Septa sedari tadi memperhatikan perubahan suasana hati Nayra selepas keluar dari ruangan sang ayah merasa sangat khawatir. Bagaimana tidak, Nayra saat ini menampilkan raut wajah yang bisa dibilang tidak baik-baik saja.
"Kamu kenapa, Nay?" akhirnya pertanyaan itu terucap dari mulut Septa, dia benar-benar khawatir pada Nayra. Apa tadi ada perkataan dirinya atau Papanya yang menyinggung Nayra?
Nayra menggeleng lemah mengisyaratkan pada seniornya itu bahwa dirinya baik-baik saja, "Saya baik-baik saja, Dok," jawab Nayra dengan senyum sopan.
"Jangan panggil saya dokter, Nayra. Saya tidak suka," protes Septa karena dirinya tidak suka jika gadis pujaannya memanggilnya dengan begitu formal.
"Maaf, tapi saya lebih nyaman panggil dokter," ucap Nayra dengan pandangan menunduk.
"Baiklah, jika itu membuat kamu nyaman," ucap Septa akhirnya mengalah. Demi kenyamanan sang gadis, dia hanya bisa mengalah.
-0-0-0-
Rama telah sampai di parkiran rumah sakit menghampiri salah satu mobil di sana, mobil sport kesayangannya. Mobil yang telah dia tinggalkan selama beberapa tahun belakangan ini. Dia percayakan untuk disimpan di garasi sahabatnya, Septa. Sebenarnya dalih-dalih bertemu Septa, dia pun sekalian mengambil mobil kesayangannya.
Rama mendial kontak seseorang yang akan dirinya temui setelah dari rumah sakit ini.
“Halo, sayang. Aku kangen banget. Maaf gak bisa jemput kamu di bandara, ya,” sapa seseorang di seberang sana panjang lebar dengan nada manja.
"Kamu di mana?" tanya Rama tanpa menjawab sapaan mesra orang dalam panggilan tersebut.
“Aku lagi di studio, lagi ada pemotretan majalah,” jawab seseorang itu.
"Kapan selesai?" tanya Rama lagi.
Helaan napas panjang terdengar dari sana, menandakan dirinya lelah menghadapi lembur sehari full, “jam 7 malam baru beres,” jawabnya dengan dengusan.
"Ya sudah, nanti kita ketemu jam 8 malam saja. Aku mau pulang dulu dan istirahat sudah cape banget soalnya," ucap Rama yang membatalkan rencananya bertemu sang kekasih sekarang juga dan memutuskan menginjakkan kakinya dahulu di apartemennya yang sudah lama kosong.
"Kita ketemu di apartemen aku aja, ya. Nanti biar aku delivery buat makan malam kita. Aku kangen banget sama kamu, Yang," pintanya dengan manja.
"Kita ketemu di Cafe biasa saja," jawab Rama menolak permintaan tersebut.
Dengusan kesal terdengar dari panggilannya, “selalu aja gitu. Yaudah, TERSERAH!” kalimat terakhir dari Karin sebelum panggilan mereka terputus.
"Itu demi kebaikan kita. Aku gak bisa lebih dari ini," gumam Rama ketika panggilan dari sang kekasih terputus.
▪♡▪♡▪♡▪
Rama telah berada di dalam apartemennya. Dia mengeluarkan barang-barang dalam kopernya dan dikemas seapik mungkin dalam lemarinya. Rama itu adalah salah satu pria yang paling anti kekacauan rumah. Dia sangat menjaga kerapian dan kebersihan.
Lagi-lagi dering ponselnya berbunyi, menghentikan tangannya yang akan menyusun buku-buku tebalnya di rak putih miliknya.
"Ada apa, Kasep?" tanya Rama. Dengusan kesal terdengar semakin mendalam ke dalam gendang telinga Rama.
“Ram, nama gue Septa ya bukan Kasep,” gerutu Septa yang lagi-lagi namanya selalu dipermainkan oleh Rama.
"Kasep itu singkatan dari Kakak Septa," jelas Rama dengan kekehan mengejek.
“Lo bukan adik gue Rama dan kita itu seumuran. Jadi, jangan pernah panggil gue kakak. Apalagi di depan Nayra,” gerutu Septa tidak terima atas panggilan Rama yang persis seperti panggilan kedua orang tuanya ketika di rumah.
"Nayra tidak akan mempermasalahkan panggilan kakak buat lo!" ucap Rama seraya memasukkan pakaiannya ke dalam lemari hitam dikamarnya.
“Setidaknya lo harus jaga image gue. Udah cukup papa mempermalukan gue di depan dia,” ujar Septa.
"Om Santoso terlalu sayang sama lo. Jadi, kenapa lo nelpon?" tanya Rama yang tersadar jika dirinya dan Septa terlalu terlarut dalam panggilan kakak untuk Septa.
“Kenapa lo gak bilang bakal tugas di rumah sakit bokap gue? Bukannya lo bilang di rumah sakit Kartika?” tanya Septa meminta penjelasan dari sahabatnya yang labil itu.
"Gue mau kasih kejutan buat lo," ujar Rama sembari terkekeh karena menurutnya menggoda Septa itu menyenangkan.
“Mulai sekarang jangan dekat-dekat sama gue Rama!” ucap Septa sarkasme dan bisa Rama pastikan ekspresi Septa pasti sangat menyebalkan.
Rama mengerutkan keningnya. Apa Septa marah hanya karena masalah sepele seperti ini? "Kenapa? Lo marah hanya karena gue panggil kakak?" tanya Rama.
"Gue takut lo bakal terbawa perasaan sama gue," ucap Septa dan dibalas tawa oleh Rama. Sahabatnya ini benar-benar keterlaluan.
"Gue masih normal! Dan buktinya gue masih suka sama Karin," ucap Rama dengan membawa bukti nyata.
Terjadi keheningan sejenak di antara mereka setelah nama Karin terucap. “Ram,” ucap Septa memecah keheningan dalam saluran komunikasi mereka.
"Jangan bahas tentang hubungan gue sama Karin lagi. Gue bingung kenapa lo dan Umi gak suka sama Karin. Kalian jangan cuma lihat luarnya saja, Karin itu gak seperti yang kalian pikirkan," ujar Rama mencoba mengontrol emosinya.
“Gue sama Umi lo hanya ingin yang terbaik buat lo. Gue tutup,” sambungan terputus. Septa hanya menghindari kemungkinan dirinya akan berdebat lagi dengan sahabatnya, hanya karena wanita seperti Karin. Rama masih dibutakan oleh cinta rupanya.
Rama menarik napas dalam mencoba meredam emosinya yang hampir saja terbakar jika Septa tidak memutuskan panggilan itu, "sebenarnya apa yang membuat kalian gak suka sama Karin? Sejak gue di Jerman dari saat itu Umi dan Septa jadi gak suka sama Karin," gumam Rama tepatnya pada dirinya sendiri yang masih seperti anak kecil dilarang makan es krim.