* Cinta Bukan Obsesi *

1446 Words
Seperti saat ini, mereka berpapasan namun seperti orang asing. Hal tersebut sangat mengganggu Nayra. “Fan! Dengar dulu penjelasanku!” cegah Nayra menahan lengan Fani. Ketika mereka bertemu atau berpapasan, Fani selalu saja menghindarinya dan kontak Nayra telah di blokir oleh sahabatnya itu. “Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Dokter Nayra,” ucap Fani. “Oh iya, selamat atas lamaran Anda dengan Dokter Septa. Terima kasih telah menjadi pendengar saya namun ternyata Anda yang akan menikah dengan Dokter Septa,” ujar Fani dengan nada menyindir. Wajah Fani sudah memerah menahan tangis, dia tidak sanggup bersikap seperti ini kepada Nayra yang telah menjadi sahabatnya sejak kuliah sampai mereka bekerja di sini. “Tapi, kamu tidak harus mengajukan pengunduran diri juga, Fan!” mungkin ketika Fani mengabaikannya, Nayra mencoba mengerti dan berencana menjelaskan secara hati-hati kepada Fani. Namun, dia mendengar bahwa Fani telah memberikan surat pengajuan pengunduran diri kepada pihak rumah sakit, hal tersebut tentu tidak akan membuat Nayra tenang. “Terus? Aku harus melihat sahabatku sendiri menikah dengan pria yang aku sukai di sini? Begitu, Nay?!” ucap Fani putus asa. “Jujur aku gak bisa marah sama kamu, Nay. Tapi, aku gak bisa liat kalian menikah di depan mataku dan bersikap seolah-olah aku baik-baik saja. Maaf aku gak bisa, Nay,” setelah mengatakan itu Fani menarik tangannya yang berada di cekalan Nayra. Ketika berbalik, air matanya tidak bisa dia bendung lagi. Fani kecewa akan keputusan Nayra yang menyakiti hatinya, namun dia sedikit paham mengenai posisi Nayra. “Aku minta maaf, Fan. Aku juga bingung harus bagaimana,” lirih Nayra masih melihat punggung Fani yang mulai menghilang dari pandangannya. Bukan hanya hubungannya dengan Fani yang berubah seperti orang asing, hal tersebut pun terjadi padanya dengan Rama. Jika dulu mereka adalah orang baru yang memulai saling mengenal, namun sekarang mereka adalah asing yang benar-benar asing. “Bentar lagi ada yang nikah, ini!” goda Adi kepada Nayra yang masih diam. “Eh, bukannya tunangan dulu ya kata Dokter Septa?” tanya Anita tepatnya kepada Nayra. “Iya kita akan mengadakan tunangan dulu,” jawab Septa yang baru saja muncul bersama Rama di belakangnya. “Kamu lagi sakit, Nay?” tanya Septa khawatir. Nayra menggeleng lemah, “enggak kok, Dok-. Eh, maaf Mas Septa,” ralat Nayra. Setelah acara lamaran itu, Septa mengajukan satu permintaan yaitu dia ingin Nayra mengubah panggilan kepadanya. “Cie, sudah dipanggil Mas saja ini, Dokter Septa,” goda Anita kepada Septa yang tersenyum malu. “Kan biar terbiasa, masa nanti panggil suami di rumah pakai panggilan Dokter,” ujar Septa. Hal yang paling membahagiakan untuknya adalah ketika Nayra memanggilnya dengan panggilan seperti tadi. “Sep, gue ke ruangan Karin dulu, ya,” pamit Rama. Sejak kepulangan Septa, Rama mendadak sedikit pendiam. Septa melirik Rama dan mengangguk, “Oke. Karin balik hari ini, Ram?” tanya Septa. Kondisi Karin sudah pulih dan bisa dikatakan sudah hampir sembuh seratus persen dan mungkin itu berkat Rama juga yang sangat telaten merawatnya. Rama mengangguk mengiyakan, “Siang ini habis tunggu hasil pemeriksaan dari laboratoriun,” jawab Rama. Untuk memulihkan kondisi Karin lagi, Rama terpaksa mengiyakan ketika Karin bertanya apakah mereka bisa melanjutkan hubungannya kembali. Awalnya, Rama melakukan itu agar dirinya bisa melupakan fakta bahwa Nayra telah dilamar oleh sahabatnya sendiri. Namun, ternyata dia melakukan ini bukan karena rasa sayang seperti dulu kepada Karin. Ini adalah suatu rasa kewajiban dirinya melindungi Karin., tidak lebih.   “Rama!” panggil Karin antusias ketika melihat Rama masuk ke dalam ruangannya. Dia bosan jika mengobrol dengan para perawat. Dari dulu hanya Wira dan juga Rama yang sangat mengerti cara berkomunikasi yang dekat dengannya, maka dari itu Karin tidak punya teman akrab lainnya. Rama tersenyum lebih tepatnya memaksakan tersenyum setelah melihat kedekatan antara Nayra dan Septa tadi. Dia bisa saja mengunjungi Karin nanti, namun ternyata melihat kedekatan antara Septa dan Nayra sangat mengganggu hatinya. Hampir semua ingatannya mengenai Nayra pulih dan hal itu semakin membuatnya merasa sakit hati. Nayra-nya yang dulu sudah akan menjadi milik sahabatnya sendiri. “Aku gak mau pulang dari rumah sakit, Ram!” ujar Karin kepada Rama yanng telah duduk di sampingnya. “Kenapa? Kamu kan sudah kembali pulih,” tanya Rama bingung. Dulu, Karin sangat anti dengan rumah sakit, karena memang Karin termasuk perempuan yang sangat menjaga kesehatannya. Karin menunduk melihat tautan tangannya, “karena kalo aku pulang dari sini, aku takut kamu benar-benar pergi dalam hidup aku,” ujar Karin dengan nada sedih. “Aku akan tetap selalu ada di sekitar kamu, kok,” jawab Rama berusaha meyakinkan wanita itu akan ketakutannya. Tidak mungkin juga Karin akan selamanya dirawat di rumah sakit. “Apa kamu serius dengan ucapan kamu waktu itu?” tanya Karin menatap dalam kepada Rama. Rama mengerutkan keningnya, “ucapan aku yang mana?” tanya Rama kembali tidak mengerti akan pertanyaan Karin. “Ucapan ketika kamu bilang setuju untuk memberikan kesempatan kedua untuk hubungan kita,” ucap Karin. Salah satu obat terampuh untuk dirinya bisa cepat pulih seperti ini adalah ucapan Rama yang setuju akan memberikannya kesempatan kedua. Rama terdiam, bingung harus bersikap seperti apa. Alasan dirinya mengucapkan itu, karena permintaan Wira dan juga khawatir akan kondisi mantan kekasihnya itu. “Kenapa gak jawab aku? Benar, kan, kalau kamu memang tidak serius akan ucapan kamu,” ujar Karin melihat kebisuan Rama. Satu tetes air matanya keluar begitu saja, apa yang sebenarnya dia harapkan saat ini. Karin tersenyum, menertawakan dirinya sendiri yang dengan bodohnya berharap kepada Rama. Pria mana yang akan memberikan kesempatan kedua untuk pengkhianatan kekasihnya. Rama berhak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darinya. “Kamu tahu, Ram? Kenapa seorang Karin yang tidak peduli akan siapa pun bahkan keluarganya sendiri, bisa melakukan percobaan bunuh diri?” Karin menjeda ucapannya. Air matanya terus merembes keluar dan hatinya tiba-tiba sesak. Rama hanya menggeleng sebagai respons. “Karena dari semenjak kamu masuk hidup aku, hanya kamu yang menjadi alasan aku tetap hidup dan menjalankan hidup aku dengan baik,” ujar Karin dan setelahnya tangisnya pecah. “Terus untuk apa sekarang aku harus bertahan hidup di saat alasanku hidup pun sudah hilang,” lanjut Karin dalam tangisnya. “Kita tidak akan seperti ini jika kamu tidak berkhianat, Rin,” sahut Rama masih menatap kosong wanita yang berada di hadapannya sekarang. “Bahkan aku akan tetap mempertahankan kamu di saat aku sadar jika hatiku telah terkunci oleh sosok dari masa laluku,” lanjut Rama dengan suara lirih yang tidak bisa terdengar oleh Karin. “Aku pun benci dengan diriku sendiri, Ram. Aku adalah wanita normal yang juga butuh perhatian seperti selayaknya wanita pada umumnya ketika memiliki seorang kekasih. “Kamu mencintai aku?” tanya Rama menatap lurus pada Karin. Karin mengangguk, “aku bahkan menjadikan kamu alasan aku hidup sampai sekarang. Apa itu tidak cukup menunjukkan kalau aku sangat mencintai kamu, Ram?” ujar Karin dengan tingkat keseriusan yang pasti. “Jika seperti itu kamu hanya memiliki rasa obsesi padaku, bukan mencintaiku,” sahut Rama tenang. Dia baru menyadari arti cinta yang sebenarnya dari hatinya dan juga keikhlasan Wira. Dia mengerti arti cinta dari Wira yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi orang dicintainya. Rama juga menyadarinya dari masa lalunya yang selama apa pun masa lalu itu terkubur, sebuah rasa cinta akan selalu tumbuh bahkan ketika rasa itu diingat kembali kekuatannya menjadi sangat besar. Setelah mengatakan hal tersebut, Rama keluar dari ruangan Karin. Di depan ruangan itu tampak Wira sudah duduk dengan membawa beberapa makanan yang menjadi sarapan untuk Karin. “Pagi, Ram. Apa Karin sudah bangun?” tanya Wira. “Gue gak bisa lebih dari ini, Wir. Apa lo mau menderita mengorbankan semua perjuangan lo hanya untuk membuat gue dan Karin bahagia?” tanya Rama. Seperti apa yang dia bilang, kalau dia setuju memberi kesempatan kedua kepada Karin karena permintaan Wira. Setiap hari, Wira akan berkunjung ke rumah sakit dengan membawa sarapan untuk Karin, namun dia meminta kepada para perawat dan juga Rama memberitahu Karin bahwa sarapan itu memang disediakan oleh Rama. Ketika Karin dalam masa kritis pun Wira selalu siaga menemani wanita itu. Rasa cinta Wira sangat besar pada Karin dan hal itu dirasakan pula oleh Rama, dia tidak mungkin lupa akan fakta tersebut dan menjalin kembali hubungan dengan mantan kekasihnya itu. “Tapi dia bahagia sama lo, Ram!” jawab Wira. Senyum getir Wira memaknakan sebuah rasa putus asa namun, juga harapan. “Kalau dia bahagia sama gue, dia gak bakal selingkuh sama lo!” seru Rama, “itu terjadi karena dia nyaman sama lo dan dia hanya mempunyai rasa obsesi terhadap gue,” lanjut Rama. Dia ingin Wira dan Karin menyadari perasaan mereka masing-masing. “Selama masa pemulihan Karin, perhatian gue sama dia hanya sebatas perhatian seorang kakak kepada adiknya tidak lebih dari itu,” setelah mengatakan itu, Rama meninggalkan Wira yang masih terdiam di posisinya.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD