kicau-kicau burung terdengar merdu menemani perjalanan Alya menuju kantor. Hari ini mungkin Alya bisa kembali bernapas lega. Kenzie menepati janjinya untuk mengurus semua pemberitaan miring tentang mereka. Walaupun seantero negeri sudah mengetahui statusnya yang akan segera menjadi nyonya Winata, paling tidak ia tidak perlu lagi sakit mata membaca beberapa judul headline news yang memojokkan dirinya. Pun tentu ia harus berhati-hati mulai sekarang. Karena semua gerak-geriknya bisa saja menjadi santapan awak media. Saat melangkah memasuki ruang kerja, langkah Alya terhenti. Ada pemandangan yang sedikit mengusik matanya. Satu bucket bunga mawar cantik lengkap dengan kartu ucapan tergeletak begitu saja di atas meja kerjanya. Siapa yang sudah mengirim bunga sepagi ini? Pertanyaan itu yang pertama terlintas di benak Alya. Perlahan Alya mendekat lalu meraih kartu ucapan yang melekat di pinggiran bunga lalu membacanya. . . Dear Alya, Maafkan aku pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Sungguh aku tak sanggup merangkai kata perpisahan untukmu. Maafkan aku yang sampai detik ini masih mengingatmu dan begitu mencintaimu. Mengenalmu bukan suatu kesalahan untukku. Perpisahan ini sangat berat, percayalah aku pun merasakannya. Namun sepertinya, ini yang terbaik untuk kita berdua. Aku tak akan pernah mengucapkan selamat tinggal, karena aku yakin suatu saat kita akan berjumpa lagi walaupun di dimensi yang berbeda. Cukuplah aku mencintaimu dari kejauhan. Membuatmu bahagia tak harus bersamaku bukan. Selamat menempuh hidup baru sayang, Aku yakin kamu bisa lebih bahagia dengannya. . With love Raditya Einhard Miller . Alya terpaku dengan tatapan mata nanar. Dadanya seketika sesak karena perasaan yang begitu bergejolak. Pikirannya bercampur aduk setelah membaca isi kartu ucapan yang ditulis oleh Radit. Setelah sekian lama menghilang, Radit tiba-tiba saja mengiriminya sebucket bunga dengan ucapan yang menyayat hati. Alya tidak mampu lagi menahan Air mata yang mengalir deras di pipinya. Apakah Radit tidak sedikitpun merindukannya. Paling tidak mengucapkan selamat secara langsung padanya. Apakah Alya tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya walau hanya sekali. Alya terus menangis sejadinya, hingga tiba saat Dewi yang tanpa sengaja masuk ke ruangannya dan langsung memberikan pelukan erat ketika melihat Alya sudah duduk tersungkur di lantai. Menahan sakit akan kerinduan yang menyiksa diri. "Sudahlah, Al, aku tahu pasti perasaanmu saat ini. Tapi berhentilah menyesali takdir yang tidak berpihak. Mungkin setelah ini Kenzie lah sumber kebahagianmu." Alya hanya terdiam mendengar ucapan Dewi. Bagaimana mungkin Kenzie bisa menjadi sumber kebahagiannya kelak kalau pria itu jelas-jelas telah mengibarkan bendera perang kepadanya. Sementara itu, di tempat berbeda Kenzie dengan langkah yang berat memasuki ruang makan di rumahnya. Sesaat setelah merebahkan diri di kursi, ia kembali memandangi tumpukan undangan pernikahan yang baru saja selesai di cetak dan sengaja di taruh berdekatan dengan meja makan. Tertulis dengan jelas di saan sepasang nama yang membuat Kenzie terpaku dari tadi. . Kenzie A Winata (Putra Pasangan Mr.Ferdy A Wianata dan Mrs. Choi Luna) dan Alya Destiana Wijaya (Putri Pasangan Mr.Andi Wijaya dan Mrs. Alisa Alexandra) . "Kenzie, coba lihat undangan pernikahanmu. Sudah selesai di cetak." Luna terlihat begitu antusias menunjukkan undangan pernikahan Kenzie dan Alya. "Mama puas sama hasilnya, sesuai dengan harapan Mama. Mulai besok harus pelan-pelan kau bagikan ya, Nak. Karena minggu depan kita sudah harus berangkat ke Bali." Kenzie membuang napas berat, tidak mungkin kalau ia menolak permintaan Luna untuk segera membagikan undangan pernikahan. Jika setiap calon pengantin terlihat antusias bahkan bahagia bila menyiapkan segala sesuatu keperluan pernikahan, tidak dengannya. Kenzie masih tidak percaya sebentar lagi akan menikah. "Iya Ma, nanti Kenzie bawa sebagian untuk di bagikan." "Jangan lupa antar ke tempat Alya juga sayang, biar dia bisa cepat membagikan ke teman dan keluarganya." **** Di sini, di ruang kerjanya. Kenzie kembali menatapi tumpukan udangan pernikahannya. Masih memikirkan siapa saja yang akan ia undang untuk menyaksikan pesta mewah yang sudah dipersiapkan Ferdy dan Luna Winata untuknya. Tak berselang lama, sebuah ketukan pintu terdengar memekan telinga. Seorang wanita yang tak lain sekretaris Kenzie masuk ke dalam ruangan. "Permisi Mr.Ken, ada tamu yang ingin bertemu." Kenzie sedikit terkesiap. "Siapa yang bertamu sepagi ini?" Ia terlihat bingung. Seingatnya, ia memang belum ada janji bertemu dengan siapa pun hari ini. "Apa aku harus membuat janji terlebih dahulu jika ingin bertemu denganmu, Mr. Kenzie?" Belum lagi sempat Kenzie mempersilahkan, tamu yang di maksud langsung memasuki ruangannya tanpa dipersilahkan terlebih dahulu. Senyum lebar Tita terlihat begitu jelas di mata Kenzie saat wanita itu tiba-tiba memasuki ruangan. Titania Austin atau Tita, wanita yang selama ini menjadi kekasih Kenzie baru saja pulang dari acara Fashion Show di luar negeri dan sengaja mengunjunginya untuk melepas rindu. "Sayang, kau membuatku terkejut. Jelas tidak perlu, kau bebas kapan pun bila ingin bertemu denganku." Kenzie memberikan isyarat kepada sekretarisnya untuk meninggalkan mereka berdua. "Walaupun kau sudah menikah nanti?" tanya Tita dengan nada sedikit menggoda. "Hmmm ... " Ken terlihat sengaja memainkan bola matanya seakan-akan sedang berpikir apakah Tita tetap bisa bebas mengunjunginya ketika ia telah resmi menikah dengan Alya nanti. Melihat reaksi Tita yang mengerucutkan bibirnya, Kenzie semakin gemas lalu menarik tubuh wanita itu hingga jatuh ke pangkuannya. "Tentu saja boleh, Sayang. Kita akan bisa bertemu walaupun aku sudah menikah nantinya." Kenzie mengeratkan pelukannya pada tubuh ramping Tita. Dengan senang hati wanita itu membalas pelukan kekasihnya. Lalu mendaratkan ciuman mesra pada bibir pria itu "Aku merindukanmu, Kenzie Winata," ucap Tita di sela ciuman mereka. Tidak bisa dipungkiri kalau Kenzie memang menyayangi Tita. Tidak pernah bermaksud untuk meninggalkan wanita yang menemaninya beberapa tahun belakangan ini. Belum lagi Tita memang sebatang kara di dunia ini. Hanya Kenzie yang ia punya. Sebab inilah, pria itu terasa berat meninggalkannya. "Sayang, itu apa?" tiba-tiba Tita mengendurkan pelukannya karena terperanjat akan sesuatu yang dilihatnya. Kenzie menoleh mengikuti arah telunjuk Tita lalu menyahut. "Oh, itu undangan pernikahanku yang baru selesai di cetak," jawab Kenzie santai. "Apa kau akan mengundangku untuk hadir?" Kenzie mengangguk. "Jelas saja, kau harus datang. Kita juga bisa berangkat ke Bali bersama-sama minggu depan." "Ken apakah aku juga boleh bertemu langsung dengan calon istrimu ?" Kenzie terkesiap mendengar permintaan Tita. Berpikir sejenak dengan apa yang dipinta wanita itu kepadanya. Ia sendiri belum bisa memastikan apakah Tita akan tetap baik-baik saja setelah bertemu Alya nantinya. Menyadari Kenzie yang tiba-tiba terdiam mendengar permintaannya, cepat-cepat Tita menatap wajah Kenzie dengan intens, "Tenang saja, aku hanya ingin berkenalan dengannya. Ku pastikan aku tidak akan menjambak rambutnya." ucap Tita kembali menggoda Kenzie. Kenzie tersenyum tipis lalu menjawab. "Baiklah, Akan ku minta Richard untuk menghubungi dan mengatur jadwal untuk bertemu dengannya. Atau kau mau aku temani? Aku sedang tidak sibuk beberapa hari ini," bual Kenzie. Sekali lagi ia hanya khawatir sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. "Tidak Ken, tidak perlu." Tita menggelengkan kepalanya. "Anggap saja ini urusan sesama wanita." Tita mengerlingkan matanya. "Baiklah, nanti Richard akan mengabarimu kapan pastinya." Tita lantas bangkit dari pangukuan Kenzie. Bersiap untuk pergi. "Kalau begitu aku pamit pulang, ada jadwal pemotretan sore ini dan aku harus datang lebih awal." "Aku akan mengantarmu," tawar Kenzie. "Tidak perlu, Sayang, aku bisa naik taksi. Lagi pula kerjaanmu masih banyak. Bukankah sebentar lagi kau akan libur panjang." Tita menjawab hati-hati takut kalau Kenzie tersinggung akan penolakannya. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa minggu depan sayang," ucap Tita seraya memeluk kembali Kenzie. Kenzie masih terus memandangi kepergian Tita. Wanita itu perlahan keluar hingga lambat laun menghilang dari pandangan, tergantikan dengan kedatangan Richard yang terlihat buru-buru. "Apa ada yang harus ku lakukan Ken?" Kenzie menghela napas panjang, matanya kembali tertuju pada tumpukan undangan yang sudah tersusun rapi di atas meja tamu. "Tolong antarkan undangan pernikahan ku ke kantor Alya dan tolong sekalian bagikan juga kepada teman-teman, kolega dan karyawan lainnya," titah Kenzie. Richard mengangguk lalu memajukan tubuhnya mendekati tumpukan undangan yang Kenzie tunjukkan. "Ken, apakah kau yakin akan pernikahan ini?" tanya Richard di sela kegiatannya menyusun undangan. "Maksudku, apakah ini pilihan terbaikmu mengingat kau masih berhubungan dengan Tita sampai detik ini?" "Entahlah Rich, aku tidak mungkin mundur dalam rencana pernikahan ini. Mau taruh di mana harga diri kedua orang tuaku. Lagi pula, membatalkan sepihak hanya membuka luka lama. Kau tahu sendiri, mereka sudah kecewa atas tindakan Kiano yang kabur tiba-tiba saat ingin di jodohkan." Kenzie terlihat gusar, dari raut wajahnya sangat jelas ia terlihat sedikit frustasi. Ah tidak, benar-benar frustasi tepatnya. Ada rasa penyesalan di damam dirinya. Harusnya saat ini ia menikahi Tita bukan wanita lain yang jelas-jelas tidak ia inginkan atau belum ia cintai lebih tepat nya. "Bersabarlah Ken, mungkin suatu saat kebahagian itu akan menghampirimu," jawab Richard bijak sambil menepuk pundak sahabat sekaligus bosnya. Richard sendiri adalah sahabat Kenzie Winata sedari menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Ia paham benar dengan sifat dan lika-liku kisah hidup yang dijalani Kenzie saat ini. Richard juga lah satu-satunya orang yang mengerti dan mampu mendapat kepercayaan lebih dari Kenzie. "Ah ya, apa kau tidak ingin mengadakan makan malam bersama? Setidaknya kau bisa sedikit bersenang-senang sebelum hari sakral itu tiba. Anak-anak pasti sangat antusias untuk hadir Ken." "Sepertinya menarik, tolong kau atur sebaik mungkin Rich. Sabtu besok sepertinya waktu yang tepat. Oh aku juga hampir lupa, tolong atur juga pertemuan antara Tita dan Alya. Ia ingin sekali bertemu Alya secara langsung. Jangan lupa kirim orang untuk mengawasi mereka dari jauh. Aku tidak ingin mengambil risiko jika terjadi sesuatu antara mereka berdua." "Akan ku lakukan sebaik mungkin, Ken," Richard penuh percaya diri. . . *Yang baru bergabung, boleh banget follow ig/sss ku @novafhe. Semua visual/jadwal update/spoiller cerita aku publish di status/story. *Yang mau gabung grup pembaca di f******k, bisa cari nama grupnya : Fhelicious. *Yang mau gabung grup khusus pembaca di WA. Boleh klik link-nya di profile ig. . Thankiss semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD