Seseorang menjegal kaki Shinbi sehingga menyebabkan gadis itu jatuh tertelungkup. Shinbi memekik kesakitan. Beruntung saat itu koridor sedang sepi, jadi tidak ada yang melihatnya terjatuh dengan posisi menggelikan seperti itu. Tapi, ponselnya yang ikut jatuh pun rusak berkeping-keping karena begitu kerasnya berbenturan dengan lantai.
Shinbi menatap ponselnya horor kemudian menggeram marah. Dengan masih dalam keadaan tertelungkup, Shinbi menoleh untuk melihat siapa pelaku penjegalannya. Matanya membulat ketika mendapati wajah Sehun yang sedang menatapnya tajam.
Shinbi mendengus kasar lalu langsung berusaha bangkit. Dengan sedikit terseok, Shinbi menghampiri Sehun. Seakan tidak merasa bersalah sedikitpun, Sehun tetap bertahan dengan ekspresi datar dan dinginnya sambil menatap Shinbi tajam.
"Apa-apaan ini? Kenapa kau menjegalku? Sebenarnya apa masalahmu?" Shinbi berkata dengan gigi terkatup rapat menahan amarah. Tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. "Apa kau mulai menindasku, Oh Sehun?"
"Bukan menindas. Aku hanya ingin memberimu pelajaran," Sehun berujar ringan.
"Pelajaran?"
"Pelajaran agar kau tidak menelepon saat sedang berjalan karena itu bisa mencelakaimu."
"Omong kosong!" Shinbi mencebik. "Aku celaka justru karena dirimu."
Sehun mengangkat bahu cuek. "Itu lebih baik daripada kau celaka karena orang atau hal lain."
Shinbi menatap Sehun jengkel. Kemudian ia mendengus kasar. Ia menatap Sehun penuh penghakiman. "Lagi pula, kenapa kau peduli aku akan celaka atau tidak?"
"Karena kau pacarku, maka dari itu aku peduli."
"Omong kosong lagi," Shinbi mencibir. "Kupikir kau sudah tidak menganggapku sebagai pacarmu lagi setelah seharian kemarin kau bersikap dingin padaku dan menghindariku."
"Oh, jadi kau sudah menerima kenyataan kalau kau itu pacarku? Kau kesal karena kemarin aku mengabaikanmu?" Sehun menatap Shinbi dengan sudut bibir terangkat tinggi. Tatapan matanya penuh selidik. Shinbi semakin kesal dengan ekspresi Sehun.
"Jangan mimpi! Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi jadi pacarmu. Sekalipun kau memaksaku jutaan kali, aku tetap tidak akan mau."
Shinbi berbalik dan mulai melangkahkan kakinya pergi. Sambil menggerutu pelan, ia memaksakan kakinya untuk berjalan cepat walaupun engkelnya terasa sangat sakit. Ia benar-benar harus segera pergi dari hadapan Sehun sebelum emosinya benar-benar memuncak. Tak lupa, ia mengambil ponselnya yang sudah hancur berantakan. Namun, saat ia merunduk untuk mengambil ponselnya, tiba-tiba tubuhnya terangkat. Shinbi memekik pelan.
Sehun menggendongnya ala bridal.
"What the hell are you doing? Turunkan aku, Oh Sehun!" Shinbi mendesis. Ia bergerak gelisah, tak nyaman. Sehun hanya terus menatap lurus ke depan. Shinbi mendengus.
"Oh Se—"
"Diam atau aku akan menciummu disini sekarang juga."
Mendengar ancaman Sehun, Shinbi langsung terdiam. Ia memperhatikan sekeliling dan mendapati tatapan penuh tanda tanya dari para murid yang melihat ia dan Sehun. Shinbi jelas tidak bisa membantah Sehun karena ia yakin, Sehun adalah tipikal orang yang akan benar-benar melakukan ancamannya. Tidak peduli ada banyak orang di sekitar mereka. Dia tebal muka, omong-omong. Buktinya, ia berani mencium Shinbi di kafetaria waktu itu.
"Kau mau membawaku ke mana?" Shinbi bertanya saat Sehun menggendongnya melewati kelasnya. Ia menatap Sehun bertanya-tanya.
"Klinik sekolah. Aku akan bertanggung jawab atas rasa sakit yang kau alami."
Pernyataan Sehun sukses membuat Shinbi menatapnya terkejut dan ... takjub.
*****
Shinbi menggembungkan pipi sebal sambil bersedekap. Perhatiannya kembali ia tujukan pada pintu kaca sebuah toko dimana lima belas menit yang lalu Sehun masuk ke dalamnya.
Shinbi sedang berada di dalam Aventador Sehun, omong-omong. Sehun memaksa untuk mengantarnya pulang atas nama tanggung jawab karena telah membuat kaki Shinbi terkilir.
Oh, yang benar saja! Tanggung jawab? Cih. Shinbi mengira kalau Sehun sengaja menggunakan kesempatan ini untuk mendekatinya. Pasti itu. Kalau tidak, ia pasti akan dengan tulus memberikan bantuan, bukan dengan paksaan.
Dan kini, lagi-lagi Sehun memaksanya untuk menerima ponsel yang baru Sehun belikan untuknya. Ponsel itu sebagai ganti ponselnya yang telah hancur.
"Tidak perlu kau ganti, aku bisa membelinya sendiri," ujar Shinbi sedikit ketus. Sungguh, ia sudah bosan berada terlalu lama di Aventador Sehun. Aroma Sehun yang tercium di mana-mana di setiap sudut mobil mewah itu terasa sangat menggelitik indera penciumannya. Ia sungguh tidak tahan dan tidak nyaman. Rasanya sangat aneh.
Sehun mendengus. "Kau tahu aku tidak suka ditolak, 'kan? Jadi, terima saja!" Sehun meletakkan ponsel baru yang masih disegel di dalam kotak kardus itu ke pangkuan Shinbi. Kemudian, ia pun tancap gas.
Shinbi mendelik, tapi ia tidak memprotes ataupun mengangsurkan ponsel itu kembali pada pembelinya. Percuma saja, Sehun pasti akan mengancamnya lagi. Apalagi, saat ini mereka hanya berdua. Siapa tahu Sehun nekad dan benar-benar melakukan ancamannya, bukan? Shinbi benar-benar tidak ingin itu terjadi. Alhasil, ia memilih untuk mengalah. Mengalah bukan berarti kalah, remember that!
Akhirnya, mereka sampai di depan rumah Shinbi. Rumah Shinbi besar dan bergaya minimalis. Ada taman yang cukup luas di halaman depan rumahnya, setelah pintu gerbang. Shinbi melihat Sehun memperhatikan rumahnya dengan seksama. Ia mendengus.
"Aku tahu rumahku tidak sebesar mansionmu, jadi tidak perlu memperhatikannya seperti itu."
Sehun mengerjap menatap Shinbi. "Bukan itu yang kupikirkan. Aku hanya suka pada desainnya. Desain rumahku sangat Eropa, padahal—"
"Ya, ya, terserahlah!" Tahu-tahu, Shinbi sudah membuka pintu mobil dan hendak keluar dari sana.
Sehun terkejut. "Hei!"
Belum sempat Sehun mencegah Shinbi keluar duluan dari mobilnya, Shinbi sudah lebih dulu menutup pintu mobil Sehun. Sehun melepas seatbelt-nya sambil mendumal. Kemudian, secepat kilat ia melompat keluar dari mobilnya.
Sambil masih terseok, Shinbi melangkahkan kakinya menuju gerbang. Tangannya sudah hampir mencapai bel pintu gerbang saat Sehun dengan sigap memencetkan bel untuknya. Shinbi mendelik kesal padanya. Ia yang tadinya hendak memasukkan kode rahasia pintu, mengurungkan niatnya karena ada Sehun di sampingnya.
"Pulanglah. Aku sudah di rumah, ada Song Ahjumma yang akan membantuku. Jadi, untuk apa lagi kau ada di sini?" Shinbi berkata ketus.
"Aku sudah bilang akan bertanggung jawab, 'kan? Itu artinya aku akan benar-benar memastikan keselamatanmu sampai ke dalam rumah," Sehun berbicara dengan ringan. Shinbi melongo.
"Sesukamulah!" Shinbi mendengus kemudian. Sehun menyeringai tipis.
Tidak lama kemudian, Song Ahjumma tergopoh-gopoh keluar. Wanita setengah baya itu terkejut saat melihat kaki nona mudanya diperban.
"Aku hanya terkilir. Ahjumma tidak perlu khawatir," jelas Shinbi menenangkan.
Saat Song Ahjumma hendak membopong Shinbi masuk ke rumah, Sehun lagi-lagi dengan tanpa rasa malu sedikitpun menggendong Shinbi. Shinbi memekik. Song Ahjumma melongo terkejut karenanya.
"Di mana kamarnya?" Sehun bertanya pada Song Ahjumma. Wanita itu bengong sebentar.
Song Ahjumma baru akan membuka mulut saat Shinbi berkata, "Jangan beritahu dia, Ahjumma!" Shinbi beralih pada Sehun. "Turunkan aku!"
"Di mana?" Sehun mendesak.
Song Ahjumma menggaruk tengkuknya bimbang. Shinbi menggeleng sebagai tanda bahwa ia tidak mau Sehun membawanya ke kamarnya. Tapi, Sehun juga tak mau kalah, ia terus menatap Song Ahjumma menanti jawaban. Karena melihat kaki Shinbi yang diperban dan merasa kalau Shinbi pasti akan sulit berjalan ke kamarnya yang ada di lantai dua, Song Ahjumma pun memilih untuk menunjukkan di mana letak kamar Shinbi.
"Ayo, ikut saya, Tuan Muda."
Sehun pun tersenyum puas lalu mengikuti arah yang dituju Song Ahjumma. Dalam gendongannya, Shinbi hanya bisa memaki dalam hati. Terkutuklah, kau, Oh Sehun!