Bab 1 - Cinta Satu Malam
Vanesha terbangun di sebuah kamar hotel yang sederhana di Negara Diamond. Hari itu adalah hari terakhirnya berada di negara tersebut karena mengikuti pertukaran pelajar sebagai perawat di Rumah Sakit Brain.
“Oh s**t di mana ini? Duh, kepalaku pusing sekali," ucap gadis itu sambil mengamati keadaan ruangan yang asing di sekelilingnya.
Lalu, ia berdiri untuk membuka tirai jendela kamar tersebut. Namun, gadis dengan rambut lurus sebahu itu terpeleset jatuh ke lantai sebelum sempat untuk berdiri. Tersadar saat selimutnya tersibak, tak ada sehelai benang pun yang ia pakai. Vanesha langsung berteriak.
“Astaga, apa yang terjadi padaku?” pekik Vanesha lalu kembali ke atas ranjang dan menyelimuti dirinya.
“Tunggu dulu, ini punggung siapa, ya?”
Wanita itu menyentuh punggung seseorang yang terbaring di hadapannya.
“Jangan-jangan aku lagi mimpi nih tidur sama Tae.”
Wanita itu terkekeh sambil mencubit punggung seorang pria di hadapannya. Pria itu menggeliat dan berbalik badan lalu menarik Vanesha menuju ke dekapannya.
“Sayangku,” ucap pria berbadan tegap itu sambil memeluk wanitanya dengan erat.
“Aaaaa!"
Vanesha mendorong pria itu jatuh ke lantai saat tersadar itu bukan suara Tae, tunangannya. Tae merupakan pria yang sudah dua tahun ini menjalin hubungan dengannya.
“Aduh, apa yang kau lakukan, ini sakit tau!”
Pria tersebut mengusap bokongnya yang kesakitan sambil menggerutu. Vanesha memandangi tubuh polos pria itu dengan saksama. Tubuhnya atletis dengan perut kotak-kotak yang terpampang sempurna di balut kulit yang kuning langsat dan bersih. Tubuh polos itu semakin jelas memperlihatkan otot-otot yang menunjukkan kalau ia pekerja keras. Wajah oriental yang tampan, hidung mancung, dengan senyum memikat pasti membuat banyak wanita tergila-gila padanya.
“Ya ampun Jaehyung kau tampan sekali . Hah, tunggu, apa dia Jaehyung?”
Gumam Vanesha dengan mulut yang tak sengaja menganga.
Pria tersebut buru-buru menutup rapat mulut wanita itu dan menyapanya.
“Pagi, Vanesha!" sapa pria dengan bibir merah merekah itu tersenyum manis dengan posisi kembali duduk di lantai.
“Jae, apa kita?” Tanya Vanesha dengan raut wajah heran.
“Tentu saja. Ummm, apa kita bisa melakukannya lagi sekarang?”
Jae langsung masuk ke dalam selimut tempat Vanesha berada. Wanita itu mengingat kembali apa yang terjadi semalam dan tak memperdulikan cumbuan dari si pria di seluruh lehernya yang sedang memberi tanda kissmark di sana.
“Astaga Cassie, gara-gara kau aku sampai," menghela napas sejenak, "apa yang aku lakukan?”
Vanesha menghentikan cumbuan dari Jae kala mengingat kejadian semalam dan bergegas masuk ke kamar mandi. Wanita itu melihat cincin yang melingkar di jari manis sebelah kirinya dan langsung menangis.
Kehormatan seorang wanita yang sangat ia jaga dan akan dia serahkan pada suaminya nanti, kini hilang sudah. Seorang pria yang baru dikenalnya merenggut atas ijinnya pula, karena kondisinya yang tengah mabuk semalam. Vanesha menangis sejadi-jadinya diiringi kucuran air yang mengalir membasahi tubuhnya.
Tok, tok!
Jae mengetuk pintu kamar mandi.
“Vanesha, apa kau baik-baik saja?” tanyanya.
Wanita itu membuka pintu kamar mandi tersebut tanpa menjawab pertanyaan Jae. Pria itu menahan Vanesha dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi untuk menyerangnya kembali.
“Kumohon hentikan!” pinta Vanesha dengan suara lirih.
“Maafkan aku, bukan maksudku untuk memaksamu.”
Jae membiarkan wanita itu pergi ke luar kamar mandi. Wanita yang menahan tangisnya itu meraih pakaiannya yang tergeletak berserakan di lantai lalu memakai pakaiannya kembali.
“Vanesha, apa kau yakin itu pakaianmu?” tanya Jae sambil menunjuk.
Vanesha langsung memperhatikan pakaian yang ada di tubuhnya.
“Astaga aku pakai baju dia.”
Vanesha buru-buru mengganti pakaiannya kembali. Sebelum ia pergi, dia menyiapkan pakaian tentara Jae di atas ranjang lalu meninggalkan pria itu segera saat pria itu sedang membersihkan tubuhnya di kamar mandi.
“Ku berharap kita tak akan bertemu lagi," gumam Vanesha saat memasuki taxi yang ia pesan menuju asrama tempat ia tinggal selama di negara itu.
*
Dua tahun sebelumnya.
Mentari pagi yang hangat menyambut Vanesha yang dengan semangatnya selalu membawa anak-anak di panti asuhan tempatnya bernaung untuk berolahraga ke tanah lapang.
“Ayo dong semangat semuanya, kita pemanasan lari-lari kecil dulu ya anak-anak!" ucap Vanesha pada dua puluh anak panti yang di bawanya kala itu.
“Kak, bolehkah aku bertanya?” tanya seorang gadis perempuan yang berkacamata itu.
“Boleh, memangnya Tania mau tanya apa?" tanya Vanesha sambil mencubit hidung Tania.
“Memangnya Kak Vanesha mau pergi ya dari panti?” tanya Tania.
Vanesha terdiam kala mendengar pertanyaan Tania. Dia teringat akan sebuah surat yang datang seminggu lalu. Surat itu berisikan pemberitahuan bahwa pendaftarannya untuk meraih beasiswa sebagai perawat di rumah sakit ternama di ibukota itu di terima.
“Kak Vanesha, kenapa tak menjawab pertanyaanku?” Tania menarik ujung kaus yang dikenakan oleh wanita itu.
“Ummmm, kita lanjut ya olahraganya, yuk kita lari-lari memutari lapangan ini!" ajak Vanesha berusaha menghindari pertanyaan dari Tania.
Rasanya berat sekali untuk mengaku di hadapan anak-anak panti bahwa ia akan pergi. Malam itu, Ibu Rose si pemilik panti asuhan mengamati Vanesha yang sedang memandang langit dari teras belakang.
“Kenapa, Nak, apa kau masih bingung dengan tawaran dari rumah sakit tadi?” tanyanya sambil mengelus kepala wanita itu.
“Eh Ibu, aku sih mantap menerima tawaran tersebut, Bu. A palagi aku selalu memimpikan diriku sebagai perawat sama seperti ibuku,” jawab Vanesha.
“Lalu, kenapa kau terlihat bimbang?” tanya Ibu Rose mengusap lembut kepala gadis itu.
“Aku hanya tak tega meninggalkan anak-anak , Bu," sahut Vanesha sambil mendekap foto sang ibu yang selalu menemaninya.
Foto seorang wanita berpakaian perawat itu sudah berada di keranjang bayi saat ia di buang dua puluh tahun lalu di halaman panti asuhan. Ibu Rose menduga bahwa sosok wanita di foto itu adalah ibunya Vanesha. Setiap kali Vanesh, nama panggilannya, merasa penat dan jenuh melanda kala sedang belajar, ia selalu memandang foto tersebut sebagai penyemangatnya.
Banyak prestasi yang ia torehkan sebagai pelajar terpintar di sekolahnya sedari kecil. Sampai ia yakin dan penuh percaya diri saat mengajukan formulir beasiswa menjadi perawat ke sebuah rumah sakit terkenal di ibukota milik Tuan Jones.
“Berjuanglah dengan penuh semangat, buat ibu bangga ya, Nak.” Ibu Rose mengecup kepala Vanesha sebelum ia kembali ke kamar tidurnya.
“Terima kasih, Bu, terima kasih kau selalu mendukungku.”
Keesokan harinya, Vanesha pamit pada Ibu Rose dan anak-anak panti asuhan sambil berlinangan air mata.
“Maafkan Kakak, ya. Kakak janji akan sering berkunjung ke sini," ucapnya.
“Kakak jangan pergi! Nanti yang mengajari Tania belajar siapa?” rengek Tania mendekap erat pinggang milik gadis berambut panjang berwarna cokelat sepunggung itu.
“Kan ada kakak yang lain sayang. Kak Vanes yakin kok kalau Tania itu pintar. Kakak yakin kau pasti bisa belajar dengan mudah. Sudah, cup cup jangan menangis,” ucap Vanesha menyeka air mata dari pipi gadis kecil di hadapannya itu.
Sambil melambaikan tangannya, ia masuk ke dalam sebuah mobil van berwarna hitam yang akan mengantarnya menuju bandara.
“Aku harus semangat,” ujar Vanesha meyakinkan dirinya sendiri.
“Kita berangkat, Nona?” tanya sang sopir.
“Berangkat, Pak!"