bc

Sepasang Munafik

book_age18+
23
FOLLOW
1K
READ
family
love after marriage
drama
expert
small town
realistic earth
affair
wife
selfish
like
intro-logo
Blurb

Menjadi seorang istri sekaligus ibu yang mempunyai suami dengan penyakit dan persoalan tentang maskulinitas, membuat Shifa dilanda kebimbangan ketika seorang kawan lama hadir dan mengisi hari-harinya. Di lain sisi, pria tersebut juga mempunyai keluarga dengan istri super toxic dan pencemburu. Akankah Shifa tetap bertahan dalam biduk rumah tangganya? Atau justru memilih pria tersebut demi menjaga kewarasan lahir batinnya?

chap-preview
Free preview
Tak Puas
Pukul sebelas petang. Gerimis masih mengguyur kota dengan syahdu, mengibaskan gorden kamar pada jendela kaca yang sedikit terbuka. Shifa, perempuan dengan dua anak yang terlelap di sampingnya tampak tersenyum sendiri memandangi layar ponsel. Sebuah chat dari seseorang mampu membuatnya lupa waktu. Padahal, seharian penuh ia bekerja. Seperti tak kenal lelah, ia meladeni tiap pesan masuk dengan terus membalas. Hingga sebuah permintaan dari teman mengobrolnya itu, membuatnya keluar dari percakapan teks tersebut. Ia menggulirkan layar mencari kamera. Shifa memasang senyum termanis di depan kamera ponsel. Memiringkan kepala sedikit ke kiri, agar hidung terlihat mancung dan wajah agak tirus. Mengambil gambar diri yang sekiranya terlihat sempurna. Dua kali jepret, ia pilih hasil yang lebih lumayan, lalu mengeditnya agar mulus tanpa cacat. Bibirnya menyungging, melihat hasil foto sendiri. Jempol menyeret layar mencari aplikasi pesan berlogo telepon warna hijau, mencari sebuah nama, Dandy. Chat beberapa menit lalu masih terpampang di sana. [Pap, sayang] Begitu ketikan dari teman chat-nya Senyuman kembali mengembang, sembari mengirim hasil foto dengan menekan angka satu di sebelah kanan untuk sekali kirim, agar foto tak tersimpan pada galeri milik seseorang yang sedang dikiriminya. Centang dua pertanda foto telah terkirim. Beberapa detik ia menunggu menjadi biru. Ia menghitung sekitar sepuluh detik foto terlihat telah dibuka, pertanda di sana sosok itu sudah melihat gambar yang telah dikirim. [Yah, baru juga buka, udah ilang aja] Pesan masuk dari Dandy, membuatnya terkikik. [Pap balik!] Ketik Shifa membalas. Tak menunggu lama, sebuah foto dengan suasana agak gelap muncul. Menampakkan wajah pria dengan topi cokelat lusuh yang selalu dihadapkan ke belakang. Pria manis yang beberapa waktu ini mengisi waktu dan hari-hari Shifa. Ia menggigit bibir bawah melihat tampang pria di sana yang sengaja dibuat seperti 'ingin'. Seketika darah Shifa berdesir. Ia bukan gadis remaja yang baru mengerti soal cinta. Apalagi buntutnya sudah dua. Akan tetapi, ekspresi yang ditunjukkannya menampakkan jika dirinya tengah berbunga-bunga layaknya orang kasmaran. Baru saja dirinya terbuai oleh kiriman foto seorang pria. Shifa harus dikejutkan oleh sebuah kenyataan. "Ma, balsemnya di mana?" ucap seorang pria di depan pintu yang tiba-tiba datang melongok dalam kamar. Dia adalah suami Shifa. Senyum yang sedari tadi menghiasi bibir, seketika lenyap. Berganti wajah pucat. Dada perempuan berambut sebahu itu berdebar kencang, secepatnya jempolnya lihai menghapus chat. Tak lupa menuliskan sebuah pesan, sebelum bangkit dari kasur. [Bentar, jangan balas.] Ia berdiri, masih dengan gaya sok sibuk memegang ponsel. Padahal mematikan data agar jika Dandy membalas, chat tak langsung masuk. Tak lupa mengantongi ponsel ke dalam saku baby doll yang dikenakannya. Ia melangkahkan kaki melewati lelaki yang masih berdiri di depan pintu dengan wajah mengernyit, memegangi bagian d**a. “Sesak lagi?” tanya Shifa tanpa menoleh, hanya melirik dirinya yang kini bersandar pada tembok, sementara Shifa berdiri di depan lemari tempat barang-barang kebutuhan rumah, mencari benda bulat kecil dari kaca yang diinginkan sang suami. “Iya, agak sakit di bagian sini. Biasanya kalau sudah dioles balsem agak mendingan.” Kepala Shifa menoleh, melihat tangan Aditya yang menekan bagian ulu hati, dengan kepala mendongak dan napas sedikit tersengal. Shifa berdecak. Kakinya berbalik menuju Aditya dengan sudah menggenggam barang yang dicari, lalu menyodorkannya. Wajahnya mendekat pada d**a Aditya, lalu mengendus. Dahinya berkerut saat menemukan aroma tembakau bakar pada kemeja suaminya. “Sudah tahu sesak, masih juga merokok,” ucapnya sedikit kesal dengan lirikan sinis. Shifa mengambil kembali balsem dari tangan suaminya, memutar tutup untuk membuka, lalu mengoleskan telunjuk ke dalam balsem. “Buka bajunya.” Aditya menuruti perkataan sang istri, membuka tiga kancing bagian atas dan menariknya ke kiri dan kanan. Wajah Shifa tampak masam, tak ingin sedikit pun melihat wajah suaminya. Hanya mengoleskan gel pereda nyeri itu pada bagian yang dikeluhkan Aditya dengan sedikit memijat. Alis Aditya mengernyit. Kepalanya mendongak lebih ke atas. Pijatan lembut Shifa perlahan membuatnya nyaman. Dagunya berangsur turun menyelaraskan pandangan pada sang istri. Ia menatap wajah manis Shifa yang sibuk memijat dadanya. Kepalanya refleks bergerak mendekat, mengecup pipi Shifa. Namun, perempuan itu melengos dan menghindar. “Istirahat saja, stabilkan napasmu dulu.” Aditya hanya bisa terdiam, membiarkan perempuannya lagi-lagi menolak ketika disentuh. Pria itu memandang punggung Shifa yang berbalik menuju ruang tamu. Ia mendengkus, memegang d**a antara sakit pada fisik juga pada hatinya. Diseretnya langkah kaki menuju kamar kecil tempatnya beristirahat. Mengempaskan tubuh di atas kasur dengan perlahan, lalu memejam dengan napas kembang kempis, antara menahan sesak dan emosi. Sementara Shifa menjatuhkan tubuh pada sofa ruang tamu. Melonggokkan kepala ke ruang dalam untuk memastikan suaminya tidak mengikuti. Tangannya kembali merogoh saku untuk mengambil ponsel dan menghidupkan kembali data. Tak ada notifikasi pesan masuk dari Dandy. Seperti biasa, keduanya sudah paham kehidupan masing-masing, tak ingin membuat kekacauan. Sebab realitanya keduanya memang sama-sama berkeluarga. Shifa menyelonjorkan kaki ke atas meja. Mencari kontak Dara sang sahabat yang selalu paham permasalahan hidupnya. Lalu meninggalkan jejak chat dengan menuliskan sebuah kata, [Bestie] Tanpa menunggu lama chat-nya langsung berbalas [Oi, ada apa?] [Kamu tahu, Aditya lagi-lagi ingin menyentuhku] Balas Shifa kembali. [Ya kamu layanin lah, kasihan kan. Dia suamimu loh, Fa.] Shifa menghela napas, ada sedikit rasa kesal memenuhi wajahnya. [Aku malas dong. Kamu tahu sendiri, dia nggak bisa ‘berdiri’ karena konsumsi obat setiap hari] [Shifa, kebutuhan nafkah batin bisa dilakukan dengan cara lain. Nggak harus pake ‘itu’ kan?] [Tapi aku maunya itu. Dan aku nggak puas] Beberapa detik, tak ada balasan dari Dara. Shifa mengetuk-ketuk layar ponsel menunggu balasan. Sebuah panggilan dari Dara membuat Shifa terpaksa menyeret layarnya ke atas. “Ngapain telepon, sih? Chat aja lah.” Begitu tak tenang Shifa menolehkan kepala beberapa kali ke dalam. Ia tak ingin percakapan mereka didengar oleh suaminya. “Kau harusnya tahu jika ini salah. Pasti Dandy menghubungimu lagi, kan? Sudahlah, Fa. Akhiri hubungan terlarang kalian itu. Kau kudu fokus untuk keluarga. Juga kesembuhan suamimu,” cerocos wanita di seberang sana, yang hanya bisa didengarkan Shifa tanpa ingin menimpali. Hatinya seperti bimbang. Memang benar apa yang dikatakan Dara, jika suaminya lebih membutuhkannya dibandingkan egonya sendiri. Namun, kenyataan hidup yang terus menempa kewarasannya. Membuatnya muak dan berpaling. Ia ingat betul, beberapa bulan sebelumnya dirinya tidak seperti ini. Sebuah vonis dari dokter tentang penyakit yang didera sang suami. Membuatnya perlahan berubah. “Plis, Fa. Aku sudah muak menyadarkanmu untuk ke sekian kalinya. Kamu lihat dong kondisi Aditya. Dia sampai kayak mayat hidup begitu. Aku nggak tega. Sementara kau malah asyik bermain cinta dengan lelaki lain. Tolong ingat segala kenangan indah tentangnya.” Shifa merasa kerongkongannya kering ketika mendengar kenyataan yang diucapkan Dara. Ia meneguk ludah. Tak sadar air mata luruh. Dadanya sesak. “Fa, kamu masih di sana, kan? Selama ini aku mengenalmu sebagai wanita baik-baik dan tentunya paham tentang agama. Bahkan, kau lebih unggul dariku soal itu. Harusnya kau paham betul semua ini. Plis, kembalilah ... ingat anak-anak, Fa.” Perkataan terakhir dari Dara semakin membuat tubuhnya bergetar. Tangisnya hampir pecah. Ia menutup panggilan dan menaruh ponsel di atas meja. Lantas, mengempaskan tubuh pada sandaran sofa dan mendongak. Dijambaknya sendiri rambut sebahu yang beberapa waktu lalu dicat dengan warna silver. Ya, kenyataan yang dilaluinya beberapa bulan ini, benar-benar membuatnya kacau. Dari perempuan kalem yang selalu menjaga lisan dan tingkah lakunya. Berganti menjadi perempuan yang sedikit kasar dalam bertutur, juga mengubah penampilan. “Siapa aku ini?” tanyanya sendiri memejamkan mata. Tangisnya mengalir dan merembet melalui pipi, membasahi sofa yang sedang disandarinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Revenge

read
17.2K
bc

After That Night

read
8.8K
bc

BELENGGU

read
64.9K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
8.6K
bc

The CEO's Little Wife

read
629.2K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
54.9K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook