HAPPY READING
***
Vero merasa lega akhirnya ia sudah tiba di Jakarta, ia melihat jam pada layar ponselnya menunjukan pukul 21.20 menit. Ia mendengar notifikasi masuk, lalu menatap pesan masuk dari sahabatnya Ester, ia membaca pesan singkat itu.
Ester : “Lo, di mana?”
Vero menarik nafas, ia tidak membalas pesan singkat itu melainkan langsung menelfonnya, ia meletakan ponsel di telinga kirinya. Suara sambungan terdengar di balik ponselnya.
“Halo, Ver,” ucap Ester, ia mencoba menjauhi bar.
“Lo di mana?” Tanya Vero to the point.
Vero mendengarkan dentuman music disc jockey di balik ponselnya. Ia yakin sahabatnya itu ada di bar.
“Gue di Fable, lo di mana?”
“Gue lagi di jalan. Kalian di Bar atau lounge?” Tanya Vero.
Vero melirik jam digital pada layar ponsel menunjukan pukul setengah sepuluh, ia yakin sahabatnya itu move ke lounge. Ia sudah sangat telat, aksi makan di restoran batal, ini karena pergi ke acara wedding party, udah gitu parahnya bertemu dengan dokter sinting. Bisa-bisanya ia bisa bertemu dengan pria bernama Kafka, si narsis, sok ganteng dan sok cool. Jika mengingat kejadian tadi ia merasa dongkol.
“Iya, ini lagi di jalan, ini udah di Jakarta mau ke Fable, cuma agak macet gitu.”
Ester menjauhi bar, ia keluar meninggalkan beberapa temannya, karena ada sesuatu yang akan ia sampaikan kepada sahabatnya ini,
“Ver, lo tau nggak di sini, gue liat siapa?”
Vero mengerutkan dahi, “Siapa?”
“Gue liat, mantan lo.”
Alis Vero terangkat, ia menutup mulutnya agar tidak berteriak, “OMG! Siapa? Yang mana? Jay?”
“Iya, Jay, siapa lagi kalau bukan dia.”
“Terus, terus.”
“Lo tau? Dia punya gandengan baru tau, ceweknya mungil-mungil, kayak marmut.”
“HAH!”
Vero ingin membenturkan kepalanya ke dinding bisa-bisanya ketika ia hendak ke Fable justru ada sang mantan. Jay itu adalah mantannya kekasihnya dulu. Mereka dulu pacaran ketika mereka bertemu di Inggris. Pria itu kuliah di Inggris dan dirinya di Paris. Pria itu rela bolak balik London – Paris demi dirinya. Ketika lulus kuliah, Jaynerusin perusahaan papa nya yang bergerak dibidang retail. Mereka putus hanya gara-gara si Jay terlalu posesif, posesifnya sampe nggak masuk akal, itu membuatnya jengah.
Menurutnya cowok kalau sudah terlalu posesif itu ngeri. Ke mana-mana mesti diawasi. Ia begitu hanya ingin keluar dari toxic relationship. Sifat posesif Jay itu membuatnya tidak tahan dan muak. Harus intensitas komunikasi, isolasi, cumburu yang ekstrem sehingga membuatnya tidak betah dan tidak berkembang. Akhirnya ia meminta putus dan si Jay mengiyakan. Awalnya sedih putus dari pria itu, karena selama pacaran mereka selalu bersama, setelah itu tiba-tiba ia harus terbiasa dengan kesendiriannya.
Cemburu itu wajar, tapi kalau sudah exstrem seperti Jay itu sudah masuk ke toxic. Hubungannya bisa berubah dari bahagia hingga marah-marah dalam waktu singkat. Terakhir sudah jelas toxic hingga mengganggu psikologisnya. Jay itu sangat posesif, kalau pesan yang dikirim dibalas dengan lambat, suka marah. Sedangkan dirinya juga tidak mau kalah, marah balik, ngambek berhari-hari, hanya gara-gara hal sepele seperti ini.
Sekarang beberapa bulan setelah putus pria itu sudah memiliki pasangan, sedangkan dirinya saja belum memiliki gandengan. Secepat itu dia mendapat pengganti dirinya setelah empat tahun menjalin hubungan. Ah, yang benar saja? Jangan-jangan sikap posesifnya itu karena dia sudah memiliki yang lain. Ia tidak percaya kalau Jay semudah itu jatuh cinta.
“Serius? Lo kenal nggak siapa ceweknya?” Tanya Vero penasaran.
“Enggak, tapi dia rangkulan sih, kayak pacaran gitu. Kalau pacaran kan pelukan, rangkulan, ngendus-ngendus minta di cium. Lo ke sini deh cepetan.”
“Iya, iya, ini udah hampir sampe kok.”
Mendengar Jay punya gandengan baru, membuatnya panas dan kesal, bisa-bisanya si Jay bisa dapat penggantinya dengan cepat. Sedangkan dirinya masih meratapi kesendirian, bahkan masih enggan berhubungan dengan pria lain.
“Gue tunggu di Bar ya Ver.”
“Oke.”
Vero mematikan sambungan telfonnya, ia menatap pak Irwan masih mengemudi setir, “Pak, cepetan ya,” ucap Vero.
“Iya, non.”
Vero menatap ke arah jendela, bibirnya maju satu senti karena kesal, “Ih, ngebetein banget deh si Jay. Baru juga beberapa bulan putus, udah punya pacara aja,” dengus Veros, ia menggeram, menggenggam tangannya hingga buku-buku tangan memutih.
“Ini lagi macet non, sabar ya non,” ucap pak Irwan, ia menatap anak majikanya dari kaca dasbor.
“Kenapa non Vero, kelihatannya bete banget.”
Vero menarik nafas, ia memandang ke pak Irwan yang masih fokus dengan kemudi setir, “Pak Irwan tau kan, mantan Vero dulu yang namanya Jay?”
“Owh, iya non, tau. Mas Jay yang baik itu ya, non.”
Pak Irwan ingat kalau setiap kali mengantar Vero bertemu dengan Jay, ia kebagian uang jajan, makanya ia menyematkan pacar non Vero itu sangat baik.
“Baik itu cuma kedok aja pak. Asalinya mah, kaggak kayak gitu,” timpal Vero.
“Masa sih, non? Tampang mas Jay baik non.”
“Pak Irwan, nggak bakal ngerti sih, dia kek gimana.”
“Emang kayak gimana, non?”
“Posesif abiz, pak.”
“Masa sih, non?”
“Iya, serius pak. Tampangnya sih kalem, ternyata nih pak. Baru beberapa bulan putus, dia punya gandengan baru, punya pacar baru. Aneh banget kan pak? Itu kan artinya sebelum putus dari Vero, si Jay itu lagi PDKT sama cewek.”
“Ah, masa sih non. Perasaan mas Jay baik, non. Bukan pacarnya kali non. Mas Jay sayang banget kok sama non.”
“Kok, pak Irwan, belain si Jay sih, udah jelas-jelas dia toxic banget!”
“Maaf, non. Cuma kalau diinget bagaimana mas Jay sayang sama non itu beda, kayak cinta banget sama non,” ucap pak Irwan, memang kenyataanya pacar majikannya itu ia lihat baik, hanya majikannya itu yang tidak bersyukur mendapatkan pacar sebaik mas Jay. Padahal yang ia lihat si mas Jay selalu perhatian, bahkan apapun permintaan Vero di kasih.
“Jangan bahas si Jay lagi deh pak, malesin banget liat tuh cowok.”
“Baik, non.”
“Playboy abis!” Dengus Vero.
“Ih, nyebelin!”
“Rese banget sih!”
“Gue aja belum dapat cowok! Karena mati-matian pengen lihat dia berubah!”
“Taunya, buaya!”
Vero tahu, sah-sah jika si Jay itu punya gandengan baru pasca putus dari dirinya. Entahlah, ia merasa kesal sendiri dengan tindakan mantan pacarnya itu. Ia merasa tidak terima jika si mantan sudah memiliki pacar duluan. Ok, itu memang hak Jay mau pacaran dengan siapa aja.
Padahal selama ini ia no contact rules selama berbulan-bulan, berhenti penuh komunikasi. Ia juga berhenti kirim chat atau mengintip social media si mantan. Bahkan ia menonaktifkan instagramnya sementara, hingga hatinya benar-benar pulih dan damai. Sekarang hatinya tidak bisa diajak kompromi, ia gelisah sekaligus penasaran, secantik apa gandengan baru sang mantan.
***
Beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di Fable, ia mengatakan kepada pak Irwan bahwa tidak perlu menjemputnya, ia akan pulang dengan Ester. Vero melangkahkan kakinya menuju lobby, ia melihat banyak sekali muda-mudi yang baru masuk. Setiap menginjakan kakinya ke sini suasana club ini selalu ramai dan full.
Ini bukan pertama kalinya ia ke sini, namun sudah sering untuk menghilangkan penat, ia mampir ke club untuk sekedar bersenang-senang. Tempatnya bagus, bar nya kece, pemandangannya oke dan bartendernya tampan.
Sejujurnya ia betah berlama-lama merasakan atmosfer di Fable, music-nya selalu update. Biasa ia masuk dalam lounge keadaan happy. Sekarang ia merasakan sedikit panas mendengar Jay membawa gandengan baru.
Dirinya wanita sudah pasti untuk ladys tidak perlu membeli tiket masuk, karena malam ini free ladies entry.
Jujur pergi ke klub bukanlah hal tabu lagi menurutnya untuk zaman yang sudah modern ini. Istilah kerennya girls night out, sepertinya sudah menjadi kegiatan rutin. Banyak wanita seperti dirinya memilih klub sebagai tempat berkumpul, selain bisa bertemu teman, ini juga bisa bersosialisasi dan refreshing dari penatnya pikiran.
Ia di sini bukan satu-satunya wanita pergi ke tempat dugem, alasannya ke klub tentu saja bersenang-senang di floor. Ia tipe wanita elegan yang tidak berniat pulang dengan pria lain, ia akan tetap pulang dalam keadaan sadar, tidak mabuk hingga sampai di rumah. Ia tahu batasannya minum alkohol seperti apa, yang terpenting ia tidak akan minum banyak.
Ia mencari keberadaan Ester, tatapannya tertuju pada seorang wanita di kursi bar di sana. Wanita itu mengenakan dress mini berwarna merah di sana. Tatapan mereka lalu bertemu dan saling berpandangan satu sama lain.
Ester menatap sahabatnya di sana, ia melambaikan tangan lalu meletakan gelas brandy di meja. Ia bergegas mendekati Vero, ia memeluk tubuh ramping itu.
“Lo lama banget sih datang,” ucap Ester.
“Biasalah, Bogor ke Jakarta kan lumayan jauh, sejam lebih juga nyampe sini,” ucap Vero, ia menaikan volume suaranya, karena dentuman music dari segala sisi terdengar.
“Yang lain mana?” Tanya Vero lagi, karena ia tidak melihat teman-temannya.
Ester mengedikan bahu, “Tau deh, udah ke mana-mana. Eh, tadi gue liat mantan lo tau?”
“Mana?” Tanya Vero celingak celinguk di floor, jujur ia ingin tahu siapa kekasih Jay yang baru, apakah lebih cantik dari dirinya atau nggak.
“Ke mana ya, di table sih kayaknya, gelap gini, agak susah nyarinya,” ucap Ester juga ikut celinga-celinguk mencari keberadaan Jay.
“Cantik gue atau ceweknya yang baru?” Tanya Vero penasaran.
“Cantik lo sih ke mana-mana.”
Vero tersenyum, mendengar bahwa pacarnya Jay yang baru kalah cantik dari dirinya. Jika kenyataannya bahwa pacar barunya si Jay biasa saja, ia tidak akan minder. Ia sudah melepas kenyataan bahwa bahwa mantan sudah memiliki cinta yang baru.
Ester mencari keberadaan Jay, ia merasa bahwa tadi Jay ada di table ujung sebelah sana, ia menatap fokus ke depan. Ia mendapati apa yang ia cari, ia menyungging senyum.
“Itu mantan lo,” ucap Ester menunjuk dengan bibirnya.
Vero mengerutkan dahi, ia memfokuskan penglihatannya apa yang telah ditunjuk Ester, ia menatap Jay bersama seorang wanita. Pria itu berada di sofa sambil menyesap brandy. Ia memperhatikan wanita yang di samping Jay, wanita itu mengenakan dress merah dengan potongan d**a rendah. Tidak lama kemudian, tatapan mereka bertemu, pria itu memandangnya intens.
Vero dengan cepat mengalihkan pandangannya ke Ester, ia tidak ingin Jay beranggapan bahwa ia masih berharap kepadanya.
“Benerkan Jay sama pacar barunya.”
“Udah biarin aja, males banget gue hari ini.”
“Males kenapa?”
“Lo tau? Tadi di wedding ketemu dokter rese, sekarang ketemu sama mantan. Kayaknya hari ini tuh apes banget, dan menyebalkan.”
Ester tertawa, “Udahlah, santai aja. Lo mau minum nggak?”
“Boleh deh.”
Ester memesankan apple martini untuk Vero. Vero duduk di samping Ester, mereka menatap bartender membuatkan apple martini untuk dirinya.
“Terus acara wedding tadi gimana?” Ia bertanya seperti ini untuk menghindari topik pembicaraan mantan.
Vero menarik nafas, “Sangat menyebalkan,” dengus Vero.
***