Bab 6

1124 Words
Dengan sangat hati-hati Lizzie mencoba membuka jendela kamarnya. Dia tak ingin membangunkan kedua orang tuanya yang belum tentu sudah tidur, sekarang masih belum terlalu malam. Akan sangat berbahaya jika mereka mendengarnya, dia akan mendapatkan hukuman lagi karena sudah berani melanggar salah satu peraturan yang mereka tetapkan untuknya. Lizzie anak tunggal, tetapi tidak mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya secara utuh. Mereka membebaninya dengan banyak peraturan dan tanggung jawab. Salah satunya adalah tidak boleh menerima tamu pada malam hari. Jadi, bayangkan saja apa yang akan terjadi padanya jika kedua orang tuanya mengetahui ada yang mengetuk jendela kamarnya di malam hari, dan dia membukanya. Namun, dia juga tidak bisa membiarkan Keith terus berada di depan jendela kamarnya. Dia yakin, pemuda itu tidak akan berhenti sampai dia membukakannya untuknya. Satu lagi yang Lizzie tidak mengerti dan membuatnya tak habis pikir. Bagaimana mungkin Keith bisa berada di depan jendela kamar tidurnya yang berada di pantai dua? Memang ada sebuah pohon di dekat kamar tidurnya Pohon besar yang sudah kehilangan daun-daunnya karena meranggas di musim gugur. Sekarang pohon itu hanya tersisa batang dan cabangnya yang terlihat seperti tangan-tangan raksasa yang siap mencengkerammu. Sekarang yang ada dalam pikiran Lizzie adalah, apakah Keith memanjat pohon itu agar dapat berada di depan jendela kamar tidurnya? "Lizzie, buka jendelanya, kumohon!" Suara Keith terdengar mengiba, juga bergetar. Sepertinya pemuda itu kedinginan, cuaca di akhir musin dingin bukan merupakan cuaca yang baik untuk seseorang berada di luar rumah, kecuali untuk seorang yang gila seperti Keith Chase. "Ada sesuatu yang penting yang harus kuberi tahu padamu." Ketukan kembali terdengar sebanyak tiga kali. Lizzie berdiri dengan ragu tepat di dean jendela. Dia sedang berpikir untuk membuka jendela atau tidak. Dia akan berpura-pura tidur dan menutup telinganya dengan bantal, sehingga tidak mendengar saat Keith memanggilnya. Lagipula, Keith tidak akan melihatnya karena kaca jendelanya tidak terang seperti kaca jendela lainnya. Alasan yang bagus sebenarnya, jika dia tega membiarkan Keith berada di sana semalaman. Sayangnya, dia tidak tega, selain tidak kuat pada rasa penasaran tentang apa yang ingin dibicarakan Keith. Rasa penasaran memang merupakan momok yang paling menyebalkan bagi setiap orang. Rasa yang membuat seseorang keras kepala sepertinya terpaksa mengalah kepada Keith Chase. Dengan pelan dan sangat hati-hati Lizzie membuka jendela kamarnya. Yang pertama kali dilihatnya adalah seorang pemuda berambut pirang yang tersenyum diantara kegelapan malam. Lizzie merapatkan sweter yang dikenakannya, udara dingin menusuk melalui pori-pori kulitnya. "Hai!" sapa Keith. Suaranya semakin bergetar. Dingin. "Kupikir kau tidak akan membukakan jendelamu." Entah sidah berapa lama ia berada di atas sini di depan jendela kamar Lizzie, yang pasti Keith merasa sangat kedinginan. Rasanya perlahan ia membeku, beberapa saat lagi berada di luar sini, Keith yakin ia akan menjadi patung es. Lizzie tidak segera menjawab. Mata birunya mengawasi keadaan sekitar. Lampu-lampu jalanan terlihat seperti kunang-kunang di tengah taman. Lampu itu tidak cukup menerangi sampai ke depan rumahnya yang hanya diterangi oleh cahaya lampu yang redup. "Apa yang kau lalukan di sini?" tanya Lizzie setengah berbisik. Dia tak ingin menanggung risiko ketahuan oleh kedua orang tuanya. "Izinkan aku masuk dulu!" pinta Keith dengan wajah memohon. "Aku hampir beku di luar sini." "Tak ada yang memintamu untuk berdiam di depan jendela kamarku," kata Lizzie tanpa perasaan. Namun, dia berpindah juga, memberikan jalan untuk Keith masuk ke dalam kamarnya. "Jangan berisik!" Dia membelalak saat Keith turun dari jendela dengan heboh. Suara sepatunya yang menyentuh lantai sangat gaduh. "Aku tidak ingin kedua orang tuaku mengetahui keberadaanmu di kamarku!" "Maaf!" Keith meringis. Tangannya terangkat mengusap tengkuk. "Aku tidak sengaja." Lizzie memutar bola mata. Dia tahu, Keith memang tidak sengaja. Pemuda itu tergesa menuruni atap, sehingga menimbulkan bunyi yang sedikit berisik. Lizzie melangkah menuju tempat tidurnya, mempersilakan Keith untuk duduk di kursi meja belajarnya karena hanya kursi itu satu-satunya yang bisa didudukinya. "Ada apa kau ke sini?" tanya Lizzie lirih. "Ini sudah malam, dan apa kau tahu, kita berdua bisa habis jika orang tuaku sampai tahu ada seorang pemuda di kamarku." Keith tidak langsung duduk. Ia menarik kursi belajar Lizzie agar lebih dekat dengan tempat tidur di mana gadis itu duduk. Menariknya dengan sangat hati-hati agar tidak dak menimbulkan suara gaduh sedikit pun. "Sudah kubilang aku ingin mengatakan sesuatu padamu," kata Keith setelah duduk. "Aku tahu, kau sudah mengatakannya tadi." Lizzie mengangguk. Dia menjilat bibirnya sebelum meneruskan. "Sekarang katakan saja apa yang ingin kau bicarakan." Keith kembali ragu. Mata birunya menatap liar seluruh kamar Lizzie. Tak ada hiasan apa pun di dindingnya, bahakan selembar poster pun tidak terpasang, tidak seperti kamar anak perempuan lainnya. Menurutnya, kamar ini terlalu suram, seolah tak ada yang mendiami. Lizzie berdecak. "Astaga, Keith Chase! Jangan katakan padaku bahwa sesuatu yang ingin kau bicarakan itu adalah kau ingin meminta izin untuk mengamati kamarku!" serunya lirih. Dia mengentakkan kaki tak sabar. "Jika iya, sebaiknya kau pulang saja sekarang karena aku ingin tidur." Lizzie berdiri, melipat tangan di depan d**a. Tatapannya tertuju lurus pada Keith yang bergerak salah tingkah. Pemuda itu menggelengkan kepala dengan cepat, menyangkal apa yang dikatakannya. "Bukan begitu!" serunya lirih dan tertahan. Ia mengibaskan kedua tangan di depan d**a. "Aku hanya ingin tahu jawabanmu." Mulut Lizzie terkatup rapat. Hanya matanya saja yang menatap Keith dengan tatapan curiga. Dia mendengkus, mengisyaratkan jika memprotes perkataan pemuda itu. Dia sudah menjawabnya tadi sore saat mereka duduk di depan taman kota. "Maksudku, kau belum memajwab pernyataan sukaku padamu, dan aku ingin tahu jawabanmu sekarang." Keith menatap Lizzie yang berdiri di depannya dengan jarak beberapa kali. Lizzie memutar bola mata. "Kupikir aku sudah menjawabnya, dan aku yakin kau memiliki indra pendengaran yang cukup baik, sehingga aku tidak perlu mengulanginya lagi." Keith menggeleng. "Tidak, kau belum menjawab, Lizzie," katanya lirih. Bahunya luruh, tatapan Lizzie tidak mengatakan apa-apa. Ataukah ia yang tidak dapat membacanya? "Terserah kau saja!" Lizzie mengedipkan bahu tak peduli. "Bagiku aku sudah menjawab pernyataan cintamu yang bagiku terdengar sangat konyol." "Aku masih belum paham." Keith bersikeras. Kepalanya terus menggeleng dengan pelan beberapa kali. "Aku ingin kau menjawabnya dengan jujur dan kata-kata yang jelas." Lizzie mengembuskan napas dengan kasar melalui mulut. "Dasar keras kepala!" omelnya.. "Aku hanya perlu jawaban." Keith tersenyum. Ia berdiri, memutar kursi menghadap Lizzie yang sekarang berdiri di sampingnya. Tidak benar-benar di sampingnya, jarak mereka masih sekitar satu meter lebih sedikit. "Jawab pernyataanku, maka aku akan pergi setelah mendengarnya." Lizzie berdecak. Dia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Aku sudah meminta padamu agar kau tidak lagi menggangguku. Apakah itu bukan sebuah jawaban yang jelas untukmu?" Keith meneguk ludah kasar. Sungguh, kerongkongannya sangat kering. Ia seperti seseorang yang menempuh perjalanan di gurun pasir. Ia tahu, Lizzie sudah menolaknya tadi sore dengan penolakan yang bisa dikatakan kasar, tetapi ia tidak jera. Ia justru semakin bersemangat mengejarnya.. "Baiklah, kukatakan sekali lagi padamu, Keith Chase." Lizzie menjilat bibir sebelum meneruskan. "Jangan menggangguku karena aku tidak pernah mengusikmu. Aku tidak ingin memiliki masalah dengan siapa pun, aku hanya ingin menikmati masa-masa sendirianku."

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD