Suara bel nyaring yang memekikkan telinga berhasil membangunkan Jessi dari mimpi indahnya. Tanpa sengaja gadis itu tertidur di tengah-tengah pelajaran Mr. Jhon. Beruntung bagi gadis itu, karena bukan hanya dirinyalah yang memejamkan mata, lalu terlelap tanpa merasa berdosa. Murid-murid lain juga melakukan hal yang sama. Materi sejarah yang sama sekali tidak berguna bagi kehidupan remaja Jessi benar-benar membosankan. Ditambah lagi dengan teknik mengajar dari pria bertubuh gempal itu. Meski Jessi kehilangan ingatannya, gadis itu sama sekali tidak berminat pada sejarah yang diajarkan oleh Mr. Jhon. Ia masih tidak menyukai kelas pria berkacamata itu meski sedang mengalami lupa ingatan.
Mr. Jhon meninggalkan kelas dan murid-murid mulai bersorak dengan riuh. Sebagian ikut meninggalkan kelas, menuju kafetaria untuk menikmati makan siang, sisanya berada di kelas, menghabiskan waktu untuk menonton serial film kesukaan mereka menggunakan ponsel, mendengarkan lagu atau sekadar membicarakan kosmetik-kosmetik terbaru yang bahkan mereka beli dengan uang dari orang tua mereka.
Jessi beranjak dari kursinya. Ia berdiri di sana untuk beberapa saat, mengamati meja dan kursi yang masih dipenuhi aroma lili yang mulai layu. Kosong. Jessi telah kehilangan sahabat sekaligus teman terdekat di sekolahnya. Ia pun mengembuskan napas berat dan mulai mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tidak ada satupun dari mereka yang peduli, bahkan beberapa murid yang ada di dalam kelas hanya meliriknya dengan tatapan aneh bercampur iba yang benar-benar sulit diartikan.
Langkah santai gadis itu sempat menarik perhatian. Jessi kini popular dengan sebutan ‘Gadis-sekarat-yang-hampir-mati-bersama-Rachel’ atau semacamnya. Mata-mata penuh keingintahuan itu seolah menciptakan asumsi bahwa Jessi mungkin menyembunyikan sebuah rahasia besar terkait kematian sahabatnya sendiri. Bahkan tidak sedikit yang berpikir bahwa sebenarnya gadis itu tidak mengalami hilang ingatan. Berpura-pura saja katanya. Namun satu yang mereka lewatkan, Jessi tidak pandai berbohong dan terlalu eskspresif untuk bidang tersebut.
Gadis itu mendaratkan bokongnya pada salah satu meja kafetaria. Ia duduk sendirian di sudut ruangan dengan semangkuk waffle dan salad. Lemonade terlihat menyegarkan dan cocok dengan menu makan siangnya hari ini, atau setidaknya hanya minuman itulah yang dapat membantunya mengingat sosok Rachel. Rachel sangat suka meminum lemon segar, sedikit gula dan menggunakan banyak es. Benar-benar dingin, Rachel selalu berkata itu pada Jessi.
Jessi tersenyum miris di sana, sambil menatap hidangan di atas mejanya dengan nanar. “Bagaimana aku bisa mengingat minuman kesukaanmu, tapi tidak dengan apa yang terjadi kepadamu malam itu, Rachel.”
Tepat sebelum gadis itu mulai menyendokan makanannya ke dalam mulut, sosok teman satu kelasnya yang juga taka sing mendadak muncul. Berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang memegangi nampan berisi makanan. Membuat Jessi menunda kegiatan makan siangnya dan mendongak pelan, menatap sang lawan bicara dengan ekspresi bingung. “Ada sesuatu yang bisa kubantu?”
“Bolehkah aku duduk denganmu, Jessi?”
“Kurasa tidak,” katanya singkat. “Kau jelas tidak menyukaiku dan Rachel. Sikapmu sangat mencurigakan.”
Sebuah papan nama kecil yang menempel di seragam baju gadis itu bertuliskan Monnie Rich. Rambut pirang bergelombang dengan pita merah menyala menghias kunciran rambutnya, memberi kesan keteraturan yang ditanamkan oleh gadis muda itu. “Well, kau sendirian sekarang,” ucapnya sarkastik. “Kau sebaiknya tidak bersikap meninggi.”
Jessi mendengus pendek, membuat Monnie mengernyitkan kedua alisnya dalam-dalam. “Aku suka sendirian dan mungkin kau belum tahu soal itu,” balasnya, masih dengan nada ketus. “Sebaiknya kau pergi dan duduk bersama teman-temanmu saja, Monnie. Kau terlihat sangat memaksakan diri kali ini.”
Tangan kurus gadis itu hendak mengambil sendok, kembali melanjutkan aktifitas makan yang sempat tertunda karena kehadiran Monnie yang tiba-tiba. Baru saja potongan waffle dan salad sayur-sayuran itu diangkat, cukup dekat sebelum benar-benar mencapai permukaan bibir, sebuah kalimat yang terlontar dari sang lawan bicara kembali menarik fokusnya. “Jika kau mengalami hal yang sama dengan Rachel, kau pasti tidak akan bersikap seangkuh ini.”
Jessi mendongak, kali ini tatapan serius dan sangat penasaran. “Kenapa kau membicarakan Rachel?”
Kikuk, Monnie memundurkan langkahnya ke belakang. Tepat setelah Jessi berdiri dari kursinya, membalas tatapannya dengan raut tak suka.
“Apa kau mengetahui sesuatu tentang Rachel?” tambah Jessi.
“e –entahlah. Aku hanya mendengar rumor soal –“
Jessi mengerutkan alisnya, kemudian menyipit curiga kepada gadis yang tidak lebih tinggi darinya itu. Monnie dikenal sebagai salah satu murid pintar di sekolah. Bakatnya adalah matematika. Rumus dan perhitungannya nyaris sempurna, tapi tentu saja setiap manusia memiliki kekurangan di dalam diri mereka. Monnie yang terlahir sebagai anak orang kaya, salah satu pemegang saham sekolah, dikenal arogan dan suka mengejek yang lemah. Berkat posisi penting yang dimiliki oleh kedua orang tuanya, Monnie selalu berhasil lolos setiap kali ada murid junior yang melaporkannya atas tindak bullying di sekolah. Rachel salah satunya.
“Rumor apa yang kau dengar, Ms. Rich?”
Jessi enggan menyerah. Ia terus menatap gadis bertubuh langsing itu dengan pandangan yang dalam dan mengintimidasi. Karena setidaknya, hal itulah yang menjadi kelebihan dari gadis itu.
Sementara Monnie dibuat sedikit bergetar karena Jessi menatapnya tanpa rasa takut. Pandangan itu berbeda dengan tatapan dari murid-murid lemah yang akan berakhir tunduk dan patuh kepada setiap kata-katanya. “Aku hanya mencoba bersikap baik kepadamu.”
Merasa Monnie sedang mencoba mengalihkan perhatian, Jessi memutuskan untuk bersikap tegas. “Aku tidak pernah memohon untuk itu.”
“Kau sebaiknya begitu, Jessi.”
“Kenapa?”
Monnie mengedikkan kedua bahunya. Kemudian kedua mata emeraldnya mengedar ke sekeliling. Ia menyadari bahwa interaksi yang tidak biasa di antara Jessi dan Monnie memang sedikit mencolok dan menarik perhatian murid-murid lain. Pertunjukan menarik bagi murid lain yang ada di kafetaria, tapi Monnie harus meluruskan sesuatu sebelum pergi. “Um, entahlah. Tapi bukankah menjadi kesepian itu sangat menyebalkan? Kau kehilangan seseorang –yeah, sahabatmu, dia mati. Itu menyakitkan.”
“Lalu, apa masalahmu dengan itu?”
Monnie menyunggingkan senyum simpul di sana. Terlihat meremehkan, tapi Jessi tidak berpikir demikian. “Kau kehilangan seseorang yang kau anggap, sangat berarti atau semacamnya. Tapi kau tidak tahu, tidak ingat dengan apa yang terjadi.”
Jessi hanya diam di tempatnya, menunggu murid terpintar di First High School melanjutkan kata-katanya.
“Kau dan Rachel berada di sekolah. Kau lupa ingatan dan Rachel tewas karena terjatuh. Bukankah itu adalah hukuman dari Tuhan karena kalian berdua telah berbuat dosa?”
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Monnie. Membuat nampan berisi makanan yang masih utuh jatuh dan tercacar tanpa aba-aba di lantai bercorak putih. Suara nyaring dari kaca-kaca yang bertubrukan dengan lantai dan pecah, menyebabkan lebih banyak perhatian. Semua orang di kafetaria kini memandangi mereka, sebagian mulai merekam. Pemandangan yang benar-benar menarik.
“Tidak ada satupun dari kalian yang boleh menghakimiku atau Rachel. Kami mungkin memang pendosa, tapi tahu apa kau soal dosa?”
***